Chereads / Cerita Kia Untuk Randi / Chapter 22 - Panorama Pabangbon

Chapter 22 - Panorama Pabangbon

Ujian demi ujian telah aku hadapi. Mulai dari ujian harian, ujian praktek, ujian sekolah, sampai ujian Nasional. Hari-hari menegangkan kini kembali aku rasakan. Rasa yang sama seperti yang aku rasakan ketika waktu menunggu hasil kelulusanku di sekolah menengah pertamaku.

Pengumuman kelulusan akan di bacakan 2 bulan kemudian. Waktu yang sangat lama. Aku mulai merasa bosan karena tidak ada kesibukkan lain kecuali di rumah. Tes masuk perguruan tinggi juga belum di buka. Tiba-tiba aku melihat sebuah postingan di status whatsapp, sebuah pemandangan indah yang bernama Panorama Pabangbon yang berada di daerah Bogor. Pada saat itu aku merepostnya di status whatsappku dengan caption "hayang ke sinih geh, main yuk El, Ran, Ris:((" Tiba-tiba saja langsung ada komentar yang masuk dari postinganku. Namun itu bukan dari orang yang aku ajak lewat snap whatsappku. Bukan Elina, Rania, atau Riska, tetapi dia adalah Randi yang berkomentar status whatsappku.

"Kemarin teman gua ke situ tuh."

"Iya."

"Mau ke situ emang lu?"

"Mau lah. Mumet gua di rumah aja wkwk."

"Ya udah yu."

"Ke sana?"

"Engga. Ayo tidur."

"Ih ga jelas."

"Teman gua ada yang ngajakin ke situ gara-gara kemarin dia ga ikut. Dia sama ceweknya, masa gua sendiri, sama lu dah ayo wkwk."

"Sial. Ajak Caca aja sana gih."

"Mana mau Caca sama gua."

"Yehh, belum di coba juga lu."

"Jadi mau ga nih? Kalo mau ayo."

"Kapan emang?"

"Hari Sabtu besok."

"Jemput ya jangan lupa, wkwk."

"Siap. Apa si yang engga buat ratu mah, wkwk."

Sebenarnya aku merasa sedikit kesal dengan Randi. Karena Randi mengajakku hanya karena dia tidak mau kalah dengan temannya yang membawa pasangan, tetapi tetap saja sulit untuk aku menolak ajakannya.

Aku akan pergi bersama Randi pada hari Sabtu. Sekarang adalah hari Kamis, malam Jumat. Yang artinya aku hanya mempunyai waktu sehari saja untuk mempersiapkan diri bertemu dengan Randi.

Pada hari Jumat aku membongkar seluruh isi lemariku. Aku mencari pakaian yang cocok untuk aku kenakan. Sebelumnya aku sudah mencari tahu melalui google seperti apa Panorama Pambangbon itu. Sehingga aku mempunyai bayangan, pakaian apa yang cocok aku gunakan untuk pergi kesana. Supaya aku tidak salah kostum, dan nanti justru bikin malu Randi saja.

Akhirnya aku menemukan baju yang cocok denganku setelah bertanya berulang-ulang kepada Ibuku, kakakku, dan temanku sewaktu di SMA. Aku akan menggunakan pakaian yang senyaman mungkin dengan pilihan warna yang kontras di kulitku. Di tambah dengan menggunakan cardigan berwarna abu-abu tua, dan aku menggunakan sepatu supaya nanti lebih nyaman lagi untuk berjalan.

*****

Hari Sabtu telah tiba. Hari yang telah aku tunggu-tunggu dan telah aku siapkan secara matang-matang. Randi akan menjemput ke rumahku pukul 06.00 pagi. Jarak dari Jakarta menuju Bogor sebenarnya tidak terlalu jauh, tetapi macat tidak bisa kami hindari. Sehingga kami harus berangkat lebih pagi lagi untuk menghindari macat.

Randi telah berpesan kepadaku untuk memakai helm dan masker supaya terlindungi dari debu. Aku pun menuruti perkataannya. Sekarang aku sedang menunggu kehadirannya di rumahku. Aku sebelumnya juga sudah izin kepada kedua orangtuaku, dan mereka mengizinkan.

Suara motor Randi. Ketika aku keluar, benar saja, di depan sudah ada dia. Randi masuk ke rumahku dan menemui kedua orangtuaku. Lalu dia menyalaminya sekaligus izin kepada orangtuaku, "Bu, Pak, izin ya mau ngajak Kia jalan-jalan," ucapnya kepada kedua orangtuaku.

"Iya, ke Bogor kan?" Tanya Ibuku.

"Iya Bu."

"Ya udah hati-hati ya. Jangan ngebut-ngebut naik motornya. Jagain baik-baik tuh anak kesayangan Ibu."

"Iya Bu, siap, ga bakalan ada yang lecet kok, hehe."

"Yeh, emangnya gua barang lecet," sahutku sambil memukul lengannya sedikit keras.

"Mari Bu, pamit. Assalamualaikum." Pamit Randi dan aku.

"Iya, waalaikumsllam."

Segera aku menaiki sepeda motor miliknya.

"Teman lu dimana?"

"Udah ada di pom bensin arah Bogor, dia nunggu di situ."

"Berapa teman lu?"

"Dua doang. Dia sama ceweknya."

"Berarti kita berempat doang kesana?"

"Iya lah, ga bisa ngitung lu?"

Di dalam pikiranku sekarang adalah kami sekarang berpasang-pasangan. Seperti dua pasangan yang akan menghabiskan malam Minggunya di tempat yang cukup romantis. Walaupun kenyataannya yang berpasangan hanyalah temannya, aku dan Randi tidak, hanya teman.

Randi yang memang memiliki kebiasaan mengendarai motor dengan kecepatan tinggi, sekarang dia melakukannya lagi. Padahal Ibuku sudah memperingatinya supaya tidak ngebut-ngebutan di jalan. Tetap saja, bagaikan masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Itulah pribahasa yang selalu di lontarkan oleh Ibuku ketika aku bandel tidak mendengarkan perkataannya.

"Wahh, ini nih yang namanya Kia?" Tanya teman Randi kepadaku.

"Iya. Kok lu kenal gua dah?"

"Kenal lah, Randi kan suka ceritain tentang lu ke dia."

"Masa?"

"Udah jangan GR lu. Gua ceritain keburukan lu doang, punya teman begini banget," sahut Randi memotong pembicaraanku dengan temannya. Kemudian kami pun melanjutkan perjalanan kembali.

*****

Dari pukul 06.00 sampai sekarang pukul 10.00 kami belum juga sampai ke tempat tujuan kami. Macat dimana-mana, dan matahari yang sangat terik membuat kami memutuskan untuk beristirahat sejenak di sebuah warung yang berada di pinggir jalan.

"Mau minum apa?" Tanya Randi kepadaku.

"Apa aja."

"Dasar cewek, di tanyain jawabnya apa aja. Nanti udah di beliin aja salah."

"Haha engga kok. Apa aja beneran."

"Air putih mau?"

"Boleh."

Randi memberikan sebotol air mineral dingin kepadaku.

"Eh ini buka helmnya gimana si? Ga bisa gua."

"Gitu aja ga bisa si Ki, lemah banget," ucapnya sambil kedua tangannya melepaskan kunci yang berada di helm tersebut. Wajahnya sangat dekat denganku. Lagi-lagi aku merasakan hal yang sama. Jantungku terasa berdebar begitu cepat, sampai-sampai aku takut jika Randi bisa mendengarnya.

Setelah kami beristirahat sebentar, akhirnya kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan kami. Masih sama. Di jalan masih sangat macat dan matahari yang masih setia untuk menyinari kami.

Ternyata untuk sampai ke tempat tersebut kami harus melewati tanjakan yang sangat curam. Di sebelah kanan kami terlihat jelas terdapat jurang yang sangat dalam. Jalanannya pun tidak begitu bagus. Aku sangat takut sekali. Sampai-sampai motor temannya Randi mogok di tengah jalan karena harus terus menerus harus mengngegaskan motornya untuk menanjakki gunung tersebut. Panorma Pabangbon memang terletak di atas sebuah gunung yang berada di bogor.

Akhirnya kami memutuskan untuk kembali beristirahat di sebuah gubuk karena motor mereka berdua sepertinya sudah tidak sanggup untuk memaksakan perjalanan.

Setelah pengendara motor merasa motornya sudah siap lagi untuk melalukan perjalanan, akhirnya kami semua melanjutkan perjalanan kembali yang sempat tertunda sebentar.

Akhirnya kami sampai juga di Panorama Pabangbon. Di sana sangat ramai oleh pengunjung. Mulai dari anak muda yang berpacaran, sampai Ibu-Ibu yang melalakukan perjalanan bersama teman-temannya.

Kami langsung saja memasuki tempat wisata tersebut. Hanya perlu membayar 15.000 per orang, kami dapat memasukinya kawasan wisata tersebut. Aku yang pada saat itu di bayari oleh Randi, dan temannya yang membayari ceweknya.

Kami pikir setelah membayar 15.000 tadi, semua yang ada di dalam itu free atau bebas. Mau berfoto, makan, atau yang lainnya. Ternyata salah, jika kami ingin berfoto, kami harus merogoh kantong kembali untuk membayarnya. Mulai dari 10.000 yang menggunakan kamera ponsel sendiri, sampai 20.000 jika kami menginginkan untuk di foto menggunakan kamera SLR, dan dikenakan tambahan biaya lagi sebesar 5.000 jika kami ingin mencetaknya.

"Gila, tempat buat fotonya bagus-bagus, tapi setiap mau foto harys bayar dulu 10.000. 10 kali foto aja udah 100.000. Percuma ini mah bayar masuk murah juga, sama aja," ucap teman Randi yang marah-marah. Entah dia marah ke siapa, tetapi dia terlihat hanya seperti seseorang yang sedang berbicara sendiri tanpa ada yang menanggapinya.

Di sana kami berfoto di atas perahu, di atas ayunan kain, dan masih banyak lagi tempat-tempat yang kami kunjungi untuk berfoto.

"Deketan lagi dong tetehnya," ucap seseorang petugas foto yang akan mengambil foto aku bersama Randi.

Kali ini aku banyak berfoto dengan Randi berdua. Karena selama aku dekat dengannya, jarang sekali aku berfoto bersamanya yang sebagus dan sedekat ini.

Setelah kami berfoto-foto dan merasa puas. Sore itu kami memutuskan untuk pulang ke rumah. Seperti biasa, di perjalanan kami terjebak macat. Tidak lupa juga Randi mengajak kami untuk berhenti sejenak di sebuah musola untuk melakukan ibadah.

Setelah kami selesai beribadah, kami melanjutkan perjalanan kami.

"Lu mau makan dulu ga?"

"Makan apa?"

"Apa aja. Lu maunya apa?"

"Gua ga pengen makan. Masih kenyang."

"Ohh. Es kelapa mau?"

"Mau."

"Woi, kalo ketemu tukang es kelapa berhenti dulu ya, Kia mau beli katanya." Teriak Randi kepada temannya untuk memberikan informasi jika nanti ada tukang es kelapa di jalan, kami harus berhenti.

Sambil melakukan perjalanan pulang, sembari kami mencari tukang es kelapa yang telah aku minta. Akhirnya ketemu. Kami berhenti di sana dan memesan empat gelas es kelapa muda. Di sana kami bercerita tentang diri kami masing-masing dan saling tertawa karena tingkah konyolnya Randi dan temannya itu. Aku, dan cewek temannya Randi, sebagai kaum wanita kami hanya bisa menertawakan tingkah konyol mereka berdua.

Tiba-tiba ketika kami sedang menikmati es kepala muda, datang seorang pengamen jalanan yang menghampiri kami. Pengamen itu menyanyikan sebuah lagu yang cukup terkenal. Sebuah lagu dari band ternama di Indonesia yang bernana Wali.

"Bang, saya boleh pinjam gitarnya ga?" Tanya Randi kepada pengamen itu. Ada-ada saja tingkah yang dia lakukan.

"Oh iya, boleh Bang."

Randi langsung memainkan gitarnya dengan lihai dan menyanyikan lagu Hivi yang berjudul mata ke hati. Di balas juga nyanyian tersebut oleh temannya. Suasa terasa semakin mencair dan semakin seru.

"Makasih banyak ya Bang."

"Iya Bang, sama-sama. Permisi Bang."

Aku merasa sangat bahagia sekali pada sore hari ini. Andai saja lagu yang Randi nyanyikan barusan itu untuk aku. Namun sayangnya lagu teesebut bukan untuk aku

Yang pasti lagu tersebut di maksudkan untuk Caca. Pas sekali dengan liriknya, dari mata turun ke hati.

Setelah selesai, kami melanjutkan perjalanan kembali. Kali ini tanpa berhenti di tempat manapun, tetapi langsung menuju ke rumah masing-masing. Aku akan di hantarkan pulang sampai ke rumah bersama Randi.

Awalnya aku memakai helm, tetapi karena merasa sudah tidak nyaman lagi dan merasa sudah aman, tidak ada polisi yang akan menilangnya. Aku pun melepaskan helm tersebut dan menggantungkannya di tangan kananku. Sampai pada akhirnya tanganku tersambar sebuah mobil.

"Aw."

"Kenapa Ki?" Sontak Randi langsung memberhentikan motornya ke pinggir jalan.

"Tangan gua kesambar mobil barusan."

"Mobil hitam yang di depan itu ya?"

"Iya." Tiba-tiba saja Randi mempercepat lagi kecepatan motornya dan menyusul mobil yang telah menyambar tanganku.

-TBC-