12 Desember, 19.00.
Algar melangkahkan kakinya menuju rumah makan. Beberapa saat yang lalu mamanya memanggilnya untuk makan malam bersama. Algar akan tetap ikut makan malam meskipun suasana hatinya dan mood-nya sangat tidak mendukung malam ini.
"Bang, yuk, makan!" Algar mengangguk kecil kemudian mendaratkan bokongnya di kursi yang bersampingan dengan Lidya.
Lidya terus mengoceh sambil menyiapkan makan malamnya, Lidya sempat mengajak Algar untuk berbicara, bahkan bercanda. Hanya saja Algar mengabaikan bocah kecil itu dan memilih untuk menghabiskan makan malamnya dengan cepat. Dita yang melihat itu sangat aneh, ini seperti bukan Algar saja.
"Males ah sama abang, orang lagi diajak ngobrol malah diem aja!" tandasnya. Algar hanya melirik sebentar kemudian kembali melanjutkan makan malamnya.
Dita merasa seperti ada yang aneh, wanita itu akan menanyakan pada Algar setelah makan malam berakhir, karena tidak biasanya Algar seperti ini.
10 menit kemudian makan malam berakhir. Dita meminta Algar untuk membantunya mencuci piring, tentu saja Algar setuju. Lelaki itu tidak pernah membantah perintah mamanya.
Di tengah kegiatannya, Dita mulai membuka topik pembicaraan.
"Kamu kenapa? Ada masalah?" Algar menghentikan aktivitasnya kemudian terdiam. Beberapa saat setelahnya, lelaki itu menggeleng kecil.
"Gak ada apa-apa kok, ma. Emang kenapa?" tanya balik Algar. Dita menatap putranya itu.
"Algar, mama tahu kamu sedang ada masalah. Mama ini udah ngerawat kamu dari kecil, mama tahu gimana kamu kalau lagi ada masalah. Kamu gak perlu nyembunyiin apa-aap dari mama. Kalau kamu butuh teman cerita, mama siap mendengarkan." Algar tertegun. Jadi mamanya sadar, ya? Algar tersenyum pilu.
"Andara, ma ...," lirihnya. Dita menaikkan satu alisnya.
"Andara kenapa, sayang?" Algar menguatkan hatinya untuk mengatakan ini pada mamanya. Padahal Algar ingin mamanya tahu kabar baik nanti, tapi terpaksa Algar harus mengatakan ini.
"Andara hilang di hutan, ma. Perkemahan terpaksa dibatalin karena masalah itu." Dita sedikit terkejut dari penjelasan Algar tadi. Wanita itu kemudian mengusap punggung Algar.
"Jadi itu yang ngebuat kamu kepikiran dan gak nafsu makan?" Algar mengangguk kecil.
"Al cuma takut Andara kenapa-napa. Tapi sekolah udah bertanggung jawab dan nurunin tim SAR untuk mencari Andara, ma. Al mohon doanya, ya, ma." Dita mengangguk tegas.
"Pasti, sayang. Pasti mama doakan." Algar tersenyum kecil kemudian memeluk mamanya dengan hangat.
Sekarang Algar merasa hatinya sedikit lega.
♡♡♡
Algar memarkirkan motornya di depan kediaman Rio. Sebelumnya Algar sudah mengirim pesan pada Rio dan Revan jika dirinya ingin ketiganya berkumpul sebentar di rumah Rio. Rio setuju-setuju saja karena orang tuanya belum pulang dari perjalanan bisnis mereka.
Algar membuka pintu rumah Rio dan mendapatkan Rio yang sedang bermain game.
"Mana Revan?" Rio melirik sebentar kemudian kembali berfokus pada game yang sedang ia mainkan.
"Belom sampe. Lagi di jalan kayaknya," jawab Rio membuat Algar mengangguk kemudian mendaratkan bokongnya di sofa.
"Tumben minta kumpul. Lo gak istirahat?" Algar menyandarkan punggungnya di sofa besar milik Rio.
"Gue gak bisa istirahat, gue kepikiran terus." Rio menghentikan aktivitasnya kemudian menundukkan wajahnya. Lagi-lagi ia merasa bersalah dengan kejadian itu.
"Sorry, gar." Algar menaikkan satu alisnya.
"Lo gak perlu minta maaf, yo. Ini bukan salah lo. Kita semua gak tahu kalau kejadian ini bakal terjadi." Rio kembali mendongakkan wajahnya dan menatap layar monitor yang sudah menampilkan peringatan jika Rio harus kembali mengulang gamenya, Ya, try again.
"Lo ngumpulin kita buat apa?" tanya Rio lagi.
"Main game," jawab Algar membuat Rio menaikkan satu alisnya.
"Main game doang? Anjir, gue kira ada apaan." Algar membuang napasnya berat.
"Ya mau gimana lagi, bosen. Kalo aja kita masih di hutan itu, gue pasti bakal cari Andara tanpa henti sampe gue berhasil nemuin dia." Rio terdiam. Apa yang Algar bilang itu benar, jika masih di sana, Rio juga pasti mencari Andara tanpa henti sampai ia menemukannya.
"Yang penting tim SAR udah turun. Kita tinggal nunggu kabar aja," balas Rio membuat Algar mengangguk.
Rio yang mendengar pintu rumahnya diketuk oleh seseorang langsung berdiri untuk membukakan pintu. Rio mendapatkan Revan di sana, Rio menyuruh Revan untuk masuk karena Algar juga sudah ada di dalam.
"Yo, gar. Tumben nyuruh ngumpul." Algar hanya menjawab dengan menaik turunkan kedua bahunya.
"Cuma bosen aja." Revan menaikkan satu alisnya kemudian mendaratkan bokongnya di samping Algar. Lelaki itu tahu sekali jika Algar hanya ingin mencari pelarian untuk menutupi kekesalannya atau kesedihannya.
Revan mengajak Algar bermain game sebanyak satu ronde agar mereka tidak terlalu boring. Revan menatap ponselnya dengan sangat serius, lelaki iti tidak akan kalah lagi dengan Algar. Berbeda dengan Algar yang menatap ponselnya dengan santai. Tujuan Revan juga membuat Algar sedikit melupakan masalah itu, kalau terus kepikiran juga tidak bagus.
Sementara Rio hanya menyaksikan duel kedua temannya ino. Beberapa kali Revan sering terdesak, namun lelaki itu berhasil bangkit dan mendesak Algar, begitu pun sebaliknya. Mereka tertawa sedikit demi sedikit. Rio menjadi wasit di antara keduanya dan itu membuat Revan dan Algar semakin tertawa terbahak-bahak.
"YESSS! AKHIRNYA GUE MENANG!" Revan berdiri seraya mengepalkan tangannya ke atas. Lelaki itu sangat terlihat senang karena dirinya yang bisa mengalahkan Algar, walau baru satu kali.
"Karena gue menang jadi lo harus kena hukuman, gar." Algar menaikkan satu alisnya.
"Hukuman? Apa?" tanyanya. Revan berpikir sejenak kemudian menjentikkan jarinya.
"Gimana kalo lo beliin gue sama Rio minuman? Tuh, di depan perumahannya Rio ada kios yang jualan minuman enak. Lo mau, kan? Mau lah, ya, soalnya lo kalah." Algar berdecih kemudian berdiri dari duduknya. Algar melangkahkan kakinya keluar rumah Rio untuk menjalankan hukuman yang Revan berikan padanya.
Sepeninggalan Algar, Revan menatap Rio dengan serius. Lelaki itu ingin menyampaikan sesuatu pada Rio mengenai kondisi Algar.
"Lo tahu kenapa Algar ngumpulin kita sebenernya?" Rio menaikkan satu alisnya.
"Buat main game?" Revan menggeleng kecil.
"Dia cari pelarian. Algar masih kebayang dengan kejadian itu, dia juga mikirin kemungkinan terburuknya, makanya dia banyak pikiran. Dia ngumpulin kita buat nyari pelarian dan nenangin dirinya. Dia mau kita ngehibur dia. Gue juga mau kita ngebantu dia supaya dia gak kepikiran terus, yo." Rio mengangguk paham dengan penjelasan Revan. Tidak biasanya temannya ini pintar.
"Lo liat ekspresinya tadi, kan? Dia butuh ketawa. Dia bener-bener ketawa lepas tadi. Dia butuh yang kayak gitu, yo. Dia butuh kita," lanjutnya.
"Lo bener. Kita harus bikin dia lepas dari semua beban pikirannya." Revan mengangguk. Semua ini ia lakukan demi temannya. Revan tidak ingin melihat Algar yang termenung lagi.
Mereka semua percaya jika Andara pasti kembali.