5 tahun telah berlalu.
Algar berhasil menyelesaikan kuliahnya di negeri orang selama 4 tahun. Kini Algar telah melanjutkan perusahaan Dion san mengembangkan segala bisnis dan proyek yang ada.
Algar sudah mengikhlaskan Andara sejak dirinya terbang meninggalkan tanah air. Algar kembali ke tanah airnya sebagai sarjana yang hebat, hal itu membuat Dita dan Dion bangga padanya. Algar sudah satu tahun menjabat sebagai CEO di perusahaan yang Dion titipkan padanya.
Pagi ini Algar mengendarai mobilnya menuju kantor. Algar menyapa setiap bawahannya dengan senang hati. Lelaki itu memasuki ruang kerjanya dan menatap sebuah pigura berisi seorang gadis SMA yang sedang tersenyum lebar, siapa lagi kalau bukan Andara.
Algar memang mengikhlaskannya, namun Algar tidak melupakannya. Terlalu sulit bagi Algar melupakan Andara serta seluruh kenangan manis mereka.
Algar menoleh ke arah pintu ketika sekretarisnya berdiri di ambang pintu.
"Ada apa?" tanya Algar.
"Sebuah perguruan tinggi terbaik di kota ini telah mengirimkan satu sarjana terbaiknya untuk bekerja di kantor ini, pak. Dia akan datang setelah istirahat makan siang, saya harap bapak bisa mengosongkan jadwal." Algar mengangguk paham.
"Saya kosong. Terima kasih atas pemberitahuannya," jawab Algar kemudian sekretarisnya itu pamit untuk kembali melanjutkan pekerjaannya.
Sudah biasa bagi perusahaan yang Algar pegang saat ini menerima banyak sarjana terbaik dari setiap tahunnya. Hal ini karena perusahaan keluarga Malendra sangat sukses dan disegani oleh banyak perusahaan. Algar dan Dion juga tidak keberatan menerima sarjana muda karena dengan begitu perusahaan mereka akan semakin maju dan berkembang.
Algar menatap arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Algar memilih menandatangi beberapa berkas terlebih dahulu sampai jam makan siang datang.
Tangan Algar sibuk mengurus berkas-berkas kantornya. Tiba-tiba saja ponselnya berbunyi dan nama mamanya sudah tertera di sana. Algar tersenyum kecil kemudian menekan tombol hijau untuk mengangkat panggilan Dita.
"Halo, sayang?" sapa Dita di seberang sana.
"Halo, ma."
"Kamu apa kabar?" Oh, iya, semenjak Algar sudah bekerja, lelaki itu memiliki rumahnya sendiri yang letaknya tidak terlalu jauh dari kantor. Jadi Algar sudah jarang bertemu dengan mamanya.
"Baik, ma. Mama sendiri?" Dita terkekeh.
"Baik, dong. Hari ini mama masak banyak, kamu mau mama bawain makan siang, gak?" Algar menaikkan satu alisnya.
"Boleh, tuh, ma. Kebetulan banget Al lagi gak bawa makanan."
"Oke, deh. Nanti mama ke sana ya," finalnya kemudian mematikan sambungan teleponnya.
Algar suka tertawa sendiri membayangkan mamanya yang masih menganggapnya anak kecil, tapi itu tidak apa-apa, Algar tidak akan menolak apa yang mamanya berikan, apa lagi masakannya. Algar sangat merindukan masakan Dita.
Setelah kurang lebih satu jam, akhirnya jam makan siang pun datang. Algar melemaskan kedua tangannya yang terasa sangat kaku. Tiba-tiba saja pintu ruangannya diketuk oleh seseorang.
"Masuk," ucap Algar.
Dita memasuki ruangan Algar. Putranya itu langsung menyambut dirinya dengan pelukan kemudian mencium tangannya. Dita sangat bangga pada Algar karena bisa sesukses sekarang.
"Mama bawain makanan kesukaan kamu." Algar menerima sebuah rantang makanan kemudian mempersilahkan mamanya untuk duduk.
"Makasih, ya, ma. Oh, iya, gimana kabar Lodaya yang bawel itu?" Dita tertawa karena tampaknya Algar sangat kesal dengan Lidya.
"Baik, kok. Dia juga keterima di SMA kamu dulu. Oh, iya, dia bilang hari ini mau main sama temennya sampai sore. Jadi mama di sini sampai sore gak apa-apa, kan? Di rumah gak ada siapa-siapa, bosen." Algar menaikkan satu alisnya.
"Lho? Papa kemana?" Dita menunjukkan wajah melasnya.
"Papa kamu itu pergi ke pameran mobil gak ngajak-ngajak mama, sebel banget!" Algar terkekeh kemudian memberikan Dita sesuap makanannya.
"Nih, buka mulut mama. Al suapin biar gak ngambek lagi, nanti kalau ngambek cantiknya hilang." Dita tersenyum kecil.
"Dasar anak muda."
Algar merasakan ponselnya yang bergetar di dalam saku celananya. Algar segera mengangkat telepon dari sekretarisnya itu.
"Selamat siang, pak. Tamu kita sudah datang," ucapnya di seberang sana.
"Baik. Tolong bawa dia ke ruangan saya."
Algar kembali menatap mamanya yang kelihatan kebingungan.
"Apa ada rapat dadakan?" tanya Dita. Algar menggeleng kecil kemudian menghabiskan makan siangnya.
"Sarjana terbaik dari salah satu perguruan tinggi di kota ini dikirim untuk kerja di sini," jawab Algar membuat Dita ber'oh' ria.
"Mama gak apa-apa kan di sini?" Dita tersenyum kecil.
"Gak apa-apa kok, sayang. Mama gak akan ganggu."
♡♡♡
Algar membenarkan posisi dasinya kemudian bersiap di meja kerjanya. Beberapa menit setelah itu, terdengar suara ketukan pintu. Algar langsung mempersilahkan tamunya masuk.
"Permisi, pak. Saya sarja---
Algar membulatkan kedua matanya ketika mendapatkan seseorang yang sangat membuatnya frustasi beberapa tahun yang lalu. Algar benar-benar tidak bisa mengatakan apa pun saat ini, lelaki itu hanya terdiam membeku. Begitupun dengan Dita yang sangat terkejut karena kejadian tiba-tiba ini.
Algar langsung berdiri dari duduknya dan menyambar tubuh mungil itu. Algar memeluknya. Algar mengesampingkan kenyataan bahwa Andara sudah tiada sejak 5 tahun yang lalu, yang ada di pikiran Algar saat ini adalah dirinya sangat senang karena dapat bertemu dengan Andara lagi, atau justru hanya seseorang yang mirip dengan Andara? Entahlah yang jelas Algar sangat senang.
Algar tersadar dengan perlakuan tidak sopannya terhadap tamu, lelaki itu langsung melepas pelukannya dan sedikit salah tingkah.
"Em, maaf. Kamu sangat mirip dengan seseorang yang saya ken---
"Al ... gar?" Algar tertegun.
"Kamu tahu nama saya?" Perempuan itu menutup mulutnya dengan tangan karena benar-benar tidak menyangka akan bertemu kembali dengan kekasihnya 5 tahun lalu. Perempuan itu membiarkan seluruh berkasnya terjatuh dan kembali memeluk tubuh besar Algar. Sedikit demi sedikit, air mata perempuan itu mulai turun.
"Algar ... ini gue, Andara," ucapnya lirih. Algar menggeleng kecil kemudian melepaskan pelukannya. Algar menatap perempuan itu dari atas sampai bawah.
"Andara? Lo bener-bener Andara?" Perempuan itu mengangguk kecil.
"Tapi ... Andara udah---
Algar menghentikan kalimatnya ketika Dita menyentuh bahunya. Algar menatap Dita dengan tatapan yang tidak bisa dijelaskan.
Dita sebenarnya juga tidak mengerti maksud dari semua ini. Apakah ini takdir putranya? Dita tidak menyangka jika keduanya bisa bertemu lagi setelah 5 tahun berlalu. Dita menatap perempuan di depannya yang masih sedikit terisak. Apa ada sesuatu yang terjadi 5 tahun yang lalu?
Tidak mungkin ia hanya mengaku-ngaku, kan? Pasalnya Andara tampak tak banyak berubah sejak 5 tahun yang lalu, hanya tingginya yang sedikit bertambah. Algar juga pasti sadar jika perempuan di depannya itu tidak terlalu banyak berubah dan ia memang benar-benar mirip dengan Andara 5 tahun yang lalu.
Dita terdiam sebentar memperhatikan perempuan itu. Dita membiarkan perempuan itu menangis sepuasnya sampai ia tenang. Dita berharap bisa mendengarkan cerita perempuan itu setelahnya.
"Mama paham. Biarkan dia bercerita."