19 Desember, 06.20.
Algar berpamitan kepada Dita untuk berangkat ke sekolah. Algar kemudian menaiki motornya dan menancap gasnya. Algar termenung di jalan karena ini sudah satu minggu sejak kejadian itu dan sekolah masih belum memberikan kabar apa pun.
Mungkin hari ini atau besok. Semoga saja kabar baik cepat mendatanginya. Algar sangat tidak sabar dan Algar sangat-sangat bersemangat.
Algar kembali bersekolah seperti biasa. Entah kenapa, sekolahnya tanpa Andara terasa seperti sangat berbeda, seperti saat ia belum mengenal Andara. Monoton dan biasa saja. Tidak ada yang menyapanya, tidak ada yang menunggunya di perpustakaan, tidak ada perempuan yang pemalu. Algar menghembuskan napasnya berat.
Algar sangat merindukan sosok Andara.
Setelah memarkirkan motornya, Algar langsung melangkah menuju kelasnya. Algar langsung disambut oleh Rio dan Revan yang memang selalu datang lebih cepat dari dirinya.
"Gimana, van? Udah ada kabar belom?" Jika kalian tidak tahu, Ibu Revan merupakan salah satu guru di sekolah mereka, dan Algar selalu menanyakan hal yang sama pada Revan setiap hari. Algar berharap jika Revan juga dapat memberikan kabar baik padanya, tapi nyatanya hingga hari ini tak ada satupun kabar yang kunjung datang.
"Belom, gar. Ibu gue bilang gak ada kabar apa-apa dari kepala sekolah." Algar terdiam kemudian mendaratkan bokongnya di tempat duduknya. sepertinya Algar harus lebih sabar menunggu.
"Sabar aja, gar, kita sama-sama nungguin, kok," sambung Rio. Algar mengangguk.
"Gue cuma khawatir aja. Gue punya firasat gak enak." Rio dan Revan saling bertatapan. Revan kemudian tersenyum kecil ke arah Algar dan menyentuh bahu lelaki itu.
"Lo tenang aja, gar. Semuanya pasti baik-baik saja dan Andara pasti ditemuin," jawab Revan meyakinkan Algar. Meskipun Algar merasakan ada yang mengganjal hatinya, namun Algar tetap percaya kepada teman-temannya itu.
Algar mengeluarkan sebuah buku catatannya. Lelaki itu berusaha menggambar apa yang ada di dalam kepalanya, siapa lagi kalau bukan Andara. Algar merindukannya, jadi Algar mencoba menggambarnya, siapa tahu itu akan menghilangkan rasa rindunya sedikit demi sedikit.
Senyumnya, tingkahnya, sifat pemalunya, Algar merindukan semuanya. Sampai kapan ia harus menahan rasa rindunya?
Bel masuk berbunyi dan jam pelajaran pertama dimulai seperti biasanya, tidak ada yang berbeda kecuali dengan ketidak hadiran Andara di kelas mereka.
♡♡♡
Algar melangkahkan kakinya menuju kantin. Rio dan Revan sudah mendahuluinya, jadi Algar akan menyusul kedua lelaki itu. Algar memasukkan kedua tangannya ke dalam saku kemudian lelaki itu menundukkan wajahnya.
Algar menghampiri kedua temannya kemudian memesan makanan yang mudah dimakan. Mereka bercanda dan mengobrol seperti biasa. Biasanya sehabis makan Algar langsung menghampiri Andara di perpustakaan, sayangnya Andara tidak lagi menunggunya di sana.
Algar menaikkan satu alisnya ketika ibu Revan menghampiri meja mereka bertiga.
"Algar, kamu ditunggu kepala sekolah di ruangannya." Algar tertegun kemudian mengangguk tegas. Ibu Revan pamit kemudian Algar menatap kedua temannya dengan tatapan yang sangat Antusias.
"Itu pasti kabarnya. Cepetan, lo udah gak sabar mau ketemu Andara, kan?" Algar segera menghabiskan makanannya kemudian berlari menyusuri lorong yang ramai oleh siswa.
Algar tidak mempedulikan lagi orang yang menyapanya, yang ada dipikirannya saat ini adalah ia akan segera bertemu Andara. Akhirnya, setelah satu minggu menanti.
Algar berdiri di depan ruang kepala sekolah kemudian menghembuskan napasnya, lelaki itu berusaha menenangkan dirinya.
Algar mulai mengulurkan tangannya untuk mengetuk pintu.
"Masuk," jawab kepala sekolah dari dalam.
Sekali lagi, Algar membuang napasnya agar dirinya lebih tenang kemudian membuka pintu ruangan itu. Algar berjalan dengan tenang sampai ia berdiri tepat di depan meja kerja sang kepala sekolah.
"Selamat siang, bu," sapa Algar sopan.
"Selamat siang, Algar. Pihak sekolah baru saja menerima kabar dari tim SAR yang telah menjalankan tugasnya dengan baik. Pencarian Andara sudah berlangsung selama satu minggu dan tim SAR tidak menemukan jejak apa pun. Mohon maaf sebesar-besarnya, pihak tim SAR telah menyatakan jika siswa Andara sudah berpulang ke hadapan yang maha kuasa," jelasnya. Algar membulatkan kedua matanya. Kabar apa itu? Bukan ini yang ingin ia dengar.
"Itu pasti gak bener, bu. Saya mohon tolong cari lagi, bu. Saya yakin Andara masih hidup!" Kepala sekolah berdiri dari duduknya kemudian membungkukkan badannya.
"Ibu mohon maaf, tapi kami sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menemukan Andara." Algar mengepalkan kedua tangannya kemudian berlari meninggalkan ruang kepala sekolah.
Tidak, tidak mungkin. Andara pasti masih hidup! Andara pasti masih ada di sana. Algar berlari meninggalkan sekolahnya. Lelaki itu benar-benar sudah tidak memikirkan apa pun lagi.
Algar merasakan hatinya yang berdenyut. Algar masih sangat yakin sekali jika Andara benar-benar masih hidup.
Algar menatap langit kelabu yang seakan mewakili perasaannya saat ini. Perlahan rintikkan hujan mulai membasahi dirinya, Algar masih tidak peduli dan terus berlari. Beberapa kali lelaki itu berteriak untuk melampiaskan emosi dan kesedihannya.
Algar menghentikan langkahnya ketika mendapati ponselnya yang berada di dalam saku bergetar. Algar menepi agar ponselnya tidak terkena hujan. Lelaki itu menaikkan satu alisnya ketika nama Revan muncul di sana. Algar langsung menekan tombol hijau pertanda ia menjawab panggilan Revan.
"Halo, gar?" ucap Revan di seberang sana. Algar hanya terdiam menunggu kelanjutan lelaki itu.
"Gar, gue udah denger kabarnya. Gar, lo harus---
Sebelum Revan berbicara lebih lanjut, Algar sudah terlebih dahulu mematikan sambungan telepon mereka. Algar hanya sedang tidak ingin membahas itu sekarang. Hatinya masih berduka, hatinya masih terasa nyeri.
Algar kembali melanjutkan langkahnya setelah hujan yang sudah sedikit reda. Algar memilih untuk kembali ke rumahnya, Algar sudah tidak peduli lagi dengan tas, barang-barang, atau bahkan motornya sendiri.
Setelah sampai di rumahnya, Algar langsung mengetuk pintu. Dita datang membukakan pintu dan terkejut mendapatkan penampilan Algar yang sangat berantakan.
"Ya ampun, bang. Kamu kenapa hujan-hujanan gitu?" Algar hanya terdiam kemudian memasuki rumahnya, lelaki itu langsung menerobos memasuki kamarnya meskipun tubuhnya tengah basah kuyup saat ini.
Algar menendang dan memukul meja belajarnya. Keadaan Algar benar-benar kacau saat ini.
Dita melangkah menghampiri kamar Algar. Dita sedikit terkejut karena mendengar Algar yang seperti sedang melampiaskan segala emosinya. Dita terkejut karena ia tidak pernah melihat Algar semarah ini.
Dita yang awalnya ingin menanyakan keadaan Algar, langsung mengurungkan niatnya. Dita merasa ia harus membiarkan Algar meluapkan segala emosinya. Dita tidak akan mengganggu Algar.
Dita akan kembali menanyakan keadaan Algar setelah keadaan lelaki itu sedikit tenang dan membaik. Pasti ada suatu pemicu yang membuat Algar sampai semarah ini, karena sebelumnya Algar tidak pernah menunjukkan jika ia sedang marah.
Dita kembali menuju dapur untuk melakukan tugasnya meskipun suara bising dari kamar Algar tak kunjung berhenti.