Algar menghampiri pos satpam setelah menatap punggung Andara yang semakin menjauh. Pak Bima yang melihat muka masam Algar segera menegur lelaki itu.
"Den, kenapa mukanya asem banget?" Algar menoleh dan mendengus kesal.
"Ditinggal doi, pak," jawabnya dengan muka melas. Pak Bima sedikit terkejut.
"Den Algar punya doi? Sejak kapan?"
"Baru aja, pak." Algar bersandar di pagar besar sekolahnya. Pak Bima menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Kalau cewek den Algar marah, kasih kado aja, den," tutur pak Bima membuat Algar terdiam
"Kado? Tapi kan dia gak ulang tahun, pak." Pak Bima terkekeh.
"Kan ngasih kado gak harus ulang tahun juga den, bisa buat bujuk cewek juga, biar dia gak marah lagi," jelas pak Bima.
"Bagus juga saran pak Bima, emang deh pak Bima top banget." Algar mengangkat kedua ibu jarinya tinggi-tinggi.
"Eh, tapi kado apa, pak?" pak Bima menjentikkan jarinya.
"Itu mah gampang, den. Cewek den Algar suka apa? Contohnya coklat atau boneka gitu, den." Algar mengacak surainya pelan.
Yang disukai Andara? Bahkan Algar sama sekali tidak tahu tentang gadis itu. Algar berpikir sejenak melalui apa yang sudah ia lihat dari sikap Andara.
Buku? Novel? Nice.
"Dia suka novel, pak." Pak Bima tersenyum.
"Nah, itu lebih gampang den, tinggal cari di toko buku aja." Algar mengangguk setuju.
"Makasih ya pak idenya, mumpung besok libur saya bakal mampir ke toko buku. Saya duluan, pak." Pak Bima mengangguk, Algar kemudian mengendarai motornya menuju rumah.
Sesampainya di rumah, Lidya menatap Algar yang baru saja mendaratkan bokongnya di sofa. Lidya memberikan sekantung mochi kepada Algar, membuat mata lelaki itu seketika berbinar.
"Wih, dapet duit dari mana lo?" Lida berdecih.
"Bukan urusan lo, untuk gue baik dan tidak sombong, jadi gue nepatin janji gue." Algar mengangguk dan mengambil sekantung mochi itu.
Algar melirik Lidya, sepertinya adiknya ini cukup menguasai tentang novel. Algar mencolek bahu Lidya, gadis kecil itu menaikkan kedua alisnya.
"Lo suka novel, kan?" Lidya mengangguk canggung.
"Tumben lo tanya gituan," balasnya.
"Lo mau ikut ke toko buku gak besok?" Lidya membulatkan kedua matanya.
"Hah? Lo serius? Biasanya juga lo paling ogah kalau ke toko buku." Algar membuka bungkus mochinya dan segera menyambar makanan dingin itu.
"Ya udah kalau gak---
"Iya, iya, gue mau! Tapi beliin gue satu, ya?"
"Matre!"
♡♡♡
Algar mengetuk kamar Lidya dengan kesal karena sedari tadi gadis itu belum juga keluar dari kamarnya, katanya dia akan bersiap 'sebentar.'
Algar mendengus kesal saat melihat Lidya dengan dress selututnya.
"Gue cantik, kan?" Algar berdecih malas.
"Lo jelek! Lama banget, sih! dua tahun gue nungguin lo dandan," omelnya tak tahan. Lidya menatap sinis Algar.
"Namanya juga cewek, wajar."
"Terserah lo, deh. Buruan, ntar kesiangan males gue." Algar berjalan menuju bagasi.
Setelah Lidya sudah naik ke motornya, Algar segera tancap gas menuju toko buku terdekat. Algar sedikit tidak yakin dengan genre yang Andara sukai, tapi mungkin Lidya akan tahu karena mereka sama-sama perempuan.
Setelah sampai di toko buku, Lidya segera berlari menuju rak novel-novel best seller. Algar hanya terdiam sambil mengikuti setiap langkah adiknya.
Tiba-tiba saja Lidya mengulurkan sebuah buku tebal dengan sampul berwarna putih. Algar menaikkan satu alisnya.
"Ini aja, bang," ucapnya. Algar terdiam kemudian membolak-balikkan buku tersebut.
"Ini bagus?" Lidya mengangguk dan tersenyum.
"Bagus banget, gue udah pernah baca, pasti temen lo juga suka novel ini." Algar mengangguk-angguk. Sepertinya dirinya tidak salah membawa Lidya ke sini.
"Lo mau apa?" Lidya berbinar.
"Bentar ya bang, gue cari dulu." Lidya kemudian berlari menuju rak novel yang diincarnya.
20 menit kemudian Lidya kembali dengan membawa sebuah novel di tangannya. Algar menatap dengan sinis.
"Lumutan gue nungguin lo doang," sewotnya. Lidya tersenyum manis dan memberikan novel yang dipilihnya pada Algar.
"Yang sabar ya abangku sayang." Algar berdecih.
"Manis kalau ada maunya." Algar kemudian bergegas membayar kedua novel itu dan kembali pulang ke rumah.
Algar mencium tangan Dita dengan lembut, begitu pun dengan Lidya. Dita menaikkan kedua alisnya ketika Algar membawa sebuah kantung plastik di tangannya.
"Apa itu?" Algar menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Novel ma, temen Algar ada yang ulang tahun besok," alibinya. Dita hanya mengangguk mempercayai perkataan putranya itu.
"Tadi ada temen kamu yang datang ke sini," ucap Dita membuat Algar terdiam.
"Siapa, ma?" Dita mengambil sepucuk surat, lalu memberikannya pada Algar.
"Namanya ... Tasya kalau gak salah. Dia nitip ini buat kamu." Algar menerima surat itu dengan tidak yakin.
"Makasih ya ma, kalau begitu Algar ke kamar dulu." Dita mengangguk kemudian Algar segera beranjak menuju kamarnya.
Algar membuka sepucuk surat yang dikirimkan Tasya kepadanya. Cukup aneh, karena biasanya Tasya selalu berbicara langsung padanya, tidak perlu mengirim surat seperti ini.
Algar membaca surat itu dengan perlahan. Ketika selesai membaca seluruh isi suratnya, Algar menaikkan satu alisnya.
"Jalan?" monolognya.
♡♡♡
Algar menatap arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu masih menunjukkan pukul 05.30, masih sangat pagi.
Hari ini Algar berniat memberikan kejutan kepada Andara, dengan memberikan perempuan itu sebuah novel. Persiapan Algar pun juga sudah matang, bahkan lelaki itu sudah bersiap dengan seragam sekolahnya.
Algar harus datang lebih pagi, agar tidak ada yang melihatnya. Setahunya, Andara hari ini piket dan bisa dipastikan perempuan itu juga akan datang lebih bagi untuk melaksanakan kewajibannya.
Dita yang baru saja keluar dari kamarnya menatap Algar yang sudah siap dengan perlengkapan sekolahnya, ini tidak biasa.
"Udah siap, bang? Tumben banget," tegurnya. Algar hanya mengeluarkan cengiran polosnya.
"15 menit lagi jalan, ma. Mau kasih kejutan ke yang ulang tahun." Dita segera menuju dapur untuk membuatkan Algar roti sebagai sarapannya.
Algar menghabiskan sarapannya kemudian segera mencium tangan Dita sebagai pertanda bahwa lelaki itu akan segera berangkat sekolah.
Algar memakai jaket hitamnya kemudian segera tancap gas menuju sekolah. Biasanya, jam segini belum banyak siswa yang datang, mungkin hanya beberapa siswa yang memang rajin.
Seperti dugaan Algar, sekolah masih sangat sepi.
Algar melangkah menuju kelasnya. Algar tersenyum kecil setelah melihat Andara yang sedang menyapu lantai kelasnya.
Algar menghampiri Andara dan menatap manik gelap itu.
"Gue boleh ngomong sama lo, kan?" Andara menundukkan wajahnya.
"Kita udah gak punya urusan." Algar terdiam.
"Gue masih perlu penjelasan. Kenapa lo marah dan nyuekin gue kayak gini?" tanya Algar. Andara mengeratkan genggamannya pada sapu, seolah kata-kata Tasya terus menghantui pikirannya.
"Gue emang cuek sama semua orang." Algar berdecih.
"Kemarin lo senyum!" Andara tertegun.
"Gue ..."
"Cukup basa-basinya. Lo gak bisa ngebohongin diri lo sendiri. Sekarang bilang sama gue semuanya." Andara terdiam.
Algar meraih satu tangan Andara untuk digenggamnya. Andara hanya terdiam dengan perilaku Algar, sejujurnya meninggalkan Algar sedikit membuat dirinya kesepian.
Algar memberikan sebuah tas kecil berisi kado untuk Andara. Andara menerimanya dan menatap Algar.
"Apa ini?" Algar tersenyum manis membuat Andara sedikit salah tingkah.
"Kado. Untuk lo," balasnya membuat Andara membelalakkan kedua matanya.
Andara otomatis mengembalikan tas itu ke tangan Algar. Algar menaikkan satu alisnya.
"Gue gak pantes dapet ini dari lo." Algar terdiam menunggu kelanjutan perempuan itu.
"Gue bukan perempuan yang pantes lo perlakukan dengan baik, gue perempuan kotor. Lebih baik kado itu lo berikan untuk orang yang pantes buat lo," jelasnya membuat Algar menatapnya dengan serius.
"Lo perempuan baik. Orang bodoh yang bilang lo perempuan kotor, gue percaya sama lo. Siapa pun lo, pantes atau gaknya lo, kalau gue milih lo untuk gue perlakukan dengan baik, orang lain gak ada hak untuk ngelarang gue. Camkan itu." Dan, Algar sukses membuat Andara terdiam membisu.