Algar membuka handle pintu rumahnya, lelaki itu mendapati Dion yang sedang meneguk secangkir teh sambil membaca sebuah koran di ruang tamu.
"Lho? Papa udah balik?" Dion menoleh.
"Kebetulan proyek besar baru berjalan besok, jadi hari ini istirahat dulu untuk persiapan besok." Algar mengangguk paham. Lelaki itu mendaratkan bokongnya di sofa.
Algar memijat dahinya yang terasa sedikit pening. Dion melipat kembali korannya.
"Ada masalah di sekolah?" Algar terdiam sebentar kemudian menggeleng kecil.
"Cuma masalah kecil. Urusan anak muda," jawabnya membuat Dion membuang napasnya kasar.
"Soal kuliah kamu gimana?" Algar menggeleng kecil.
"Masih belum tahu, pa. Kasih Al waktu untuk mikir lebih panjang," balasnya.
Beberapa waktu yang lalu, Dion sempat bertanya padanya mengenai Universitas yang akan Algar masuki. Dion menyarankan Algar untuk melanjutkan pendidikannya di luar negeri. Sementara Algar masih tidak yakin untuk berkuliah di luar negeri karena dirinya harus jauh dari keluarganya dan teman-temannya. Hal itulah yang membuat Algar sedikit bimbang untuk memilih kelanjutan pendidikannya.
Mungkin Algar masih membutuhkan waktu untuk berpikir lebih panjang.
"Jangan mendadak. Kamu lulus kurang dari setahun lagi, papa harap sebelum itu kamu sudah mempunyai pilihan." Algar mengangguk kecil kemudian melangkahkan kakinya memasuki kamar.
Algar memilih melupakan masalah tentang pendidikannya, tiba-tiba saja perkataan Andara melewati pikirannya. Algar melempar satu bantalnya.
Padahal, Algar sudah sangat yakin bahwa Andara akan mempercayainya. Namun sayangnya harapan Algar hilang begitu saja ketika Andara mengatakan sesuatu yang sedikit menyakitkan.
Algar mengapalkan tangannya. Sejujurnya ia juga kesal dengan rumor palsu yang menyebar itu. Jika saja ia tahu siapa yang sudah menyebarkan rumor palsu itu, Algar akan langsung menghajarnya sekarang juga.
Siapapun pelakunya, Algar akan memberinya pelajaran. Pasti.
♡♡♡
Keesokan harinya, Andara berjalan dengan wajah yang ditundukkan. Sejujurnya Andara masih memikirkan sikap Algar kemarin padanya. Apakah lelaki itu benar-benar marah padanya?
Andara memasuki kelasnya, tampaknya sudah ramai. Andara menatap Algar yang sama sekali tidak membalas kontak matanya. Sepertinya, lelaki itu benar-benar marah padanya.
Andara membuang napasnya kasar dan menghampiri tempat duduknya.
Andara membuka buku yang akan perempuan itu baca. Sesekali matanya terus melirik Algar yang sedang tertawa bersama teman-temannya.
Seandainya Algar tahu bahwa Tasya lah dalang dibalik rumor palsu itu, kira-kira apa yang akan Algar lakukan? Entahlah, mungkin lelaki itu akan marah besar.
Andara merasa bahwa ia harus menjelaskan semuanya pada Algar. Tapi, apa lelaki itu mau mendengarkan penjelasannya? Atau hanya akan dianggap sebuah omong kosong?
Lagi pula, kenapa Andara harus memikirkan Algar? Bukankah bagus jika Algar mulai menjauhi dirinya dan berhenti untuk mencampuri urusannya. Harusnya Andara senang, tapi kenapa hatinya merasa sangat gelisah?
Andara yang melihat Tasya memasuki kelasnya kembali sibuk membaca bukunya. Dasar perempuan bermuka dua. Tasya selalu bersikap sangat manis saat bersama Algar, namun menjadi sangat sadis saat bersamanya.
Perempuan itu berbahaya.
Ketika waktu istirahat datang, Andara memutuskan untuk pergi ke kantin barulah ke perpustakaan, seperti biasanya.
Andara melangkah dan tepat sekali berpapasan dengan seorang Algar Malendra. Andara mencoba menatap mata lelaki itu meskipun ada Tasya di dekatnya, dan kalian tahu apa yang dilakukan Algar? Lelaki itu menatapnya dengan tatapan yang dingin dan mengacuhkannya.
Andara menghentikan langkahnya ketika ia telah berpapasan dengan Algar dan teman-temannya. Baru pertama kali Algar menatapnya dengan tatapan seperti itu.
Apakah Algar semarah itu padanya? Apakah Andara harus menjelaskan semuanya pada Algar?
Sepertinya, Andara harus melakukannya.
Lain dengan Tasya, sepertinya perempuan itu merasa sangat puas dengan keberhasilan rencananya. Algar sama sekali tidak memedulikan Andara. Tasya melihat langsung dengan mata kepalanya bahwa Algar telah menatap Andara dengan tatapan yang sangat dingin.
Tasya mengapit lengan Algar dan lelaki itu sama sekali tidak memberontak membuat Tasya semakin berani untuk terus mendekati lelaki itu.
"Ekhem! Bisa gak, gak usah mesra-mesraan di depan umum?" tanya Rio membuat Tasya tertawa, sementara Algar hanya terdiam dengan wajah datarnya.
"Kalau mau mesra-mesraan itu inget tempat!" sambung Revan.
"Kita gak mesra-mesraan kok. Ya kan, gar?" Algar hanya melirik Tasya tanpa menjawab apa pun.
Saat ini, yang ada di pikiran Algar hanyalah Andara. Namun hatinya sangat tidak selaras dengan pikirannya. Apa yang harus Algar lakukan?
♡♡♡
Andara menoleh ke kanan dan kiri memastikan sudah tidak ada lagi siswa yang berlalu lalang. Andara sedari tadi memperhatikan Algar yang sedang menghapus papan tulis karena lelaki itu hari ini memiliki jadwal piket.
Andara menghampiri Algar yang sendirian di kelasnya.
Algar yang menyadari kedatangan seseorang langsung menoleh. Lelaki itu sedikit terkejut karena seseorang itu adalah Andara.
Algar menatap Andara dengan tatapan dingin dan wajah datarnya, seperti bukan Algar yang biasanya.
"Kenapa lo masih di sini?" Andara membalas kontak mata Algar yang sudah tidak lagi hangat seperti sedia kala. Andara berusaha terlihat tenang.
"Gue mau ngomong sesuatu sana lo," balas Andara. Algar menaikkan kedua alisnya menunggu kelanjutan perempuan itu.
"Lo tau ... tentang rumor itu, Tasya dalang semuanya." Andara menundukkan wajahnya, entahlah apa yang akan terjadi selanjutnya dengan dirinya. Apa Algar akan mempercayai perkataannya tadi?
"Maksud lo apa?" Andara meremas ujung seragamnya.
"Tasya yang udah nyuruh seseorang buat nyebarin rumor palsu itu." Algar menaikkan satu alisnya.
"Lo nuduh Tasya?" Andara sontak mendongakkan wajahnya.
"Bukan gitu maksud gue! Tolong percaya sama gue ..." Algar menarik satu sudut bibirnya.
"Percaya sama lo? Lo aja gak bisa percaya sama gue, buat apa gue percaya sama lo?" Andara terdiam membisu. Benar, dirinya saat itu sudah salah bicara.
"Gue minta maaf ... tapi tolong per---
"Stop. Kalau lo cuma mau nuduh Tasya yang gak bener lebih baik lo pergi sekarang. Tasya gak mungkin ngelakuin hal itu." Andara mengepalkan tangannya.
Baru saja Algar akan melangkahkan kakinya meninggalkan kelas, namun harus tertahan karena Andara mencekal pergelangan tangannya, hal itu membuat Algar kembali menoleh pada Andara.
Andara menatap Algar sangat lama, Andara sama sekali tidak bisa membuka mulutnya saat beradu kontak dengan lensa dingin itu. Itu bukan Algar yang ia kenal.
Algar menarik kembali tangannya kemudian meninggalkan Andara sendirian di kelas.
Andara membuang napasnya berat. Pada akhirnya ia tidak berani mengungkapkan apa pun, pada akhirnya semuanya tidak berubah. Algar tetap membencinya.
Apa Algar akan benar-benar meninggalkannya? Apa Algar akan mengingkari janjinya? Apa semuanya akan berubah secepat ini?
Andara memegangi dadanya yang bergemuruh. Jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Hanya Algar yang membuatnya seperti ini. Apa artinya ini semua?
Andara tersenyum getir.
"Karena ketika seseorang sudah kecewa, apapun yang baik akan tetap terlihat buruk."