Chereads / 12.12 | END | / Chapter 13 - Story 13 : Dia Dalangnya.

Chapter 13 - Story 13 : Dia Dalangnya.

Andara melangkahkan kakinya memasuki kelas, perempuan itu sempat berpapasan dengan Algar. Sayangnya, lelaki itu masih bersikap dingin padanya. Bagaimana pun Algar harus mengetahui kebenaran ini, bahwa Tasya sendirilah yang sudah menyebarkan rumor palsu itu.

Andara menatap Algar dan teman-temannya dari, kejauhan. Jika Algar tahu sebusuk apa Tasya, apakah lelaki itu akan membenci Tasya? Tapi Andara rasa itu hukuman yang setimpal untuk perempuan licik seperti dia.

Andara merasakan kepalanya sedikit pusing. Andara menggeleng kecil, mungkin itu hanya perasaannya.

Pelajaran pertama sampai ketiga berakhir. Bel istirahat baru saja berbunyi beberapa menit yang lalu. Andara memutuskan untuk ke perpustakaan saja, tidak ke kantin. Andara sudah muak dengan sikap palsu Tasya pada Algar. Entah kenapa ketika melihat Tasya dan Algar sangat dekat membuat Andara sedikit ... entahlah perasaan apa itu.

Seharusnya Andara tidak peduli dengan apa yang mereka lakukan. Rasanya aneh sekali, Andara merasakan detak jantungnya yang berdegup semakin kencang. Rasa panas mulai menyelimuti tubuhnya secara perlahan. Andara tidak mengerti apa yang terjadi pada tubuhnya.

Andara merasakan pandangannya mulai buram. Andara berpegangan pada tembok yang ada di dekatnya, seberusaha mungkin menjaga keseimbangannya. Dadanya mulai sesak. Andara tidak mengerti lagi dengan tubuhnya, kenapa tubuhnya selemah ini. Bukankah perempuan itu harus menjadi lebih kuat untuk menghadapi dunia yang ternyata tidak sebaik pikirannya.

Buktinya, hidup Andara berubah secara drastis hanya dalam 1 hari saja. Sangat kejam.

Andara masih berusaha menahan panas ditubuhnya. Andara kini tengah berada di lorong yang sangat sepi, Andara tidak bisa meminta bantuan siapa pun.

Andara terjatuh duduk dengan lutut yang menumpu tubuhnya. Tangannya memegangi dadanya yang terasa semakin sesak.

Dan sepersekian detik berikutnya, tubuh Andara ambruk tidak sadarkan diri.

♡♡♡

Algar masih berada di kantin dengan teman-temannya. Revan sedikit resah dengan pemandangan di depannya, di mana Tasya yang terlalu dekat dengan Algar. Begitu pun Rio, lelaki itu menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak mengerti apa yang ada di pikiran Algar.

Sejujurnya Algar tidak memedulikan Tasya yang terus menempel padanya. Entah kenapa Algar sama sekali tidak melihat Andara di kantin. Algar resah, jauh di dalam lubuk hatinya, Algar sangat penasaran apa yang dilakukan Andara saat ini. Kenapa perempuan itu selalu membuat Algar memikirkannya? Kenapa saat Algar berusaha mengabaikannya, justru perempuan itu semakin membuatnya penasaran.

"Algar, lo kenapa? Kok diem aja, sih." Algar menoleh ke arah Tasya. Algar hanya menggeleng kecil tanpa menjawab apa pun. Tasya mengepalkan tangannya, perempuan itu merasa kesal dengan sikap Algar yang sangat cuek padanya.

Kenapa Tasya tidak bisa mendapatkan apa yang ia inginkan? Kenapa semua orang selalu bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan? Kenapa Tasya tidak bisa menggenggam hati Algar? Apa karena perempuan bernama Andara itu?

"Gar, pulang sekolah luang, gak?" Algar menaikkan satu alisnya.

"Emang kenapa?" balasnya. Rio mengetuk pelan meja di depannya.

"Diajak tanding basket sama sekolah seberang." Algar terdiam sejenak.

"Gue bisa. Gas aja." Revan mengangkat ibu jarinya tinggi-tinggi.

Sepulang sekolah, Algar tidak langsung berkumpul bersama teman-temannya, Algar harus melaksanakan kewajibannya terlebih dahulu, yaitu piket. Algar menghapus papan tulis seperti biasanya, sementara Rio dan Revan bersama tim basketnya sudah menunggu di lapangan. Mereka tanding di lapangan dekat taman yang tak jauh dari sekolah.

Algar menghentikan aktivitasnya, lelaki itu menyadari sesuatu. Andara tidak ada selama jam pelajaran setelah istirahat. Algar menoleh, menyentuh bahu seorang perempuan yang sedang menyapu lantai.

"Lo liat Andara?" perempuan itu menggeleng kecil.

"Gue gak liat, tapi tadi ada siswi yang dibawa ke rumah sakit, katanya pingsan. Gue gak tahu itu Andara atau bukan," balasnya. Pingsan? Entah kenapa Algar sedikit khawatir.

Setelah selesai dengan kewajibannya, Algar bergegas menuju lapangan di dekat taman. Namun, di sebuah koridor yang sepi, Algar melihat Tasya sedang berbicara dengan seseorang.

Karena pembicaraan mereka sangat kecil, Algar memilih untuk mendekat dan menguping sebentar.

"Rumor yang lo sebarin itu sukses besar, sekarang Algar udah benci sama Andara. Gue---

"Maksud lo apa?" Tasya terdiam membatu. Tasya kenal sekali dengan suara bariton ini. Dia adalah Algar.

Algar menghampiri Tasya dan seorang perempuan lain. Algar menatap Tasya dengan tatapan elangnya.

"Gue gak salah denger, kan? Maksud lo apa?" Tasya menundukkan wajahnya, perempuan itu terbujuk kaku. Algar sudah menangkap basahnya. Apa Algar akan membencinya?

"Jawab gue, Tasya! Jadi lo dalang dibalik rumor itu?!" Tasya menutup matanya. Suara Algar sangat tinggi membuatnya sangat ketakutan.

"Bilang sama gue, apa maksud lo nyebarin rumor palsu itu?!" Tasya mendongakkan wajahnya, menatap lensa Algar yang menyiratkan kemarahannya.

"Gue cuma mau lo! Gue mau lo jadi milik gue, Algar! Gue gak mau kalah dari cewek kotor itu! Gue---

"Stop, Tas. Berhenti bilang Andara itu cewek kotor kalau nyatanya lo lebih kotor dari dia, lo cewek licik. Gue kecewa sama lo." Tasya tertegun dengan ucapan Algar.

Perempuan itu hanya bisa melihat punggung Algar yang semakin menjauh, Tasya tidak bisa berbuat apa-apa lagi.

Algar kecewa padanya, Algar membencinya sekarang.

♡♡♡

Algar mencoba menghubungi Rio sekarang. Lelaki itu tidak bisa mengikuti tanding basket, Algar harus meminta maaf dengan Andara sekarang. Algar harus menemui perempuan itu.

"Halo? Yo, gue mendadak ada urusan, cari pengganti dulu. Gue tutup ya, gue buru-buru." Sebelum Rio menjawab apa pun, Algar sudah mematikan sambungan teleponnya sepihak.

Algar menemui wali kelasnya untuk mencari informasi tentang Andara. Ternyata Andara-lah siswi yang di bawa ke rumah sakit karena pingsan. Tapi kenapa Andara pingsan? Algar sungguh sangat khawatir padanya. Algar terus berdoa semoga tidak terjadi sesuatu yang buruk pada perempuan itu.

Wali kelasnya juga memberitahunya rumah sakit mana yang merawat Andara sekarang. Tanpa pikir panjang, Algar langsung menancap gasnya untuk menemui Andara.

Algar mencari ruang rawat inap Andara. Algar menemui seorang wanita yang diyakininya adalah ibu Andara. Algar langsung menghampiri wanita itu.

"Permisi, tante. Saya teman kelasnya Andara, kalau boleh tahu bagaimana keadaan Andara, tante?" Wanita itu menatap Algar dari atas sampai bawah, kemudian tersenyum.

"Syukurlah Andara sudah memiliki teman. Saya bundanya Andara, keadaan Andara sudah baik-baik saja, walaupun belum siuman." Algar sedikit lega mendengarnya. Syukurlah tidak terjadi apa-apa.

Algar terus berbincang hangat dengan bunda Andara, lelaki itu juga bertanya tentang kejadian yang membuat Andara trauma. Meskipun bunda Andara tidak menceritakannya secara lengkap, namun Algar sudah sangat paham dengan situasinya.

Sampai pukul 21.00, Andara belum juga siuman. Algar menatap bunda Andara.

"Tante pulang aja, pasti banyak pekerjaan rumah yang belum tante selesaikan. Biar saya aja yang jagain Andara." Bunda Andara terdiam sebentar.

"Kamu sendiri tidak pulang? Gimana dengan orang tua kamu?" Algar menjentikkan jarinya.

"Tante tenang aja, gampang itu mah ...," balasnya membuat bunda Andara terkekeh. Bunda Andara sangat yakin bahwa Algar adalah lelaki yang baik. Bunda Andara berdiri.

"Kalau begitu, tante titip Andara, ya. Tante pulang dulu." Algar mengangguk. Bunda Andara pun melangkah meninggalkan rumah sakit.

Sepeninggalan bunda Andara, Algar langsung memutuskan untuk memasuki ruang rawat inap Andara. Algar menatap Andara yang masih terbujur lemas di atas bangkarnya.

Algar menggenggam tangan Andara yang sedikit terasa dingin.

"Kenapa perempuan kayak lo harus ada? Lo sangat membuat gue tertarik, lo sangat membuat gue penasaran dengan diri lo. Gue minta maaf, Andara. Gue minta maaf karena gue gak percaya sama lo waktu itu. Lo bener, Tasya dalang semuanya. Karena ego gue yang terlalu besar, gue jadi nyakitin lo waktu itu. Tolong bangun. Gue gak tahu kenapa rasanya sakit banget ngeliat lo tertidur lemah gini. Bangun, Andara, gue ada di samping lo sekarang. Gue janji, gue akan terus ada di samping lo mulai sekarang. Jadi tolong bangun, Andara."