Waktu menunjukkan pukul 16.00, itu artinya sebentar lagi bundanya akan pulang. Andara memutuskan untuk memasak makanan yang akan ia suguhkan kepada bundanya nanti.
Andara meracik bahan-bahan yang tersisa. Andara lumayan berbakat soal masak-memasak, jadi itu bukanlah masalah besar bagi Andara.
Andara memasak sambil terus tersenyum karena ia merasa cukup senang untuk hari ini. Algar, laki-laki itu adalah satu-satunya lelaki yang bisa membuat Andara tersenyum selama ini. Karena setelah kejadian itu, Andara sama sekali tidak pernah tersenyum.
Andara yang merasa mendengar ketukan pintu segera mengganti ekspresi wajahnya menjadi datar, perempuan itu menatap jam.
Seharusnya 30 menit lagi bundanya pulang, namun sudah ada yang mengetuk pintu. Apakah bundanya pulang lebih cepat hari ini?
Entahlah. Andara memutuskan untuk berlari membuka pintu rumahnya.
"Bun---
"Hai, Andara," sapa lelaki itu.
Tubuh Andara seketika gemetar. Kenapa harus wajah lelaki itu yang muncul? Kenapa dia kembali muncul di hidup Andara?
Andara segera membanting pintunya. Menguncinya. Menutup seluruh gorden dan celah di rumahnya. Perempuan itu segera berlari menuju kamarnya, untuk menenangkan dirinya.
♡♡♡
Rio mengacak kasar surainya karena lelaki itu telah mengalami kekalahan beruntun saat bermain game bersama Algar dan Revan.
Algar tertawa keras karena baginya mengalahkan Rio bukanlah suatu masalah yang besar. Jika sudah tentang game, Algar adalah masternya. Sedari kecil, ia sudah masuk ke dalam dunia game dan menguasai beberapa game yang lumayan terkenal.
"Tumben banget si Tasya gak mau gabung," celetuk Revan.
"Masih patah hati dia, bucin." Algar terkekeh.
Algar menatap ponselnya yang sudah menampilkan sebuah pesan ancaman dari nomor yang tidak dikenal.
'Jauhi Andara atau dia akan menderita.'
Algar meremas ponselnya. Apa lagi ini? Menjauhi Andara? Jelas tidak akan. Bagaimana pun juga, Algar memiliki janji dengan perempuan itu.
"Gar?" Algar tersadar dari lamunannya dan kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku celana.
Pesan itu bukan dari lelaki misterius kemarin, semuanya terlihat dari nomor ponselnya yang berbeda. Orang lain? Seseorang yang membenci Andara? Tapi, siapa?
Ancaman seperti ini tidak akan membuat Algar mundur. Algar juga sudah menyingkirkan Sera berkat bantuan Dita dan Dion, mama dan papanya.
Sera harusnya selesai. Sekarang, siapa?
"Gue duluan. Nyokap nyuruh balik." Rio terlihat kecewa.
"Kayak anak kecil aja disuruh balik," sewotnya. Algar menatap sinis Rio, sedangkan Revan tertawa.
Algar melesat menuju rumahnya. Algar mencari kontak Andara dan segera menghubungi perempuan itu. Perasaannya tidak enak.
"Halo?" Andara tidak menjawab.
"Lo gak apa-apa, kan?"
"Gue gak apa-apa," balasnya. Meskipun suaranya sangat kecil, Algar yakin mendengarnya dengan benar.
Andara langsung mematikan sambungannya secara sepihak. Algar jadi khawatir, apa perempuan itu benar-benar baik-baik saja?
Algar menatap layar ponselnya, lebih tepatnya menatap pesan ancaman itu. Algar tidak membalasnya sama sekali, lelaki itu lebih memilih mengabaikan pesan itu.
Keesokan harinya Tasya terus menempel pada Algar saat keempatnya berada di kantin. Rio dan Revan memasang muka yang sangat jahil.
"Ada berita bagus nih kayaknya," celetuk Rio. Algar menggeleng-geleng dengan kedua temannya itu.
"Bakal jadi trending nih di sekolah." Revan tertawa melihat ekspresi Algar yang sangat malas.
"Gak usah aneh-aneh. Gue gak ada apa-apa sama Tasya," balasnya spontan.
"Gak ada aneh-aneh kok nempel terus gitu." Revan melipat kedua tangannya di depan dada.
"Iya, tuh. Pasti ada sesuatu, nih," sambung Rio. Tasya hanya cengengesan tidak jelas.
Jelas ini aneh sekali. Sedari tadi Tasya terus menerus menempel padanya, tidak mau lepas. Algar jadi heran sendiri.
Algar jadi tidak bisa bertemu dengan Andara, Tasya selalu menghampirinya di mana pun ia berada. Sejujurnya, Algar sedikit jengkel. Tapi lelaki itu tidak mungkin menghajar perempuan hanya karena masalah sepele.
Sudah terlewat 2 istirahat dan Tasya masih terus seperti ini. Algar pun hari ini sama sekali belum berbicara dengan Andara.
Algar melihat Andara yang memasuki kawasan kantin. Baru saja lelaki itu akan melangkah, Tasya lebih dahulu menarik tangannya.
"Jangan ngurusin cewek itu mulu, mending sama kita di sini." Algar terdiam. Tasya benar-benar mengganggunya.
Andara melirik sebentar ke arah Algar. Perempuan itu membuang mukanya ketika melihat Tasya memeluk lengan Algar.
Andara segera berlari meninggalkan kantin. Tasya tersenyum penuh kemenangan.
♡♡♡
Lidya menatap ponselnya dengan sangat teliti. Gadis kecil itu sedang bermain game bersama Algar, saling melawan dan berusaha untuk memenangkan duel ini. Jika tidak, akan ada hukuman untuk dirinya.
Lidya merasa frustasi setelah Algar mengalahkannya sebanyak 2 kali. Lidya menarik napasnya dalam-dalam.
"Jangan seneng dulu, bang. Masih ada 3 pertandingan lagi. Gue pasti menang." Algar menarik satu sudut bibirnya.
"Coba aja kalau lo bisa ngalahin gue," balasnya penuh percaya diri. Mereka memutuskan bermain 5 ronde, 2 ronde dimenangkan oleh Algar.
Permainan masih berlanjut. Lidya berhasil memenangkan 1 ronde dan Algar 4 ronde. Itu artinya, Lidya kalah. Lidya meregangkan seluruh otot-otot tangannya, melawan Algar adalah salah satu pilihan yang salah, namun Lidya tetap mencoba dan selalu bertekad mengalahkan abangnya itu.
"Gue udah bilang apa, gue jago." Lidya berdecih.
"Itu cuma kebetulan, bang," balasnya dengn wajah mengejek.
"Terima aja kekalahan lo. Karena lo kalah, besok beliin gue mochi." Lidya mengangguk pasrah.
"Lain kali kita tanding lagi dan gue bakal ngalahin lo." Lidya meninggalkan Algar sementara Algar terkekeh dengan ucapan adiknya itu.
Di lain sisi, Andara bersama bundanya menyiapkan makan malam. Andara sudah sedikit tenang jika ada bundanya. Saat sendirian, Andara menjadi lebih was-was dengan keadaan di sekitarnya.
"Sayang? Kamu ada masalah?" Andara menggeleng kecil.
"Gak ada kok, bun. Semuanya baik-baik aja." Bundanya tersenyum bak malaikat.
"Syukurlah, bunda sangat khawatir, nak," tuturnya seraya mengusap lembut surai Andara.
"Bunda tenang aja, aku gak apa-apa kok. Sekolah aku yang sekarang jauh berbeda dengan yang dulu. Semuanya aman terkendali." Andara tersenyum.
"Bunda senang sekali mendengarnya."
"Terima kasih, bunda. Aku tau aku gak boleh terlalu larut dalam trauma." Bunda tertegun.
"Iya. Kamu benar. Bunda seneng banget denger kamu bicara seperti itu. Bunda harap di sekolah kamu yang baru bisa membuat kamu lebih tenang." Andara mengangguk kecil.
Tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar. Andara sedikit panik dan seberusaha mungkin tidak memperlihatkan kepanikannya di depan sang bunda.
"Biar aku aja yang buka, bun." Bundanya mengangguk. Andara segera melangkah. Andara membuka handle pintu dan mendapatkan seorang perempuan yang tidak terlalu ia kenal. Andara kenal dengan wajahnya, tapi tidak dengan namanya.
"Lo---
Perempuan itu tersenyum miring.
"Siapa, sayang?" bunda Andara menghampiri keduanya yang berdiri di ambang pintu rumah.
"Halo, tante. Perkenalkan saya Tasya. Saya teman Andara di sekolah."