Chereads / BOUND BY PROMISE / Chapter 29 - VANO TIDAK BERADA DI RUMAHNYA

Chapter 29 - VANO TIDAK BERADA DI RUMAHNYA

Seorang gadis sedang berteduh di sebuah bangunan kecil yang kosong dan tak berpenghuni. Seluruh tubuhnya basah kuyup dan wajahnya pun sangatlah pucat. Tidak ada yang tahu bahwa di tempat ini terdapat seseorang yang sedang membutuhkan pertolongan.

Secara perlahan ia membuka pintu sembari menatap sekitar karena takut terjadi sesuatu kepada dirinya. Hingga akhirnya gadis itu pun berhasil masuk dan melihat ada sebuah sofa yang sudah tidak layak digunakan dan berbaring di sana sembari menyilangkan kedua tangannya karena merasa kedinginan.

"Aku harus kuat, Rai pasti datang, ya, 'kan?" gumamnya dengan senyum yang dipaksakan. "Aku nggak boleh kenapa-napa sampai dia temuin aku."

Kemudian kepalanya kembali memandang ke arah sekitar dimana di sini sangatlah sepi, bahkan tidak ada satu pun cahaya yang membuat Rain benar-benar merasa waspada ketika berteduh di tempat ini.

"Aku kedinginan, Rai. Kamu dimana?" ujarnya dalam hati dengan kedua mata yang memerah. "Jemput aku, Rai, aku takut sendirian di sini."

Rain mulai merasa bahwa suasana sekitar semakin sepi dengan perasaan takutnya yang tidak karuan lantaran sudah hampir malam dan seseorang yang begitu diharapkannya datang untuk menolong pun belum juga terlihat sama sekali.

Di sisi lain saat ini seorang laki-laki sedang dalam perjalanan sendiri menggunakan kendaraan mobil. Ia berharap bahwa kekasihnya itu masih berada di sana dan belum jauh dari tempat dimana tadi dirinya meninggalkannya sendirian.

"Apa kamu masih bisa bertahan sedikit lagi, Rain? Maafin aku, semoga kamu mau maafin kesalahan aku setelah ini."

Vano dengan keadaan lebam dibagian wajahnya tetap memaksakan diri menggunakan mobil untuk pergi ke tempat tersebut dengan perasaan yang campur aduk karena takut terjadi sesuatu kepada gadis itu.

Kilasan kejadian tadi saat kedatangan Rai dan kedua temannya yang membuat Vano menjadi berpikir bahwa sebaiknya laki-laki itu sendirilah yang harus datang lebih dulu menjemput kekasihnya sebelum sahabat kecilnya tersebut menemukannya di sini.

"Nggak, nggak ada yang boleh temuin kamu selain aku sendiri. Karena kamu cuma milik aku, Rain."

Entah hal gila apa yang baru saja merasuki dirinya sampai Vano menjadi merasa bahwa hanya ia sendirilah yang berhak atas hidup dan matinya seorang gadis yang bernama Rain itu.

Tiba-tiba saja senyum smirk pun tercetak jelas diwajahnya ketika teringat dengan wajah kesal Rai terhadapnya. "Lo pikir gue akan semudah itu biarin lo tahu semuanya, hah? Nggak sama sekali. Rain itu bahagianya sama gue, bukan sama lo!"

Ketika sedang sibuk mengemudi, suara ponsel yang berdering pun terdengar sehingga membuat Vano mau tidak mau harus mengambil benda tipis tersebut yang berada di dashboard untuk memastikannya terlebih dahulu siapa yang sedang menghubunginya.

Setelah melihat nama yang tertera di layar ponselnya itu, keningnya langsung berkerut bersamaan dengan decakkan dilidah sebelum akhirnya kembali menatap jalan raya dengan kesal.

Sudah berulang kali ponsel tersebut berdering, akan tetapi tidak ada satu pun panggilan yang diterima oleh Vano karena laki-laki itu yang terus saja mengabaikannya.

Kini kedua orang tuanya yang baru saja datang pun sedang berhadapan dengan seorang wanita paruh baya yang merupakan pekerja di Rumah besar ini.

"Gimana Mas?" tanya wanita itu. Sedangkan pria tersebut yang mendengarnya pun langsung menghela nafas kemudian menggelengkan kepala dan berkata, "Vano sama sekali nggak jawab telepon dari aku."

Begitu pula dengan Bibi yang saat ini hanya bisa diam melamun dengan kepala yang menunduk karena merasa bersalah telah membiarkan anak laki-laki itu pergi begitu saja menggunakan mobil.

"Bibi, apa Vano kasih tahu kemana arah tujuannya?" tanya pria itu dengan kening yang berkerut.

Dilihatnya saat ini seorang wanita paruh baya itu yang masih saja diam dan menunduk. Tidak lama kemudian menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.

"Itu ... dia nggak kasih tahu saya sama sekali, Tuan. Ini semua salah saya, maaf."

Mama Vano yang mendengarnya pun langsung mengusap wajahnya lalu memalingkan wajah ke arah lain dengan perasaan cemas yang begitu luar biasa. "Kamu ke mana, sih, Van? Jangan bikin Mama khawatir sama kamu."

Ketika sedang memikirkan putranya itu, sebuah lengan yang melingkar membuat wanita tersebut terkejut dan menoleh ke arah samping di mana suaminya itu berada.

"Udah, ya, lebih baik kamu istirahat sekarang," jeda pria itu dengan senyum tipisnya. "Soal Vano, biar aku aja yang urus, oke?"

"Tapi Mas," ujar wanita itu menggantung ketika melihat suaminya yang menggelengkan kepala. "Aku nggak akan bisa tenang selama dia belum pulang ke Rumah."

"Iya, aku ngerti, kok. Makanya itu, 'kan, biar aku aja yang cari Vano dan kamu diam di Rumah, istirahat." Kemudian kepalanya menoleh ke arah seorang wanita paruh baya yang masih berdiam diri di hadapannya dan berkata, "Bibi, tolong antarkan istri saya ke kamarnya, ya. Buatkan dia sesuatu yang hangat dan jangan biarkan dia keluar dari dalam kamarnya."

Akhirnya wanita itu pun tidak bisa membantah perintah sang suami dan langsung berjalan menuju ke kamarnya dengan koper yang dibawakan oleh Bibi. Ia kesal, akan tetapi dirinya juga tidak bisa menentang perintah pria tersebut yang merupakan suaminya sendiri.

"Mas," panggil wanita itu yang tiba-tiba saja berhenti dan kembali menoleh ke belakang.

Pria itu yang sedang memainkan ponselnya pun langsung mendongakkan kepala dengan kedua alis yang terangkat, lalu berkata, "Hm, kenapa?" tanyanya.

"Kamu janji akan bawa Vano pulang, 'kan?"

"Iya, aku janji akan suruh anak itu untuk pulang. Sekarang udah tenang, 'kan?"

Dilihatnya saat ini seseorang yang berada di hadapannya itu pun tersenyum tipis sembari menganggukkan kepala sebelum akhirnya kembali melanjutkan langkahnya menuju ke kamar. Sedangkan pria tersebut langsung menghembuskan nafasnya dengan lega setelah melihat istrinya yang memercayainya.

"Ck, kamu itu ke mana, sih, Vano? Kamu selalu buat Mama kamu khawatir aja."

Tanpa mengganti pakaiannya, pria tersebut langsung melangkahkan kakinya keluar Rumah menggunakan mobil yang terparkir rapi di garasi. Ia akan mencarinya ke Rumah teman-temannya terlebih dahulu sebelum akhirnya dirinya memutuskan untuk mengunjungi suatu tempat.

Sepertinya terjadi sesuatu kepada putranya sehingga Vano harus keluar disaat hujan deras seperti ini, dan lebih anehnya lagi adalah laki-laki itu tidak biasanya bersikap seperti ini. Tetapi semoga saja kekhawatirannya tersebut tidaklah benar dan Vano sedang bersama teman-temannya.

Selagi dalam perjalanan menuju ke Rumah teman-temannya itu, ia sekali lagi mencoba menghubungi Vano dan dirinya berharap bahwa putranya itu akan menjawab panggilannya.

"Ayolah, Van. Kenapa kamu nggak jawab telepon Papa, sih?" gumam pria itu dengan kesal. "Kalau kamu kaya gini terus, Papa jadi curiga sama kamu. Apa jangan-jangan kamu udah berbuat kesalahan sampai kamu kaya gini sama Papa? Tapi kesalahan apa yang udah kamu perbuat, Vano?"