Chereads / Farmakologi Cinta / Chapter 29 - 29. Melipir Ke Kedai Mie

Chapter 29 - 29. Melipir Ke Kedai Mie

Si cowok menyebalkan itu sama sekali tidak mau mendengarkan perkataan Pradita sama sekali! Dengan seenaknya, Bara menarik gas sampai badan Pradita hampir terjengkang ke belakang.

Sekarang Pradita terpaksa meremas besi belakang yang hanya secuil. Tas praktek Pradita terancam jatuh jika ia tidak menjepitnya dengan baik di pahanya.

Jalanan sore itu lumayan agak macet, tapi dengan mudah Bara menyelap-nyelip kiri kanan dengan kecepatan tinggi. Pradita sudah tidak bisa tahan lagi. Ia harus mencondongkan tubuhnya ke depan supaya ia tidak terkena terpaan angin.

Jok belakang motor itu lebih tinggi daripada jok depannya. Kalau Pradita memegang bahu Bara, itu artinya ia harus memeluknya seperti bayi. Otomatis dadanya akan menempel ke punggung Bara. Gawat.

Akhirnya, mereka tiba di lampu merah. Pradita mendesah lega. Ia menenangkan debaran jantungnya yang bertalu-talu di dadanya. Jujur saja, ia takut saat Bara mengebut seperti itu.

"Bara, lu tuh gak usah ngebut-ngebut, bisa gak?!" protes Pradita sambil mengomel.

"Bisa," ujar Bara dengan nada menggoda. "Kamu mau aku pelan-pelan aja gitu, Say? Tapi, kamu harus pegangan sama aku, kalau gak nanti kamu jatuh, Say. Kan repot nanti kalau kamu jatuh, kamu bakalan malu. Sakit sih gak, tapi malunya itu loh. Diliatin orang banyak."

Pradita kesal, jadi ia menggetok helm Bara dengan buku jarinya.

"Auw!" teriak Bara. "Sakit, Sayang!"

"Sukurin! Lagian ngapain lu ngomong kayak gitu?!" bentak Pradita kesal.

"Loh, yang aku bilang kan bener dong. Kalau kamu gak mau pegangan sama aku, nanti kamu jatoh terus kamu malu sendiri. Tuh liat!" Bara menunjuk timer lampu lalu lintas yang tinggal lima detik lagi akan berubah hijau. "Udah kamu pegangan aja ya, Babe."

Tangan Bara meraba-raba ke belakang dan kemudian menarik tangan Pradita untuk memeluk pinggangnya. Pradita hendak mengelak, tapi kemudian si Bara, cowok menyebalkan yang sepertinya masih kurang digetok kepalanya itu malah menarik gas kencang.

Akhirnya, terpaksa Pradita memeluk pinggang Bara dengan erat. Tubuhnya nemplok di punggung Bara bagaikan bayi monyet raksasa. Dan saat itu … Jujur saja … Sebenarnya Pradita merasa sangat nyaman berada di punggung Bara yang hangat.

Tadinya ia hendak berontak, tapi akhirnya, Pradita menyerah. Ia pernah dibonceng Danu naik motor di komplek rumahnya saat Danu baru bisa belajar motor. Pradita tak perlu ragu untuk memeluk Danu karena ia adalah sahabatnya.

Mereka tertawa bersama dengan bebas tanpa ada rasa beban sama sekali. Saat itu, Pradita merasa nyaman, jenis nyaman yang sebatas teman saja, tak lebih dari itu.

Agak berbeda saat ia bersama dengan Bara. Ada sebuah perasaan takut di dalam diri Pradita saat ia merasa getaran aneh yang perlahan menjalari aliran darahnya. Ia tidak ingin mengkhianati Danu.

Pradita tidak bisa bersenang-senang dan nyaman bersama orang lain, ketika ia dan Danu malah sedang bermusuhan. Tidak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa ia dan Danu akan bermusuhan hingga selama ini.

Biasanya mereka hanya kesal-kesalan selama sekian jam dan setelah itu mereka bisa berbaikan lagi dan tertawa-tawa seperti yang tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya.

"Bara, kenapa lu mau ngejemput gua pulang sekolah? Emangnya lu gak cape apa?" tanya Pradita dengan nada yang biasa-biasa saja.

"Gak. Aku sih seneng-seneng aja jemput kamu. Emangnya kenapa? Kamu kan pacar aku."

Hati Pradita sungguh bergetar mendengar Bara berkata seperti itu. Ia ingin berdebat bahwa mereka sebenarnya hanya pacaran bohongan, tapi saat ini Pradita hanya ingin merasakan angin yang menerpa wajahnya.

Matahari mulai meredup. Angin di sore hari lumayan sejuk. Pradita memeluk erat tas praktek dan punggung Bara dengan erat. Cara Bara menyetir motornya tidak seperti semula. Kini, ia menyetir dengan dengan lebih santai.

Mungkin, sesuai dengan apa yang ia katakan tadi. Jika Pradita mau memeluk Bara, maka ia akan menyetir dengan lebih pelan.

"Dit, kamu laper gak?" tanya Bara di tengah suara gemuruh perut Pradita yang meraung-raung meminta sedekah nasi. "Sekarang udah setengah enam loh. Jarak menuju ke rumah kamu masih jauh. Kita makan ramen yuk. Mau gak?"

"Mau. Eh…." Pradita merapatkan mulutnya. Aduh sialan ni mulut malah bilang mau lagi.

"Oke deh."

Bara membelok ke kiri dan mereka pun melipir ke sebuah kedai mie yang berada bersebelahan dengan pujasera. Pradita melebarkan matanya. Dompetnya yang sekarat bisa kejang-kejang kalau ia makan di sini.

"Bar, kayaknya gua pulang aja deh," ujar Pradita sambil menyeringai.

Bara baru saja membuka helmnya dan kemudian merapikan rambutnya sembari menatap kaca spion. "Kenapa?" tanyanya yang kemudian menoleh ke arah Pradita.

Seketika wajah Pradita memerah menatap wajah Bara yang segar seperti yang habis mandi. Rambutnya mengkilat karena gel rambut dan wanginya … suer bikin Pradita ingin menarik napas dalam-dalam dan menghirupnya sampai paru-paru dan otaknya penuh dengan aroma Bara.

"Ehmmm … Euuuhhh … Itu…."

"Apa, Sayang?"

Pradita bisa kejang-kejang di parkiran mendengar cowok ganteng bilang sayang padanya. Iiiihhhh!! Kesel banget. Pradita jadi ingin menjambak-jambak rambutnya sendiri yang sekarang jadi lepek dan acak-acakan seperti gembel.

"A-aku … Hmmm … gua mending pulang aja deh," ucap Pradita tidak yakin.

"Kamu gak suka ramen?" tanya Bara sambil mengerutkan dahinya.

"Bu-bukan." Aduh Pradita kesal karena tiba-tiba ia jadi gagu begini. "Duit gua gak cukup, Bar. Mending gua makan di rumah aja deh."

"Loh. Aku pikir tadi kamu mau makan sama aku. Katanya kamu laper."

"Iya sih. Udah aja kita beli gorengan ato baso tahu gitu. Duit serebu cukup kan dapet empat gorengan." Pradita memasang senyum yang tampak seperti menyeringai.

"Aduh, aku pikir apa. Biar aku yang traktir," ucap Bara enteng sambil merangkul bahu Pradita dan membawanya masuk ke dalam kedai mie yang mulai ramai pengunjung.

Beberapa motor mulai memenuhi parkiran. Bara mengajar Pradita untuk duduk di meja dekat jendela.

"Kamu mau ramen yang mana?" tanya Bara sambil menunjuk menu di tangannya. "Yang original ini enak. Aku suka kuahnya gurih banget soalnya."

"Yang ini aja," kata Pradita sambil menunjuk ramen pedas.

"Aduh, aku gak suka pedes. Nanti kamu sakit perut loh."

Pradita melebarkan mulutnya. "Yah. Sayang banget. Makanan pedes itu kan nikmat. Emangnya lu gak pernah makan sambel gitu?"

"Gak deh. Aku gak suka." Bara menggelengkan kepalanya sambil menyipitkan matanya yang tampak tajam seperti elang.

"Lu harus cobain makan pedes. Gua jamin lu bakalan nagih," ucap Pradita meyakinkan Bara.

"Sama kayak kamu, nagih."

"Hah?" Pradita mengernyitkan wajahnya.

Bara tertawa-tawa. Suara tawanya kenapa malah enak didengar ya?

"Gak, gak. Aku bercanda kok. Oke ntar aku cobain ramen yang kamu ya." Bara mengangkat tangannya untuk memanggil sang pelayan restoran. Ia memesan ramen original satu dan ramen pedas satu.

Pradita melihat harga yang tertera di buku menu. Satu porsi ramen original seharga enam ribu rupiah. Pradita menelan ludah. Ia harus mengumpulkan uang angkotnya selama enam hari untuk bisa makan satu porsi ramen.