Chereads / Farmakologi Cinta / Chapter 30 - 30. Ngeramen Dulu Ah

Chapter 30 - 30. Ngeramen Dulu Ah

Astaga ini bukan ramen untuk anak SMA. Aduuuh, semoga saja saat pembayaran, Bara tidak pura-pura lupa membawa dompet. Kalau sampai hal itu terjadi, Pradita dipastikan tidak akan pulang dengan selamat. Minimal ia harus mencuci piring di sini, eh mangkok maksudnya. Ramen kan pasti makannya pakai mangkok.

Namun, jika dilihat-lihat, Bara memang berduit. Jelas laaah!! Dia kan anak orang kaya. Bara sudah bisa mencetak uangnya sendiri. Pradita jadi penasaran, Bara dibayar berapa untuk menjadi model.

Motornya saja keren begitu. Mobilnya juga mahal. Gayanya keren abis. Itu jaket kulit harganya berapa puluh ribu? Atau ratus ribu bahkan. Pradita hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Apalah arti semangkuk ramen yang cuman enam ribu rupiah bagi Bara?

Pradita jadi merasa canggung duduk bersebelahan dengan Bara seperti ini. Ia sungguh tak pantas menjadi pacar palsu Bara. Kalau sudah sampai tahap jemput-jemputan terus makan di kedai mie mahal seperti ini masih bisa disebut palsu tidak?

Untuk mengatasi rasa tertekan, Pradita mengalihkan pikirannya dengan mengedarkan pandangannya ke tempat ini. Kedai mie ini tampak sangat keren. Ada lampu kuning remang-remang yang menghiasi dinding yang digambar dengan logo kedai mie berupa sumo yang sedang melebarkan kakinya.

Meja dan kursinya terbuat dari kayu yang berwarna kalem. Terdengar lagu pop yang sedang ngehits di radio. Pradita pernah mendengar lagu itu beberapa kali, tapi ia tidak tahu siapa yang menyanyikannya. Pradita bersenandung lagu itu dengan suara pelan.

Sang pelayan restoran menyelamatkan suasana dari kebisuan yang meresahkan dengan membawakan dua buah gelas berisi es teh manis. Pradita langsung menyergap gelas itu dan memutar-mutar es batu di dalamnya hingga gulanya benar-benar larut dengan sendok.

Lalu ia menyedot tehnya dengan sedotan. Rasanya sangat manis dan menyegarkan, membasahi tenggorokan Pradita yang sejak tadi kehausan.

Bara menatapnya sambil tersenyum tipis. Entah apa cowok itu bentuk bibirnya memang selalu melengkungkan senyuman atau memang ia sedang benar-benar tersenyum pada Pradita. Hal itu membuat jantung Pradita berdebar-debar tak karuan.

Pradita sengaja melihat ke arah lain supaya ia tidak perlu terlihat canggung. Padahal saat, ini jujur saja, Pradita sedang canggung berat. Jadi ia kembali bersibuk ria dengan mengocek-ngocek lagi gelasnya yang sebenarnya tidak perlu. Ia senang saja mendengar suara es batu beradu di gelasnya.

Rasanya gugup sekali ditatap seperti itu oleh cowok asing yang baru dikenalnya beberapa kali. Senyumannya membuat es batu di gelasnya seketika meleleh.

Bara berdeham. "Dit, gimana tadi praktikumnya? Baik-baik saja?"

Pradita mengerutkan dahinya. "Baik. Emangnya kenapa?"

"Gak. Cuman nanya doang."

Tiba-tiba Pradita teringat sesuatu. "Oh iya. Labjas lu mau gua balikin sekarang apa gimana? Gua cuci dulu aja ya. Eh, besok lu ada praktikum gak?"

"Ada," jawab Bara kalem. "Udah biarin. Buat kamu aja. Aku masih ada kok labjas yang lain."

Pradita melebarkan matanya. "Buat gua? Lu yakin?"

"Ya. Kayaknya kamu sering gak bawa labjas ya. Saran aku sih mending satu kamu simpen di sekolah buat cadangan. Yang satu lagi baru kamu bawa-bawa setiap praktek. Jadi kalau pas lupa, masih ada cadangan satu lagi."

Pradita malah menatap Bara seperti orang bodoh. Ia antara mendengarkan Bara dan tidak. Fokusnya terganggu saat melihat cara Bara berbicara. Gerakan bibirnya yang tampak melengkung sempurna. Giginya berderet rapi, tidak seperti Pradita yang giginya agak berantakan di bagian bawahnya.

Apa yang melekat pada diri Bara semuanya sempurna. Wajah oke, dompet tebal, otak lumayan lah ya. Mungkin ada satu luka di dekat matanya. Pradita pernah menanyakannya pada Bara, tapi tampaknya cowok itu agak tersinggung atau memang merahasiakan sesuatu darinya.

"Kamu dengerin aku gak?" tanya Bara membuyarkan lamunannya.

"Eh? Iya denger. Makasih ya, Bar."

Bara lagi-lagi melengkungkan senyumannya yang manis. "Sama-sama ya."

"Eh, emangnya besok lu praktikum apa?"

"Besok aku praktikum tablet," jawab Bara cepat.

"Oh. Kalau udah kelas dua belas ada praktikum tablet ya?"

Bara mengangguk. "Yap. Besok juga aku baru pertama kali praktikum tablet. Gak tahu kayak apa. Pokoknya Pak Tono suruh bawa sarung tangan latex, masker, sama topi bedah. Seru kayaknya. Kita jadi kayak yang mau operasi aja."

"Wah. Asyik ya kayaknya," ujar Pradita sambil tersenyum riang.

"Ya. Pak Tono emang seru banget."

"Gua gak diajar sama Pak Tono."

"Ya. Pak Tono cuman ngajar Farmakologi anak kelas dua belas," kata Bara menjelaskan dan kemudian menyeruput teh manis miliknya tanpa sedotan.

Pradita malah menelan ludah. Ia jadi ikutan menyesap tehnya sampai tidak tahu bagaimana cara minum yang baik dan benar. Mukanya terkena sendok dan sedotan, lalu air tehnya malah tumpah mengenai kemeja dan roknya.

"Sial!" umpat Pradita.

"Aduh, Sayang. Kamu ceroboh banget sih?" Bara menarik tisu gulung banyak-banyak dan kemudian mengelap dagu Pradita.

Hal itu sontak membuat Pradita kejang-kejang sedikit. Ia buru-buru menyambar tisu itu dan mengelapnya sendiri. Astaga, betapa sulitnya untuk tidak gugup dan ceroboh setiap kali bersamaan dengan Bara.

Pradita mengusap-usap kemeja dan roknya hingga tisu itu hancur. Ia harus membersihkan roknya dari sisa tisu yang menempel.

Akhirnya, ramen pun tiba. Pradita membelalak terkejut ketika melihat porsi ramennya begitu besar dan kuahnya yang merah merona. Asapnya mengepul dan menghantarkan aroma yang sangat menggiurkan.

Pradita mencicipi kuahnya terlebih dulu dan kemudian mendecak nikmat. "Ah, enak banget."

Bara tersenyum puas. "Enak kan. Kataku juga apa. Tapi, kayaknya ramen punya kamu pedes banget deh, Yang. Kamu emangnya sekuat itu makan pedes ya?"

"Kuatlah. Ini sih pas banget. Ga pedes banget, tapi ya gak cemen juga. Cobain deh." Pradita menyendok kuah ramen itu dan menyodorkannya ke depan wajah Bara.

Bara langsung memundurkan kepalanya. "No, no, no. Aku gak suka pedes. Kamu aja."

"Lah sebagai siswa Farmasi anak Indonesia, lu itu wajib tahu rasa pedes."

"Udah tau. Dan aku gak suka. Lidahku bisa kebakar terus nanti aku sakit perut."

Pradita mendesah. "Segini doang aja gak mau cobain. Payah banget sih?"

Pradita mengedikkan bahunya dan kemudian mencapit ramen itu dengan sumpit. Ia menyeruput mie itu dengan suara berisik hingga Bara memperhatikannya. Cowok itu makan dengan cara yang jauh lebih sopan.

Nama boleh Bara, tapi cara makannya dan sikapnya sama sekali tidak barbar seperti Pradita. Ya, habis mau bagaimana lagi. Pradita sejak orok memang sudah playboy. Itu semua karena ibunya pasti menginginkan anak laki-laki. Ternyata yang brojol anak cewek lagi.

Ibunya tidak pernah memaksanya untuk mengenakan rok atau mendandaninya dengan pita-pita dan bando. Syukurlah. Pradita tidak suka benda-benda itu. Ia terpaksa mengenakan rok hanya ke sekolah saja.

Jika ia makan berdua dengan Danu di rumahnya, biasanya ia akan menaikkan sebelah kakinya seperti gaya mang becak. Jujur saja, itu adalah posisi teruwenak seantero jagat raya. Apalagi kalau makannya pake tangan. Beuh! Mantap sekali.

Namun, saat ini Pradita kan mengenakan rok. Jadi, tidak mungkin jika ia menaikkan sebelah kakinya, apalagi di hadapan Bara. Setidaknya Pradita harus tahu diri sedikit. Sedikit aja ya.