Hati Danu ketar-ketir mendengar jawaban Arini.
"Aku pikir-pikir dulu ya, Nu."
Kata-kata itu masih terngiang di telinganya bagaikan dengung nyamuk yang tiada henti menggema hingga menghasilkan bentol-bentol di pipi Danu.
Sejak tadi, Danu jadi tidak bisa tidur membayangkan perkataan Arini. Apa jangan-jangan gadis itu telah menolaknya? Waduh kacau balau dunia persilatan.
Danu bangun dari kasurnya dan kemudian berjalan ke ruang tamu untuk mencari obat nyamuk bakar. Desta yang baru saja membereskan buku-buku pelajarannya, melihatnya dan memanggil.
"Kakak lagi apa?"
"Nyari obat nyamuk. Di kamar ada nyamuk bandel banget. Kesel dari tadi ngigit mulu," keluh Danu.
Desta malah tertawa. "Itu pipi Kakak ada bentol."
"Iya ih sebel."
Danu membuka laci dan menemukan obat nyamuk bakar itu. Ia menyalakannya dengan korek api dan menaruhnya di kolong ranjangnya.
"Desta, lu gak tidur? Udah malem nih," tegur Danu.
"Ya, ni mau tidur. Baru juga beresin jurnal sama PR Fisika," kata Desta sambil menepuk bukunya di meja.
"Baguslah kalau begitu. Lu bisa ngerjainnya gak? Mau gua bantu?"
"Gak usah. Udah bisa kok. Kalo aku nyontek ke Kakak nanti aku gak pinter-pinter. Aku juga kan mau jadi juara satu kayak Kak Danu."
Danu terkekeh. "Adik gua udah gede. Ya udah kalo gitu ayo tidur, udah malem banget nih. Entar besok gak bisa bangun lagi bahaya."
"Iya, Kak."
Danu memperhatikan adiknya yang sedang memasukkan buku-buku pelajaran ke dalam tas. Lalu mereka sama-sama masuk ke dalam kamar.
Rumah Danu tidak begitu besar. Meja belajarnya dan meja belajar Desta disimpan di ruang tamu karena kamar mereka agak sempit. Danu bersyukur, meski ayahnya hanya sekedar sales obat dan ibunya seorang apoteker di sebuah rumah sakit. Ia masih memiliki keluarga yang utuh dan selalu mendukungnya.
Danu merasa bersalah pada orang tuanya karena sejak tadi ia malah terus menerus memikirkan tentang Arini dan Pradita hingga ia tidak bisa konsetrasi belajar Undang-undang Kesehatan. Syukurlah karena ia sudah mempelajarinya sejak minggu lalu, jadi sekalipun ia tidak belajar, tidak masalah.
Danu memeluk gulingnya dan memejamkan mata. Bayangan akan wajah Pradita menghantuinya. Hatinya pedih melihat Pradita bersama dengan Bara. Laki-laki itu memang berengsek. Berani-beraninya Bara merebut Pradita darinya.
Pradita memang bukan pacarnya, tapi rasa memiliki itu terlalu kuat hingga ia jadi kesal dibuatnya. Ia jadi bertanya pada dirinya sendiri, kenapa ia sebegitu cemburunya pada Pradita dan Bara?
Apakah jangan-jangan rasa sayang pada sahabat itu telah berubah menjadi sebuah perasaan yang tidak semestinya?
Lalu apa arti Arini baginya? Danu mengingatkan dirinya sendiri kalau ia baru saja menyatakan perasaannya pada Arini. Apa itu artinya semua itu bohong? Lantas, kenapa hatinya jadi cenat-cenut saat Arini berkata 'Aku pikir-pikir dulu'?
Padahal sebelumnya ia yakin sekali kalau Arini juga memiliki perasaan yang sama dengannya. Arini juga menyukainya. Apa sikapnya terlihat buruk di depan gadis itu? Apa karena kencan mereka waktu itu?
Danu tidak bisa tinggal diam melihat Pradita bersama Bara sementara dirinya sendiri malah ditolak oleh Arini. Ia akan berusaha untuk mendapatkan Arini bagaimanapun juga caranya. Ia akan membuktikan pada semua orang, pada Pradita, kalau ia bukanlah makhluk yang harus dikasihani.
Ayolah. Apakah ini adalah rasa suka yang sesungguhnya pada Arini? Ya, Danu memang menyukai Arini. Tidak ada salahnya memiliki Arini sebagai kekasihnya. Hal itu akan membuatnya tampak lebih keren dan berwibawa, sesuai dengan namanya. Danu Wibawa.
***
Setelah memaksakan dirinya terlelap semalam, Danu pun bangun dengan kepala pengar. Ia kleyeng-kleyeng masuk ke kamar mandi setelah Desta selesai mandi. Ia mengguyur kepalanya dengan air dingin supaya kepalanya tidak pusing lagi.
Selesai sarapan, Danu dan Desta sama-sama berangkat ke sekolah naik angkot. Ibunya telah memberi mereka uang jajan dan uang transportasi pulang pergi.
Danu merasa lebih bersemangat untuk pergi ke sekolah. Ia tidak boleh loyo seperti kemarin.
Meski begitu, ada sebuah perasaan kehilangan saat ia duduk di angkot. Ia mungkin akan kehilangan Pradita selamanya. Sahabatnya sejak kecil itu sudah tidak mau berteman lagi dengannya. Semua kenangan indah itu harus ia kubur dalam-dalam di hatinya.
Walaupun perih, Danu harus terus berjuang untuk kehidupannya dan masa depannya
Ia dan Desta turun dari angkot. "Kak, aku duluan ya. Aku ada praktikum pagi. Dadah."
Desta pun berlari menuju ke laboratorium resep dekat kantin. Danu berjalan sendiri dengan santai. Ia melihat jam tangannya yang baru menunjukkan jam tujuh kurang sepuluh menit. Ia masuk jam tujuh lima belas. Itu artinya ia masih mempunyai waktu lebih untuk bersantai.
Seseorang menepuk punggungnya dari belakang. Danu melirik ke bawah dan melihat rok anak farmasi. "Coy?"
"Danu!" panggil Alisha. "Lu kok kayak yang ngelamun gitu sih?"
"Hah? Gak kok, Al." Danu terkekeh hambar. "Tumben lu jam segini udah dateng."
"Lah gua kan tiap hari juga gak pernah terlambat," ucap Alisha riang. "Kita ngobrol di kantin yuk. Gua traktir batagor mau?"
"Mau dong," ucap Danu lebih bersemangat.
Mereka pun sama-sama berjalan menuju ke kantin. Suasana di sana masih sepi. Alisha membeli dua plastik batagor dan mereka pun duduk di kursi yang kosong dekat jendela.
"Nu, lu sama Dita kenapa sih? Gua denger dari Ayuna katanya lu sama dia marahan," kata Alisha sambil mengunyah batagor.
"Oh. Yah, gitu lah. Dia mah sekarang udah gak mau temenan lagi sama gua. Heran. Biasanya dia gak pernah bersikap kayak gitu. Dia lebih seneng maen sama si Bara. Eh, lu tau gak, sekarang si Pradita sama Bara udah pacaran. Gila kan."
Alisha terkekeh. "Lu gak salah ngomong? Masa sih si Dita sama Bara pacaran? Salah kali."
"Eh, beneran, Al," ucap Danu tak sabar. "Gua denger sendiri langsung dari mulut mereka. Si Bara nyebut Pradita 'sayang' gitu. Jijik gua dengernya. Anjrit lah masa di sekolah pake acara sayang-sayangan segala? Norak banget."
Alisha terkekeh. "Kok gua liatnya lu kayak yang cemburu gitu ya?"
"Gak lah. Ngapain gua cemburu. Gua kan sukanya sama Arini. Lu tau kan kalo gua sama Pradita itu cuman temenan doang."
"Halah." Alisha menoyor kepala Danu. "Lu kalo sama gua gak usah sok-sok an lah. Jujur sama gua. Lu suka ya sama Dita?"
"Gak!" bantah Danu keras.
"Wah jawabnya aja gak santai gitu." Alisha menyipitkan matanya.
Danu jadi merasa sulit menelan batagor di tenggorokannya. "Sori, Al. Gua gak maksud bentak lu, tapi gua sama Pradita gak ada perasaan gimana-gimana."
"Terus kenapa lu sampe cemburu gitu? Coba jelasin ke gua," tuntut Alisha.