Tampaknya cara makan Pradita yang barbar membuat Bara jadi tergiur.
"Emang gak pedes, Yang?"
Aduh si Bara masih saja memanggilnya 'yang'. Yang yang digoyang aja terus sampai pegal pinggangnya.
"Gak. Makanya cobain. Mau gak?"
Pradita kembali menyodorkan sendoknya, tapi Bara memilih untuk menggunakan sendoknya sendiri.
"Dikit aja ya," ucapnya sambil ragu-ragu memasukkan sendok itu ke mulutnya.
Akhirnya, Bara mencoba kuah pedas itu. Awalnya ia tampak biasa-biasa saja. Lama kelamaan Bara terbatuk dan buru-buru meminum tehnya. Ia mengipasi wajahnya yang tampak kemerahan.
Pradita malah tertawa di atas penderitaan Bara. "Muka lu itu! Aduh!"
Lalu, si Pradita yang kurang ajar akhirnya kena kualat. Sekarang, giliran ia yang terbatuk-batuk karena tersedak air liur sendiri. Bara jadi ikut tertawa meski ia sendiri masih berusaha untuk menarik napas.
"Kamu sih ngetawain aku. Jadi aja sekarang kamu kena kan."
Pradita mengambil tehnya dan meneguknya banyak-banyak. "Ah, buset dah. Perih kena tenggorokan gua, tapi biarin aja. Yang penting enak."
Pradita melanjutkan menyumpit ramennya dan kemudian menyeruputnya lagi hingga kuahnya menyiprat terkena meja. Bara terkekeh dan kemudian mengikuti cara makan Pradita yang barbar.
"Lu mau cobain lagi gak ramen yang punya gua?" tawar Pradita sambil mendorong mangkuknya. Ia menarik napas dengan mulutnya untuk meredakan pedas yang semakin lama semakin membuat bibirnya jontor.
"Gak. Makasih," tolak Bara cepat-cepat. "Aku makan yang original aja."
"Yah, gak seru ah."
"Biarin aja. Daripada nanti aku kepedesan terus sakit perut. Nanti besok aku gak akan sekolah. Memangnya kamu mau tanggung jawab?" Bara mengangkat sebelah alisnya.
Pradita terkekeh. "Kok jadi gua yang tanggung jawab?"
"Kan kamu yang nawarin ramen pedes itu ke aku." Bara pun ikut tertawa.
"Gak lah. Lu mah segitu doang gak akan sakit perut. Cetek itu mah." Pradita menggerakkan jarinya seperti yang sedang menyentil sesuatu.
Pradita dan Bara melanjutkan makan ramen dalam diam. Pradita jadi teringat saat ia dan Bara pernah makan di Café Hopefully. Saat itu perasaan Pradita begitu santai dan nyaman bersama dengannya. Kini, status mereka naik jadi pacaran.
Jujur saja, perasaan Pradita masih campur aduk mengenai status itu. Ia ingin meluruskan hal ini dengan Bara, tapi tiba-tiba hati kecilnya menyuruhnya untuk diam. Biarkan saja hubungan mereka tetap seperti ini.
Pradita senang bersama dengan Bara, bercanda, dan bahkan beradu argumen dengan cowok itu. Namun, ia pun tidak sampai sebegitu percaya dirinya hingga berani menganggap Bara sebagai kekasihnya yang sesungguhnya.
Seperti kata Bara, mereka hanya pura-pura pacaran.
"Bara," panggil Pradita.
"Apa, Yang?" tanya Bara sambil mendongak.
Tatapan matanya membuat Pradita jadi sulit untuk bernapas dengan benar. Nyaris saja ia tersedak mie ramen.
'Gak bisa apa liatinnya biasa aja gitu?' batin Pradita.
"Ada apa?" ulang Bara dengan nada yang lembut, membuat Pradita duk-duk ser. Tarik napas dalam-dalam.
"Gua cuman … uhm … Kenapa sih lu kalo ngomong aku kamu gitu? Gua jadi gak enak gitu. Apa gua yang gak sopan apa gimana?"
Bara menautkan alisnya dan kemudian terkekeh. "Ya, buat aku sih lebih enak ngomong aku kamu. Nyaman aja gitu. Emangnya kenapa? Kamu gak suka?"
"Bukan. Ya, geli aja gitu. Gua kan gak biasa ngomong kayak gitu sama temen."
"Kita kan bukan temen," ucap Bara blak-blakan.
Hati Pradita merasa antara senang atau malah sakit hati ya? Jadi bingung. Memangnya kalau bukan teman, lalu apa? Musuh?
"Eh, Say. Sekarang udah jam enam. Kamu emangnya gak akan dicariin sama mamah kamu?"
Pradita menyeringai. "Kan lu yang ngajak gua makan ke sini. Gimana sih? Gua pikir juga tadi langsung pulang aja."
Bara tersenyum. "Maksud aku, kamu telepon mamah kamu. Kasih tau kalo kamu lagi makan dulu sama aku di sini, supaya mamah kamu gak khawatir gitu."
"Oh."
Pradita mendeham. Ia malu sekali telah menuduh Bara yang tidak enak. Jadi, ia mengeluarkan ponsel dari saku roknya dan terkejut ketika melihat ada tiga telepon masuk dan ia tidak menyadarinya.
Itu adalah telepon dari rumah. Gawat. Ibu dan ayahnya pasti mencarinya. Sebelum menelepon, Pradita mengecek pulsanya dulu.
"Kenapa, Yang?"
"Kayaknya mamah gua telepon nih."
"Ya udah, kamu telepon balik aja," saran Bara enteng.
"Ya, gua kan musti cek pulsa dulu. Ngeri kalo sampe jebol. Mamah gua ngejatah pulsa gua sebulan maksimal dua puluh rebu. Kemaren-kemaren ini gua SMS-an sama Alisha berapa kali?"
Bara mendesah. "SMS kan cuman tiga ratus lima puluh perak."
"Ya, tetep aja gua kan musti berhemat. Pulsa gua cuman serebu lima ratus. Bisa mati di tengah jalan nih teleponnya. Gua musti cari telepon umum dulu nih. Kalo gak salah deket kantor pos ada telepon koin."
Bara mengeluarkan ponselnya. "Nih pake HP aku aja."
Pradita membelalak saat melihat ponsel Bara; Nooki N-Gage. Pradita seketika menelan ludah. Memang pada dasarnya Bara adalah anak orkay, ponselnya pun yang harga mahal. Pradita sendiri bingung bagaimana cara menggunakannya.
"Ayo, pake aja. Pulsaku banyak kok."
"Hmmm … pamer," gumam Pradita.
Pradita menerima ponsel itu sambil melebarkan matanya. Ia meraba ponsel mulus itu dan terkesima luar biasa. Apalah dirinya dibandingkan dengan Bara yang banyak duit.
"Hah? Apa?"
"Gak. Uhm, beneran nih gua boleh pinjem HP lu?" Pradita nyengir sambil ragu-ragu menggunakan ponsel Bara.
"Iya, dari tadi kan aku bilang suruh kamu pake aja."
"Ya udah. Gua telepon dulu ya."
Pradita memasukkan nomor telepon rumahnya dan kemudian meletakkan ponsel mewah itu ke kupingnya. Rasanya aneh menaruh Nooki N-Gage ke kuping. Selain karena badannya tebal, ponsel itu lebih cocok untuk dijadikan stik PS.
Terdengar nada sambung. "Halo, Mah?"
"Dita? Udah jam segini kamu gak pulang-pulang? Pergi pagi, pulang malem. Kamu ini gimana sih? Maen-maen melulu! Kamu ada di mana sih? Buruan pulang sekarang!"
Pradita menjauhkan ponsel Bara sedikit karena suara ibunya amat sangat stereo hingga kuping Pradita nyaris coplok. "Iya, Mah iya. Dita lagi makan mie sama temen. Sekarang juga mau pulang."
"Oh. Makan mie di mana?"
"Di deket Jalan Cihejo."
"Oh, tumben kamu makan mie. Entar bungkus dong bawa pulang. Mamah mau mie ayam ya. Sambelnya dipisah aja."
Pradita mengernyitkan wajahnya. Ibunya malah menitip mie. "Di sini bukan tukang mie ayam, Mah. Ini mah ramen Jepang yang terkenal itu loh."
"Oh. Ramen apaan?"
"Ya, mie gitu lah. Udah ya, Mah."
"Eh, bentar. Kamu makan mie sama siapa? Alisha? Danu?"
"Mah, udah ya entar pulsanya abis. Dadah," kilah Pradita.
Belum sempat mendengar jawaban ibunya, Pradita buru-buru menutup teleponnya dan menyerahkannya pada Bara. "Makasih."