"Dendam adalah sesuatu yang sia-sia dan orang yang mendendam tidak akan tenang hidupnya."
๐*๐*๐
Setelah praktik bersama Dokter Muda dari Rumah Sakit Kasih Bunda selesai, Nisa sudah duduk lega di kantin kampus.
Dia memesan semangkuk mie bakso dan teh botol. Melahapnya dengan pelan tapi pasti. Sesekali pandangannya tertuju pada lapangan di tengah kampus.
Seorang perempuan berambut panjang terikat membawa segelas minuman dingin duduk di sebelahnya. Monica Sesa. Sahabat sekaligus rivalnya.
"Eh Nis.. Kamu tahu nggak, tadi itu aku ketemu dokter muda yang gantengnya luaaaaar biasa" celoteh Monica.
"Kinclong mulus.. Duh idaman banget" dia cengar-cengir tak jelas.
"Terus katanya kita ada dosen baru. Cowok, ganteng, masih muda lagi, kalo nggak salah dia mulai masuk minggu depan. Sayangnya dia di Fakultas Teknik." katanya lagi dengan menyayangkan.
Nisa yang sudah tidak tahan dengan celotehan itu langsung membentaknya.
"Heh kerupuk warteg bisa diam nggak. Keselak, mati nih aku".
Monica terkejut dengan cemberut dia berkata "Dih jahatnya".
"Makanya diam.. Makan sana makan." balasnya.
Diakuinya bahwa dia juga sama. Tetapi dia paling tidak suka diajak bicara saat makan.
Akhirnya Monica mengalah dan memilih untuk menikmati minumannya. Selepas makan mereka kembali menuju kelas yang berada di gedung seberang melewati parkiran.
Matanya menangkap sesuatu yang tidak asing. Seorang perempuan berjilbab panjang dan seorang laki-laki berkacamata. Pandangannya tertuju pada laki-laki berkacamata tersebut.
Dia sempat menghentikan langkahnya. Sementara itu yang ditatap seolah merasakan dan menoleh ke arahnya. Matanya membelalak kaget seolah telah melihat makhluk gaib.
Monica yang berada di sampingnya merasa aneh serta sedikit takut, "Nisaa. Sa? Halo Sa? Kamu kenapa? Jangan bikin aku takut dong. kamu nggak kesambet kan".
Kemudian menggoyangkan badannya.
Laki-laki itu berjalan mendatanginya. Secepat kilat Nisa berbalik badan dan berjalan setengah berlari. Monica mencoba menyelaraskan diri.
"Nisa.. Kamu kenapa.. Ada apa"
"Khairunnisa Imani" teriak laki-laki tersebut.
Monica kaget bagaimana bisa laki-laki tersebut tahu nama sahabatnya. Yang di panggil justru semakin menjauh.
"Nisaaaa." teriak laki-laki tersebut hendak berlari.
Sebelum akhirnya perempuan di samping tadi menahannya.
"Kenapa kak?" tanya perempuan itu.
"Oh nggak apa-apa.. Mungkin salah orang" jawabnya
"Ya sudah ayo pulang. Kakak tadi bukannya ada seminar ya hari ini?"
"Astagfirullah iya lupa. Ya sudah ayo"
Mereka kemudian pergi.
-
Saat jam istirahat kantor, Tiwi menyempatkan waktu datang ke sebuah toko buku. Dia ingin membeli beberapa buku dan komik. Sesampainya di kasir dia membayar dan kemudian pergi.
Saat sudah berjalan menuju parkiran tiba-tiba seseorang memanggilnya.
"Pratiwi Aliza.. Tiwi?"
Seseorang tersebut sudah berdiri tepat di depannya seolah sengaja mencegat.
"Pratiwi Aliza. Tiwi, ini kamu kan?" tanya laki-laki tersebut.
Tiwi sedikit tersentak. Suara ini cukup familiar dalam ingatan. Ragu menebak dia memberanikan diri menatap.
Seorang laki-laki berkacamata. Alis tebal menghitam, senyum tipis yang khas. Mata cokelat penuh kemisteriusan. Terlihat berdiri seraya tersenyum senang.
"Alhamdulillah. Akhirnya. Benar ini kamu" kata laki-laki tersebut.
Tiwi membuang pandangan. Dia tidak suka. Sangat tidak suka. Apa yang sudah dilakukan oleh orang ini benar-benar merubah sudut pandangnya.
Benci tentu saja. Dendam dia tidak bisa. Karena bagaimana pun Asyifa selalu memberikan nasehat bahwa dendam adalah sesuatu yang sia-sia dan orang yang mendendam tidak akan tenang hidupnya.
Tiwi mencoba mengatur mimik wajahnya agar tidak terlihat marah. "Kak Fatih..".
Fatih Rayyan. Seseorang yang pernah menjadi bagian dari kehidupan Asyifa yang berhasil merubahnya dan semua yang berada dalam lingkaran hidupnya.
"Apa kabar?" tanya Fatih.
"Alhamdulilah baik.." jawabnya.
Hening. Terik matahari menyinari mereka yang tengah berdiri tersebut.
"Cahya dan Salsa apa kabar?"
"Baik juga" jawabnya singkat.
Sejujurnya dia tidak ingin berbicara dengan Fatih. Sangat tidak ingin. Dia merasa seperti sebentar lagi akan terbakar.
"Ekhem.. Kalau Ifa? Dia baik-baik saja kan?" tanya Fatih kembali.
"Baik-baik saja katamu. Dasar cowok bego, justru dia nggak baik sampai sekarang. Semua karena kamu." Batinnya memberontak memaki.
Ingin sekali rasanya menonjok laki-laki ini. Sudah menyakiti tetapi masih bertanya seperti begitu. Hati kecilnya sudah mati atau bagaimana. Dia benar-benar sudah tidak tahan lagi. Daripada kelepasan lebih baik dia pergi saja dari sini.
"Dia baik-baik saja jauh sebelum mengenal kamu, tapi sekarang nggak. Kamu mempersulit jalan hidupnya" sarkasnya.
Fatih terdiam seribu bahasa mencerna maksud kalimat sarkasme tersebut. Dia merasa hari ini benar-benar aneh.
"Oh iya satu lagi Bapak Fatih Rayyan yang terhormat. Tolong jangan panggil dia Ifa lagi dan kalau bisa menghilang saja deh dari dunia ini". Sindir Tiwi melenggang pergi meninggalkan Fatih yang mematung.
Fatih masih mematung cukup lama. Dia tidak mengerti dengan semua yang terjadi hari ini. Mulai dari melihat seseorang yang mirip dengan Nisa sampai bertemu dengan Tiwi.
Masih terngiang jelas kata-kata tersebut.
*
"Dia baik-baik saja jauh sebelum mengenal kamu, tapi sekarang nggak. Kamu mempersulit jalan hidupnya"
"Oh iya satu lagi Bapak Fatih Rayyan yang terhormat. Tolong jangan panggil dia Ifa lagi dan kalau bisa menghilang saja deh dari dunia ini"
*
Sesuatu seperti terbakar terasa dari dalam dadanya. Perih, sedikit nyeri. Namun pikirannya menolak keras. Apa sebenarnya yang sudah dilakukannya. Beku dingin padahal matahari sedang terik-teriknya. Yang terbakar justru dalam dirinya.
Fatih kacau senyum bahagia kini berubah pekat. Masih dengan pertanyaan yang sama. Apa yang sudah dilakukannya.
Sekian lama termenung, dia mengalihkan pandangan pada toko buku tersebut. Mengapa niat baiknya untuk menyambung silaturahmi yang sempat terputus malah berbuah masam.
-
Sebelum kembali ke kantor Cahya menjemput Salsa dari rumah sakit dan mengantarnya pulang. Siang hari terasa menyengat mengharuskan mereka menepi di pinggir jalan untuk minum es kelapa muda.
"Emangnya dia sakit apa Sal?" tanya Cahya sambil mengaduk es kepala mudanya.
"Biasalah anak kecil. Tipes" jawab Salsa.
"Eh Sal, Bajunya warna apa? Mau dong liat contohnya"
"Seragam aja ya, Hijau zamrud. Daripada kita beda-beda warna"
Salsa mengambil ponsel dari dalam tasnya. Dia memperlihatkan beberapa model baju.
Selepas Azan Zuhur berkumandang tiba-tiba saja ponsel Salsa berbunyi.
"Halo.. Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumsalam.. Iya kenapa Wi?"
"Kamu di mana? Masih di RS?"
"Udah nggak, kenapa?"
"Shareloct. Aku kesana skarang"
"Ok"
Cahya menatapnya dan bertanya "Kenapa Sal?"
Salsa mengangkat bahunya "Nggak tau. Pokoknya dia mau kesini"
Beberapa saat kemudian sebuah mobil taksi berhenti di depan mereka. Tiwi keluar dari mobil tersebut. Salsa dan Cahya memandangnya bingung. Wajahnya terlihat memerah.
"Kamu kenapa sih Wi? Muka kamu tuh kayak mau meledak aja" Cahya memberikannya tempat duduk.
"Tadinya aku mau langsung pulang saja. Tapi aku nggak bisa menahan ini sendirian" dia terlihat kesal.
"Apa sih? Kenapa? Cerita.. Cerita.." Salsa menatapnya serius.
"Tadi aku ketemu makhluk gaib di parkiran toko buku. Itu manusia kenapa masih hidup sih. Ya nggak harus mati juga sih, ya seenggaknya menghilang saja dari dunia ini. Kenapa juga harus ketemu sama dia. Ih" jelasnya dengan berapi-api.
"Istigfar Tiwi. Istigfar. Nggak baik loh. Nih minum dulu" Salsa memberikannya segelas es kelapa muda.
"Lagian siapa sih makhluk gaib itu?" tanya Cahya penasaran.
Tiwi mencoba meredam amarahnya. Dia beristigfar sebanyak mungkin sambil mengelus dadanya. Dia tersadar bahwa sedari tadi setan tertawa penuh kemenangan karena berhasil menghasutnya. Dia bahkan lupa dengan sebuah hadist.
"Orang yang kuat bukanlah dengan bergulat, namun orang yang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah." (HR. Bukhari dan Muslim).
Dia meneguk pelan minuman tersebut. Rasanya seperti sedang berada di gurun pasir. Tandus dan kering. Kemudian berubah menjadi segar dan sejuk saat minuman tersebut melewati kerongkongannya.
Setelah dirasanya tenang. Akhirnya dia membuka suara, "Fatih Rayyan".
Salsa dan Cahya yang saat itu sedang minum langsung tersedak bersamaan. Mereka terbatuk-batuk akibat mendengar nama tersebut. Tiwi panik melihat kedua sahabatnya.
Di tepuknya pelan punggung mereka bergantian. "Oy.. Jangan bikin panik dong. Aduh, kalian ini kenapa sih"
"Aduh.. Hampir aja mati aku.. Ekhu.. Ekhu" kata Cahya dengan sisa-sisa batuknya..
"Ya Allah.. Ekhu.. Ekhuu" Salsa menepuk-nepuk dadanya.
Beberapa saat kemudian semua kembali membaik. Mereka bertiga termenung menatap jalanan dan gerobak es kelapa muda tersebut.
"Kamu serius?" tanya Cahya.
Mereka saling berpandangan.
"Iya" jawabnya tegas.
"Terus dia bilang apa?" tanya mereka.
Tiwi menceritakan kembali kronologis kejadian tersebut.
"Asyifa nggak boleh tau. Pokoknya nggak" tegas Cahya yang dibalas anggukan dari mereka.
"Syukurlah dia nggak sampai minta nomor kita lagi" lirih Salsa
"Nggak bakal aku kasi."
"Nggak terasa ya sudah enam tahun saja" celetuk Cahya yang masih memandang gerobak di depannya.
Mereka masih tidak percaya dengan apa yang terjadi hari ini. Rasanya enam tahun bukan waktu yang cepat untuk melupakan seseorang. Terlebih jika orang itu meninggalkan kesan buruk sebelum pergi. Tentu saja, kembalinya bukan suatu yang diharapkan.
๐****๐