Chereads / Takdir Telah Menyapa / Chapter 7 - Cahaya Dalam Kegelapan

Chapter 7 - Cahaya Dalam Kegelapan

"Kita tidak bisa memprediksi apa yang akan terjadi bahkan dalam semenit ke depan. Karena hal tersebut berada di luar kendali kita sebagai manusia."

๐Ÿ’™*๐Ÿ’™*๐Ÿ’™

Alif sudah kembali ke ruangannya dengan membawa Lily. Beberapa karyawan yang tadi sempat ada di tempat kejadian perkara menatapnya sambil saling berbisik. Sebentar lagi pasti akan ada gosip yang menyebar. Dia hanya bisa menghela napas. Ini sudah sering terjadi, jadi rasanya tidak perlu terkejut lagi.

Beberapa menit kemudian Randi datang. Lily menyambutnya dengan sebuah pelukan.

Dia mengelus kepalanya lembut dan meminta maaf "Maafkan uncle ya".

Lily membalasnya dengan tawa "It`s okey, uncle.".

"Ya sudah, mari kita pulang" ajaknya yang sudah menggandeng tangan Lily.

Lily melihat ke arah Alif sebentar kemudian melihatnya. Seperti ada yang hendak dikatakan namun tak bisa.

Dia kemudian menjelaskan "Lily pulang bareng uncle Randi ya. Karena uncle Alif masih ada urusan sebentar."

Lily memasang wajah cemberut.

Antoni menimpali, "Uncle Alif nggak akan lama kok sayang".

Alif mengangkatnya dalam pelukan. Dia kemudian menawarkan sesuatu, "Uncle janji deh, selepas ini akan menemani Lily kemanapun Lily mau. Bagaimana?"

Mata Lily berubah menjadi berbinar-binar. Tawaran yang tidak bisa dilewatkannya. Mengingat dia ingin sekali pergi ke pasar malam bersama ayahnya. Akhirnya dengan senyum merekah dia menganggukkan kepala tanda setuju. Kemudian meminta Alif mengaitkan jari kelingkingnya sebagai tanda janji.

"Plomise?" serunya.

"Promise" balas Alif.

-

Sesampainya di rumah Asyifa masih merasa malu dengan apa yang terjadi hari ini. Sepertinya satu sama untuk mereka berdua. Sesaat setelah magrib, Nisa pulang bersama Monica.

Nisa sudah duduk disampingnya dan meminta izin, "Kak, hari ini Nisa menginap di rumah Monica ya?"

Asyifa menatapnya sebentar kemudian berdiri menuju kamarnya. Sesaat kemudian dia sudah kembali dengan sebuah tas besar. Baik Monica maupun Nisa tidak tahu apa maksudnya.

Dia melemparkan tas itu ke arah Nisa "Nih. Cukup untuk seminggu".

Monica menahan tawa sedangkan Nisa berteriak, "Kakaaaaaak".

Dia berjalan santai menuju dapur membuka kulkas dan mengambil sesuatu dari sana. Kemudian dia melemparkannya kembali ke arah Nisa. "Ini. Biar bisa hemat uang".

Monica tak kuat lagi menahan tawa. Sedangkan Nisa terlihat kesal dengan apa yang dilakukan kakaknya. Dia merasa seperti seorang adik yang diusir dari rumah.

Merasa sudah sangat kesal dia pun kembali berteriak, "Apa lagi. Lempar semuanya, Lempar!"

Mendengar hal tersebut Monica tertawa lepas. Sungguh ini bukan kali pertama Nisa di usir dari rumah. Hanya saja untuk kali ini rasanya sudah terlalu berlebihan. Asyifa menyiapkan semuanya dengan matang. Seolah kali ini dia benar-benar mengusir adiknya.

"Mau tunggu apa lagi?" tanya Asyifa.

"Di tarik keluar?!" lanjutnya dengan tatapan sadis.

Nisa merasa merinding begitu pula dengan Monica. Di pungutnya tas besar dan makanan yang dilemparkan kakaknya tersebut.

"Kamu sih keseringan di luar" bisik Monica.

Ya, Nisa memang sering sekali berada di luar. Tidak terhitung lagi berapa kali dalam seminggu dia tak ada di rumah sekalipun saat libur kuliah. Dan selalu saja alasannya menginap di rumah teman. Membuat Asyifa merasa bosan dan kesal.

Tiba-tiba pintu rumah di buka dari luar. Memperlihatkan Cahya dan Tiwi.

Cahya mencoba meredakan suasana "Santai bun, santai. Istigfar".

Akhirnya Nisa bisa bernapas lega. Kali ini dia selamat. Kalau saja mereka tidak datang, mungkin akan terjadi perang dunia ketiga.

Asyifa mengelus dadanya "Astagfirullah."

"Sudah sana pergi" lanjutnya dengan lembut.

Nisa dan Monica saling memandang. Aneh, hanya secepat itu kakaknya berubah. Nisa pun bermaksud meminta uang. Belum sempat mengatakannya dia sudah mendapatkan tatapan sadis dari Asyifa.

"Jangan bilang, masih mau minta uang" katanya dengan telak.

Nisa menelan ludah dan memilih pergi dari rumah dengan membawa barangnya. Tiwi dan Cahya tertawa melihat drama kakak beradik tersebut.

"Sudah. Sudah. Mending kamu ikut kita saja" ajak Tiwi.

"Kemana?"

"Pasar malam" seru mereka serentak.

-

Lily menunggu Alif dengan setia. Dia bahkan tidak beranjak dari ruang tamu agar saat Alif datang, dia bisa langsung melihatnya. Bersama seorang pembantu dan juga mainan yang banyak, tak membuatnya tenang. Dia benar-benar mengharapkan Alif segera pulang.

Beberapa saat kemudian terdengar suara langkah kaki. Lily berlari dengan riang ke arah pintu. Saat pintu terbuka dia melihat seorang berdiri di sana. Sayangnya itu hanya Antoni. Dia menunduk lesu karena kecewa. Antoni tertawa melihatnya.

Saat Lily membalikkan badan, seorang lagi sudah berdiri di depannya. Tidak ingin di buat kecewa untuk kedua kalinya membuat Lily enggan melihat. Padahal dia adalah orang yang di tunggu.

Alif berjongkok tepat dihadapannya dengan sebuah senyuman. Lily menatapnya dengan tersenyum senang. Kali ini dia tidak salah lagi. Akhirnya penantiannya berakhir disini.

"Uncle!" serunya yang langsung memeluk.

Alif menyambutnya dengan senang hati.

"Syukurlah kamu sudah datang nak" kata Sofia.

Kemudian mengambil Lily dari pelukan Alif "Dia sudah lama menunggu kamu."

"Ya Allah."

"Oh iya Bu. Randi mana?" tanya Alif melihat sekeliling.

"Oh Randi. Katanya dia ada urusan sebentar di luar." Jawab Sofia.

Sofia mempersilahkan Antoni duduk dan menyuruh pembantunya untuk membuat minuman. Dia juga mengisyaratkan Alif untuk pergi mengganti pakaiannya.

"Orangtuamu apa kabar nak?" Sofia membuka obrolan.

Antoni meneguk kopinya dan menjawab, "Alhamdulillah baik, tante."

"Mama kamu sudah pulang dari Australia?"

"Iya sudah, tante."

"Bawa kangaloo nggak, Uncle?" celetuk Lily yang berada dalam pangkuan Sofia.

Antoni menggeleng "Nggak".

"Ya, padahal Lily mau minta satu" balasnya dengan wajah cemberut.

Mereka dibuat tertawa. Ada-ada saja yang terlintas dipikiran gadis kecil ini. Lagipula siapa yang berani membawa mamalia berkantung tersebut di dalam pesawat.

Beberapa saat kemudian Alif sudah turun dan menghampiri mereka.

"Jadi, sekarang Lily mau kemana?" tanya Alif.

"Zoo" jawab Lily dengan semangat.

Mereka kaget sampai melongo "Ha?".

"Ini sudah malam sayang, mana ada zoo yang buka jam begini!" jelas Antoni.

Sofia mencubit lembut pipinya "Ini pasti karena kanguru tadi".

Lily tertawa dengan menggemaskan. Ah, gadis kecil bermata amber ini bisa membuat siapa saja jatuh cinta. Dia meminta turun dari pangkuan Sofia untuk menghampiri Alif.

"Lily mau ke pasal malam, Uncle" katanya dengan cengar-cengir.

"Nah, kalo itu baru ada" celetuk Antoni.

"Ya sudah, kalo begitu ayo pergi" Alif kemudian menggandeng tangannya.

Suasana perkotaan malam ini sangatlah ramai. Kelap-kelip lampu jalanan terlihat indah dari dalam mobil. Lily senang duduk di samping Alif sambil sesekali melihat ke arah luar. Dia sudah tak sabar untuk sampai ke pasar malam.

Sekalipun terlahir dari keluarga kaya dan ayahnya merupakan keturunan negara asing, Lily mendapatkan pola asuh yang baik dari ibunya. Sifat Qanaah sudah ditanamkan ibunya sejak kecil. Hal tersebut membuatnya tumbuh menjadi gadis rendah hati dan tetap sederhana.

Padahal jika dipikir kembali, bisa saja Lily mendatangi pusat perbelanjaan yang menyajikan banyak wahana permainan yang tentu saja merupakan kegemaran anak-anak dari keluarga kaya sepertinya. Tapi gadis kecil ini lebih memilih ke pasar malam.

Beberapa menit kemudian, Lily bersorak saat melihat bianglala dengan hiasan lampu warna-warni. Tanda bahwa mereka sudah sampai di tujuan. Antoni mencari tempat untuk memarkir mobil mereka.

Saat mereka memasuki gerbang terlihat aneka wahana permainan dengan gemerlap lampu di malam hari menyatu dengan ratusan pedagang. Tanpa pemisahan zona pedagang dan wahana permainan membuat suasana pasar malam sangat hidup dan meriah. Lily tertawa riang dalam pelukan Alif.

Di depan mereka terlihat banyak pengunjung yang mengantri di sebuah wahana bianglala. Di sebelah kanan mereka terdapat sebuah wahana komidi putar yang berbentuk beragam jenis hewan. Di sebelahnya terdapat sebuah wahana kereta mini yang di tumpangi beberapa anak kecil. Dan terdapat banyak wahana ketangkasan lainnya. Sedangkan di sebelah kiri mereka terdapat wahana rumah hantu di mana terdengar suara jeritan yang menyeramkan dan orang-orang yang keluar dari sana menjadi ketakutan.

Sejujurnya Alif tidak berani jika harus diminta memasuki wahana rumah hantu tersebut. Dia akan lebih memilih wahana lainnya. Sementara Lily menjadi bingung harus mencoba wahana yang mana dulu. Semua terlihat sangat menyenangkan.

Dari sekian banyak wahana yang dilihatnya, Lily malah menjatuhkan pilihan pada wahana istana balon. Alif mendampingi Lily bermain di dalam istana balon tersebut sedangkan Antoni hanya bisa melihat dari luar saja. Karena peraturannya, mereka hanya memperbolehkan satu orang saja yang masuk sebagai pendamping.

Lily tertawa riang saat meluncur bersama Alif. Kemudian mereka berkeliling tempat tersebut. Antoni hanya bisa menatap iri dengan kebahagian mereka. Sesekali Lily mengejeknya. Ah, gadis itu terlihat sangat bahagia.

Kemudian mereka mencoba wahana komidi putar. Kali ini giliran Antoni yang tidak mengizinkan Alif mendampingi Lily. Setelahnya dia mencoba wahana kereta mini. Untuk wahana ini, tidak ada satu pun dari mereka yang bisa mendampinginya. Mereka saling memandang dan tertawa.

Setelah puas bermain mereka kemudian beristirahat dengan duduk di salah satu stan penjual gulali. Alif tersenyum menatap Lily yang sedang memakan gulalinya.

"Mungkin seperti ini ya, rasanya berkeluarga." Batinnya sendu.

-

Setelah mencicipi beberapa camilan Asyifa dan yang lainnya menghampiri sebuah stan pernak-pernik. Mereka sibuk melihat berbagai jenis cincin, kalung dan aksesoris lainnya. Mata Asyifa menangkap sesuatu yang tidak asing. Sebuah gantungan kunci berbentuk boneka yang terbuat dari kayu. Padahal menurutnya ini pertama kali dia melihat gantungan kunci tersebut. Dia pun mengambilnya. Tiba-tiba dia tertegun dan kepalanya terasa berat.

***

"Ini bagus nggak?." Tanya seorang laki-laki yang wajahnya terlihat samar.

"Nggak" jawab Asyifa dengan menggeleng.

Kemudian laki-laki tersebut mengambil gantungan kunci berbentuk boneka yang terbuat dari kayu.

"Nah kalo yang ini pasti bagus." Katanya menunjukkan gantungan itu pada Asyifa.

"Nah, Itu baru bagus." Asyifa mengangguk tanda setuju.

Mereka kemudian tertawa bersama.

***

Siapa laki-laki tersebut. Kenapa wajahnya terlihat samar. Asyifa merasa sedikit pusing dan hampir kehilangan keseimbangan. Untung saja Tiwi langsung menahannya.

"Asyifa kamu kenapa?" Tanya Tiwi yang sudah mengajaknya duduk.

"Ini minum dulu." Cahya menyodorkan sebotol minuman.

Dia hanya menggeleng pelan dan meminum airnya. Mereka terlihat cemas.

"Kalo kamu kurang sehat, kita pulang aja ya" saran Cahya.

"Iya, kita pulang aja nggak apa-apa kok" sambung Tiwi.

"Aku nggak apa-apa kok." balasnya tersenyum.

"Yakin?" Cahya masih meragukannya.

Dia mengangguk seraya tersenyum. Merasa semuanya baik-baik saja mereka kemudian melanjutkan perjalanan.

Sepanjang jalan mereka masih menatapnya aneh. Mereka merasa penasaran sekaligus heran. Kenapa dia tiba-tiba menjadi terdiam dan hampir pingsan sesaat setelah melihat gantungan kunci tersebut. Ah, rasanya membingungkan sekali.

Sesampainya di wahana bianglala, mereka bersorak karena antrian sudah tidak sepanjang tadi. Mereka sudah memegang tiketnya masing-masing dan mengantri dengan sabar. Ternyata dalam antrian tersebut ada rombongan Alif. Mereka saling menyapa. Asyifa terlihat tersipu mengingat kejadian tadi sore.

"Dalam satu kabin hanya bisa dinaiki 4 orang" kata penjaganya.

"Ayo cepat masuk" penjaga tersebut langsung menarik tangan Alif yang sedang memeluk Lily dan Asyifa yang terkejut.

"Loh mas. Tapi kan--" Asyifa menoleh ke arah Cahya dan Tiwi.

Kemudian dia menarik Cahya yang kebingungan. Sedangkan Antoni dan Tiwi hanya bisa melongo. Mereka terpaksa naik di kabin yang berbeda. Tiwi merasa kikuk saat harus duduk bersebelahan dengan Antoni. Begitu pun dengannya.

Sementara di kabin sebelah, Cahya di buat jatuh cinta pada pandangan pertama saat menatap mata amber gadis kecil tersebut. Dia berhadapan dengan Lily. Sedangkan Alif harus berhadapan dengan Asyifa. Mereka tidak berani menatap. Asyifa memalingkan pandangan ke arah Lily sedangkan dia memilih menatap ke arah luar. Terkadang sesekali dia terlihat mencuri pandang ke arah Asyifa.

Beberapa saat kemudian bianglala tersebut berputar. Perlahan terangkat dari tanah. Kabin-kabinnya sedikit bergoyang karena gravitasi. Tanpa sadar Tiwi mengenggam lengan Antoni. Dia sedikit terkejut. Tiwi ternyata takut ketinggian.

"Eh, maaf Pak" dia tersadar dan langsung melepaskan genggamannya.

Antoni terkekeh "Nggak apa-apa. Santai."

Tiwi membuang muka karena merasa malu.

Ketinggian bianglala mereka sudah mencapai puncak. Lily kembali bersorak. Matanya berbinar menatap pemandangan kota dari atas. Semuanya bisa terlihat jelas dari sini. Jalanan yang ramai. Kelap-kelip perkotaan. Gedung-gedung bertingkat. Bahkan manusia terlihat seperti pasukan semut. Mungkin seperti ini gambaran manusia di mata Sang Pencipta.

Setelah hampir setengah jam bergelantungan di atas. Bianglala tersebut sudah kembali mencapai tanah. Mereka kemudian keluar dari kabin-kabinnya. Tiwi terlihat sedikit pucat berdiri di sebelah Antoni. Asyifa dan Cahya terkekeh melihatnya. Sudah tahu takut ketinggian malah mencoba naik wahana ini. Kemudian rombongan Asyifa ikut bergabung bersama Alif.

Mereka sudah berada di depan berbagai wahana ketangkasan. Sesuai namanya wahana tersebut mengedepankan ketangkasan. Hadiah yang ditawarkan memang tidak begitu besar dan mewah. Tetapi wahana inilah yang selalu menjadi favorit banyak orang untuk membuat kenangan indah bersama orang-orang tersayang.

Lily berseru "Lily mau coba itu." Dia menunjuk salah satu permainannya, menembak balon.

Alif kemudian memeluknya agar bisa sejajar dengan balon-balon tersebut. Lily mengenggam erat pistolnya. Dia mengarahkannya tepat pada balon-balon itu.

Dor! dor! Dor!

Dari banyaknya peluru tidak satupun yang mengenai balonnya. Kemudian Alif mencobanya, sayang sekali semuanya meleset.

Yang lain tertawa melihat mereka. Asyifa menawarkan diri untuk mencoba. Baru saja dia memegang pistol itu tiba-tiba saja dia kembali tertegun.

***

"Payah, masa begitu aja nggak bisa." Sindir Asyifa.

Kemudian dia mengambil pistol tersebut.

"Ye, memangnya kamu bisa, apa!?" cibir laki-laki tersebut.

"Bisa dong." balas Asyifa dengan mengangkat alisnya sebelah.

Dan terdengar beberapa kali letusan yang tepat sasaran.

***

Asyifa kembali merasa pusing sampai menjatuhkan pistolnya.

Alif terkejut "Asyifa, kamu kenapa?"

Cahya langsung memegangnya. Mereka kemudian menyuruhnya untuk duduk. Dia dan Tiwi kembali di buat cemas.

Lily mengelus lembut pipi Asyifa dan bertanya "Ka angel kenapa?"

"Apa ada yang sakit" dia menatap sayu kearahnya.

Asyifa membalas tatapannya dengan teduh seraya tersenyum, "Nggak apa-apa sayang. Mungkin sedikit kelelahan saja."

"Kamu yakin nggak apa-apa? Sebaiknya kamu pulang saja. Apa perlu di antar pulang?" panik Alif.

Mereka langsung melirik ke arahnya. Dari semua yang ada di sini, kenapa jadi dia yang terlihat begitu panik. Antoni berdeham mengisyaratkan sesuatu. Tiwi dan Cahya masih melirik penuh curiga. Direktur mereka ini benar-benar tidak bisa ditebak pribadinya.

"Mungkin Asyifa lapar" celetuk Cahya.

Mereka menatapnya.

"Kalo begitu ayo makan" kata Lily semangat.

"Lily sebenalnya juga sudah lapal" lanjut Lily dengan memegang perutnya.

-

Mereka sudah duduk tenang di sebuah stan makanan.

Cahya melihat menunya dan bertanya pada mereka, "Ok, jadi mau pesan apa aja nih?"

"Mie ayam" jawab Lily.

"Aku bakso" jawab Tiwi.

"Gado-gado" jawab Antoni.

"Nasi goreng kecap, kalo bisa pake bakso ya." jawab Asyifa dan Alif serentak.

Mereka tercengang. Lily tertawa. Asyifa tersipu. Sedangkan Alif menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Tiwi menggoda "Acieee, kompak".

"Nah, sekarang minumnya apa?" lanjutnya.

"Capucinno dingin nggak usah pake gula" jawab Alif dan Asyifa serentak lagi.

"Fix, ini mah jodoh namanya" celetuk Cahya seraya tertawa.

Asyifa memukul kepalanya dengan sendok. Tiwi dan Lily ikut tertawa. Antoni hanya tersenyum sampai dia melihat wajah Alif yang sudah memerah seperti kepiting rebus. Sahabatnya tersebut ternyata sedang tersipu. Antoni tertawa lepas membuatnya mendapatkan pukulan dari Alif.

Mereka menikmati malam ini dengan penuh tawa. Sebuah kenangan indah yang takkan terlupakan bagi mereka. Walaupun ada yang sedikit menyiksa Asyifa.

Suasana pasar malam masih sangat meriah. Beberapa saat kemudian makanan sudah datang. Setelah makan mereka berjalan-jalan sebentar. Lily meminta Asyifa menemaninya untuk pergi ke kamar kecil. Sedangkan Antoni dan Tiwi mencoba permainan ketangkasan. Cahya hanya mengikuti mereka saja. Alif masih duduk di stan makanan.

Seketika listrik tiba-tiba mati. Pasar malam yang meriah menjadi gelap gulita. Pengunjung dibuat panik. Begitu pula dengan Alif. Dia langsung berdiri dan mencari keberadaan Asyifa dan Lily menggunakan bantuan senter ponselnya. Dia mencoba menelpon Asyifa, sayangnya tidak ada yang mengangkat. Cahya, Tiwi dan Antoni menghampirinya.

"Hp Asyifa ketinggalan di rumah." kata Cahya dengan panik.

"Terus kita cari di mana?" tanya Tiwi tak kalah panik.

Alif ingat kalau tidak salah dia menemani Lily ke kamar mandi.

"Tenang dulu. Kita sebaiknya berpencar." dia memberi mereka arahan.

"Saya dan Antoni akan ke arah kanan. Kalian ke arah kiri. Kita akan bertemu di tengah. Ok" lanjutnya.

Mereka mengangguk paham dan berpencar.

Cahya dan Tiwi benar-benar panik. Mereka tidak pernah menyangka akan terjadi hal seperti ini. Mereka hanya bisa berdoa semoga Asyifa dan Lily baik-baik saja. Mereka terus mencari dan memanggil nama mereka berdua.

Alif dan Antoni juga tak kalah panik. Harusnya tadi dia menemani mereka. Ini salah satu bukti bahwa kita tidak bisa memprediksi apa yang akan terjadi bahkan dalam semenit ke depan. Karena hal tersebut berada di luar kendali kita sebagai manusia. Mereka mencari ke semua wahana dan kamar kecil tetapi tidak ada siapapun di sana.

-

Asyifa dan Lily terkejut saat listrik tiba-tiba mati. Dia merogoh saku berharap menemukan ponselnya. Dia baru ingat kalau tak sempat membawanya. Lily mengenggam erat tangan Asyifa. Gadis itu takut kegelapan.

"Lily takut" katanya yang kemudian memeluk.

Asyifa mencoba menenangkannya. Perlahan berjalan menggunakan intuisinya. Gelap sangat gelap. Semakin dia mencoba berjalan yang ada hanyalah kegelapan. Terkadang dia tersandung karena tidak bisa melihat apa-apa.

Dengan sebuah keyakinan dia terus berjalan. Dia tidak mungkin memeluk Lily, itu akan sangat beresiko saat tersandung.

Digenggamnya erat tangan Lily, "Apa pun yang terjadi jangan di lepas ya".

"Bismillah, kita pasti bisa" serunya mencoba meyakinkan Lily.

Mereka terus berusaha dan berdoa semoga listriknya segera menyala. Kemudian dari kejauhan mereka melihat sebuah cahaya. Lebih tepatnya cahaya ponsel. Cahaya tersebut semakin mendekat dan mendekat.

Asyifa kembali tertegun untuk kesekian kalinya.

***

Sebuah cahaya ponsel terlihat dari kegelapan. Dalam ketakutannya dia melihat bayangan laki-laki berdiri tepat di depannya.

Laki-laki itu kemudian berkata "Syukurlah. Jangan hilang lagi ya!."

Mendengar hal tersebut, dia justru menangis.

***

Lututnya terasa lemas tak kuat menahan beban tubuhnya. Dia kemudian terjatuh dengan duduk bersimpuh. Penglihatannya perlahan memudar. Napasnya terasa sesak. Tidak ada yang bisa dia dengar. Hanya sebuah genggaman erat yang dirasakannya.

-

Cahaya senter dari ponselnya menangkap sesuatu dalam kegelapan. Alif bergegas mendekatinya. Ternyata benar itu Asyifa dan Lily.

"Asyifa? Lily?" serunya dari kejauhan untuk memastikan.

"Iya, Uncle ini Lily." Sahut Lily.

"Alhamdulillah."

Dia semakin mendekat ke arah mereka. Saat sudah tinggal beberapa jarak saja, dia dibuat terkejut dengan Asyifa yang tiba-tiba bersimpuh. Dia langsung berlari menghampiri mereka. Tidak mungkin baginya menyentuh Asyifa.

Dia bertanya dengan paniknya "Asyifa kamu kenapa?"

Lily masih mengenggam erat tangan Asyifa.

"Kakak kenapa?" tanya Lily dengan tatapan sendu.

Asyifa tak bergeming sedikit pun. Dalam kepanikan akhirnya listrik kembali menyala. Cahya, Tiwi dan Antoni sudah menghampiri mereka.

Cahya langsung memeluk Asyifa yang akan pingsan. Tiwi membantunya berdiri. Dia masih saja terdiam. Lily memeluknya erat dan menangis. Kemudian mereka memutuskan memboyongnya menuju mobil Alif dan membawanya pulang.