"Waktu mungkin bisa menyembuhkan banyak luka. Tapi dia nggak akan
mengembalikan sesuatu yang sudah hilang".
๐*๐*๐
Dua hari yang lalu.
Sore hari di sebuah kafe terlihat Fatih sedang menikmati secangkir minumannya. Enam tahun yang lalu dia terpaksa harus meninggalkan tempat ini demi tuntutan orangtua. Dia ingin sekali menemui Asyifa.
Selama berada kota kelahirannya dia kehilangan komunikasi dengan Asyifa. Ingin rasanya menceritakan semua pengalaman hidup yang sudah dia lalui selama ini. Dia kembali termenung mengingat pertemuannya dengan Tiwi. Apa yang sudah dilakukannya sampai Tiwi ingin dia menghilang. Jika ini hanya perkara pergi tanpa pamit rasanya Tiwi tidak perlu sekejam itu. Mungkin ini ada hubungannya dengan Asyifa.
Sebelumnya tidak pernah terlintas dalam pikirannya dengan perkembangan teknologi sekarang akan mudah menemukan seseorang melalui media sosial. Dia kemudian mengambil ponselnya dan mengetikkan nama "Asyifa Nur Imani" di sebuah media sosial. Dari sekian banyak profil yang muncul tidak satu pun yang cocok. Hanya ada satu akun dengan nama tersebut dan terakhir aktif enam tahun lalu.
Dia kemudian mencari di media sosial yang lain. Tetap saja tidak ditemukan. Mana mungkin sosok Asyifa yang ceria bisa menghilang dari dunia maya. Dia beralih mencari akun Nisa. Ternyata sama saja, dia tidak menemukan apapun. Mungkin mereka menggunakan nama samaran tetapi apa dia tidak tahu.
Dengan harapan bisa mengetahui keberadaan Asyifa dia kemudian memutuskan untuk mendatangi rumahnya. Kebetulan tempatnya tidak jauh dari kafe tersebut.
-
Nisa menghela napas panjang setelah keluar dari kelas. Hari ini sangat berat baginya. Baru saja menyelesaikan satu tugas sudah ditambah tugas baru. Monica menepuk pundaknya dengan pelan dan mengajaknya duduk di lapangan depan Rektorat sambil memakan cimol.
"Arrrgghh.. Aku nggak kuat lagi. Pengen nikah aja" dia histeris.
Monica justru tertawa dan membalasnya, "Mana ada yang mau, menyelesaikan tugas kuliah aja nggak bisa apalagi tugas rumah tangga.".
Dia berbalik menatap Monica dengan wajah cemberut, "Terus aku harus gimana dong".
"Ya jalani aja. Gitu aja susah." Balasnya singkat.
Dia kembali menghela napas dan memakan cimolnya.
Monica tiba-tiba bertanya, "Eh Nis, Ngomong-ngomong siapa sih yang waktu itu ketemu sama kita?"
"Siapa? Yang mana? Kapan?" dia justru balik bertanya.
"Itu loh yang waktu kita balik dari kantin" jawab Monica.
"Oh itu, bukan siapa-siapa" balasnya singkat.
"Kalo bukan siapa-siapa terus kenapa kamu kaget liat dia. Kayak dia itu makhluk gaib aja."
Dia terdiam dengan pernyataan Monica. Orang itu memang tidak ada hubungan dengannya. Hanya saja apa yang sudah terjadi karena orang itu berdampak pada kehidupan kakaknya. Sekarang dia hanya ingin kakaknya hidup dengan tenang.
Beberapa saat terdiam dia kemudian berkata, "Mon, malam ini aku ke rumah kamu ya. Kakak mau pergi ke pesta, jadi aku cuma sendirian."
Monica membalas dengan mengacungkan ibu jarinya "Siap 86"
Kemudian mereka menikmati cimolnya sambil melihat ke arah lapangan rektorat yang dipenuhi mahasiswa dengan berbagai aktivitas. Ada sekumpulan mahasiswa yang membentuk lingkaran untuk rapat, sebagian lagi sedang baris-berbaris untuk melakukan senam dan bermain drum. Serta yang lain sedang asyik bermain skateboard.
-
Sesampainya di sana, Fatih menemukan rumah tersebut dalam keadaan tertutup. Dia kemudian bertanya pada tetangga.
"Oh, Asyifa dan adiknya sudah pindah sekitar enam tahun yang lalu" jawab seorang tetangga.
"Kalo boleh saya tau, pindahnya ke mana ya Bu?" tanya Fatih.
"Wah, kalo soal itu saya kurang tau ya mas" jawabnya.
"Oh iya. Terima kasih ya Bu" balasnya.
Kemudian pamit pergi, "Kalo begitu saya permisi dulu."
"Iya mas".
Perlahan namun pasti dia sudah berbalik menuju mobil. Sesekali terlihat menengok ke belakang. Kemana Asyifa dan adiknya pindah. Di mana lagi dia harus mencari mereka. Tidak mungkin dia meminta alamat di kampus. Akan sulit untuk mendapatkan info mengenai keberadaan Asyifa hanya dengan bermodalkan ingatan enam tahun yang lalu.
Bahkan dia tidak tahu siapa lagi yang mengenal Asyifa selain Tiwi, Cahya dan Salsa. Saat dalam mobil dia masih saja termenung. Banyak pertanyaan yang lalu-lalang dipikirannya. Di mana mereka, apakah semua baik-baik saja, siapakah yang harus ditemuinya agar menemukan keberadaan Asyifa dan masih banyak lagi.
Menjelang magrib, dia mampir di salah satu masjid. Dalam khusyuk doanya, dia meminta agar diberi kepastian di mana keberadaan Asyifa. Agar semua kesalahpahaman yang terjadi dapat segera terselesaikan dan beban dalam hidupnya bisa lepas.
Selepas magrib dia mencari makan di sekitar. Dari kejauhan dia melihat seseorang yang mirip Salsa. Didekatinya orang tersebut dan benar saja itu Salsa.
"Salsabila" sapa Fatih dengan tersenyum.
Salsa justru terkejut. Dia bingung harus bersikap seperti apa.
"Kak Fatih." balasnya dengan menghindari tatapan Fatih.
"Alhamdulillah benar. Apa kabar?" Fatih mencoba basa-basi.
"Alhamdulillah baik" jawabnya singkat.
Salsa sudah bisa membaca apa yang akan dikatakan selanjutnya.
Dia pun berkata dengan sedikit menunduk, "Asyifa baik-baik saja. Kami semua baik-baik saja. Maaf ka, waktu mungkin bisa menyembuhkan banyak luka. Tapi dia nggak akan mengembalikan sesuatu yang sudah hilang".
Fatih sesaat melongo kemudian bertanya dengan bingungnya, "Sesuatu yang hilang? Apa yang hilang? Apa maksudnya. Apa yang sebenarnya terjadi".
Dihujani banyak pertanyaan justru membuat Salsa tak nyaman dan memilih pergi.
"Maaf kak, saya harus pergi." pamitnya yang langsung masuk ke dalam mobil.
Selepas kepergian Salsa, dia sejenak terdiam. Apa yang sebenarnya terjadi enam tahun lalu dan apa yang dimaksud dengan sesuatu tersebut. Saat sudah kembali ke dalam mobil, dia berteriak dengan kesal dan memukul kemudinya. Semua justru semakin abu-abu. Dia tidak mengerti apa maksud semua ini.
-
Monica menemani Nisa untuk membeli beberapa makanan ringan di supermarket. Rencananya mereka akan menghabiskan malam ini dengan menonton. Jangan tanyakan perihal tugas, karena mereka melupakan itu semua. Rasanya sudah menjadi tradisi setiap mahasiswa untuk menyelesaikan tugasnya disaat terakhir. Sistem kebut semalam selalu menjadi pilihan.
Sesampainya di rumah mereka langsung berbaring di kamar dengan semua amunisi yang tersedia. Monica bisa dibilang terlahir dari keluarga yang berada. Kamarnya saja sudah terlihat sangat besar. Ada lemari yang menempel langsung dengan dinding. Sebuah televisi dengan layar tipis berukuran besar dan dua buah AC yang terpasang di bagian atas kamar. Tidak lupa meja belajar yang diletakkan di sudut kamar. Tak heran jika Nisa betah berlama-lama di sini.
Siapa yang bisa menyangka jika kedua rival di kelas ini justru menjadi sahabat. Perbedaan demi perbedaan justru menyatukan mereka. Terlebih Monica terlahir dari keluarga Kristen yang taat beragama. Kadang saat dia harus pergi ke gereja, Nisa pasti akan menemaninya. Begitu pun dengan Nisa yang harus pergi ke masjid. Dan saat lebaran datang, Monica pasti akan ke rumah walaupun saat natal datang Nisa tidak melakukan hal yang sama. Dia tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut. Karena dia tahu bagimu agamamu, bagiku agamaku. Terlepas dari itu semua mereka mampu bertahan sejak semester pertama hingga kini.
Saat sedang menikmati cemilan diam-diam Monica melirik ke arah Nisa. Dia seolah merasa belum benar-benar mengenal Nisa dengan baik. Seperti ada sesuatu atau bahkan banyak hal yang disembunyikan darinya. Sejauh ini yang paling banyak berkeluh kesah justru dia. Nisa bahkan mungkin sudah cukup bosan dengan segala kisah sedihnya. Dia ingin mendengar kisah sebenarnya dari sahabatnya tersebut.
"Nis" seru Monica.
"Ya. Apa!" sahut Nisa tanpa menoleh.
"Ada yang ingin aku tanyakan sama kamu."
Nisa justru menanggapinya dengan candaan, "Sama siapa kamu jalan semalam, iyakan?"
"Ih! Nisa. Serius ini" dipukulnya Nisa dengan bantal.
Nisa tertawa dan menoleh ke arahnya, "Iya apa. Silahkan Bu detektif"
Wajahnya mulai serius. Dia kemudian berkata, "Aku tuh penasaran sebenarnya sama kamu. Kita sudah saling mengenal sejak semester satu. Tapi aku kok merasa seperti belum mengenalmu ya. Coba dong ceritakan semua kisah hidupmu. Aku siap kok mendengarkan."
Nisa menghentikan kegiatan makanannya. Perkataan Monica terasa sedikit aneh baginya tetapi ada benarnya. Sejauh ini Nisa tidak pernah menceritakan apapun tentang keluarganya selain apa yang dilihat Monica.
"Kamu penasaran ya. Sama aku juga" balasnya dengan terkekeh.
Dalam keadaan serius seperti ini pun Nisa masih sempat-sempatnya bercanda. Mungkin hal tersebut dilakukan untuk mengalihkan pembicaraan.
Monica tampak kesal dan langsung memukulnya dengan bantal berulang kali. Mereka kemudian tertawa bersama dan kembali melanjutkan kegiatan mereka.
Nisa kemudian menanggapinya, "Aku belum bisa menceritakannya sekarang, mungkin nanti. Di saat yang sudah tepat. Maaf ya."
"Ya.. ya.. ya. Terserah kamu deh. Aku pengen buang air kecil." balas Monica pasrah seraya berdiri pergi ke kamar mandi.
Nisa kembali menatap layar televisi dengan tatapan kosong. Dia berharap suatu hari nanti bisa menceritakan semuanya tanpa merasa sakit lagi.
๐****๐