"Tidak ada yang lebih menyakitkan bagi seorang anak selain kehilangan sosok ibunya
dan justru di benci untuk hal yang berada di luar kendalinya tersebut."
๐*๐*๐
Saat di dalam mobil keadaan Asyifa sudah membaik. Lily memilih duduk bersamanya. Cahya dan Tiwi menatapnya dengan cemas. Sedangkan Alif terlihat sesekali melirik dari kaca depan. Keadaan malam membuat suasana menjadi hening.
Alif kemudian bertanya, "Apa perlu diantar ke rumah sakit?"
Asyifa menjawab dengan pelan, "Nggak usah Pak. Saya baik-baik saja. Maaf sudah merepotkan"
"Kamu yakin nggak apa-apa?" tanya Cahya masih dengan wajah cemas.
"Apa kakak angel takut di suntik?" celetuk Lily dengan wajah polosnya.
Dia terkekeh pelan begitu pula dengan yang lain.
"Nggak sayang, bukan itu. Kakak sekarang baik-baik aja kok." jawabnya.
"Syukulah. Lily juga nggak takut sama suntik" celoteh Lily.
"Kata siapa? Terus yang nangis waktu itu siapa ya" sindir Alif.
Lily melotot ke arahnya dan langsung berteriak "Uncleeeeeeeee..."
Lily memalingkan wajahnya dengan cemberut. Mereka kembali dibuat tertawa. Gadis kecil ini membuat suasana menjadi lebih baik.
Beberapa saat kemudian mereka sudah sampai di rumahnya. Dia mempersilahkan masuk dan Tiwi membuatkan minuman untuk mereka. Alif dan Antoni terlihat santai menikmati minuman mereka sambil membahas sebuah proyek. Bahkan saat berada di luar mereka tetap membicarakan pekerjaan. Pantas saja mereka betah melajang.
Setelah menikmati minumannya mereka pamit pulang.
"Kalau begitu, kami permisi dulu ya." Pamit Alif yang sudah berdiri.
"Iya Pak, terima kasih banyak sudah mengantarkan saya" balas Asyifa.
"Sama-sama".
"Oh iya Asyifa. Besok kamu jangan masuk kantor dulu ya. " lanjutnya.
"Tapi pak-" Asyifa belum selesai bicara.
"Nggak ada tapi-tapian. Istirahat saja dulu di rumah selama 3 hari" titahnya.
Asyifa masih tidak bisa menerimanya. Sedangkan Tiwi dan Cahya saling melempar senyum seolah memberi kode satu sama lain. Perkataanya terdengar bukan seperti seorang Direktur melainkan seorang suami yang melarang istrinya.
Lily yang berada dalam pelukan Alif ikut bersuara, "Betul kata uncle. Angel halus istilahat dulu di lumah. Bial cepat sembuh."
Akhirnya Asyifa hanya bisa pasrah dan mengangguk tanda setuju. Mereka kemudian pergi.
-
Cahya masih saja menatapnya cemas. Tidak biasanya Asyifa seperti tadi. Setelah Asyifa mengganti pakaian, dia memintanya berbaring sebentar. Dia menghela napas saat menatapnya. Sedangkan Asyifa hanya tertawa kecil.
Dia bertanya dengan penasaran, "Kamu kenapa sih? Ada apa coba cerita."
"Nggak apa-apa. Mungkin cuma kecapean aja." Jawab Asyifa singkat.
"Kalo gitu aku sama Tiwi menginap ya malam ini." pintanya.
"Jangan. Nanti kalian telat lagi bangunnya. Besok kan harus masuk kantor." Tolaknya.
Mendengar penolakan Asyifa, dia menjadi sedikit jengkel "Asyifa, jangan keras kepala. Kamu cuma sendirian di rumah."
"Aku baik-baik aja kok. Kalian nggak usah mengkhawatirkanku." Tolaknya lagi.
Kali ini Cahya sudah jengkel, "Asyifa, please jangan keras kepala. Aku hancurin aja sekalian kepala kamu, ya!"
Dia terkekeh pelan "Baiklah nak. Daripada kepalaku hancur."
"Nah gitu dong dari tadi." Balas Cahya dengan tertawa.
Tiwi baru saja masuk setelah menerima telepon dari seseorang.
"Dari siapa Wi?" tanya Cahya.
"Mas Hendra" jawabnya.
"Jadi begini ceritanya. Si Sinta sepupunya mas Hendra yang kerja di kedai kopi bilang kalo mereka sedang ada masalah. Manajernya menerima pembelian seratus gelas kopi untuk besok padahal stok kopi mereka sedang menipis. Parahnya, si manajer malah sudah terima uang muka. Jadi dia minta bantuan kita untuk menyediakan setengah dari pembelian tersebut." jelasnya.
Asyifa dan Cahya menggelengkan kepala dan menyayangkan kejadian tersebut.
"Banyak banget. Kasian ya" balas Cahya.
"Besok mereka akan datang untuk bicara secara langsung"
"Kalo begitu kita berdua saja yang pergi. Kan Asyifa harus istirahat" Cahya menoleh ke arah Asyifa.
"Memangnya kalian nggak masuk kantor besok?" tanya Asyifa sembari menatap mereka.
"Ya kan bisa sebelum pergi kantor. Lagian itu pasti nggak lama kok" jawab Cahya dengan tersenyum.
"Bisa juga saat jam istirahat" lanjut Tiwi.
"Ya sudah terserah kalian. Atur saja" Asyifa Pasrah.
-
Langit malam semakin gelap. Rintik hujan perlahan jatuh. Lily sudah terlelap dalam pelukan Alif. Sesampainya di rumah, ibunya langsung mengambil Lily untuk dibawa ke dalam kamar. Sementara itu suasana di ruang keluarga masih terlihat tegang. Dia sedikit bingung dengan apa yang terjadi.
"Kenapa pada tegang begini?" tanya Alif.
"Ah, nggak ini tadi paman Yahya datang" jawab Yusuf.
Alif sejenak menatap Randi yang terlihat sendu. Sesaat kemudian Randi memilih pergi.
"Randi permisi ke kamar ya." pamitnya.
Yusuf kembali menjelaskan apa yang terjadi sebelum kedatangan Alif.
"Lalu paman menerimanya?" tanya Alif.
"Sayangnya nggak. Dia lebih memilih pergi saat melihat Randi" jawab Yusuf dengan wajah sedih.
Dia menghela napas. Mau sampai kapan seperti ini.
"Oh iya kalian dari mana saja?" Yusuf mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Dari pasar malam. Alif sudah janji sama Lily akan mengajaknya ke mana pun yang dia mau" jelasnya.
"Oh pantas saja dia langsung tertidur." Balas Yusuf.
"Ya sudah kalo begitu, kamu juga istirahat ya" lanjutnya yang kemudian meninggalkan Alif.
Selepas kepergian Yusuf, dia memilih menemui Randi di kamarnya. Dilihatnya Randi sedang berada di balkon sambil memandangi langit yang menangis malam ini. Sama seperti keadaannya beberapa hari yang lalu. Dia sudah berdiri di samping Randi.
"Hujannya awet ya" memecah keheningan di tengah hujan.
Randi terperanjat "Astagfirullah kak"
Dia ikut kaget dan tertawa. Ternyata reaksi mereka akan berbeda.
Dia memegang pundak Randi seraya berkata, "Allah itu maha membolak-balikan hati. Jadi harus tetap bersabar dan pasrahkan semua kepadaNya. Hari ini mungkin paman masih enggan untuk menerimamu. Insya Allah, kakak yakin suatu hari nanti paman akan memeluk dan nggak akan membiarkanmu pergi lagi"
Randi menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca. Dia tidak pernah kuat jika membicarakan hal tersebut. Tidak ada yang lebih menyakitkan bagi seorang anak selain kehilangan sosok ibunya dan justru di benci untuk hal yang berada di luar kendalinya tersebut. Beruntung dia masih bisa merasakan kehangatan sebuah keluarga. Namun masih saja hatinya terasa kosong karena dia sangat merindukan ayahnya.
Langit malam ini seperti ikut menangis melihat luka lama Randi. Sesuatu yang selalu membuatnya lari. Sampai kapan dia harus menjadi seorang pengecut. Kali ini dia harus menghadapinya. Hanya saja dia tidak pernah berani untuk berhadapan langsung dengan ayahnya. Keegoisan masih saja menduduki puncak tertinggi dalam hati ayahnya.
Setelah cukup lama menikmati tangisan sang langit, Alif memutuskan kembali ke kamar untuk istirahat.
-
Hujan yang semakin deras membuat Cahya terbangun karena kelaparan. Sesungguhnya dia orang yang paling penakut diantara mereka. Biasanya dia akan membangunkan Asyifa. Tetapi dia tidak tega saat melihat Asyifa yang tertidur pulas. Dia menoleh ke arah Tiwi dan mencoba membangunkannya.
"Wi. Temani aku makan dong, please." bisiknya pelan sembari menggoyangkan lengan Tiwi.
"Ih apa sih" Tiwi menepis tangannya dan berbalik badan.
"Jahat banget. Aku kan takut" balasnya cemas.
Pandangannya beralih pada pintu kamar yang ternyata tidak tertutup. Terlihat lorong yang penuh kegelapan seolah akan ada yang datang dari sana dengan cara merangkak. Imajinasi liarnya sudah berlebihan. Tanpa sadar dia merinding. Terdengar keroncongan dari perutnya. Dia mengelus dan menepuk-nepuknya pelan.
Dia bahkan tidak berani menurunkan kakinya di lantai. Takut jika ada yang memegang dari bawah kasur dan menariknya. Ternyata anggapan bahwa tidak ada yang bisa membunuhmu seperti pikiranmu, itu benar. Semakin lama dia bertahan di atas tempat tidur justru semakin keroncongan perutnya.
Dia teringat dengan perkataan ayahnya.
"Nyalakan senter bodoh, dasar anak manja."
Dia langsung menggeleng cepat seolah menepis bayangan wajah ayahnya. Entah dia harus tertawa atau takut saat ini. Pada akhirnya dia memberanikan diri dengan bermodalkan senter di ponselnya. Perlahan namun pasti dia bangkit dari tempat tidur.
Saat berada di tengah lorong dia mencoba menghidupkan semua lampunya. Saat semua lampu sudah menyala, dia langsung berlari ke arah dapur. Dalam keadaan lapar dan takut dia memilih memasak mie instan saja.
Sementara itu di dalam kamar, Asyifa terlihat gelisah. Sesuatu dalam pikirannya seolah menganggu. Tiba-tiba saja Asyifa tersentak dari tidurnya. Napasnya terdengar seperti orang yang baru saja keluar dari air. Ternyata dia bermimpi buruk tentang seorang laki-laki yang wajahnya masih saja terlihat samar. Batinnya merasa seolah laki-laki tersebut tidak asing namun pikirannya seperti menolak untuk memberitahu siapa orang tersebut.
Dengan napas yang sedikit tersendat, dia memilih bangun dari tempat tidur dan turun ke bawah. Baru saja sampai di tengah tangga dia langsung dikejutkan dengan Cahya yang berlari histeris dari arah dapur. Saat mereka berhadapan, Cahya justru berteriak membuatnya juga ikut berteriak. Tanpa sadar mereka membangunkan Tiwi dari mimpi indahnya.
Dia langsung berlari ke arah mereka dengan panik, "Ada apa. Apa yang terjadi?"
Cahya dan Asyifa yang akhirnya sadar dengan keadaan langsung terdiam sambil memegang dada dan beristigfar. Ternyata Cahya berlari histeris sesaat setelah mematikan lampu dapur dan dia berteriak karena mengira Asyifa adalah hantu. Setelah diam dalam pikiran masing-masing. Asyifa dan Cahya langsung tertawa.
Tiwi menatap mereka dengan kebingungan. Sedangkan mereka masih saja tertawa. Dia mengamati sekitar. Terlihat Cahya seperti orang yang baru saja selesai makan dan Asyifa seperti akan pergi ke dapur. Karena sudah sefrekuensi dia pun sadar dengan apa yang terjadi. Dia menghela napas berat. Dua makhluk bumi ini sudah menghancurkan mimpi indahnya. Dia terlihat kesal dan langsung menjotos kepala mereka secara bergantian. Dia memilih meninggalkan mereka dan langsung kembali tidur. Sedangkan mereka masih saja menertawakan kekonyolan tersebut.
๐****๐