"Seharusnya kamu bisa lebih mengerti penderitaannya. Karena kalian sama-sama kehilangan. Dia menanggung rasa penyesalan itu dan mulai menyalahkan dirinya selamanya. Sedangkan kamu justru membencinya atas apa yang terjadi."
๐*๐*๐
Setelah mengantarkan Lily pulang ke rumah, Randi harus kembali ke kedai kopinya. Setelah masalah tadi sore selesai, ada lagi masalah baru. Mengurus bisnis merupakan satu alasan kepulangannya ke Indonesia. Sebelumnya saat lulus SMA, dia memilih mengasingkan diri ke negera asing. Bukan hanya untuk melanjutkan pendidikan melainkan juga lari dari kenyataan.
Pada akhirnya dia menyadari sesuatu, melarikan diri tidak bisa membuat masalahnya selesai. Hubungan dengan ayahnya justru semakin merenggang. Sudah waktunya dia menghadapi semuanya. Beruntung karena kasih sayang dari keluarga Alif tidak membuatnya menjadi sosok penuh kebenciaan seperti ayahnya.
Beberapa menit kemudian dia sudah sampai. Para karyawannya sudah menunggu penuh kecemasan. Dia langsung menemui seorang manajer.
"Kenapa bisa seperti ini?" liriknya pada manajer tersebut.
"Eh.. Begini pak.. eh.." manajer itu menjadi gugup.
Seorang dari para karyawannya akhirnya buka suara, "Maaf sebelumnya Pak. Saya sudah melarang Pak Ace untuk menerimanya."
Seorang lainnya ikut menimpali, "Iya Pak. Padahal kami sudah merundingkannya bersama. Stok kopi saat ini sedang menipis. Sedangkan Pak Ace tetap berani menerima pembelian seratus gelas kopi untuk besok."
Randi menghela napas berat. Kepalanya terasa pening. Tidak mungkin dia meminta mendatangkan stok kopi dari cabangnya. Barangnya pasti akan sampai besok malam.
"Kenapa tidak dibatalkan saja?" tanya Randi menatap karyawannya tadi.
"Itu dia masalahnya Pak. Mereka sudah membayar setengah dari harga kopinya." Jawab karyawannya dengan lesu.
Dia kembali menghela napas dan mengalihkan pandangan pada manajernya yang terlihat ketakutan.
Dia mengomelinya, "Seharusnya kamu bisa menerima saran dari yang lain. Kalo sudah seperti ini siapa yang susah".
Manajernya merasa gemetar. Tidak berani berkata apapun karena merasa bersalah.
"Apa ada diantara kalian yang punya solusi?" tanya Randi melihat ke arah para karyawaannya.
"Kami sudah mencoba meminta bantuan dari kedai kopi yang lain Pak. Sayangnya mereka menolak." Jawab karyawannnya.
"Satu-satunya harapan kami adalah meminta bantuan dari kafe." Lanjutnya.
"Terus sudah ketemu kafenya?" tanya Randi serius.
"Sudah ada beberapa yang menjadi daftar kami, hanya saja kami menunggu keputusan Bapak." Jawabnya.
Kemudian dia menyodorkan daftar kafe tersebut. Randi melihatnya dengan teliti.
Dia kemudian bertanya, "Dari ketiga kafe ini apa ada yang mengenal manajer atau pemiliknya?"
Sesaat keadaan menjadi hening.
Sampai seorang dari karyawannya menjawab, "Saya Pak. Kebetulan sepupu saya yang jadi manajernya dan saya juga mengenal salah satu pemiliknya."
"Yang mana?"
"Terserah Cafe!"
Akhirnya mereka memutuskan untuk meminta bantuan dari kafe tersebut.
Randi kemudian berkata, "Baiklah. Kalo begitu besok kamu ikut saya."
Karyawannya tersebut mengangguk tanda setuju.
Dia mengalihkan pandangan kembali pada manajernya.
"Dan kamu, saya tidak bisa menoleransi kejadian seperti ini. Hari ini juga, kamu saya rumahkan." Tegasnya.
Manajernya terperanjat dan menunduk lesu.
-
Kediaman Alif terasa sedikit sunyi setelah kepergiannya bersama Lily. Beberapa pembantu terlihat membereskan ruang tamu. Sofia tengah duduk bersantai menunggu kepulangan Yusuf seraya meneguk tehnya.
Beberapa saat kemudian yang tunggu datang juga. Yusuf tidak sendirian melainkan bersama seorang laki-laki paruh baya yang terlihat sedikit lebih muda. Sofia menyambutnya hangat.
"Assalamu`alaikum." Salam Yusuf.
"Wa`alaikumsalam" balas Sofia seraya mencium punggung tangannya.
"Loh? Yahya" dia terkejut melihat siapa yang datang.
"Iya" jawabnya singkat.
Ternyata yang datang adalah adik kandung Yusuf. Dia merupakan anak terakhir dari tiga bersaudara, Yahya Rasdjaya. Ayah dari Randi yang selama ini membencinya. Sekalipun rasa benci itu masih ada, Yahya masih sering mendatangi kakaknya.
Mereka sudah duduk di ruang keluarga. Sofia masih menatap tak percaya. Apa sudah waktunya mereka memberitahukan kepulangan Randi kepadanya. Berharap agar Yahya menerima anaknya tersebut.
"Bagaimana kabar perusahaanmu?" tanya Yusuf.
Yahya meneguk kopinya dengan tenang dan menjawab "Baik."
"Kedatanganmu kali ini untuk apa?" tanya Yusuf sekali lagi.
Yahya jarang datang kecuali memerlukan bantuan dari kakaknya. Dia juga memiliki sebuah perusahaan properti yang kecil. Serta berada di bawah naungan perusahaan pusat, Rasdjaya Karya milik Yusuf.
Sebagai yang tertua Yusuf diberikan amanat oleh ayahnya untuk mengambil alih perusahaan tersebut. Bukan hanya karena amanat melainkan kerja keras dari Yusuf lah yang membuatnya berhak untuk memiliki perusahaan tersebut. Di bawah pimpinannya perusahaan tersebut berkembang dengan pesat.
Yahya sebagai anak terakhir sejujurnya merasa sedikit iri atas apa yang di miliki oleh kakaknya. Dia mencoba bersaing secara sehat dengan membangun perusahaan yang sama. Tetapi tetap saja tidak bisa mengungguli perusahaan kakaknya tersebut.
Yahya akhirnya menjelaskan maksud kedatangannya, "Akhir-akhir ini perusahaan mengalami sedikit penurunan. Beberapa investor bahkan menarik kembali modal mereka dan membatalkan kerjasama."
Dia menghela napas, "Perusahaan kekurangan dana. Banyak karyawan yang terpaksa dipecat. Jika kakak bersedia tolong akuisisi saja atau paling tidak berikan saya modal."
Yusuf merasa iba mendengar apa yang disampaikan adiknya. Sekalipun perusahaannya menaungi perusahaan tersebut, dia tidak bisa serta-merta memberikan modal. Semua sudah diatur dalam kontrak bahwa pemberian modal hanya bisa dilakukan lima tahun sekali. Saat ini mereka masih masuk tahun ketiga setelah pemberian modal.
Dia kemudian menanggapinya, "Untuk pemberian modal sendiri sudah diatur dalam kontrak. Saya tidak bisa memberikannya sekarang."
Sofia memikirkan kembali perkataan Yahya yang meminta untuk mengakuisisi perusahaannya. Sepertinya ini waktu yang tepat untuk memberikan kesempatan bagi Randi. Ditatapnya Yusuf, berharap agar dia mengerti.
Yusuf kembali berkata, "Saya bersedia mengakuisisi perusahaanmu dengan satu syarat" memberi jeda, "kamu kembali menerima Randi dan membuang semua rasa bencimu."
Yahya terperanjat. Permintaan kakaknya ini serasa seperti jebakan baginya. Sedangkan Sofia tersenyum karena pernyataan tersebut.
Yahya menjadi dilema. Perusahaannya berada diambang kehancuran. Namun disisi lain, dia tidak bisa menerima anaknya kembali walaupun sudah belasan tahun berlalu.
Melihat Yahya hanya diam, dia berkata "Mau sampai kapan kamu menyimpan rasa bersalah itu. Saya tau, kamu hanya mencari pelampiasan."
"Apa kamu tidak merasa kesepian?" dia menatap Yahya meminta jawaban.
Adiknya hanya diam seribu bahasa. Membeku pada tempatnya.
Dia terus menyerangnya, "Seharusnya kamu bisa lebih mengerti penderitaannya. Karena kalian sama-sama kehilangan. Dia menanggung rasa penyesalan itu dan mulai menyalahkan dirinya selamanya. Sedangkan kamu justru membencinya atas apa yang terjadi."
Hati Yahya sedikit tersentak dan terasa nyeri mendengar apa yang dikatakan kakaknya. Mungkin selama ini hatinya sudah membeku. Sampai dia tidak bisa merasakan penderitaan Randi.
-
Setelah menyelesaikan masalah pada kedai kopinya, Randi berencana pulang ke rumah. Langit malam ini terlihat agak gelap. Sinar bulan tertutupi awan-awan besar. Gelapnya malam menandakan mungkin sebentar lagi langit akan menangis. Dia mempercepat laju kendaraan agar bisa segera sampai di rumah.
Beberapa saat kemudian dia sudah sampai. Saat sudah masuk ke dalam rumah, atmosfer di sekitarnya berubah menjadi dingin. Dia tidak tahu apa penyebabnya. Langkah kakinya terasa berat seolah enggan untuk memasuki ruang keluarga.
Dari kejauhan dia melihat Sofia dan Yusuf sedang bersama seseorang. Dia tidak bisa melihatnya dengan jelas karena orang itu membelakanginya. Saat orang itu berbalik dia tertegun melihatnya.
"Ayah" batinnya memanggil.
Untuk pertama kalinya sejak pertemuan terakhir mereka saat dia masih remaja. Lagipula itu hanya sebuah pertemuan tak sengaja.
Sedangkan Yahya tercengang melihat anak satu-satunya tersebut. Wajah yang ditatapnya saat ini langsung mengingatkannya pada Sindi, istrinya. Bahkan rambutnya yang hitam lebat sungguh mirip sekali dengan perempuan yang sangat dicintainya tersebut. Oleh sebab itu dia sangat membenci Randi. Menatap wajah anak ini hanya membawa penderitaan baginya. Disisi lain, sejujurnya dia merindukan anaknya tersebut. Namun, kembali lagi kebencian dan egoisme masih lebih besar dari rasa rindu dan cintanya.
Yahya langsung berdiri dan menatap Randi sesaat. Kemudian dia memilih pergi meninggalkannya yang mematung. Dia tidak menoleh sedikit pun. Matanya berkaca-kaca. Kebencian dan kerinduaan berpadu satu. Batinnya terasa pedih. Anaknya bukan lagi remaja, dia sudah tumbuh menjadi laki-laki dewasa yang tampan. Sayang, dia harus membawa penderitaan itu bersama wajahnya.
๐****๐