Chereads / Takdir Telah Menyapa / Chapter 5 - Tertukar

Chapter 5 - Tertukar

"Sebanyak apapun kemungkinan dan sekuat apapun manusia berencana,

tetap saja jodoh itu di tangan Tuhan. Dia lebih tahu yang terbaik bagi hambanya."

๐Ÿ’™*๐Ÿ’™*๐Ÿ’™

Beberapa hari kemudian.

Pagi hari seperti biasa, Alif sibuk dengan berbagai berkas yang harus ditanda tangani.

Antoni datang dan berkata, "Maaf menganggu Pak. Jadwal selanjutnya rapat dengan Bapak Dirut di--"

Belum selesai berbicara, Alif sudah berjalan pergi meninggalkannya.

"Kebiasaan deh. Belum juga selesai bicara" gerutu Antoni.

Selama masih jam kerja, Antoni akan bersikap layaknya seorang asisten pribadi. Mengatur semua jadwal kegiatan harian dari Alif. Dia sudah mengenal dengan baik seperti apa karakter dari sahabatnya tersebut. Sebentar lagi Alif pasti kembali.

Dan benar saja berselang beberapa menit, Alif kembali dan berkata "Ayah nggak ada di ruangannya."

"Ya iyalah. Makanya dengar dulu sampai selesai. Main pergi saja" kesal Antoni.

"Beliau menunggu di kantin" katanya lagi.

"Rapat kok di kantin" protes Alif.

Alif kemudian turun menemui ayahnya di lantai dasar. Suasana kantin saat itu cukup sepi.

"Ayah, Bilang saja kalau cuma mau ajak bicara. Nggak perlu sampai harus mengatur jadwal rapat." dia memulai pembicaraan.

"Kalau bukan dengan cara itu pasti kamu nggak mau datang" balas Yusuf dengan tertawa kecil.

"Ya sudah. Mau bicara apa? Jangan tanya calon dulu. Alif pusing". Dia memijat pelipisnya.

"Nggak kok. Ayah hanya ingin mengajak kamu pergi ke pesta pernikahan malam

nanti."

Dia kemudian membalas, "Terus di sana Alif diperkenalkan sama perempuan lagi. Siasat lama. Mudah terbaca."

Dia seolah dapat menebek apa yang ada dalam pikiran ayahnya tersebut.

Mendengarnya membuat Yusuf tertawa, "Saking seringnya ya kalau begitu".

Dan kembali mencoba membujuknya,"Ayolah nak. Siapa tahu kali ini bisa menjadi yang terakhir untukmu"

Dia menghela napas dan berkata lirih, "Ayah tahu sendiri. Kalo saya nggak mau, yang susah kalian."

Yusuf kemudian hanya bisa pasrah,"Baiklah. Ayah juga sudah janji nggak akan memaksa. Tapi tolong untuk hari ini saja kamu ikut kami ya?"

Dia kemudian mengiyakan.

Malam harinya mereka sudah bersiap menuju ke pesta pernikahan tersebut. Alif mengajak Antoni dan Randi turut serta dengan menaiki mobilnya.

-

Asyifa sudah bersama dengan para sahabatnya di depan rumah. Terlihat mereka menggunakan seragam warna senada Hijau Zamrud yang indah dengan balutan jilbab. Bahkan Tiwi yang tampangnya sedikit tomboi, malam ini terlihat manis dengan gaunnya. Aksen beludru menambah keanggunan. Untuk riasan wajah mereka lebih memilih terlihat natural.

Sebuah gedung megah kini sudah ramai didatangi banyak orang yang mengenakan pakaian pesta. Mobil dan motor dengan berbagai jenis sudah berbaris rapi di tempat parkir.

Di depan pintu masuk sudah ada hiasan gerbang berbentuk setengah lingkaran yang terbuat dari bunga plastik.

Sebuah foto ukuran 50R dengan kosen emas menawan bertuliskan : Yang berbahagia, Jennifer Mahesa dan Syarif Hidayah.

Dalam foto terlihat Jeni dengan balutan gaun putih seperti seorang putri kerajaan dan Arif dengan seragam senada menatap penuh cinta. Pasangan yang bahagia dengan kisah yang cukup aneh.

Cahya termenung sejenak melihat foto tersebut. Dia ingat kenangan bersama mereka.

***

Dua belas tahun yang lalu,

Kelas VIII-A

Jeni berlari ke dalam kelas membuat semua orang menatapnya heboh.

"Mamaaaaaaaa" teriak Jeni bersembunyi di belakang Cahya.

Seorang laki-laki berseragam putih-biru terlihat berlari membawa patung berbentuk organ dalam tubuh. Ah, itu alat praktik mata pelajaran IPA-Biologi tentang saluran pernapasan.

Dia berlari ke arahnya. Cahya mengerutkan kening sampai menutup mata. Dia pikir laki-laki itu akan memukulnya. Ternyata sasarannya berada di belakang.

Jeni berteriak lebih keras membuat gendang telinganya berdengung. "Ariiiiiiiif.. Sakit tau"

Jeni memegang lengannya erat untuk menjadikannya tameng. Diputarnya ke kiri kanan membuatnya sedikit pusing. Sedangkan Arif masih mencoba mencari celah memukul. Bukan hanya kepala Jeni yang dipukul tetapi miliknya juga.

Karena sudah tidak tahan dengan tingkah kedua bocah labil ini akhirnya Cahya berteriak melepaskan cengkaraman Jeni. "Berhentiiiiiiiiiiiiii"

Mereka terdiam. Suasana kelas yang tadinya gaduh berubah hening. Semua menatap ke arah mereka. Jeni cengar-cengir. Arif membuang muka.

"Kalian ini kenapa sih. Udah kayak anjing dan kucing saja" kesalnya menatap mereka bergantian.

"Kamu juga Arif. Itu buat praktik nanti. Kalo rusak kamu mau tanggung jawab?" tatapnya tajam ke arah Arif.

"Bisa nggak sih kalian itu jangan bertengkar sehari saja. Jodoh baru tau rasa kalian" Sarkasnya.

Arif bergidiak geli dan berkata, "Aku? Sama nih cewek buluk? Ih ogah. Mending aku sama mba Ina aja penjaga kantin"

Jeni melotot ke arahnya, "Emang kamu pikir aku mau sama kamu. Dih, mending aku sama Pak Rama aja"

"Heh.. Biasanya tuh, orang kalo suka bertengkar kayak kalian ini malah jodoh" celetuk Tiwi.

Mereka saling menolak. Cahya melihat wajah Arif sedikit memerah. Mungkin saja dia memang suka tetapi gengsi.

"Kamu nggak dengar apa kata Pak Rama. Kalo cowok suka sama cewek dia pasti bakal gangguin cewek itu terus." Salsa menimpali dari balik pintu.

Belum sempat mereka melanjutkan perjodohan tersebut, Pak Rama guru Fisika sudah datang. Mereka kemudian membubarkan diri.

Siapa sangka sarkasme yang dikatakannya dua belas tahun yang lalu ternyata menjadi kenyataan. Skenario Allah memang tiada tandingan.

***

"Cahya, Ayo.. Malah bengong" Tiwi menyadarkannya dari lamunan.

"Maaf mba. Ponselnya tidak boleh dibawa masuk. Mohon ditinggalkan. Kami akan menjaganya. Dan memberikannya setelah acara selesai" kata penjaga pintu memberi arahan pada mereka.

Mereka meninggalkannya di atas meja dan masuk ke dalam. Beberapa saat kemudian, rombongan Alif sudah datang.

"Kamu sudah mencatat nama setiap pemiliknya kan?" tanya seorang penjaga kepada temannya.

"Iya sudah."

"Baguslah kalau begitu. Tempatkan sesuai abjad"

"Baik"

Penjaga tersebut kemudian menaruh ponsel mereka dalam lemari sesuai abjad.

-

Semua hidangan yang tertata di atas meja panjang tersebut mulai dibuka satu persatu oleh pramusaji. Kemudian para tamu undangan dipersilahkan untuk makan.

Tiwi sudah memegang sepiring nasi berisikan rendang dan mie goreng. Salsa hanya mengambil sedikit sup ayam. Cahya tidak makan, dia hanya mengambil segelas es buah. Asyifa pun sama. Dia memilih menikmati puding saja.

Sementara itu Alif selalu berusaha menghindar saat ayahnya memperkenalkannnya pada kerabat dan pengusaha lain yang memiliki anak perempuan.

Tangan sebelah kirinya mengibaskan baju tanda gerah. Sedangkan yang kanan di tumpuhkan pada meja sebelah. Saat tangannya mencapai tepian meja tersebut, dia merasa seperti mengenggam tangan seseorang. Refleks dilemparkan tangannya ke udara dan mereka menoleh bersamaan.

"Astagfirullah" sama-sama terperanjat.

Mereka melongo. Asyifa dan Alif.

Malam syahdu nan sakral tersebut kembali mempertemukan mereka. Degup jantung Alif berirama tak normal. Kencang. Seperti sehabis lari maraton. Jika saja detak tersebut bisa terdengar maka mungkin saat ini dia sudah menciut menjadi seekor keong. Bersembunyi dan tidak ingin keluar lagi.

Sementara Asyifa merasa jantungnya seperti heboh sendiri. Berteriak meminta tolong untuk ditenangkan. Kepalanya sedikit berdenyut. Mereka mencoba menormalkan kondisi diri masing-masing. Berusaha untuk tidak canggung dan melupakan yang terjadi.

"Asyifa".

"Pak Alif".

"Jangan tanya sedang apa saya disini lagi ya"

Alif tertawa mengapa perempuan ini bisa membaca apa yang hendak dikatakannya.

"Dan jangan bertanya balik" balasnya.

Mereka kemudian tertawa.

"Cantik dan manis, Astagfirullah". Batin Alif melihat Asyifa dengan gaunnya.

Dia mengakui bahwa Asyifa memang tidak secantik perempuan yang selalu ditemuinya setiap hari. Bahkan yang sering diperkenalkan padanya. Namun saat menatap Asyifa, jantungnya akan menjadi tidak karuan dan entah mengapa baginya tatapan tersebut cukup meneduhkan serasa sedang berbeda dalam masjid. Bahkan Asyifa dapat membuatnya terlihat aneh.

"Bapak mau?" Asyifa menawarkan sepotong puding cokelat.

"Ehem.. Boleh. Tapi tolong, jangan panggil saya Bapak di luar kantor seperti ini." Dia kemudian mengambilnya.

Asyifa mengerutkan kening dan bertanya "Kenapa memangnya?"

"Ya, saya terlihat lebih tua" jawabnya singkat.

Asyifa tertawa kecil dan kembali bertanya, "Bukannya memang sudah tua ya?"

"Ya nggak setua itu juga. Kalau kamu panggil saya seperti itu. Kita jadi terlihat seperti ayah dan

anak" jawabnya seolah menolak tua.

Asyifa kembali terkekeh pelan.

"Astaga perempuan ini, apa yang salah dengan ucapanku" batin Alif.

Kemudian Asyifa pamit pergi "Saya permisi dulu pak".

-

Asyifa bersama yang lain sudah menyerbu Jeni dan Arif saat tamu undangan mulai berkurang.

"Jadi, bagaimana ceritanya kucing dan anjing ini bisa jatuh cinta dan menikah?" Tiwi merangkul Jeni.

"Barakallah ya Jen." Salsa memegang kedua tangannya.

Cahya memeluk Jeni. "Ku bilang juga apa, kalian pasti berjodoh"

Asyifa hanya tertawa.

"Sarkasmu menjadi doa Cahya" tatap Arif cengar-cengir bahagia.

"Nggak jadi nikah sama Bi Ina, Rif?" Cahya menggodanya.

"Kamu juga, katanya nggak mau sama Arif. Maunya sama Pak Rama saja" lanjut Cahya.

Arif hanya tertawa menahan malu.

"Pak Rama sekarang sudah 40 tahun Ay. Ketuaan" celetuk Jeni.

"Halah, bilang saja kalau dari dulu kalian itu sudah saling menyukai" tuduh Tiwi.

"Eh, kok lama banget sih Rif. Sampai harus menunggu 12 tahun dulu" lanjutnya penasaran.

"Ya aku juga nggak tau sih. Pokoknya yang jelas untuk memperjuangkannya sangat sulit. Hampir saja aku menyerah. Untung saja Allah maha baik. Dia tahu yang terbaik bagi HambaNya" jawab Arif tegas.

"Masya Allah. Sudah seperti Ustad saja. Padahal dulu dia yang paling sering bolos saat pelajaran Agama"

"Beda dulu beda sekarang dong. Setiap orang berhak untuk berubah".

Mereka tertawa bahagia.

Beberapa jam kemudian resepsi pernikahan tersebut berakhir. Para tamu undangan sudah mulai pulang. Mereka pun pamit kepada Jeni dan Arif. Mereka memberikan satu bungkus kado berukuran besar.

Penjaga mengembalikan ponsel para tamu undangan sesuai abjad nama mereka. Cahya, Tiwi dan Salsa sudah lebih dulu keluar dan menunggunya di mobil.

"Maaf mba. Namanya siapa?"

"Asyifa Nur Imani"

"Oh yang ini? Tolong di cek dulu mba. "

Belum sempat Asyifa memeriksa ponselnya, dia merasa ingin buang air kecil. Tidak tahan lagi dia langsung berlari menuju ke toilet.

Tak berselang lama Alif pun keluar. Ponselnya sudah masuk kantong. Saat berjalan menuju parkiran, ponsel itu terus saja berdering.

"Eh Lif, ponsel kamu bunyi tuh" tegur Antoni.

"Bukan."

"Tapi asalnya dari saku kamu".

Alif merogoh sakunya. Benar, yang berbunyi ponsel tersebut. Namun sepertinya ini bukan miliknya.

Twister

Dia mengangkatnya.

"Halo, Dimana? Lama banget, udah kemalaman nih"

"Halo.."

"Eh kok yang jawab cowok..

Eh gimana-gimana..

Hpnya jatuh kali..."

"Maaf mba. Sepertinya ponsel ini tertukar. Karena sama seperti punya saya"

"Oh, iya. Kalo begitu kira-kira bisa saya ambil di mana ya?"

"Di parkiran saja mba. Kebetulan saya juga sudah mau jalan ke sana. Saya tunggu di dekat mobil Avanza Hitam."

"Oh iya mas"

"Ponselnya tertukar?" tanya Antoni.

"Iya" jawabnya.

Alif mencoba menghidupkan layar ponsel tersebut. Terkunci. Layarnya memperlihatkan gambar seorang perempuan berjilbab merah serta berkacamata frame bulat bening sedang tersenyum lebar. Wajah perempuan tersebut seperti tak asing bagi Alif.

-

Setelah keluar dari toilet Asyifa baru menyadari kalau ponselnya tertukar. Pintu depan gedung tersebut sudah sepi. Dia bingung. Satu-satunya jalan adalah menelpon ponsel miliknya. Untung saja ponsel yang ada padanya saat ini tidak dikunci.

Ponselnya berdering. Diangkat. Asyifa bernafas lega.

"Halo. Maaf ponselnya tertukar."

"Iya, Halo. Iya mba.. Saya tunggu di parkiran saja"

"Syukurlah. Terima kasih"

"Tolong telpon kembali saat sudah di sana ya"

"Iya mas"

Asyifa bergegas menuju parkiran. Harap-harap cemas. Sementara itu Salsa melihatnya.

"Bundaaa" panggil Salsa.

Asyifa menoleh dan mendatangi mereka.

"Gimana ponselnya sudah ketemu?" tanya Cahya

"Belum.. Eh kalian tau darimana?"

"Tadi Tiwi nelpon kamu tapi yang angkat malah cowok. Katanya kita disuruh ke sini"

"Suaranya mirip Pak Alif"

"Ya sudah telpon lagi"

"Iya"

Asyifa kembali menelpon nomornya.

"Halo mas, saya sudah di parkiran. Sebelah mana ya mas?"

"Mobil Avanza Hitam"

"Mobilnya banyak mas, saya bingung"

"Coba kamu berjalan ke depan"

Mata mereka menerawang sama mencari.

"Tolong berhenti di dekat pohon mangga"

Dalam penglihatan Alif hanya ada satu orang perempuan yang berdiri di pohon mangga tersebut. Saat perempuan itu menoleh, Alif spontan memanggilnya.

"Asyifa"

"Iya. Eh. Mas tau nama saya?"

Pantas saja suara perempuan tersebut tidak begitu asing baginya.

"Lihat ke kiri, arah jam 10"

Asyifa mengikuti arahannya. Dilihatnya Alif berdiri bersama Antoni.

"Pak Alif"

"Tertukar ya"

"Untung saja ponsel Bapak nggak di kunci"

"Ini"

Mereka saling menukar ponsel tersebut dengan cengar-cengir. Saling berpandangan sebelum akhirnya pamit pulang.

๐Ÿ****๐Ÿ