Chereads / Takdir Telah Menyapa / Chapter 3 - Memasrahkan Diri

Chapter 3 - Memasrahkan Diri

"Sesuatu yang di tunda kedatangannya oleh Allah mungkin untuk diberikan pada waktu yang terbaik. Fokuslah mendekatkan diri pada Allah."

๐Ÿ’™*๐Ÿ’™*๐Ÿ’™

Setelah memarkirkan mobilnya dalam garasi, Alif dan Randi masuk ke dalam rumah dengan menenteng beberapa kantong plastik.

"Ma, tau nggak tadi muka kak Alif jadi merah kayak kepiting rebus loh" Randi cengar-cengir di samping Sofia.

Mendengar hal tersebut Alif menatapnya dengan tatapan sadis. Sedangkan Sofia hanya tersenyum.

"Oh ya? Memangnya apa yang terjadi?" tanya Sofia menatap Alif.

Alif membuang muka seperti yang selalu dilakukannya saat menghindari pertanyaan yang tidak ingin di jawabnya.

"Randi nggak tahu ma. Tiba-tiba saja saat Randi balik eh udah kayak kepiting rebus aja" jawab Randi sambil membantu mengeluarkan isi kantong plastik tersebut.

Alif justru melenggang pergi menuju kamarnya. Meninggalkan Randi dan Sofia yang masih penasaran dengan apa yang terjadi.

Kejadian tadi membuatnya merasa malu. Entah apa yang sebenarnya terjadi dengannya, Sampai harus terlihat bodoh di hadapan perempuan tersebut. Pasti saat ini, perempuan itu sudah menceritakan semuanya.

Tiba-tiba saja pikirannya kembali pada perdebatan tadi pagi. Sebuah keinginan kedua orangtuanya yang belum bisa dia wujudkan.

Sesampainya di dalam kamar, dia langsung duduk diam di sudut ranjang. Kemudian berdiri menuju balkon. Di peganginya pagar besi yang dingin karena udara malam tersebut.

Bulan bersinar terang di ujung langit dengan beberapa hiasan bintang kecil. Terlihat dari tempatnya berdiri, hingar bingar perkotaan.

Terdengar azan isya berkumandang dari salah satu masjid. Dia diam menunggu azan selesai. Dia teringat kata ustad Zulkifli bahwa waktu terbaik untuk berdoa adalah saat Azan dan Iqamah.

Dalam posisi tangan di atas menyatu sama seperti yang sering dilakukan selepas sholat, dia berdoa, "Ya Allah.. Hamba pasrahkan segalanya kepadamu. Takdirmu yang terbaik. Jika hamba masih diperkenankan untuk mendapat jodoh, maka pertemukanlah hamba dengannya. Aamiin Ya Allah"

Dia kembali teringat dengan program ta'aruf yang dibuat oleh Ustad Zulkifli. Akhirnya dia memutuskan untuk memberanikan diri menjadi peserta. Kemudian ditelponnya Ustad tersebut.

"Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Maaf mengganggu waktunya Ustad. Saya ingin membicarakan mengenai program ta'aruf yang dijalankan Ustad. Apa masih bisa saya mendaftar sebagai peserta?"

"Wa'alaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh. Tidak masalah nak Alif. Tentu saja bisa. Antum tinggal mengirimkan CV nya saja ke Ana. Tapi sebelumnya, antum harus ikut seminar dan pelatihan untuk pernikahan selama 6 bulan. Dan untuk proses ta'arufnya pun antum harus menunggu sampai ada yang tertarik dengan CV antum. Dan kadang butuh waktu selama 3 bulan. Apa antum bersedia?"

"Jadi saya harus menunggu sekitar 9 bulan atau lebih? Subhanallah.."

"Ya seperti itulah nak Alif"

Alif sejenak termenung. Apa benar dia harus menunggu selama itu lagi. Tidak masalah baginya. Hanya saja rasanya sudah cukup membuat kedua orangtuanya menunggu.

Ustad Zulkifli yang menyadari keraguan Alif, memberikan nasehat.

"Kalo antum merasa ragu karena terlalu lama sedangkan antum sudah siap untuk menikah dalam waktu dekat, sebaiknya antum banyak-banyak sholat tahajud. Minta langsung sama Allah. Tidak harus mengikuti program ana. Siapa tau jodoh antum malah ada disekitar bukan disini."

"Mohon maaf sebelumnya Ustad, begini ceritanya. Ayah dan ibu meminta saya untuk segera menikah dalam waktu dekat ini. Dan saya meminta kelonggaran waktu beberapa bulan untuk meyakinkan diri saya dan mencarinya. Itulah mengapa saya jadi ragu. Saya bisa menunggu selama itu ustad. Tapi kasihan orangtua saya. Terlebih ibu, dia sedih saat umur saya yang sudah semakin tua ini tapi belum juga menikah"

"Iya ana mengerti. Tidak apa-apa. Tapi yang perlu antum ingat jangan terburu-buru dalam memutuskan sesuatu terlebih jika itu sebuah pernikahan. Pernikahan adalah ibadah jangka panjang yang harus benar-benar dipikirkan secara matang. Jika antum memang sudah siap, Allah pasti segera mendatangkannya. Berdoa dan terus ikhtiar. Allah sedang menunda kedatangannya mungkin untuk diberikan pada waktu yang terbaik. Sekarang antum fokus saja dulu mendekatkan diri pada Allah. Maka Allah pasti akan mendekatkan antum dengan jodoh antum"

"Iya Ustad. Terima kasih atas nasehatnya. Doakan saya agar bisa secepatnya bertemu dengan jodoh saya. Maaf menganggu waktunya. Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh"

"Sama-sama nak. Iya selalu. Wa'alaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh"

Pembicaraan itu pun berakhir. Dipandangnya bulan di langit berharap Allah segera mengabulkan doa-doa baiknya.

Dingin malam menusuk dadanya. Ada sedikit rasa sakit disana. Kembali dia termenung memikirkan perkataan Ustad Zulkifli tadi.

Randi membuka pintu kamar dan mendapatinya mematung di balkon. Digesernya pintu bertirai putih menuju balkon tersebut. Dia sudah berdiri di samping Alif.

"Bulan yang indah" memecah keheningan sekali lagi.

Alif menoleh dan Randi tersenyum.

"Kak, kalau memang sudah waktunya pasti kalian akan dipertemukan juga kok. Intinya, fokus tawakal dan ikhtiar" kata Randi bijak seolah mengerti keresahan hati kakaknya tersebut.

Alif menghela napas dingin. Udara malam benar-benar menusuknya sampai tulang-tulang. Wajah Randi yang biasanya ceria berubah sendu saat membicarakan hal tersebut. Seolah dia ikut merasakan apa yang dirasakan Alif.

-

Akhirnya Asyifa dan teman-temannya sampai di rumah. Mereka langsung berlari menuju sofa panjang untuk menyadarkan badan yang terasa lelah. Sedangkan Nisa sedang duduk di meja makan sambil memakan Anggur merah.

Setelah mengucapkan salam, dia menaruh kantong plastik ke atas meja makan dan membuka semua isinya.

"Eh kak, Nisa lupa titip obat merah sama perban tadi. Soalnya besok ada praktik bareng dokter muda dari Rumah Sakit Kasih Bunda. Kalau begitu Nisa minta uang saja deh" Nisa menyodorkan tangan meminta uang.

"Kebiasaan.. Minta mulu, kapan ngasih" sindirnya.

"Ya kan belum wisuda kak" cengar-cengir.

Setelah semua aktivitas melelahkan sekaligus membahagiakan itu selesai. Mereka berpamitan pulang. Nisa sudah masuk ke dalam kamar. Sedangkan Asyifa masih sibuk merapikan ruang tamu yang ditinggal dalam keadaan sedikit berantakan.

Sesampainya di kamar, dia mendekati sebuah ranjang kecil yang dibuat menyatu dengan sudut jendela. Tempat favoritnya untuk sekedar membaca buku sambil melihat hujan atau berbaring menikmati waktu senggang.

Kemudian dibukanya salah satu jendela. Membiarkan angin malam berhembus menitipkan salam dari malam yang dingin.

Tatapannya lurus ke depan. Terlihat beberapa pohon. Bangunan menjulang tinggi dan lampu kerlap-kerlip khas perkotaan. Cahaya bulan menyinari wajahnya. Menyatukan keindahan dirinya dengan bulan tersebut.

Matanya terpejam. Sekelebat bayangan laki-laki yang tidak diketahuinya menyapa dalam ingatan. Dia meringis setiap kali sosok tersebut muncul. Kepalanya terasa akan pecah. Tak butuh waktu lama, dia menitihkan air mata. Siapa dan apa hubungannya sosok tersebut dengan kehidupannya masih menjadi sebuah misteri.

-

Setelah berpamitan dengan Asyifa. Mereka melanjutkan perjalanan pulang ke rumah masing-masing. Suasana malam itu membawa keheningan yang cukup mendamaikan. Mereka diam menikmati udara malam.

Salsa tiba-tiba berkata, "Kalian merasa nggak kalo Asyifa itu belum bisa membuka hatinya?"

Dibuangnya pandangan ke arah jalanan yang ramai. Sama halnya dengan Cahya.

"Iya sih" Jawab Cahya

Tiwi justru mencibir "Apa jangan-jangan karena cowok bego itu?"

"Hus.. Nggak boleh begitu" tegur Salsa.

"Habisnya tuh cowok ih. Aku benci sama dia."

"Allah saja tidak membenci hambaNya. Lagian itu kan sudah lama"

"Tapi tetap saja. Aku nggak suka sama dia. Nggak seharusnya dia melakukan itu. "

Mereka kembali terdiam. Ada kemarahan dalam kata yang diucapkan Tiwi. Sedangkan Cahya sedih.

"Kita doakan yang terbaik saja buat bunda. Biar dia bisa segera membuka hati dan menemukan bahagianya." kata Cahya.

"Aamiin" sahut mereka bersamaan.

Mereka bertiga tinggal di perumahan yang sama. Hanya berbeda blok saja. Setelah Tiwi masuk rumah dan berpamitan mereka melanjutkan perjalanan. Cahya sudah duduk di tempat kemudi. Sedangkan Salsa berada di sampingnya.

"Menurut kamu, Asyifa bisa jatuh cinta lagi nggak?" tanya Salsa yang sedari tadi diselimuti rasa penasaran.

"Mungkin. Tapi aku nggak yakin setelah semua yang terjadi ini. " Jawab Cahya.

Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Astagfirullah.." kata Salsa tiba-tiba teringat sesuatu.

Membuat Cahya terperanjat, "Kenapa Sal?"

"Aku lupa ngasih tau kalian. Kalau lusa teman kita si Jeni mau menikah."

"Ya Allah kirain apa. Nikah sama siapa si Jeni?"

"Si Jeni nikah sama Arif. Ingat nggak, mereka suka banget berantem di kelas".

"Oh Arif. Iya, iya ingat. Memang dari dulu aku sudah tahu mereka itu pasti jodoh."

"Eh.. Ngomong ngomong. Kamu kapan nikah Sal?" celetuk Cahya.

Mendengar pertanyaan tersebut.

Salsa langsung membelalak, "Ha? Nggak salah tuh. Harusnya aku dong yang tanya kamu"

Sedangkan Cahya justru hanya tertawa.

"Aku masih menunggu Pooh-ku datang menjemput tau" balas Cahya.

Salsa memukul lengannya. "Sadar woy sadar"

"Aduh. Ih"

"Mau sampai kapan sih kamu menunggunya?"

"Sampai dia menemukanku"

Mereka kemudian tertawa.

"Kita pakai baju aku aja ya." kata Salsa

"Boleh tuh. Hitung-hitung hemat biaya." Cahya tertawa.

"Nanti nikah juga pake punya aku aja ya" Salsa mengedipkan sebelah matanya.

"Boleh. Tapi gratis ya" Cahya terkekeh.

Salsa mencibir "Ye.. Enakan di kamu nggak enakan di aku".

Mereka kembali tertawa.

๐Ÿ****๐Ÿ