Chereads / Takdir Telah Menyapa / Chapter 2 - Temu Kedua

Chapter 2 - Temu Kedua

"Rasanya dia ingin lari saja dari tempat ini tapi ada sesuatu yang menahannya.

Entah perempuan ini atau justru rasa malunya. Dia tidak tahu."

๐Ÿ’™*๐Ÿ’™*๐Ÿ’™

Mereka berhenti tepat di sebuah kafe bernuansa kalem. Dengan hiasan lampu kuning redup. Cat merah dan pastel merupakan perpaduan yang indah.

Terdapat tulisan "Terserah Cafรฉ" di atas bagian depan.

Di setiap dinding terdapat ukiran tulisan motivasi dan beberapa kaligrafi. Dengan jejeran bangku panjang dan ada juga beberapa bangku pendek. Cocok untuk dijadikan tempat tongkrongan.

Sepertinya malam ini sedikit sepi karena hanya beberapa bangku saja yang terisi. Di sana mereka disambut hangat oleh para karyawan.

"Selamat malam neng" sapa seorang barista laki-laki yang sekaligus Manager Kafe tersebut.

Tiwi melirik dan menggodanya, "Malam mas Hendra. Tumben makin ganteng aja"

Dia tidak menjawab dan hanya cengar-cengir dibuatnya. Yang lain pun sama.

"Oh iya mas. Gimana aman?" tanya Asyifa mencoba mengubah suasana.

"Alhamdulilah, aman neng" jawab barista tersebut.

"Kita pesan yang biasa ya" kata Salsa.

Setelah menyapa beberapa karyawan disana, mereka sudah duduk di dekat pintu untuk menikmati waktu bersama. Banyak cerita dan tawa.

"Mau makan dimana?" tanya Salsa.

"Terseraaah" seru mereka kompak.

Kemudian kembali tertawa.

Kafe ini merupakan impian mereka yang berhasil diwujudkan 4 tahun yang lalu. Awalnya mereka sedikit kesulitan karena tidak memiliki modal yang cukup untuk menggaji orang lain. Alhasil, mereka harus bekerja sendirian. Kemudian seiring berjalannya waktu, mereka sudah memiliki pekerjaan yang tetap dan memiliki modal yang cukup untuk mencari karyawan.

Berselang beberapa jam kemudian mereka berpamitan menuju pusat perbelanjaan.

-

Setelah mampir di salah satu masjid untuk sholat magrib, Alif bergegas pulang. Rumah megah bertingkat dua dengan warna emas perpaduan pastel mencolok terlihat dari kejauhan.

Di dalamnya terdapat sebuah garasi yang mampu menampung sekitar 5 buah kendaraan. Pekarangan hijau dengan beberapa jenis bunga serta taman kecil menambah indah rumah tersebut. Lantai keramik cokelat terlihat mengkilat mampu membuat setiap mata tak berkedip.

Dibukanya pintu bergagang keramik tersebut. Terlihat di ruang tamu seorang laki-laki paruh baya dan seorang laki-laki muda sedang menunggunya.

"Assalamu'alaikum" Alif memberi salam dan menatap mereka.

Mereka menoleh ke arahnya.

"Wa'alaikumsalam. Syukurlah kamu sudah pulang. Sini duduk dulu" jawab laki-laki paruh baya yang merupakan ayahnya.

Yusuf Rasdjaya. Seorang pengusaha dan Direktur Utama di salah satu perusahaan miliknya PT.Rasdajaya Karya. Perusahaan yang bergerak dalam bidang properti selama kurang lebih 30 tahun.

"Eh Kak, sudah pulang ya. Sini ngopi yuk. Terus temenin jalan ya" kata laki-laki di sebelah Yusuf.

Dia merupakan sepupunya Alif. Randi Rasdjaya biasa di panggil Randi. Pemilik sebuah kedai Kopi Santuy di salah satu pusat perbelanjaan yang sudah memiliki banyak cabang di berbagai kota.

Alif datang dan langsung memukul lengannya.

"Nggak sopan. Belum apa-apa sudah mengajak keluar."

Sementara itu dia hanya tertawa. Dari arah dapur datang seorang perempuan paruh baya yang merupakan ibunya, Sofia Raya. Menggeleng sambil membawa nampan berisi dua gelas kopi dan sepiring kue lapis legit.

"Duh.. Duh.. Anak-anak Ibu nih nggak pernah akur" protesnya.

Alif menoleh dan menunjuk ke arah Randi, "Yang mulai dia Bu. nggak sopan"

Randi justru membalasnya dengan cengar-cengir, "Eh sans dong. Sans. Nggak usah ngegas"

Mendengar hal itu Alif bertambah kesal. Dia hendak memukul kepalanya. Menyadari akan ada sebuah serangan, Randi langsung lari dan bersembunyi di belakang Sofia.

"Mama. Tolongin dong. Randi mau dipukul nih" meminta pembelaan.

Sejak ibunya Randi meninggal pada usianya yang masih 8 tahun, Sofia yang merupakan tante sekaligus sahabat ibunya tersebut mendapat amanat untuk menjaga Randi. Sofia juga menyayanginya sama seperti Alif. Sejak saat itu, dia sudah seperti seorang ibu bagi Randi.

"Sudah-sudah. Kalian ini kayak anak kecil saja" Yusuf melerai saat Alif masih saja mencoba memukul Randi.

Mereka berhenti, saling berpandangan dan akhirnya tertawa. Begitulah mereka. Kekerasan adalah tanda kasih sayang. Sejak kecil sampai sekarang Alif suka sekali memukulnya. Bahkan Alif ingat saat kecil pernah membuatnya menangis tersedu-sedu.

Alif memeluknya. Menepuk pundaknya dan bersalaman ala mereka.

"Gimana kabarnya nih Bos Santuy?" sapa Alif.

"Alhamdulilah baik kak. Kalo kakak sendiri gimana?" balasnya.

Alif merentangkan tangan sambil menganggukan kepala, tersenyum dan berkata

"Look at me now"

Randi menatapnya dari atas sampai ke bawah. Perubahan bentuk tubuh yang cepat. Wajah yang mulai tumbuh janggut tipis di sekitar pipi. Menambah kesan berumur namun berwibawa pada laki-laki yang dianggapnya saudara ini.

"Wih.. Makin makmur aja nih Bapak Direktur" puji Randi.

Setelah mengagumi diri masing-masing mereka pun duduk bersama dan bercerita seperti keluarga hangat yang lama terpisahkan. Randi juga merupakan anak satu-satunya sama seperti Alif. Sejak kematian ibunya, dia tidak pernah pulang ke rumah. Ibunya meninggal akibat kecelakaan lalu lintas saat akan mengantarkannya liburan.

Diliputi rasa bersalah membuatnya enggan pulang dan bahkan ditambah kebencian sang ayah yang menganggap bahwa kematian tersebut terjadi karenanya. Walaupun demikian dia tidak pernah membenci ayahnya. Hanya saja rumah bukan lagi tempat dia pulang. Baginya keluarga yang dimiliki hanyalah ini.

Dia tidak berani menemui keluarga ibunya. Bahkan hubungan ayah dan anak hanya sebatas nama di kartu keluarga. Semua yang miliki saat ini saja sepenuhnya hasil perjuangannya. Semua orang berpikir bahwa keluarga Rasdjaya adalah orang paling kaya dan bahagia. Tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi dan tersembunyi dari pandangan publik.

"Nak, kalian mau pergi ke pusat perbelanjaan kan? Ibu sekalian titip bahan dapur ya" kata Sofia yang sedang merapikan peralatan dapur bersama seorang pembantu.

"Mama nggak salah apa? Emang Alif bisa?" tanya Randi heran.

"Bisa. Kan ada kamu yang bisa bantu" jawab Sofia meyakinkan.

"Eh iya Lif, sekalian Ayah titip bahan mobil, alat pancing, badminton, sajadah, tasbih, minyak wangi, ah aki motor juga" sambung Yusuf yang hendak ke kamar mandi.

Alif sejenak terdiam.

"Ini nggak sekalian tempatnya aja?" menoleh kearah mereka bergantian.

Randi menimpali dari sudut tangga dengan mengangkat jari telunjuknya.

"Boleh juga tuh. Ide bagus"

Sofia dan Yusuf hanya tertawa.

"Lagian ada-ada saja. Masa di suruh beli barang sebanyak itu dan nggak satu tempat lagi" mengerutkan kening tanda tak suka.

Tawa Yusuf menggema di ruangan.

"Hahaha.. Bercanda"

Sofia menyodorkan selembar kertas berisikan daftar bahan dapur yang harus di beli.

"Ini daftarnya, biar bisa mempermudah kamu"

"Hitung-hitung kamu juga belajar. Kan nggak lama lagi kamu akan menikah" sambung Sofia.

"Hmmm.. Iya, saya ganti baju dulu" pamitnya menuju kamar di lantai dua.

Saat pintu kamar terbuka, menampilkan sebuah kamar megah nan besar dengan dinding cat berwarna hitam kombinasi abu-abu. Terdapat dua buah kaligrafi berbingkai kayu emas besar bertuliskan "Allah" dan "Muhammad" menggantung di dinding tepat di atas tempat tidurnya.

Ranjang hitam berselimut merah tersebut terlihat elegan. Lampu putih redup menambah kesan misterius kamar tersebut. Kamar ini cukup besar untuk di tempati seorang diri.

Di sudut kanan terdapat satu ruangan sholat dengan beberapa sajadah dan Al-Qur'an. Beberapa lemari putih yang menempel di dinding. Berikut juga dengan perpustakaan kecil di sudut kanan sebelum ruangan sholat.

Untuk saat ini dia masih tinggal dengan orangtuanya. Dia belum siap meninggalkan ibunya sendirian. Dia benar-benar menyayangi ibunya. Setelah mengganti pakaian dia kemudian pergi bersama Randi.

"Eh kak, kamu yakin bisa dapetin semuanya?" tanya Randi ragu.

"Insya Allah" jawabnya singkat.

"Caranya?" Randi masih penasaran.

"Ya nyari" jawabnya santai dan melenggang masuk.

"Singkat, padat dan nggak jelas" Randi menatap tak yakin.

Keadaan pusat perbelanjaan saat ini terlihat cukup ramai. Banyak anak muda hilir mudik di dalam. Beberapa ibu-ibu menenteng tas belanja. Keluarga kecil yang berbahagia di sebuah tempat bermain anak-anak.

Sesekali Alif tersenyum melihat keluarga kecil itu tertawa. Dia teringat dengan sepupu perempuannya yang sudah menikah dan memiliki anak perempuan berusia sekitar 5 tahun yang sangat dekat dengannya. Benar kata ibunya, bahwa dia iri melihat kebahagiaan keluarga kecil tersebut.

Namun apa hendak di kata, Allah belum juga mempertemukan dia dengan jodohnya. Bahkan sampai umurnya yang sudah 32 tahun ini. Hal yang dikhawatirkan ibunya terjadi. Alif terlalu sibuk dengan pekerjaan sampai melupakan hal pribadi.

Randi sudah memegangi sebuah troli. Sedangkan dia sibuk mengamati bahan dan mencocokkan dengan daftar tersebut. Mereka menelurusi setiap bagian. Dari banyaknya bahan, masih tersisa 3 bahan yang belum bisa didapatkan.

Alif membaca bahan tersebut, "Kunyit, lengkuas dan lada"

"Kalo kunyit aku tau kak, warnanya kekuning-kuningan gitu. Bentuknya kayak batang pohon kalo nggak salah" seru Randi yang berada di belakangnya.

Alif menoleh ke arahnya dan bertanya, "Kalo lengkuas sama lada?"

"Kalo itu aku nggak tau kak" Randi terkekeh pelan.

Mereka masih berjalan menelusuri semua rak berisikan bahan dapur dan kue.

"Kayaknya yang ini deh" tebak Alif yang sudah memegangi sebuah kunyit.

"Yang jahe sama lada mana ya"

Alif masih mencari sampai berjongkok. Dia sangat berpikir keras untuk menentukan yang dipegangnya adalah jahe atau lengkuas. Maklum dia tidak bisa membedakan kedua bahan tersebut.

Sedangkan Randi bersama trolinya justru sibuk sendiri sampai menghilang dari pandangan Alif. Sama seperti Avatar yang hilang saat dibutuhkan, Randi tidak lagi terlihat. Meninggalkannya yang masih kebingungan.

Tanpa disadarinya, ramai orang lalu lalang. Beberapa ibu-ibu memperhatikannya bahkan ada yang sampai menahan tawa melihat tingkahnya. Tidak ada yang datang mendekat untuk membantu, mereka justru menikmati tingkah konyol Alif.

Sementara itu, di tempat buah-buahan. Asyifa sedang sibuk menaruh beberapa apel di atas timbangan digital dan memasukkannya ke kantong plastik. Tidak ada yang aneh selama pandangnya sampai dia tak sengaja melihat beberapa ibu-ibu saling berbisik menahan tawa. Muncul lah rasa penasaran.

Di ikuti arah pandangan tersebut. Terlihat mereka sedang menertawai seorang laki-laki yang seperti kebingungan mencari sesuatu. Dia memiringkan kepala mencoba melihat dengan jelas dan menyadari bahwa orang itu benar-benar berada dalam kesulitan. Merasa kasihan akhirnya dia mendatanginya.

Laki-laki itu sedang sibuk memilih lengkuas. Seperti yang didengarnya sekilas. Tetapi justru menjatuhkan pilihan pada jahe.

Sambil menahan tawa dia berkata

"Maaf mas, itu lengkuas. Ini jahe" mengambil jahe dari bagian kedua tempat laki-laki tersebut berjongkok.

Laki-laki itu sejenak terdiam. Dia seperti mengenali suara tersebut. Dan benar saja saat dia berdiri dan menoleh yang di lihatnya adalah Asyifa. Dia terkejut.

Asyifa pun sama. Dilihatnya laki-laki berkaus polos hitam, jeans blue panjang dengan tatapan terkejut. Ternyata itu Alif.

Mereka terpaku, tanpa suara. Pikiran mereka seperti sedang mengamati suasana. Alif terdiam.

Tidak bisa dipungkiri bahwa aura ketampananya meningkat saat hanya memakai kaus polos. Mampu membuat siapa saja yang melihatnya terpesona.

"Pak Alif"

"Asyifa"

Alif berdeham kecil dan bertanya, "Ehem.. Sedang apa disini?"

"Ya belanja, masa iya rapat Pak" jawabnya dengan tertawa kecil.

Entah apa yang sebenarnya terjadi. Tiba-tiba saja dada Alif terasa bergetar saat perempuan tersebut terlihat tertawa menatapnya. Segera mungkin dia beristigfar berharap getaran tersebut hilang.

"Yang tadi Bapak pegang itu bukan jahe, tapi lengkuas" katanya menjelaskan.

Dia kembali menjelaskan, "Lengkuas mungkin memang terlihat mirip sama jahe. Tapi dari aroma dan jenisnya mereka berbeda. Jahe beraroma tajam sedangkan lengkuas nggak. Dan lengkuas juga terbagi menjadi dua jenis. Yaitu lengkuas merah dan lengkuas putih".

Alif menganggukkan kepala tanda mengerti.

"Kalo yang ini lada?"

Alif memperlihatkan apa yang ada di tangan kanannya.

"Itu cengkih" Asyifa menahan tawa.

"Kalo ini?" menunjuk salah satu bahan.

"Itu ketumbar"

"Ha..! Saya tau pasti yang ini kan" dia pun mengambil kayu manis.

Kesoktahuan Alif membuat dia tak bisa menahan tawanya lagi. Akhirnya lepas sudah apa yang ditahan Asyifa dari tadi. Wajah Alif memerah malu. Badannya beku. Anehnya dia justru bahagia melihat perempuan itu menertawai kebodohannya.

Asyifa berusaha menghentikan tawa sampai harus menutup mulutnya.

Dengan sisa-sisa tawa dia berkata, "Maaf pak, itu kayu manis. Lagipula bapak sok tau deh. Lada itu warnanya putih dan berbentuk bulat kecil. Bukan kayu". Dan kembali tertawa.

Alif menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. Rasanya dia ingin lari saja dari tempat ini tapi ada sesuatu yang menahannya. Entah perempuan ini atau justru rasa malunya. Dia tidak tahu.

Sampai beberapa saat kemudian dari kejauhan seorang perempuan berteriak "Bundaaaaaaa"

Mereka menoleh secara bersamaan ke sumber suara.

Terlihat perempuan berjilbab pasmina yang kemudian disusul dua perempuan lain. Itu Cahya, Tiwi dan Salsa.

Mereka bertiga menatap aneh pada Asyifa yang masih tertawa. Salsa menyentuh dahinya. Sedangkan Cahya dan Tiwi sedikit terkejut dengan kehadiran Direktur mereka.

Mereka serentak bertanya "Eh Pak Alif, Kenapa bisa ada disini?".

Tidak menemui kepastian dari apa yang terjadi, Mereka memandang Alif penuh curiga.

Merasa terintimidasi dia pun menjawab, "Ha-h.. Saya lagi belanja"

"Dia baik-baik saja. Maaf sudah membuatnya tertawa" lanjutnya.

Akhirnya Asyifa menghentikan tawanya. Sebelum pergi dia mengambil sesuatu di rak kedua dan memberikannya pada Alif.

"Ini baru yang namanya lada pak"

Selepas kepergiannya. Alif mengusap-usap wajahnya yang memerah berharap memudar. Tiba-tiba saja entah darimana datangnya, Randi sudah berdiri tepat di belakangnya.

Kemudian menepuknya, "Kamu kenapa kak?"

"Astagfirullah"Alif terperanjat dan memukul lengan Randi.

Sedangkan Randi hanya tertawa melihat wajahnya yang sudah seperti kepiting rebus.

"Ini kakak aku kenapa sih? Jadi mirip kepiting rebus begini mukanya" menatap lekat wajahnya.

"Sudah ah ayo cabut." dia justru bergegas pergi.

Randi bingung dan mencoba meraihnya yang sudah menjauh.

"He, Tunggu dulu. Emang sudah semua bahannya?"

"Sudah, ayo!" sahutnya singkat.

-

Selepas kejadian lucu tadi mereka kembali berkumpul.

"Kamu kenapa sih?" tanya Tiwi.

"Iya, kenapa? Nggak panas kok" Salsa memegangi dahinya.

Bulu kuduk Cahya meremang "Jangan-jangan dia kesambet lagi. Hi..."

Asyifa balik menatap dan berseru "Sembarangan"

"Ya kalo gitu kenapa dong?" tanya Cahya penasaran.

"Nanti deh aku cerita di mobil. Eh trolinya mana?" dia sadar dan bingung sendiri.

Alif berhasil membuat dia melepaskan apa yang digenggamnya.

Mereka sama terkejutnya.

"Aduh gawat"

"Snack gueeeee"

"Bahan kafe, aduh"

Panik mereka mencari ke semua tempat.

Sampai akhirnya mereka menemukan troli yang sudah menggunung dengan berbagai barang tersebut terdiam di sudut keranjang buah Apel.

Setelah drama kehilangan troli akhirnya mereka sudah berada di mobil dan pulang.

Tiwi menatap dari kaca depan, "Eh tadi itu bukannya Pak Alif ya? Ganteng juga ternyata"

Salsa menoleh ke belakang, "Aku sih malah penasaran kenapa kamu ketawa"

"Aku juga" sambung Cahya yang menatapnya dari samping

"Oh, Jadi gini....." Asyifa sengaja menggantungkan kalimatnya.

Membuat mereka terlihat serius ingin mengetahui yang sebenarnya terjadi.

Dan dia justru meledek mereka dengan tertawa "Penasaran yaaa.."

"Emaaaakk" Tiwi berteriak dari tempat kemudi

"Bundaaaa" Salsa pun sama.

"Bundaaa.. Ih aku tuh nggak bisa di giniin" lebay Cahya

Dia justru tertawa senang. "Oke. Oke. Jadi begini..."

Kemudian dia menceritakan semua yang terjadi. Mereka tertawa lepas saat itu juga.

Cahya memberi komentar sambil tertawa kecil. "Pak Alif ternyata sekaku dan sesotoy itu ya."

Salsa tiba-tiba bertanya, "Eh tunggu, nama perusahaannya PT.Rasdajaya Karya kan?"

Mereka justru balik bertanya "Iya terus?"

Dia kembali melontarkan pertanyaan, "Kalian sadar nggak sih? Nama direkturnya siapa?"

"Pak Alif" sahut mereka kompak.

Salsa menggelengkan kepalanya "Ih bukan. Nama lengkapnya"

"Oh. Alif Syahputra Rasdjaya" sahut mereka kembali.

Mereka sejenak terdiam dengan pikiran masing-masing.

Sampai akhirnya Tiwi berteriak "What!! Jadi dia pemiliknya"

"Bisa jadi" Cahya ikut menimpali.

Salsa kembali di buat penasaran, "Eh tapi aneh nggak sih? Kenapa dia cuma jadi Direktur bukan Direktur Utama?"

"Apa mungkin dia cuma kakak atau adik dari pemiliknya?" pikir Tiwi

"Secara Pak Yusuf yang jadi Direktur Utama sudah cukup tua" jelas Cahya.

"Mungkin" jawab Asyifa singkat.

Cahya mencoba menebak "Terus kayaknya yang nyuruh dia belanja tadi pasti istrinya".

Mendengar hal tersebut Tiwi seperti lesu "Ya, sold out dong"

Mereka tertawa karena responnya, "Masih banyak di luar".

"Bisa jadi sih. Soalnya dia kelihatan kayak udah berkepala tiga" Salsa mencoba menerawang kembali.

"Om-om dong" celetuk Tiwi yang di balas tawa oleh mereka.

"Tapi nggak apa-apa deh. Keren kok. Eh tapi udah sold out" celetuknya lagi

Pikiran Asyifa kembali pada saat kejadian lucu tersebut.

Dia pun menambahkan, "Tapi jujur saja ya, tadi itu dia terlihat lebih muda dibandingkan waktu di kantor"

Mereka memandangnya serius. Dia justru merasa aneh dengan tatapan mereka.

"udah ah nggak baik ngomongin orang"

๐Ÿ****๐Ÿ