_Sebuah Bekas Luka Yang Berhasil Menemukan Penawar Sakitnya_
*****************************
Angin malam bertambah dingin. Tidak sama dengan hati seorang remaja yang berada di tengah jalanan aspal yang mulai dingin. Remaja lelaki itu tengah tersenyum di balik helm yang menutupi ketampanannya. Bahagia yang ia rasakan, walaupun nyeri di ujung bibirnya masih terasa.
Lelaki itu melajukan motor besarnya dengan kencang menuju rumah tempat di mana ia tinggal. Hari sudah lengang karena telah menunjukkan pukul sepuluh. Baru saja lima belas menit ia meninggalkan rumah gadisnya, hatinya sudah merasakan sepi karena rasa rindunya.
Lelaki itu masih belum berhasil menghalau rasa senangnya bertemu dengan gadis yang sudah ada dalam hatinya. Pertama kalinya dia merasakan rasanya jatuh cinta setelah kejadian dua belas tahun yang lalu. Dua belas tahun yang lalu, pertama kali dia merasakan sakitnya kehilangan orang yang ia sayangi.
Saatnya ia kembali dengan rasa yang baru dan juga sosok yang baru. Luka lama telah menemukan penawar rasa sakit yang akan sembuh sedikit lagi.
Suara motor besarnya telah memasuki halaman rumah yang terlihat menakjubkan. Motor besarnya telah ia tempatkan dalam tempat yang seharusnya. Deon membuka pintu yang akan membawanya masuk ke dalam rumah itu.
Ceklek
Masih dengan senyumnya yang belum memudar, Deon menaiki tangga kamarnya. Deon terlihat tampan dengan tas hitam yang ada di bahu kanannya. Tidak pernah ia sebahagia ini. Bahagia yang pertama kali ia terima setelah dua belas tahun yang lalu.
Di balik punggungnya, seseorang memandangnya dari belakang. Dalam balutan suit hitam dan dasi yang masih ada di kerah bajunya, lelaki itu tersenyum.
"Senangnya melihat mu tersenyum, " lirih lelaki itu.
Dialah Leon Callum Brixton. Penerus keluarga Brixton yang merupakan pendiri 'RSP'. Regal Spy yang merupakan sebuah agen mata-mata yang biasa disewa oleh beberapa konglomerat di kota itu.
Leon kagum dengan ekspresi kebahagiaan yang ditunjukkan oleh anak semata wayangnya itu. Sedikit lega dari hatinya, telah memastikan anaknya tidak terkukung dalam penderitaan dari masa lalu.
"Syukurlah, " gumamnya sebelum meninggalkan rumah untuk kebaktiannya kepada perusahaan yang telah lama ia kembangkan.
********************************
Sebuah ruang kamar yang bernuansa merah muda, seorang gadis masih tersenyum menatap langit kamarnya. Ara merasa ia tidak akan bisa tidur malam ini. Entah malam ini terasa begitu panjang, begitu juga dengan degupan jantungnya yang tak mau berhenti bergetar hebat.
"Aish! Ara gila lo! Astaga!" ucapnya pada dirinya sendiri.
Ara tak henti-hentinya menendang selimut yang menutupi seluruh tubuhnya. Sungguh dia merasa kesal dengan degupan jantungnya yang tak mau berhenti.
Apa yang Ara rasakan tidak jauh berbeda dengan lelaki yang ada di dalam kamar bernuansa gelap. Deon telah selesai membersihkan diri. Kini ia berada di atas balkon milik kamarnya. Tangan kekar itu terulur untuk memegang sebuah plester yang tah sempurna menutupi luka yang ada di ujung bibirnya.
Hari itu sungguh malam yang indah karena langit malam yang menyajikan bintang-bintang yang bertaburan. Begitu juga dengan perasaaan sepasang insan ini. Mereka masih ada di trotoar depan rumah gadis itu.
"Deon, "
"Ra, "
Secara bersamaan keduanya memanggil satu sama lain.
"Lo dulu aja, " seru gadis itu dengan nada yang menahan gugup.
"Ehm, lo, ehm, " tidak pernah sekalipun leader The Widers ini ragu dalam pembicaraannya. Biasanya lelaki ini tidak banyak berpikir dalam berbicara dengan musuhnya sekalipun. Namun detik ini juga, di hadapan seorang gadis ia tampak tak berdaya.
Sejujurnya, lidah lelaki itu saat ini terasa kelu. Dan otaknya yang terus berputar mencari kosa kata yang tepat. Kedua telapak tangannya bahkan terasa dingin dengan keringat yang mulai mengalir di pelipisnya.
"Walaupun lo mungkin bakal bahaya bareng gue, lo mau gak jadi orang yang bakal gue lindungin? " akhirnya dengan segenap keberanian yang ia miliki, Deon berhasil menyatakan perasaannya.
Ara yang mendengar itu, kini menatap Deon horror. Matanya yang membulat dan juga mulutnya yang menganga. Ara tak menyangka jika Deon akan menyukainya secepat ini. Deon tersenyum kaku merasa bodoh setelah mengungkapkan perasaannya.
"Ehm, gue, "
"Gue gak maksa lo buat jawab sekarang, "
Ara yang mendengar itu pun menganggukkan kepalanya pelan. Deon mulai berdiri berniat untuk pulang. Sudah larut malam, tak baik ia masih ada di rumah gadis itu pikirnya.
"Gue balik dulu, "
Ara pun mengangguk. Deon berjalan ke arah kuda besinya dan mulai memakai helm full face miliknya. Tiba-tiba Ara menahan tangannya, membuat lelaki itu menatap Ara yang ada di sampingnya.
"GUE JUGA SUKA LO! " teriak gadis itu yang langsung berlari ke arah rumahnya meninggalkan Deon sendirian.
Deon yang mendengar dan melihat apa yang dilakukan gadisnya kembali tercengang. Semua pergerakannya terhenti dalam sekejap setelah mendengar jawaban atas pengakuannya hari ini. Tak lama ia mengulumkan senyum yang paling lebar dalam hidupnya. Jantungnya berdegup kencang. Tangannya yang lemas mencoba memakai helm hitam itu. Tak lama kemudian Deon pun pergi dari sana.
Deon tersenyum sembari mengingat kejadian malam itu. Deon mengambil ponselnya dan mengetikkan sebuah pesan di sebuah nomor yang tertera nama Maureen di sana.
Ting!
Sebuah notifikasi berbunyi dari ponsel Ara. Ara yang masih ada di bawah gulungan selimut mencoba mengambil ponselnya yang ada di samping kanan tempat ia berbaring.
"Selamat malam, " Ara membaca pesan yang berasal dari kekasih barunya.
Ara kembali menggila dengan membanting semua bantal yang ada di sampingnya. Tiba-tiba ia merasakan gerah di seluruh tubuhnya. Ara mulai berjalan kesana-kemari di dalam kamarnya itu. Sungguh ia tak tahu apa yang harus ia perbuat kemudian. Sebab ini adalah kali pertamanya menjalin sebuah hubungan.
"Astaga Ra! Jantung lo gak mau berhenti! Huee!! " hebohnya berteriak di dalam kamar.
"Astaga! Ini udah malem Ra! Malah teriak-teriak lo! " serunya pada diri sendiri.
Bruk!
Dengan segenap rasa yang membara dalam dirinya, Ara melompat ke atas ranjang tidurnya. Dia berteriak di dalam bantal yang menutupi mulutnya. Rasa lelah merasuki dirinya, membuat gadis itu tertidur dalam sekejap.
****************************
Keesokan harinya Ara terbangun dari tidurnya dengan senyum yang mengembang di wajahnya. Dia masih teringat bahwa sekarang ia telah memiliki kekasih. Sepanjang aktivitas paginya, Ara tak henti-hentinya tersenyum.
Ara telah siap dalam balutan seragam sekolahnya. Gadis itu langsung turun ke bawah sembari bersenandung riang.
"Pagi semuanya! " serunya kepada seluruh anggota keluarganya yang telah berkumpul di meja makan.
"Pagi! " dengan bersamaan ketiga anggotanya menjawab salam yang ia berikan.
Ara langsung menduduki sebuah kursi yang biasa ia tempati. Ara mengoleskan selai cokelat ke atas roti yang telah sempurna terpanggang. Ara melahap roti itu cepat karena tidak mau terlambat hari ini.
"Pelan-pelan ra, " tegur mamanya melihat sikap anaknya yang terburu-buru melahap makanannya.
Ara menganggukkan kepalanya tanda mengerti. Ara pun berhasil menghabiskan roti miliknya dan mulai meneguk susu putih yang telah dibuat oleh ibunya.
"Ehm enak, makasih ma! Ara berangkat dulu ya! " ucapnya sembari menyalami kedua orang tuanya.
"Kesambet apa tu kak Ara, " tanya Eca pada dirinya sendiri.
Ara pun telah keluar dari rumahnya dan mulai berjalan keluar menghampiri kekasih barunya. Deon memang telah mengiriminya pesan bahwa ia akan menjemput Ara pagi ini.
"Pagi, " saat Deon yang melihat Ara keluar dari gerbang rumah Finley itu.
"Pagi, " balas Ara sembari tersenyum manis.
"Jangan senyum-senyum, masih pagi, " tegur Deon sembari mengelus pucuk kepala gadisnya.
"Ih! biarin lah, "
"Kalo gue gak kuat gimana, " inilah pertama kalinya Deon membual di hadapan Ara.
"Hahaha, aduh aduh, perut gue sakit, hahaha, kocak juga lo, "
"Gue gak bercanda, " tegur Deon yang berhasil menghentikan tawa seorang Maureen Arandra Finley.
"I iya maaf, "
"Udah, udah, cepetan naik, " perintah lelaki itu agar Ara segera menaiki kuda besinya.
Ara segera menaiki kuda besi itu namun langsung ditahan oleh Deon. Deon memakaikan gadis itu helm.
"Jangan pernah senyum-senyum di depan bajingan-bajingan di luar sana ya, " ucap Deon sembari merapikan poni gadisnya. Deon menatap teduh, wajah yang berhasil memberikannya sebuah kebahagiaan.
"Karena lo punya gue, " ucapnya dengan senyum yang mengembang.
"Lo juga! jangan senyum-senyum sama cewek-cewek centil! Oke? "
"Siap Maureen! "
Keduanya pun tenggelam dalam tawa, tidak sadar tengah menjadi tontonan tiga orang di balik gerbang.
"Kakak mu udah punya pacar ca, "
"Anak kita udah besar ma, "
"Kapan gue punya pacar, "
************************************