_Terkadang kenangan dari masa lalu akan teringat kembali pada waktu yang tak terduga_
*********************************
Sinar jingga kembali menyinari hari yang beranjak petang. Ara yang sudah pulang ke rumah, mengucap salam dari ruang tamu.
"Sore! Ara pulang," serunya sembari melepas sepatu hitam yang ia kenakan tadi.
Belum ada balasan atas salamnya. Ara beranjak berdiri, sembari menenteng sepasang sepatu sekolahnya. Ara letakkan sepasang sepatu itu pada tempatnya. Kaki yang terbalut rok di atas lutut itu mulai melangkah masuk.
"Pada kemana ya?" gumam gadis itu mengarahkan tubuhnya ke arah dapur.
Kerongkongan yang mengering, menuntun Ara untuk mengambil air minum. Sesampainya di sana, Ara tak melihat apapun karena lampu yang tidak dihidupkan.
Klik
Tangan Ara menekan sebuah tombol yang berguna untuk menghidupkan lampu dapur itu.
"DOR!"
"Astaga!"
Suara keras bergema dalam ruangan itu. Suara itu berhasil mengagetkan Ara, itulah mengapa sekarang, kedua tangannya bersamaan menutup kedua daun telinga miliknya. Begitu juga dengan kedua matanya yang sudah menutup sempurna.
"Hahaha," terdengar suara tawa dari dalam dapur itu.
Mata Ara langsung terbuka bahkan telah melotot dengan sempurna.
"Papa! Mama!" serunya setelah melihat siapa yang ada dibalik sandiwara ini.
Gadis itu langsung berlari memeluk kedua orang tuanya, yang langsung disambut oleh kedua orang yang Ara sayangi.
"Pulang kapan Ma?" tanya Ara yang masih memeluk erat wanita paruh baya itu.
"Tadi siang," balas mamanya yang masih mengusap puncak kepala putri sulungnya.
"Makanya jangan sering bolos kak," celetuk seseorang yang juga ikut andil dalam sandiwara ini.
"Siapa yang bolos?" tanya El yang dari tadi mendengarkan percakapan ketiga orang yang ada di hadapannya.
"Kak Ara pa," jawab Eca menanggapi pertanyaan dari papanya.
"Betul Ra? Kamu bolos?" tanya El beralih pada putri sulungnya.
Ara yang masih tidak sadar dijadikan bahan pembicaraan, tidak merespon pertanyaan yang diberikan oleh tuan Lazzaro Fedrell Finley itu.
"Ara?" dengan lembut, mamanya mencoba menyadarkan buah hatinya yang masih ada dalam dekapannya.
"Iya ma?"
"Ditanyain papa kamu,"
Ara perlahan melepaskan pelukannya dan berlaih menatap papanya yang masih berdiri dengan kedua tangan yang bersedekap.
"Kamu bolos?"
"A-apa pa? Aku nggak bolos," jawabnya.
"Tadi Eca bilang, kalo kamu, tadi bolos,"
"Nggak pa! Eca tu yang bohong," seru Ara sembari menunjuk adiknya.
"Lah tadi lo lari-lari kenapa? Sama kak ojol lagi, hahaha," ejek sang adik yang kini tertawa terbahak-bahak.
"Kak ojol?" tanya Seren.
"Iya, waktu itu pernah jem-
"Bohong ni Eca, Aku nggak bolos kok pa, cuma tadi dikasih tugas tambahan, hehe," jelas Ara sembari menyumpal mulut sang adik dengan tangan kanannya.
"Ah bau lo kak!" seru Eca sembari melempar tangan Ara.
"Udah, udah jangan berantem, Ara sekarang mandi ya, Eca kamu bantuin mama," lerai Seren sembari mendorong kedua anaknya untuk menjauh.
"Oke ma!" seru Ara yang senang bisa selamat dari omelan tuan Finley.
"Tapi ma,"
"Udah, jadi adik yang baik ya sayang," ejek Ara sembari berlari ke arah kamarnya.
***************************************
Malam terlihat bersinar kali ini. Bintang yang bergerombol menambah kesan tersendiri bagi Maureen Arandra Finley. Gadis itu kini tengah menikmati angin malam yang berhembus pelan di atas balkon kamarnya. Selesai memenuhi kewajibannya sebagai pelajar, gadis itu keluar untuk merehatkan pikirannya sejenak.
Ara memejamkan kedua matanya. Tidak terasa dirinya kini mengenyam akhir bangku sekolah.
"Apa kabar Lyn?" lirihnya merindukan seseorang.
Dirinya kembali merindukan seseorang yang ada dalam masa lalunya. Tak terasa buliran air mata mengalir di kedua pipinya. Kedua tangan yang mulai melemas mencoba mengusap buliran-buliran air mata itu. Ara kembali terisak, sama seperti Maureen di hari itu. Ara tak mampu menopang tubuhnya, dia terduduk di bawah, masih menangis.
Ara menutup mulutnya supaya tidak terdengar seorang pun di sana.
"Hiks, hiks, Kelyn," dalam tangisnya ia menyebut nama seseorang. Tangisnya semakin menjadi, sama seperti kerinduan yang melanda dalam dirinya.
Ting
Hingga sebuah notifikasi dari ponselnya yang berhasil membuat ia tersadar. Dibukanya ponsel yang ada dalam genggamannya.
Tertulis nama pengirim dari pesan itu.
Deon
Udah tidur?
Tanya lelaki itu yang tertera pada layar ponsel Ara. Sedikit Ara tersenyum melihat itu. Gadis itu kembali mengingat kejadian saat ia dihukum untuk berlari bersama lelaki itu. Mereka berdua menjadi tontonan seluruh siswa di sekolah mereka. Sebenarnya, Eca memang mengatakan yang sebenarnya terjadi. Tak sengaja Ara dan Deon tertangkap basah oleh guru olahraga mereka Pak Kevin.
"Kalian dari mana?!" teriak Pak Kevin dari lorong kelas XII.
"Eh bapak," balas Deon memulai perbincangan seperti siswa pada umumnya.
Mereka berdua berjabat tangan seperti siswa dan guru pada umumnya.
"Tadi di pelajaran saya kalian gak nongol,"
"Ah, bapak yang salah mungkin, kami aja baru ganti baju pak,"
"La itu apa?" ucap Pak Kevin sembari menunjuk seragam yang Deon pakai yaitu kaos olahraga.
"Eh! ini tadi karena kamar mandinya penuh pak, jadinya kita balik ke kelas,"
Ara yang ada di samping Deon hanya dapat menahan tawa mendengar alasan yang dilontarkan oleh lelaki tampan yang ada di sampingnya.
"Ada lagi alasannya?" tanya Pak Kevin.
"Nggak pak,"
"Kalian lari 5 putaran mulai sekarang!"
"Saya aja pak, teman saya ini perempuan pak, kasihan."
"Bapak nggak mau tahu, kalian lari sekarang!"
"Tapi pak,"
Ara menghentikan Deon yang akan mencari urusan lebih lanjut dengan guru olahraga mereka, Pak Kevin. Oleh karena itu, mereka terlambat pulang ke rumah dan mengharuskan Ara untuk pulang bersama Deon.
Belum
Ara mengetik sebuah kata untuk membalas pesan itu. Tak lama terdengar lagi notifikasi yang masuk pada ponselnya.
Kenapa?
Senyum Ara semakin melebar melihat itu.
Lo sendiri?
Tanya Ara sembari tertawa kecil mengetiknya. Tak sampai lima detik, terdengar lagi notifikasi dari ponsel Ara.
Karena nunggu elo
Ara mengernyitkan dahinya melihat pesan itu dan bertanya.
Kenapa lo nungguin gue?
Ara mengetuk-ngetuk ponselnya menunggu lelaki itu membalas pesannya. Ara mulai berdiri berniat masuk karena angin yang mulai dingin. Ara sempat melirik ke bawah balkon miliknya dan melihat hal yang tak asing dari penglihatannya.
"Deon?" lirih Ara melihat lelaki yang ada di bawah balkon mliknya.
Terlihat lelaki mengenakan hoodie hitam dan motor besar yang ada di sampingnya. Lelaki itu tengah mendongak dan tersenyum. Ara yang yakin dengan apa yang ia lihat langsung berlari untuk turun ke bawah rumahnya.
"Mau kemana Ra?" tanya papanya yang tengah menonton tv di ruang tengah.
"Keluar pa, nggak lama kok," dengan tergesa-gesa Ara memakai sandalnya.
Tidak Ara sangka papanya itu mengikuti ia diam-diam. Papanya juga melihat Deon yang ada di balik gerbang rumahnya.
"Lelaki? ternyata putriku telah dewasa," lirihnya dan mulai berbalik meninggalkan kedua remaja itu.
****************************
"Kenapa, hah hah, lo gak bilang-bil, hah, Astaga?! Lo abis ngapain?"
"Duduk dulu, lo ngos-ngos an,"
Deon mengajak Ara untuk duduk di atas trotoar yang ada di bawah mereka. Ara mulai menetralkan nafasnya kembali.
"Aduh, pasti sakit kan?" tanya Ara yang sudah mengulurkan tangannya untuk menyentuh luka Deon.
"Shh,"
"Aduh maaf, gue ambilin kotak obat ya,"
"Udah nggak usah, gue bawa ini," Deon menyerahkan sebuah plester luka kepada gadis yang ada di sampingnya.
"Sini gue pakein," dengan telaten Ara membuka plester itu dan mulai memakaikannya kepada lelaki yang ada di hadapannya.
"Gue tahu lo ketua geng, tapi, bisa nggak sih lo gak usah bahayain diri lo sendiri,"
Deon yang mendengar itu, hanya bisa tersenyum tipis karena luka yang ada di ujung bibrnya.
"Gue ga bercanda," ucap Ara yang merasa ditertawakan oleh Deon Callum Brixton.
Bukannya menjawab atau mengiyakan permintaan itu, Deon malah mengulurkan tangannya untuk memegang telapak gadis yang masih menyentuh lukanya. Deon mengelus pelan tangan gadis yang sangat berharga dalam hidupnya.
"Yang penting lo selamat," ucap deon yang hanya bisa ia sampaikan melalui hati.
*****************************************