_Terkadang apa yang ada di pikiran tak selaras dengan apa yang ada di hati kita_
*******************************
"Deon," lirih Ara yang telah memastikan asal suara itu.
Deon datang di saat yang tepat. Dengan seragam yang masih melekat di tubuhnya dan juga hoodie yang selalu bersama lelaki itu, kedua tangannya yang kekar menarik kerah pemuda yang berhasil menakuti gadisnya.
"Shh, Deon akh-khirnya lo dateng juga," suara yang terlihat menahan sakit membuat perkataannya terbata-bata.
Deon menatap lelaki itu tajam.
"Mau lo apa sekarang hah?!" seru Deon tepat di hadapan wajah yang telah membuatnya muak.
"Gue mau jemput mangsa yang udah masuk, ke perangkap yang udah gue buat," jelasnya.
"Maksud lo?" tanya Ara dengan ragu, ia dari tadi tak pernah mengeluarkan suaranya sedikitpun.
"Suara lo cantik juga, sama kayak muka lo,"
Bugh!
Selesai mengucapkan kalimat itu, ia mendapat hadiahnya lagi. Sebuah pukulan di pipi kirinya.
"Bajingan lo!" umpat Deon lagi.
Nicko Husein Smith nama dari pemuda yang kini ada di hadapan Deon. Pemuda yang pernah beradu hantam dengan Deon Callum Brixton di hari Ara terculik.
"Shh," Nicko menahan rasa sakit yang diberikan Deon kepadanya.
"Balapan yang tadi lo ikutin adalah balapan yang dibuat The Snarl, geng yang gue punya, Nicko Husein Smith," jelas Nicko menjawab pertanyaan Ara tadi.
"The Snarl?" tanya Ara dari dalam hati dengan alis yang menyatu.
Nicko tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi yang diberikan oleh seorang Maureen Arandra Finley.
"Lucu juga lo! Hahaha,"
"Mau apa lo jebak dia?!" seru Deon.
"Gue mau lihat muka cewek lo, dan ternyata gampang banget, dia udah jadi langganan ikut balapan di sini!" seru Nicko sembari menunjuk Ara menggunakan jari telunjuknya.
Deon kini menolehkan wajahnya ke arah gadis yang ada di belakangnya. Deon melayangkan ekspresi bertanya-tanya apakah benar, ia sering mengikuti balapan yang diadakan oleh The Snarl ini.
Terlihat Ara menganggukkan kepalanya pelan. Memang benar ia sering bergabung untuk mendapat hadiah yang besar, tetapi tak pernah ia memenangkan balapan ini. Deon menghela napasnya setelah mendapat jawaban dari gadisnya.
Deon melepaskan cengkramannya dan melepas lelaki sialan yang ada di hadapannya.
"Pergi!" serunya menggertak lelaki itu.
"Ck!" Nicko berdecak sembari merapikan penampilannya.
"Sampai jumpa Deon Callum Brixton, senang bertemu denganmu, Lo juga Maureen Arandra Finley, gue inget wajah lo, hahaha,"
Bugh!
"Oleh-oleh buat lo, sana balik!" Deon tak senang gadisnya diincar oleh lelaki brengsek seperti Nicko.
Nicko mengusap kasar rahang yang baru saja mengeluarkan darah dengan sendirinya. Untuk kesekian kalinya Nicko menertawakan dirinya sendiri.
"Gue emang pecundang, hahaha," lirihnya lalu meninggalkan Deon dan Ara.
Brum
Brum
Brum
Motor-motor itu telah pergi meninggalkan kedua insan ini di tengah jalan yang lengang. Kedua pasang mata itu telah berhenti menatap asap yang dikeluarkan oleh motor-motor tadi. Keduanya masih terdiam di posisi mereka masing-masing. Kecanggungan telah menyelimuti mereka berdua. Tak ada kata yang dikeluarkan oleh mulut mereka masing-masing.
"Gue anter balik," akhirnya Deon membuka suaranya.
Kepala gadis itu mengangguk pelan sebagai jawaban dari ajakan leader The Wilders ini, sedangkan Deon telah menghampiri motornya yang ada tepat di belakang motor Ara.
Ara mengambil helmnya yang terjatuh tadi. Deon telah siap dengan motor dan juga helm full face yang telah terpasang di kepalanya. Ara menghidupkan motornya dan memberi aba-aba Deon untuk melajukan kuda besinya.
***************************
Kediaman Finley - 22.15
Tok tok tok
Terdengar suara ketukan pintu yang bergema di dalam rumah dengan warna merah muda yang mendominasi. Suara itu telah berhasil membangunkan gadis yang memiliki nama Gracella Kalista Finley dari tidurnya. Gadis itu langsung berdiri dari sofa ruang tamu dengan tangan yang menyeka air liur yang keluar dari mulutnya.
"Eca!" teriak kakaknya yang sudah tidak sabar menunggu adiknya membukakan pintu.
"Iya! Sabar!" teriak balik Eca dengan suara seraknya.
Ceklek
Pintu itu berhasil dibuka, menampilkan Maureen Arandra Finley dengan tampilan sama seperti tadi, sebelum ia berangkat balapan. Hanya saja sekarang wajahnya datar mencoba menahan kantuk yang melanda tubuhnya secara tiba-tiba.
"Gue pulang," lirih Ara kepada adiknya Eca.
"Iya Gue tahu, mana duitnya?" tanya Eca sembari menengadahkan tangannya meminta apa yang Ara janjikan.
"Hoam! Besok pagi, Gue mau tidur, ngantuk banget," ucap Ara sembari menguap.
"Berarti, lo beneran menang hari ini?" tanya Eca menyelidik.
"Hoo," jawab Ara lemas.
"Dah sana minggir! Gue ngantuk!" Ara mengusir Eca dengan tenaga yang masih tersisa dari dalam dirinya.
"Enak aja lo! Main ngusir aja!"
Ara tidak mendengarkan ucapan sang adik, dirinya malah mempercepat jalannya untuk menemukan anak tangga, jalan menuju pintu kamar gadis itu.
Ceklek
Ara membuka pintu berwarna putih dan menutupnya secepat kilat.
Bruk!
Ara menjatuhkan tubuhnya terlentang di atas kasur empuk berwarna merah muda. Gadis itu memejamkan matanya. Entah kenapa hari ini, dia sangat begitu lelah. Ara menoleh ke arah jam dinding yang ada di kamarnya. Waktu menunjukkan pukul setengah sebelas malam.
Pandangan Ara teralihkan dengan gorden yang berayun-ayun karena pintu balkon yang belum diutup. Ara bangkit hendak menutup gorden itu. Bukannya menutup pintu dan tidur, gadis itu malah terpaku memandang jalan depan rumahnya. Dia kembali mengingat kejadian tiga puluh menit yang lalu.
Motor keduanya telah sampai ke tujuan yang mereka tuju. Ara membuka helmnya dan menoleh ke belakang yang terdapat Deon di sana. Lelaki itu tengah membuka helm full face yang telah sempurna menyembuyikan wajahnya yang tampan. Setelah meletakkan helm itu di atas tangki motornya, perlahan Deon berjalan menghampiri Ara.
"Jangan keluyuran lagi, sana masuk, terus man-" ucapan Deon terhenti setelah melihat telapak tangan gadis itu terangkat mengisyaratkan untuk berhenti. Tak lama gadis itu angkat bicara.
"Kenapa lo perhatian sama gue?" dengan ragu Ara mengucapkan pertanyaan itu. Kedua matanya menatap lembut lelaki yang ada di hadapannya.
"Ka-karena gu--" entah kenapa Deon merasa gugup setelah mendengar pertanyaan Ara tadi.
"Kalo bisa lo jangan ngasih perhatian ini lagi ke gue, biar gue tahu kapan gue harus berhenti," pelan Ara mengucapkan serangkaian kata yang berhasil melukai hatinya sendiri.
"Makasih buat hari ini," kata itu terucap dengan senyuman terlebar yang bisa ia berikan kepada lelaki yang ada di hadapnnya.
Di dalam mata gadis itu, Deon melihat sebuah perasaan yang berbanding terbalik dengan yang Ara tunjukkan padanya. Deon ingin menjelaskan semuanya namun, sekali lagi, tangan itu kembali menghentikannya.
"Gue ngantuk banget hari ini," sekali lagi senyuman itu terlihat di wajah cantiknya.
Deon mengangguk, mencoba mengerti. Tak lama Deon berbalik tanpa mengucapkan sepatah kata apapun. Deon mengenakan kembali helmnya dan menghidupkan mesin motornya dan pergi.
Ara hanya dapat melihat punggung lelaki yang sangat berpengaruh dalam hidupnya menjauh dan tak lagi terlihat.
"Maaf, Deon Callum Brixton," lirih Ara sebelum ia pergi.
Ara memejamkan matanya sejenak setelah mengingat peristiwa tadi. Ara menghela napasnya kasar, lalu masuk kembali dengan tak lupa menutup pintu balkon kamarnya. Gadis itu kemudian membaringkan tubuhnya lagi di atas kasur miliknya. Ara mencoba tidur dengan perasaan yang masih mengganjal dalam hatinya.
****************************