_Tak Ada Sebuah Kebetulan Dalam Hidup_
*****************************
Perasaanku hari itu cukup bahagia. Permasalahan yang ada dalam pikiran seakan meluruh begitu saja. Kebahagiaan seseorang memang berbeda dari kebahagiaan orang lainnya. Kebahagiaan terlahir dari dalam hati diri kita sendiri, bukan campur tangan atau sugesti dari orang lain.
Indah rasanya ketika tangan ini memacu kuda besi kesayanganku. Walaupun terasa sementara, bagi hati ini hal itu merupakan sebuah kenangan yang akan aku ingat. Kali ini aku ada di atas tunggangan kuda besiku. Hari ini rasa senang meliputi hati dan juga rasa syukur karena dapat memenangkan balapan tadi.
Setidaknya aku masih bisa melakukan yang aku inginkan di umurku ini. Waktu begitu berharga untuk aku sia-siakan.
"Eca! Gue pulang!" ucapku di jalanan aspal yang mulai mendingin.
Aku masih menjalankan motorku ke arah rumah. Angin malam, suatu hal yang aku sukai. Merasakan angin yang berhembus kencang di balik jaket yang aku pakai sangatlah menyenangkan.
Jalanan ini begitu panjang, yang aku tempuh dengan kecepatan rata-rata. Aku tak mau lagi membuat motor kesayanganku ini kelelahan. Dan jangan lupakan ban yang belum aku ganti ini, masih juga berputar. Tidak nyaman membawanya dengan cepat.
Hingga kini aku tiba di tikungan ketiga terakhir dari keseluruhan. Kulihat cahaya terang di hadapanku tiga meter jauhnya. Deruman motor semakin keras bersamaan dengan mendekatnya cahaya itu. Penglihatanku terganggu karena itu. Ku hentikan motorku ke tepi jalan.
Mereka semakin mendekat. Jantungku berdebar cepat, sama seperti di hari itu.
**************************
Sebuah motor besar terlalu kencang melaju bahkan melawan arah. Banyak pengguna lain yang menyalurkan rasa kesalnya dengan berteriak.
"Pakai motor yang bener!"
"Brengsek! Cari mati lo!"
"Mata di pakek!"
Berbagai umpatan hanya diabaikan saja oleh pemuda ini. Dia mengendarai motornya kesetanan membelah keramaian malam. Dia mencemaskan seseorang yang sangat berarti baginya.
"Ara, lo di mana?!" teriak Deon meraung-raung.
Dia tak ingin kehilangan sesuatu yang berharga dalam hidupnya lagi. Pemuda itu adalah Deon Callum Brixton. Sebenarnya ia tadi telah menemukan tempat di mana Ara mengikuti balap motor. Deon berhasil menemui agen yang ia tanyai tadi.
"Balapannya udah selesai," ungkap agen yang tadi memberikan informasi kepada Deon.
Deon yang mendengar itu hanya menghela napasnya kasar.
"Tapi tadi tu kayak ada yang aneh,"
"Tadi ada satu kontestan yang gak pernah buka helmnya, terus postur tubuhnya itu nggak ka---
"Gue cabut! Makasih!"
"Woi Deon! Gue belum selesai ngomong!"
"Lain kali!" teriak Deon yang sudah berlari menuju tempat di mana motornya terparkir.
Dan di sinilah, Deon berada mencari keberadaan gadisnya. Deon sengaja melawan arah karena ini adalah rute tercepat kembali ke rumah keluarga Finley. Dan Deon juga telah memastikan gadisnya itu tidak akan kabur ke tempat lain. Gadis itu pasti akan menemui keluarganya terlebih dahulu, itulah yang dipikirkan oleh leader The Wilders ini.
************************
Deruman motor itu telah terhenti. Keberadaan mereka telah ada di hadapan Ara beberapa langkah jaraknya. Ara masih enggan melepaskan helm yang ia pakai.
"Oi!" seru salah satu dari mereka yang telah bangkit berdiri dan melepas helm yang ia pakai.
Pemuda itu seumuran dengan Ara. Bahkan seragam sekolah masih melekat di tubuhnya. Seragam itu belum pernah ia lihat sebelumnya.
"Lo Maureen kan?" tanya pemuda itu yang masih merapikan rambut yang agak basah karena keringat yang berkumpul di helaian rambutnya yang agak panjang untuk ukuran siswa SMA.
Ara tidak mengeluarkan suara sedikitpun. Tubuhnya masih ada di tunggangan kuda besi kesayangannya.
Pemuda itu perlahan berjalan mendekati Ara dengan kedua tangan di saku celananya, sama seperti lelaki yang ia kenal Deon Callum Brixton. Pemuda itu kini telah ada di hadapan Ara. Ara hanya dapat memejamkan matanya, memori masa lalu berhasil melintas kembali di benak pikirannya.
Tok tok tok
Pemuda itu mengetuk pelan kaca helm yang dipakai Ara. Ara benar-benar panik. Dia tidak bisa berkata apapun, tangannya berkeringat dan kepalanya benar-benar sakit.
"Ceweknya Deon emang beda," ucap pelan lelaki itu.
Ara perlahan membuka matanya, mencoba melihat lelaki yang ada di depannya.
"Kok tahu Deon?" batinnya bertanya-tanya.
Ara telah melihat wajah lelaki yang ada di hadapannya. Ara pun masih tak mengenali lelaki yang ada di hadapannya kini.
"Lo gak penasaran sama gue?" tanya lelaki itu.
Lelaki itu perlahan mendekatkan wajahnya di depan kaca helm yang ara pakai. Mata lelaki itu menelisik, mengamati wajah mungil yang ada di hadapannya. Ara memejamkan matanya lagi, enggan menatap lelaki yang ada di depan wajahnya.
"Lepasin helm lo!" suruh lelaki itu sembari mengetuk kasar helm yang dipakai Ara.
Ara tak mendengarkan perintah yang dilontarkan untuknya. Untuk apa ia menuruti perintah seseorang yang tidak ia kenal. Dalam hati Ara masih bertanya-tanya mengapa lelaki itu tahu bahwa ia adalah seorang perempuan yang dekat dengan Deon? Dan yang paling penting dari semua pertanyaan yang ia pikirkan sekarang adalah ada hubungan apa Deon dengan lelaki yang ada di hadapannya kini?
Apakah lelaki itu pantas untuk dipercaya?
Ada ragu yang kembali memenuhi hatinya. Ara tidak mau kejadian dua bulan yang lalu muncul kembali. Sudah penat hati dan pikiran Ara.
"Lo tuli?!" seru lelaki itu, berhasil menyentak kesadaran Ara.
Ara masih ragu untuk membuka kedua matanya. Dalam hati ia berharap akan kedatangan seseorang yang menurutnya tidak mungkin datang secara tiba-tiba. Meskipun begitu, Ara masih mengharapkan kedatangan lelaki itu.
"Atau gue yang buka ini helm?" lelaki itu masih mendesak Ara untuk melepaskan helm yang ia pakai.
Jantung Ara bedebar untuk kesekian kalinya. Dia bingung apa yang harus ia perbuat sekarang. Keringat dingin melintas begitu saja di permukaan telapak tangan yang ia gunakan untuk mengendalikan laju motornya.
"Gue gak akan buka helm ini," batin Ara berseru menyatakan keputusannya.
Tidak mendapat jawaban atas pertanyaan yang ia lontarkan, pemuda itu mulai memaksakan diri untuk membuka helm yang ara gunakan saat ini.
"Brengsek!" umpat Ara dalam batin.
Terpaksa Ara menahan gerakan tangan lelaki yang ada di depannya, menyebabkan kontak dari dua pasang tangan itu.
"Tangan lo halus juga," puji lelaki itu yang membuat Ara kembali mengumpat dalam batinnya.
Ara masih berusaha menghentikan gerakan dari kedua tangan lelaki itu, namun apalah daya, energi yang Ara miliki masih kurang sepadan dengan energi yang dimiliki lelaki itu.
"Lo gak akan kuat lawan gue," remeh lelaki itu.
Brak!
Dan akhirnya lelaki itu berhasil melepas paksa helm yang Ara pakai. Helm itu langsung terlempar begitu saja di dekat kaki Ara, membuat helaian rambut panjang Ara berterbangan terkena angin malam. Ara langsung menyembunyikan wajahnya ke sebelah kiri tubuhnya, kedua tangannya ia pakai untuk menutupi wajah cantik yang ia miliki.
Tidak lelaki itu sadari ada sebuah kepalan tangan yang mendekat ke arah rahangnya.
Bugh!
Kepalan tangan itu berhasil membuat rahang lelaki itu mengeluarkan darah.
"Bajingan!" umpatan itu terdengar begitu kepalan tangan itu menyerang target yang sudah ditentukan.
"Berani-beraninya lo sentuh cewek gue hah?!" serunya yang langsung meraih kerah seragam lelaki yang begitu ia kenal.
Ara kenal suara itu. Suara yang benar-benar ia rindukan. Perlahan Ara menoleh ke arah suara yang ia kenal itu untuk memastikan apa yang ia pikirkan sekarang.
"Deon," lirih Ara yang telah memastikan asal suara itu.
****************************