_Terima Kasih Karena Telah Ada Di Sisiku_
**************
"Erland?" tanya Deon dalam batin.
Cahaya remang di ruang itu memang telah membuat kedua retina tak leluasa melihat keadaan sekitar. Namun berbeda dengan Deon yang sebenarnya memiliki satu kelebihan yang membuatnya jelas untuk melihat dalam keadaan gelap sekalipun. Mereka menyebutnya mata elang.
"Hai adikku Deon Callum Brixton" sapa Erland dengan melambaikan tangannya pelan.
Erland Elfredo Jorell
Pembentuk The Snarl. Sebuah geng motor yang bernaung di SMA Centauri. Geng terbesar kedua setelah The Wilders. Geng ini sering mengadakan balapan liar dengan hadiah yang fantastis tentunya. Banyak dari mereka yang sering mengunjungi kantor polisi karena itu.
Erland perlahan mendekat. Senyum itu masih mengembang di wajahnya yang tampan. Walaupun sudah tergolong senior dalam geng itu, keberadaannya masih mempengaruhi geng tersebut. Oleh sebab itu,tidaklah sulit untuk membawa anak buahnya untuk menjalankan misi bersamanya.
"Sudah lama kita tidak bertemu adik kecil," katanya mendekati Deon. Perlahan lelaki itu mengikis jarak keduanya. Kini keduanya saling berhadapan.
"Tinggi kita kini sama," katanya menepuk pelan bahu Deon.
"Singkirkan tanganmu dari sana!" seru Deon dengan suara yang menajam.
Hahahaha
Lelaki itu tertawa lepas,mengabaikan peringatan sang leader Wilders. Matanya kini menajam menatap sasaran yang ada di depannya.
"Kini kau semakin berani!" serunya membalas bentakan dari sang adik.
Kini emosi Deon sudah tersulut. Pertama,ketika dia melihat gadisnya terduduk tak berdaya karena kekangan tali sialan itu. Dan kini, amarahnya memuncak,setelah tahu dalang yang sebenarnya.
Bajingan!
"Sialan kau!" seru Deon yang kini menatap sengit mantan seniornya.
"Dulu kau sama beraninya seperti sekarang ini,haha," katanya sembari mengingat masa lalu.
"Untuk apa kau bawa dia?" suara dingin itu menguap begitu saja dari mulut Deon Callum Brixton. Tangannya terangkat menunjuk gadis yang ada di sampingnya.
"Karena dia cantik,hahaha,"
Bugh
"Bajingan!" amarah Deon sudah tak dapat ia bendung. Terpukul sudah wajah tampan yang ada di hadapannya.
Wajah tampan itu kini terhiasi sedikit sobekan di ujung bibirnya. Tangannya mulai menyeka darah yang mulai mengalir. Dirinya terkekeh melihat darah segar yang ada di telunjuk jarinya.
"Hahahaha,"
"Kau tak tahu malu memukul wajah seniormu sendiri,"
"Sialan! Persetan dengan semuanya! Kau bukan seniorku, Dasar bajingan!" teriaknya dengan nafas tak teratur.
Dadanya terasa sakit.
Tangan Erland perlahan meraba jaket yang ia pakai. Jarinya bergerak mengambil sesuatu.
Klek
Sebuah pistol jenis Glock 9mm keluar dari jaket yang ia pakai. Pistol ini adalah jenis senjata api buatan dari negara 'Germany's Little Brother'
Melihat itu Deon segera membawa Ara ke belakang punggungnya. Dia mengusap pelan lengan gadis itu.
"Tenang saja," lirihnya ke telinga Ara yang kini sudah berdiam di tempat ia berdiri.
Deon melindungi Ara di balik punggungnya. Dalam hati ia harus melindungi gadisnya hari ini.
"Ck ck ck, Deon,Deon,kau sangat polos rupanya," kekeh Erland sembari mengusap apa yang baru ia keluarkan.
"Peluru dari pistol ini tidak akan melukainya,kecuali kau serahkan geng murahanmu itu,hahaha,"
Tangan Deon mengepal begitu juga giginya yang mulai menggertak menahan amarah yang akan meledak kapan saja.
"Jika itu murahan,kenapa kau ingin mengambil nya?" tanya Deon dingin. Dia saat ini hanya bisa memfokuskan diri untuk melindungi gadisnya.
"Atau jika kau mau---
Srek
Grep
Klek
"Dia yang akan menjadi sasaran," ucap Erland sengit.
Tak mereka sadari dia telah menyandera salah satu anak Wilders. Egi. Anak yang di cari Deon dan seluruh Wilders. Seluruh anggota hanya memfokuskan diri ke perselisihan antara kedua ketua geng ini, sampai-sampai mereka tak melihat ada seseorang yang mereka cari ada di sana.
"Egi," lirih Alsan melihat teman dan keluarga geng itu tertangkap oleh seorang yang tak bisa di katakan baik.
Senjata api itu kini sudah terarahkan ke pelipis Egi. Sedangkan sang sandera kini terlihat biasa saja. Memang anak Wilders tak kenal takut seperti apa yang orang katakan untuk sebutan geng The Wilders ini. Kedua kelopak matanya menurun bersamaan seolah berkata,"Aku baik-baik saja,"
Deon yang melihat itu merasa sedikit lega walau tak sepenuhnya. Dirinya takut kehilangan orang yang berharga dalam hidupnya lagi.
"Lo pilih gadis Lo itu! Atau pilih teman lemahmu ini!" ucap Erland sembari menikmati drama yang ia siapkan hari ini.
Semua drama yang ia siapkan berjalan dengan lancar padahal ia hanya punya waktu semalam untuk menyiapkan semuanya. Erland lumayan banyak memiliki kaki tangan yang bersedia membantunya,itulah yang menjadi penyebab lancarnya drama yang ia siapkan.
Jarak Deon dan Erland kira-kira sekitar 3 meter jauhnya. Deon mencoba mendekati Egi dan Erland. Hingga seketika tangannya telah tertahan oleh gadisnya itu.
Deon menoleh,menampilkan senyum yang tak pernah ia tampakkan oleh siapapun.
"Aku tak apa," katanya lembut mulai melepaskan tangan mungil itu dan beralih mengusap pelan pucuk kepala Ara. Deon tersenyum sekali lagi,hingga ia menyuruh Iden untuk melindungi Ara.
Deon kini beralih menatap Erland sengit. Dia mulai membenci lelaki yang ada di hadapannya detik itu juga.
"Kau tak akan selamat! Jika pelatuk itu tertarik!!" Deon sangat serius dengan ucapannya.
"Dia tak akan selamat jika kau mendekati ku!! Deon Callum Brixton!!"
Langkahnya terhenti.
Deon benar-benar memberhentikan langkahnya. Dia harus memperhatikan keputusannya. Dia harus benar-benar memikirkan keputusannya. Kini keputusannya menyangkut nyawa seseorang.
"Kau benar-benar naif Deon!" serunya tak berhenti tertawa.
Dramanya benar-benar terwujud sekarang.
Erland tak berhenti tertawa sampai ia tak sadar ada seseorang yang mendekatinya lewat belakang.
Enzi Kieran Huxley
Grep
Klek
"Argh!"
"Sialan! Shh,"
Erangan itu berasal dari Erland. Serangan mendadak ia dapatkan dari Wild Two 'Enzi'
Kini Glock 9mm itu telah berada dalam genggaman Enzi Kieran Huxley. Dia menarik pelatuk itu,mengarahkannya ke pelipis Erland.
"Kau harus menerima akibatnya!" sengit Enzi.
"Sialan! Lepaskan aku! Bajingan!" sumpah serapah ia lontarkan. Dramanya hancur berantakan. Kini serangan itu berbalik kepadanya.
"Diam! Kau bergerak, peluru ini akan lolos dari sarangnya!"
Kini Erland mati kutu. Tak tahu apalagi yang harus ia perbuat. Salahkan dia yang tak membuat rencana cadangan. Pikirnya semuanya akan berjalan lancar karena yang ada dipikirannya hanya The Snarl yang kuat di kota itu. Namun kenyataannya ia salah besar, The Wilders terlalu kuat untuknya.
Perlahan Enzi mengarahkan pistol itu ke udara menggunakan tangan kanannya. Sedangkan tangan kiri ia gunakan untuk menahan bedebah yang ada di sampingnya.
Dor
Cesh~
Dor
Dor
Cesh~
Dor
Dor
Enzi lontarkan seluruh peluru itu kepada angkasa yang telah menghitam. Ara menutup telinganya. Tak berani menatap, ia pejamkan kedua mata itu.
Hingga tiba-tiba,kedua tangannya terasa hangat. Ia memberanikan diri untuk membuka kedua mata itu.
"Deon," batinnya.
Deon kini telah berada di hadapan Ara. Dia menguatkan Ara supaya tak terlalu takut. Kedua tangannya dengan pelan menggenggam tangan mungil itu, menghantarkan kehangatan. Hingga Ara sudah merasa tenang, Deon melepaskan Hoodie yang ia pakai.
"Pakai," katanya sembari memakaikan Hoodie itu.
Kedua retina Ara menatap wajah tampan yang ada di hadapannya. Dia merasa lega, ada yang mau menolongnya walaupun di situasi seperti ini.
"Terima kasih," kata Ara mulai tersenyum.
Hati Deon menghangat melihat itu. Persis seperti seseorang yang ia kenal dulu.
"Ku antarkan pulang," kata Deon lembut. Diangguki oleh Ara.
"Teman-teman! Terima kasih atas bantuan kalian! Now, The Mission is complete!" serunya kepada seluruh anggotanya di balas tepukan meriah dari semua yang ada.
Kini Deon beralih ke Iden yang ada di belakangnya.
"Gue titip anak-anak,sekalian Lo urus bajingan itu! Buat dia gak bakal ketemu cewek gue lagi!" serunya kepada Iden.
"Siap bro! Sana anter cewek Lo," ucap Iden sambil terkekeh.
Ara mendengar kata itu.
Cewek Gue
Ara tersenyum mendengar itu. Dia jelas mendengar kedua kata itu. Pipinya mulai merona sekarang.
Deon kini sudah merangkul Ara dari samping membawanya pergi dari tempat sialan itu. Sekilas ia melihat pipi Ara yang sudah merona. Deon tersenyum melihat itu. Mungkin Ara tak tahu, Deon adalah si mata elang.
*************
Time--23.10
Jalanan mulai sepi dari kendaraan yang berlalu-lalang. Menyisakan dingin dan hembusan angin malam. Kini dua insan itu tengah membelah angin malam yang begitu dingin. Biarlah sinar bulan dan gemerlapan bintang menjadi saksi bisu keduanya.
Deon merasakan angin malam yang lumayan dingin saat itu. Dia takut gadisnya akan kedinginan. Deon memberhentikan kuda besi kesayangannya di tepi jalan beraspal itu,ia menoleh ke belakang yang menjadi tempat Ara berada. Dia melihat wajah yang penuh dengan pertanyaan. Tangan kanan Deon beralih menggenggam pelan tangan mungil itu.
Ia arahkan tangan itu ke pinggangnya. Ia takut gadisnya akan kedinginan.
"Peluk aku supaya kau tidak kedinginan," kata Deon lembut. Yang langsung dibalas rona merah yang ada di pipi gadis itu.
Oh God!
"Mimpi apa aku semalam," kata Ara yang hanya ia utarakan dalam hati.
Deon kembali melajukan kuda besinya. Mengarahkan motornya ke rumah gadisnya.
*************