Happy reading, tinggalkan jejak kalian kalau bisa. Oke?
Harjuna : Petinggi di pemerintahan. Mereka gabungan dari Pribumi, Penjajah dan Bangsawan.
Elite : Kaum menengah ke atas. Kebanyakan dari kaum Pribumi. Untuk Penjajah hanya beberapa orang yang dulunya penting di masa lalu.
Plebs : Kaum menengah ke bawah, kebanyakan dari kaum Penjajah (militer) Tapi tidak sedikit juga Pribumi yang ada.
Londo : Orang-orang darah campuran (Penjajah-Pribumi).
***
Martinez memasuki kantornya, dia duduk di kursi dengan letih. Baru saja dia menyelesaikan rapat dengan para dewan, membahas masalah yang tiba-tiba saja muncul pagi ini. Semalam terjadi kerusuhan di salah satu distrik tempat di mana kaum Plebs tinggal, mereka menuntut kenaikan upah harian yang biasa mereka terima. Sebenarnya hal ini telah menjadi masalah sejak beberapa bulan belakangan, Martinez dan seluruh orang di pemerintahan sedang mencari jalan keluar untuk mereka dan hampir mendapatkannya. Namun seseorang telah menyulut api, dan cepat atau lambat api itu akan menjalar ke tempat-tempat yang lain. Jika mereka tidak segera memadamkan api itu, Negeri ini akan sekali lagi menjadi lautan api.
Martinez mempersilahkan seseorang masuk setelah dua kali ketukan di pintu. Dia Adjie Asmorobangun- Perwakilan kaum Pribumi di pemerintahan, dia melangkah masuk dengan wajah muram.
"Adjie, ada apa?" Martinez melepas kaca mata bacanya. "Duduklah."
"Kita harus segera melakukan sesuatu Martinez, jika tidak, bencana itu akan terulang kembali." Ternyata Adjie memiliki kekhawatiran yang sama.
"Aku tahu, tapi kita tidak bisa gegabah. Banyak hal yang kita pertaruhkan, kita tidak bisa kehilangan itu."
"Tapi jika terlalu lama, akan semakin banyak kehilangan yang kita tanggung." Adjie menghela napasnya berat, matanya menerawang jauh. "Sejak awal perjanjian itu memang sangat rapuh. Hanya dengan sekali gerakan, hal itu bisa koyak kapan saja." Bahkan sekalipun Para Harjuna berusaha untuk menjaga kedamaian itu, mereka yang belum bisa melupakan masa lalu hanya akan menganggap itu sebagai omong kosong.
Martinez pun mengerti akan hal tersebut. Terlebih lagi sebagian besar orang sangat mengotak-ngotakan kasta. Elite, Plebs, Londo, terdapat jurang yang lebar di antara mereka. Membuat semuanya menjadi semakin sulit.
***
Toilet itu dibatasi untuk sementara waktu. Dua orang gadis menunggu di luar, mencegah siapa saja untuk masuk. Sedangkan di dalam sana, Sinta dan dua orang temannya sedang melakukan bisnis dengan Yuki. Gadis pribumi itu bersandar pada tembok, tangannya menyilang di dada layaknya bos. Mata hitamnya yang jernih memandang dingin pertunjukan di depannya.
"Cukup." Ucapnya.
Sita mengangkat kepala Yuki dari wastafel penuh air. Yuki menarik napasnya dengan rakus, rasanya paru-parunya hampir meledak sedetik yang lalu. Wajahnya basah dan karena perlawanan yang sia-sia bajunya pun ikut basah, kedua tangannya ditahan di punggung dan rambutnya dicengkeram erat hingga terasa perih. Dari cermin Yuki bisa melihat Sinta yang mendekat. Tubuhnya gemetar oleh rasa takut.
"Kamu tahu salah kamu apa?" Sinta membungkuk di belakangnya.
"Jawab goblok, nggak punya mulut lo." Sita mengeratkan cengkeramannya di kepala Yuki. Air mata mengalir di wajahnya, tapi tidak ada yang peduli itu.
"Sita, jangan kasar gitu. Kasian Yuki." Suaranya yang lembut mendayu. "Kalau nggak tahu apa salah kamu, biar aku kasih tahu kamu." Sinta seperti bicara pada anak kecil, hal itu justru membuat Yuki semakin takut.
"Kamu tahu kan kalau kamu itu cuma sampah, sampah yang tidak diinginkan oleh semua orang. Kecuali ibu kamu yang bodoh. Karena itu Yuki, aku benar-benar berharap kamu tahu batasan. Sayangnya hari ini kamu melewati batasan itu. Menurut kamu, apa benar seorang sampah kayak kamu bertingkah sok akrab pada Bangsawan. Kamu bahkan dengan tidak tahu malu salaman sama Raphael, gimana kalau setelah ini Raphael kena penyakit kulit gara-gara kamu." Sinta cemberut. "Kamu bisa kena masalah kalau sampai itu terjadi kan."
"Karena itu aku punya saran yang sangat berguna buat kamu." Sinta tersenyum senang seakan telah menemukan ide cemerlang. "Jangan dekat-dekat lagi sama Aurora apalagi Raphael, kalau kamu ngeliat mereka dari jauh, lari aja. Ya walaupun lenyap dari sini itu terdengar lebih baik, tapi untuk sementara kamu lari aja dulu. Gimana, ide aku bagus kan, ini semua demi kebaikan bersama kok. Jangan mikir aku nggak suka ngeliat kamu deket sama mereka ya. Aku kan nggak sejahat itu."
Orang buta pun tahu jika Sinta berharap lebih pada Bangsawan bernama Raphael itu. Sinta, di mata semua orang adalah gadis cantik yang anggun. Tapi di mata Yuki, dia adalah monster yang dikaruniai kesempurnaan fisik. Yuki menangis dalam diam saat gelak tawa teman-teman Sinta terdengar.
"Dengar tuh, Sinta bahkan sampe mikirin hal ini buat lo. Lo harusnya bersyukur. Jadi lebih baik, ikutin kata-kata Sinta."
"Betul. Londo kayak lo nggak pantes dipedulikan sama Sinta sampai kayak gini, jadi mending ikuti kata-kata Sinta mulai sekarang."
Memang Yuki punya pilihan lain selain mengikuti kata-katanya. Dia juga tidak berniat berada di dekat Para Bangsawan, terlalu berbahaya jika sampai mereka mengetahui tanda yang ada di kening Yuki. Cukup Aurora, jangan sampai orang itu juga tahu.
"Mana jawabannya?!" Sita mengguncang kepala Yuki, membuat kulit kepalanya seperti akan lepas.
"I-iya, iya. A-aku nggak akan, dekat-dekat mereka lagi. Nggak akan." Yuki menjawab sambil terbata-bata.
Senyum puas terlukis di wajah Sinta. "Bagus." Dia memberi isyarat, dan kedua temannya melepaskan Yuki membuat gadis itu tersungkur di kakinya. "Jangan sampai melanggar kata-kata sendiri ya, atau kamu akan tahu akibatnya."
Sinta dan dua algojo itu meninggalkan Yuki lantai toilet yang dingin. Hal yang sejak tadi Yuki tahan akhirnya bisa dia keluarkan saat pintu itu tertutup. Yuki menangis sekuat yang dia bisa, tubuhnya gemetar karena emosi yang menumpu. Dia muak pada ketidakberdayaan yang dia miliki, muak pada takdir yang berlaku tak adil padanya.
"Apa salahku!" Yuki berteriak hingga tenggorokannya sakit.
Bukan inginnya seperti ini, menyandang status sebagai Londo. Jika boleh memilih Yuki jelas ingin terlahir sebagai apa saja kecuali darah campuran, sekalipun dia terlahir sebagai anjing jalanan. Itu bahkan lebih baik. Yuki menghabiskan banyak waktu di toilet untuk menangis, bahkan saat beberapa orang keluar masuk dari sana, tidak ada yang peduli padanya.
Setelah berhasil menenangkan diri, Yuki masuk ke salah satu bilik untuk mengambil barang-barangnya. Seperti yang dia duga, Sinta memasukan semua barangnya ke kloset. Yuki membersihkan mereka sebisanya, dia keluar dari toilet dengan wajah kacau. Untungnya plester di kening Yuki tidak lepas seperti hari itu, jika Sinta melihat tanda ini entah apa yang akan terjadi. Yuki tak sanggup membayangkannya.
"Habis mandi."
Yuki terlonjak karena terkejut, suara dari balik punggungnya begitu tiba-tiba. Mata Yuki bersinar dengan kejutan dan teror, membuat orang yang berdiri tak jauh darinya mengerutkan kening heran. Menurut pandangan orang-orang yang ditemuinya, Raphael memiliki wajah yang sangat enak dipandang. Lalu kenapa hanya gadis ini yang melihatnya seperti hantu.
Raphael melebarkan matanya saat Yuki tiba-tiba berlari menjauhinya. Benar, gadis itu menganggapnya hantu. Raphael tidak bisa tidak kesal dengan pikiran itu, itulah kenapa dia mengejar Yuki. Jelas kemampuan berlari Yuki berada jauh di bawahnya, bagaimanapun juga serigala berlari lima puluh sampai enam puluh kilo meter per jam.
Dengan mudah Raphael menyergap Yuki, memerangkapnya di antara lengan yang kuat. Tanpa Yuki sadari dia berlari keluar dari lingkup sekolah, sehingga tidak ada murid yang melihat hal ini terjadi. Dia memberontak tentu saja, tapi usahanya bukan apa-apa untuk Raphael.
"Lepas!" Yuki memukul-mukul lengan yang membelit tubuhnya.
"Kalau kamu bisa diam, aku lepas." Ucap Raphael dengan ketenangan tiada dua.
Yuki akhirnya pasrah, menyadari mustahil lepas dengan usahanya sendiri. Tapi Raphael tak segera melepaskan Yuki seperti yang dia katakan. Tangannya justru melingkar semakin erat saat Raphael mencium aroma manis yang memabukkan.
"Katanya mau lepas?!"
"Aku berubah pikiran."
"Apa!?" Yuki lagi-lagi berontak. Dia mengeluarkan seluruh tenaganya ketika mendengar kekehan kecil lelaki itu. "Lepasin!" Yuki dilanda kegelisahan akut saat dia mengingat kejadian di toilet. Jika ada yang melihatnya sekarang dan melaporkannya pada Sinta, mungkin setelah ini Yuki hanya tinggal nama.
"Aku mohon lepas! Tolong aku mohon!"
Raphael tahu apa yang Yuki pikirkan saat ini seakan pikiran keduanya terhubung. Bahkan dia bisa merasakan ketakutan Yuki. Timbul perasaan rumit di hatinya saat ini, melihat Yuki begitu ketakutan oleh sebuah alasan yang tidak ia ketahui membuat Raphael marah.
"Kamu takut sama aku?" Bisiknya, menghentikan pemberontakan gadis itu.
Takut, pada Raphael? Tidak, Yuki tidak merasa seperti itu di dekat lelaki ini. Justru sebaliknya. Hanya saja, mereka tidak boleh bersama jika Yuki ingin hidupnya sedikit lebih tenang.
"Aku mohon, lepas." Air mata Yuki menetes.
Cengkeraman itu akhirnya mengendur, Yuki memanfaatkannya untuk segera menjauh dari Raphael. Mereka berhadapan, mata basah Yuki memandang Raphael yang menatapnya dingin. Seakan membeku Yuki yang berencana pergi setelah pelukan itu lepas dari tubuhnya, malah terdiam, seolah enggan beranjak dari sisi Raphael. Begitu pula yang Raphael rasakan.
Lalu kata-kata Aurora pagi tadi menusuk gendang telinganya, Raphael otomatis melihat plester yang terletak di kening Yuki. Didorong oleh rasa penasaran, Raphael mendekati gadis yang membeku. Ujung sepatu keduanya bersisian, tanda sedekat itulah mereka saat ini. Yuki menyadari cara berpikirnya menjadi lambat, karena dia tak memiliki waktu untuk menghindar ketika Raphael meraih plester di keningnya.
Udara di sekelilingnya seperti menghilang, untuk beberapa saat Raphael tak bisa berpikir jernih. Bulan sabit adalah tanda yang hanya dimiliki oleh wanita kaum Bangsawan, hal itu yang membuat Bangsawan hanya memiliki darah murni di setiap keturunan. Lalu bagaimana bisa Yuki memiliki tanda itu padahal dia bukan Bangsawan. Lebih lagi, dia adalah seorang Londo. Namun jika benar Yuki adalah seorang Soul, artinya semua reaksi tubuh yang Raphael temui adalah hal wajar.
Raphael tersadar saat Yuki mengambil langkah menjauhnya. Matanya diliputi teror, tangan kurusnya berusaha menutupi tanda itu. "Yuki, bisa kita bicara sebentar?" tapi gadis itu terus berusaha menjauh.
"Yuki." Raphael mencoba meraihnya, tapi ditepis kasar.
"Nggak!" Yuki berteriak. "Ini bukan apa-apa, kamu salah lihat. Ini bukan apa-apa!" setelah itu Yuki berlari meninggalkan Raphael. Lelaki itu tak mencoba mengejarnya, karena takkan membuahkan hasil apa pun untuk sekarang.
Satu-satunya jalan yang bisa Raphael ambil, adalah bertanya pada ayahnya mengenai fenomena langka ini.