Chereads / RedMoon / Chapter 9 - Gadis kotor

Chapter 9 - Gadis kotor

Ternyata ini tidak seburuk perkiraan, Yuki sama sekali tidak menyangka bahwa ia bisa menikmati hari tanpa gangguan dari Sinta atau orang lain. Hanya di malam kedua kemping, dua gadis yang satu tenda dengannya memutuskan pindah. Sejujurnya itu bagus, Yuki punya ruang lebih dan dia tak perlu canggung lagi.

Gerbang kokoh yang memisahkan antara hutan dan tempat berkemah itu di buka, aura mistis berembus bersama dengan angin. Saat ini semua murid- yang dibagi menjadi empat kelompok dibawa memasuki hutan, mereka akan mempelajari salah satu prasasti kuno yang letaknya cukup jauh di dalam hutan. Sebagian besar mengeluhkan kegiatan kali ini, memasuki hutan rimbun bukan hal menyenangkan. Terlebih lagi hutan itu, dilihat dari sudut mana pun berbahaya. Tak sedikit murid perempuan yang berteriak histeris saat mendengar suara binatang liar, atau mengerang kesakitan ketika serangga menggigit kulit.

Akhirnya setelah hampir satu jam perjalanan, mereka sampai di tempat prasasti itu berada. Yuki terpaku melihat patung batu berukuran sangat besar berdiri kokoh di antara tanaman liar, harimau dan serigala itu seakan diberkahi sinar matahari yang sempurna. Pemandangan itu begitu memukau, bukan hanya Yuki tetapi semua orang yang melihatnya. Rasanya pun sepadan dengan perjalanan mereka.

"Wah, berasa ketemu nenek moyang." Ujar Aurora yang entah sejak kapan berdiri di samping Yuki. "Hai, kayak udah lama nggak ketemu ya." Sapanya sambil terkekeh.

"Bukannya kamu di kelompok dua?" ucap Yuki. Kelompok dua melakukan perjalanan ke prasasti di tempat yang lebih dekat, namun masih berada di kawasan yang sama.

"Kamu merhatiin aku. Oh atau, kamu merhatiin Raphael." Karena sejak awal Aurora terus bersama kakaknya. Dia tersenyum lebar saat melihat wajah Yuki mulai merona. "Raphael nyuruh aku pindah kelompok, biar bisa mengawasi kamu." Ucapnya setengah jujur. Raphael tidak memintanya pindah kelompok, Aurora sendiri yang mengusulkan ide itu. Tapi mengingat Raphael tidak mencegahnya artinya lelaki itu setuju.

"Mengawasi apa?"

"Kan dari kemarin kamu ditempelin sama cowok itu." ucap Aurora melihat ke belakang Yuki.

Banyu mendekat dengan sebotol air di tangannya, Yuki tiba-tiba salah tingkah. Jadi selama ini Raphael diam-diam juga memperhatikannya, seperti yang Yuki lakukan. Benar juga, padahal Yuki mengikuti acara ini salah satunya karena dia ingin bicara dengan Raphael. Tapi kesempatan itu belum muncul karena Banyu selalu bersamanya.

"Mau minum nggak?" ujar Banyu saat dia sampai di depan Yuki.

"Aku mau." Aurora mendahului Yuki, dia meraih botol air dari tangan Banyu secepat cahaya. "Ya ampun, aku capek banget. Makasih airnya, Banyu." Gadis itu tersenyum amat manis.

"Sama-sama." Banyu memaksakan senyum. "Kamu adiknya Raphael kan, anak Ketua Martinez." Jika tidak salah ingat, Banyu pernah bertemu gadis Bangsawan ini saat jamuan makan malam di gedung pemerintah.

"Betul, kamu kayaknya akrab ya sama kakakku. Ketemu di mana?" terima kasih Aurora, itu adalah yang selalu ingin Yuki pertanyaan. Tapi dia terlalu sungkan bertanya Banyu.

"Waktu aku di luar negeri, aku ketemu sama Raphael di kelas bela diri. Dia orang yang berbakat."

"Wah, kamu ikut kelas bela diri di kelas kami." Saingan kakaknya boleh juga. Aurora tahu bahwa kelas bela diri di tempat para Bangsawan adalah yang paling sulit, metodenya keras dan sangat disiplin. Hanya sedikit orang luar yang bisa mengikuti kelas itu. Bahkan Aurora berhenti di tengah-tengah karena tidak sanggup mengimbangi murid lain.

Mereka berhenti bicara ketika guru pembimbing mulai memberikan instruksi. Para murid mulai berpencar untuk mempelajari patung batu tersebut. Yuki menunduk di antara kedua patung, mencoba menerjemahkan huruf kuno yang terukir di antara kaki harimau.

Itu adalah huruf devanagari, berasal dari bahasa sansekerta- salah satu bahasa kuno yang tercipta bahkan sebelum jaman Penjajah. Yuki menilik melalui kaca pembesar, sesekali menulis pada buku saat berhasil menerjemahkan satu huruf. Tapi dia berhenti menulis ketika merasakan keanehan, huruf devanagari yang tertulis tidak bisa dibacanya sekeras apa pun Yuki berusaha, dia pun menemukan lambang bulan sabit di antara tulisan itu. Saat Yuki melihat patung serigala dia menemukan hal yang sama.

"Menemukan sesuatu?" Aurora muncul di belakangnya.

"Aurora, kamu bisa baca ini? Aku nggak bisa." Yuki menyerahkan buku catatannya pada Aurora.

"Ini huruf devanagari kan, kamu belum bisa baca ini?"

"Bukan, aku udah bisa baca. Tapi, pokoknya kamu baca dulu."

Mereka semua tengah beristirahat, memakan bekal yang dibawa. Aurora mulai membaca lembaran kertas milik Yuki, mereka hanya berdua duduk di bawah pohon. Kening Aurora mulai mengernyit ketika sampai di paragraf akhir.

"Ini, apa?" dia belum pernah membaca huruf ini sebelumnya. Walau sekilas terlihat seperti bahasa sansekerta, namun jelas itu ditulis dengan huruf lain. Mungkin lebih tua dari devanagari.

"Aku juga nggak tahu, aku cari di buku refernsi juga nggak ada." Yuki mengangkat buku setebal tiga puluh senti di tangannya.

"Kamu nemuin ini di mana?"

"Di antara patung batu, di bawah kaki mereka."

"Kita tanya sama guru." Yuki mengangguk dan mengikuti Aurora dari belakang.

Mereka menghampiri tiga guru yang menjadi pembimbing hari itu. Salah satu di antaranya adalah Profesor Danurdara, dia seorang sejarawan sekaligus ilmuan terkemuka keturunan Pribumi. Laki-laki tua dengan rambut memutih itu yang pertama kali melihat kedatangan kedua muridnya. Terdapat tatapan spektif dari kedua rekan Profesor Danurdara saat melihat Yuki, namun tatapan itu berubah ramah saat melihat Aurora disisi gadis itu.

"Nona Aurora, ada yang bisa kami bantu." Salah satu rekan Profesor Danurdara menyongsong Aurora, mengabaikan Yuki sepenuhnya. Dari suaranya terdengar jelas maksud tertentu.

"Pak, tidak perlu memanggil saya nona. Saya di sini hanya murid anda." Aurora menjawab sesopan mungkin, padahal muak. Kapan orang-orang ini berhenti. "Saya perlu bicara dengan Profesor Danurdara. Apa anda memiliki sedikit waktu, prof?"

"Tentu." Profesor Danurdara meletakkan gelas plastik berisi teh miliknya, beranjak mengikuti kedua gadis tersebut. Mereka sedikit menjauh dari keramaian.

Aurora segera menyerahkan buku milik Yuki. "Yuki yang menemukan, kami nggak tahu apa itu." Ucapnya.

Profesor Danurdara menatap Yuki saat dia selesai membaca bukunya. Melihat penampilan gadis itu, dia pasti yang selama ini sering dibicarakan oleh orang-orang. Si Londo. Sebenarnya Profesor Danurdara adalah orang baru di sekolah ini, sebelumnya selama beberapa tahun Profesor Danurdara melakukan penelitian di daerah ini dan telah mengenal prasasti yang ada di tempat ini dengan baik. Tapi baru kali ini Danurdara membaca tulisan ini. Apa dia melewatkan sesuatu?

"Di mana kamu menemukan tulisan ini?" Tanyanya.

"A-ada di antara patung." Jawab Yuki.

"Antar saya ke sana." Yuki mengangguk dan segera memandu Profesor ke tempat dia menemukan tulisan itu.

***

Raphael menjauhi keramaian, dia duduk seorang diri di dalam hutan- di bawah naungan pohon besar dengan akar mencuat dari tanah. Raphael sedang memejamkan mata ketika dia merasakan kehadiran seseorang.

"Mau apa?" ucap Raphael tanpa membuka mata.

"Maaf, aku ganggu ya?" Sinta muncul dari balik pepohonan.

"Kalau lo udah tahu, pergi dari sini." Kata-katanya menusuk, tapi Sinta mempertahankan senyum di wajahnya.

"Maaf kalau gitu, aku cuma mau kasih ini." Sinta meletakkan sekotak makanan di dekat Raphael. "Aku lihat kamu nggak suka makanan yang sudah disediakan, jadi mungkin kamu bisa makan yang ini. Aku buat sendiri."

Raphael membuka matanya. Sinta terpesona dengan mata sebiru lautan itu, sejak pertama kali melihatnya dan sekarang, mungkin juga seterusnya. Raphael melihat kotak makanan itu bosan. Dia bukan tidak suka menu makanan yang tersedia, hanya saja bagaimana bisa Raphael makan jika pikirannya dipenuhi Yuki. Gadis itu ternyata lebih berbahaya dari perkiraan. Raphael akan membuka mulutnya untuk menolak saat alat komunikasinya berdering, kedipan warna itu milik adiknya.

Saat Raphael menekan kaca bening berbentuk oval tersebut, Aurora muncul dalam bentuk tiga dimensi.

"Dia udah makan?" tanya Raphael seketika.

Aurora memutar mata. "Tanya adeknya dulu, malah orang lain."

"Dia bukan orang lain." tegas Raphael, baginya Yuki bukan orang lain. Gadis itu adalah jiwa miliknya.

"Oke, maaf." Aurora terkekeh, dia sangat merasakan perubahan Raphael. Dulu orang itu tak pernah peduli pada apa pun, bahkan pada dirinya sendiri. Tapi sejak bertemu dengan Yuki, Raphael terlihat seperti manusia. "Sebenarnya Yuki belum makan, dia menemukan sesuatu jadi harus bicara dengan Profesor Danurdara dulu." Jelasnya.

"Ini sudah terlalu siang. Suruh dia makan, kalau perlu paksa kalau dia nolak."

"Nggak mau. Daripada nyuruh aku, kenapa nggak kakak aja yang ke sini suruh Yuki makan." Tantang Aurora, mendengar itu Raphael mendengus kesal.

Raphael terus bicara dengan adiknya, melupakan keberadaan Sinta yang terpaku. Sinta yakin telinganya sedang bermasalah saat mendengar nama Yuki disebut. Tapi saat nama itu lagi-lagi terdengar, jelas tidak ada masalah pada telinganya. Belum lagi, ketika Sinta melihat Raphael yang begitu perhatian pada Londo itu.

"Lo masih di sini?"

Lamunan Sinta buyar ketika mendengar suara dingin itu. Raphael berdiri, bersiap pergi. Dia sama sekali belum menyentuh bekal makanan yang Sinta beri.

"Kamu mau ke mana? Terus makanannya?" Sinta bicara seperti orang linglung.

"Gue nggak laper." Tanpa menoleh lagi Raphael meninggalkan Sinta yang lagi-lagi terpaku.

Yuki, sebenarnya apa hebatnya orang itu. Dia hanya seorang darah kotor, yang bahkan tak memiliki ayah dan hidup dalam kemiskinan. Sinta akui Yuki memang mempunyai rupa yang tidak biasa, dia tidak terlihat seperti Pribumi apalagi Penjajah. Yuki adalah perpaduan kedua darah itu, hal yang membuatnya terlihat begitu mencolok. Sebuah kecantikan yang misterius, yang berhasil menarik perhatian Banyu dan Raphael.

Kenyataan itu bagai pematik yang menyalakan sumbu. Sinta mengepalkan tangannya hingga kuku jarinya melukai kulit. Beraninya gadis kotor itu menarik perhatian dua orang yang dengan susah payah Sinta dekati. Kali ini, Yuki takkan termaafkan.