Chereads / RedMoon / Chapter 11 - Bulan purnama

Chapter 11 - Bulan purnama

Yuki terus bergerak meski setiap gerakkannya menimbulkan rasa sakit yang luar biasa. Dia berpegangan pada pagar besi, berharap akan menemukan seseorang. Tapi semua orang berkumpul di depan api unggun, Yuki tak bisa menemukan siapa pun. Dia ingin berteriak, tapi teriakannya bisa saja mengundang makhluk buas yang Sinta ceritakan.

Saat darah dari kakinya semakin deras, Yuki merasakan tatapan tajam menghujam punggungnya. Hewan-hewan kecil berlarian, burung berterbangan dengan panik. Yuki tahu ada bahaya yang mengincarnya, sekuat tenaga dia berjalan mengitari pagar itu. Sekali ini saja, tolong beri dia kesempatan. Yuki memohon dalam hati.

Tiba-tiba punggungnya disergap oleh kekuatan yang sangat besar. Yuki terseungkur dengan keras, menimbulkan rasa sakit luar biasa diseluruh tubuhnya. Namun belum sempat Yuki mengerang kesakitan, kakinya diseret dengan kuat. Yuki sampai mengira bahwa kakinya akan putus saat itu juga. Ketika dia menoleh, yang Yuki temukan adalah makhluk setinggi pohon. Bulunya coklat gelap, tangan yang menggenggam kaki Yuki dihiasi oleh kuku tajam, dari mulutnya yang penuh taring air liurnya terus menetes. Matanya yang tajam semerah darah di tengah gelapnya malam.

"Lepas!" Yuki berontak, dia menendang-nendang tangan binatang itu sekuatnya. Bahkan Yuki melupakan rasa sakit, ketakutannya menguasai.

Beruang itu marah dengan perlawanan makan malamnya, dia meraung keras hingga tanah bergetar.

Gadis itu diseret memasuki hutan. Saat Yuki mulai pasrah, dia terkejut ketika melihat seekor serigala berlari kearahnya. Beruang raksasa ini sudah cukup merepotkan, apa serigala itu juga ingin bergabung menikmatinya. Tapi ternyata serigala itu melompat melewatinya, dia menerkam buruang raksasa itu dengan gigi dan cakarnya yang tajam.

Genggaman di kakinya terlepas, gadis itu segera merangkak menjauhi kedua makhluk tersebut. Yuki menyaksikan pertarungan sengit itu, beruang menyerang membabi-buta, serigala itu pun tak kalah ganas. Salah satu mata beruang itu berhasil dilukai, dia bergerak tak tentu arah dan semakin gila menyerang. Serigala berhasil menancapkan giginya di leher beruang itu, dalam sekali koyak pembulu darahnya hancur seketika.

Beruang itu tergeletak tak bernyawa.

Yuki bergerak panik ketika serigala itu berganti mendekatinya. Dia berjalan seperti manusia, darah di mulutnya menetes. Ketika serigala itu menunduk demi menatap Yuki, Yuki terpaku oleh tatapannya. Meski kini mereka berada di tempat paling gelap, namun Yuki akan selalu mengenali mata sebiru lautan itu.

"Raphael?" dengan ragu Yuki menyentuh wajah serigala itu. "Ini kamu, iya kan?" serigala itu menjilati kaki Yuki yang terluka, wajahnya dibayangi kesedihan. Pada saat itulah Yuki yakin bahwa serigala itu memang Raphael.

Tiba-tiba Yuki dibanjiri rasa lega yang membuatnya menangis. Raphael mengubah wujudnya menjadi manusia kembali, dia meraih Yuki dalam dekapan erat, menghirup udara sebanyak mungkin di ceruk leher Yuki. Pakaian Raphael koyak ketika dia berubah wujud, alhasil Yuki bersentuhan langsung dengan kulit hangat lelaki itu yang membuatnya semakin yakin, bahwa dia masih hidup.

"Kamu aman, kamu aman sekarang." Raphael berbisik di telinganya, mengeratkan pelukannya pada tubuh kecil itu.

***

"Kita tidak bisa masuk ke hutan. Untuk saat ini." Profesor Danurdara baru mengetahui apa yang terjadi.

"Tapi Yuki dan kakak saya ada di sana, gimana kalau mereka dalam masalah?" Aurora bersikeras, mendengar raungan binatang itu jelas membuktikan betapa gentingnya saat ini.

"Saya pernah tinggal di tempat ini beberapa tahun, untuk meneliti prasasti yang pagi tadi kita kunjungi. Sekaligus untuk mempelajari hutan itu." Profesor Danurdara menatap rimbunnya hutan. "Hutan ini memiliki nama lain, yaitu Hutan kehidupan. Seluruh yang ada di dalamnya memiliki kehidupan dalam arti sesungguhnya. Yang artinya, pohon-pohon yang ada di sana bisa berpindah tempat sesuai keinginan mereka."

"Apa? Berpindah tempat? Pohon-pohonnya?" Aurora memandangnya tak menyangka, begitu juga semua orang.

"Betul, itu terjadi setiap malam. Membuat jalan di dalam hutan selalu berubah, kamu butuh pemandu atau kompas untuk masuk ke hutan itu atau kamu akan tersesat dan tidak bisa lagi keluar. Jika kamu ingin keluar dari hutan itu kamu harus menunggu pagi datang, saat itu kamu bisa menentukan arah dan seluruh pohon akan tertidur." Profesor menjelaskan. "Dulunya hutan ini adalah Tanah Keramat, lalu mulai tumbuh pepohonan setelah bertahun-tahun lamanya. Diyakin alasan pohon-pohon itu hidup adalah karena jiwa dari bayi-bayi tak berdosa yang dikubur di tanah ini, mereka menyatu dengan pepohona itu." Imbuhnya lagi.

Semua orang tercengang mendengar penjelasan Profesor Danurdara, jadi rumor itu benar. Bahkan jiwa dari bayi-bayi itu telah menyatu dengan pepohonan. Aurora semakin gelisah dibuatnya.

Danurdara melihat kerisauan Aurora, dia menghela napas. "Saya tahu kamu cemas pada mereka, tapi kita tidak memiliki cara lain selain menunggu. Lagipula, kamu tidak seharusnya terlalu cemas. Raphael akan menjadi Alpha di masa depan, dia lebih dari kuat untuk melindungi Yuki dan dirinya sendiri. Apalagi sekarang bulan purnama."

Bulan purnama adalah puncak bagi Volk menemukan kekuatan sejati mereka. Tapi justru hal itu yang Aurora khawatirkan. Untuk Volk yang belum menemukan Soul mereka, hal yang mereka dapatkan ketika bulan purnama hanyalah kekutan yang meningkat drastis. Tapi untuk Volk yang telah menemukan Soul mereka, selain peningkatan kekuatan, mereka juga akan mengalami peningkatan hasrat seksual. Jika Raphael berada di dekat Yuki terlalu lama, entah apa yang akan terjadi pada gadis polos itu.

"Aku belum mau jadi tante."

"Apa?" Danurdara mendengar gumam Aurora tidak jelas.

"Bukan apa-apa, jadi kita benar-benar nggak bisa masuk ke hutan sekarang?"

"Seperti yang saya katakan."

Aurora pasrah, jika setelah ini dia harus menjadi tante, biarlah.

***

Yuki meringis kesakitan, gerakan tangan Raphael berhenti sejenak.

"Tahan sedikit, oke?" Raphael sedang mengobati luka Yuki dengan beberapa tanaman yang dia temukan. Dedaunan yang telah ditumbuk halus itu mengandung antiseptik yang bagus untuk menghalau infeksi.

"Iya." Yuki menarik napas panjang, dia memejamkan mata erat ketika rasa perih menjalar dari kakinya.

"Selesai." Raphael segera membalut luka Yuki dengan kain yang dirobek dari celana bahan gadis itu. Raphael sendiri hanya berbalut celana jeans koyak nyaris tak berbentuk.

"Kamu bisa berdiri?" Yuki menggeleng sebagai jawaban, bahkan rasanya Yuki tidak sanggup bergerak seinci saja.

Raphael mungkin bisa menggendong Yuki pergi dari sini, tapi dia merasakan hawa tidak menyenangkan dari hutan ini. Seakan puluhan pasang mata sedang mengawasi gerak-gerik mereka. Raphael pikir lebih baik jika mereka pergi di pagi hari, semua akan terlihat jelas saat itu. Karena itu mereka butuh api unggun sekarang.

"Kamu mau kemana?" Yuki menehan lengannya ketika Raphael akan beranjak.

Sentuhan itu bagai arus listrik yang menjalar ke seluruh tubuh Raphael. Dia bahkan baru sadar jika aroma manis dari tubuh Yuki tercium lebih tajam dari biasanya, membuatnya nyaris mabuk kepayang dalam keadaan normal. Namun hari ini, di tengah sinar bulan purnama yang indah, Raphael mau tak mau harus mengekang sisi liarnya. Tidak mungkin dia melakukannya di tempat ini, terlebih lagi Yuki baru saja mendapat musibah dan terluka.

Raphael menggertak lelaki kecil yang menari-nari di sudut kepalanya, memerintahnya berpikir rasional.

"Kita nggak bisa keluar dari hutan sekarang, karena itu kita butuh api. Apalagi kamu kedinginan." Raphael bisa merasakan tangannya yang sedingin es. "Tunggu sebentar aja, aku nggak akan lama." Raphael meyakinkannya lewat tatapan.

Yuki akhirnya melepaskan Raphael. Beberada saat kemudian, api unggun berhasil dinyalakan. Yuki memperhatikan Raphael, dia seperinya ahli melakukan banyak hal. Bahkan Raphael mengurus luka Yuki dengan cekatan. Kesimpulannya dia laki-laki yang bisa diandalkan. Yuki tertegun saat melihat bekas luka melintang di punggung Raphael, apakah itu sakit? Muncul dorongan kuat untuk menyentuh punggung itu. Tapi Yuki menekan keinginannya kuat-kuat.

"Kamu masih dingin?" Raphael tiba-tiba saja berbalik, mengejutkan Yuki.

"Nggak, udah cukup." Benar, Yuki sudah cukup hangat sekarang. Apa Raphael sadar diperhatikan sejak tadi.

"Luka kamu gimana, masih sakit?" Tanya Raphael perhatian.

"Cuma perih sedikit." Yuki tersentuh oleh perhatian itu. Seumur hidup, dia hanya mendapat perhatian dari Bunda. Bahkan Banyu sering kali hanya bertindak sebagai orang baik.

"Besok setelah kita keluar dari hutan ini, kita langsung ke rumah sakit." Ucapnya tegas, Yuki yang hendak membantah pun mengurungkan niatnya.

Setelah itu hening, yang terdengar hanya suara serangga dan gemerisik ranting kering. Raphael dan Yuki bukan orang yang pandai bicara, terutama dengan lawan jenis. Jadi saat ini sedang terjadi krisis di antara keduanya.

"Malam ini cerah ya."

"Hah?"

Raphael mengutuk mulutnya sendiri, bisa-bisanya dia bergerak tanpa diperintah. Apalagi yang dia ucapkan sangat konyol. Yuki menatap Raphael yang memalingkan wajah sambil diam-diam menggerutu, di matanya itu terlihat sangat lucu. Raphael menoleh ketika dia mendengar Yuki terkekeh.

Demi isi alam semesta, Raphael bersumpah dia menahan diri sekuat mungkin agar tidak menerkam Yuki saat ini juga. Raphael tahu Yuki gadis yang cantik, tapi senyum di wajahnya saat ini seperti cahaya di kegelapan. Begitu terang, memberitahunya bahwa sebuah keindahan tersembunyi di baliknya. Yuki, dia berhasil membuat Raphael tak berkutik tanpa harus berusaha.

"Malam ini emang cerah kok, kamu nggak salah." Yuki tersenyum, dan jantung Raphael seolah berhenti. Yuki melihat langit pada malam itu, bulan purnama membuat malam itu tak segelap biasanya. "Raphael, terima kasih kamu udah nolong aku. Aku pikir, aku bakal mati malam ini."

"Kamu nggak akan mati. Setidaknya bukan dengan cara itu." ujar Raphael, dia melirik luka di kaki Yuki dan amarahnya berkobar. Tanpa bertanya pun Raphael tahu, jika luka yang Yuki dapatkan bukan berasal dari beruang raksasa itu. Luka itu terlalu dalam dan rapi, kuku yang tajam tidak akan membentuk luka seperti itu.

Tapi Raphael tidak akan bertanya pada Yuki, dia tahu gadis itu takkan mengaku. Akan lebih baik jika Raphael bergerak dengan usahanya sendiri dan memastikan Yuki aman.

"Aku juga mikir gitu. Kalau pun aku mati, aku mau Bunda tahu di mana harus menabur bunga. Setidaknya itu nggak akan bikin dia khawatir." Wajah Yuki sendu, tapi tersemat senyum kecil di bibirnya.

"Kamu hidup sama orang tua kamu?" tanya Raphael, tempat duduk mulai rapat.

"Cuma ada Bunda. Dulu aku pernah tanya soal Ayah, tapi Bunda langsung kelihatan sedih dan masuk ke kamar. Sejak itu aku nggak pernah lagi tanya soal Ayah." Tanpa sadar Yuki mulai membuka diri. "Tapi aku bahagia punya Bunda. Dia perempuan paling kuat yang aku tahu."

"Kamu sayang banget sama dia?"

"Banget. Aku sayang banget sama Bunda."

"Boleh aku ketemu dia?"

"Boleh." Yuki menatap Raphael dengan mata membulat, lelaki itu terkekeh melihat wajahnya. "Ma-mau apa ketemu Bunda?" dia baru sadar dengan kata-katanya sendiri.

"Anaknya agak susah didekati soalnya, siapa tahu beliau mau berbagi tips." Ucap Raphael penuh maksud. Wajah Yuki sehangat api unggun.

Lalu kemudian, Yuki teringat sesuatu. Hal yang membuatnya nekat mengikuti acara ini. Yuki menatap Raphael ragu-ragu.

"Raphael, aku mau minta maaf." Mendengar itu Raphael mengangkat alisnya bingung.

"Minta maaf buat apa?"

"Nggak tahu." Yuki memandangnya polos. "Sejak kamu melihat aku sama Banyu waktu itu, aku cuma merasa harus minta maaf sama kamu. Aku juga nggak tahu kenapa begitu."

Raphael mengangguk paham, sudut bibirnya tertarik. Jadi tanpa Yuki sadar dia juga terpengaruh oleh tanda bulan sabit itu. Mereka adalah jiwa dan raga yang terikat pada seutas tali, jadi wajar jika mereka bisa merasakan perasaan satu sama lain.

"Aku juga minta maaf, karena tiba-tiba datang di hidup kamu. Tapi kamu juga harus sadar, bulan sabit di kening kamu bukan sekadar tanda lahir biasa. Kamu juga seharusnya sadar, kalau ada sesuatu di antara kita." Ucap Raphael menatap mata Yuki dalam-dalam.

Iya, Yuki sadar setelah kejadian ini. Saat dia diseret oleh beruang itu, orang lain yang Yuki pikirkan selain Bundanya adalah Raphael. Bayangannya tiba-tiba melintas di benak Yuki, sekilas rasanya seperti rindu yang tak tertahankan. Membuat Yuki ingin sekali melihat Raphael, jika bisa memeluknya juga.

"Tapi aku bukan Pribumi, bukan Penjajah, apalagi Bangsawan. Aku bahkan nggak tahu siapa diriku yang sebenarnya." Ucapnya, hal yang selama ini dipendam akhirnya muncul dari mulut Yuki. "Memang itu nggak papa. Gimana kalau nanti malah jadi masalah, gimana kalau hal itu menyakiti orang lain. Londo kayak aku, memangnya pantas berharap lebih."

"Tapi kamu manusia, aku pikir itu cukup." Raphael memandang bulan purnama, bersandar pada pohon. "Kadang indentitas tidak lebih penting dari jati diri, kamu hanya perlu yakin sama diri kamu sendiri. Kamu juga boleh berharap selama kamu bisa berusaha, karena halangan yang sebenarnya adalah diri kita sendiri. Kalau tentang orang lain, mungkin acuh sesekali nggak masalah. Itu tergantung cara pikir orang lain itu kan?"

Raphael menatap Yuki, bibirnya dihiasi senyuman. "Kamu nggak harus menjaga perasaan semua orang selama kamu sendiri nggak nyaman."

"Boleh?" mata Yuki berkilau oleh air mata.

"Tentu. Pilihan itu ada di tangan kamu sendiri, bukan orang lain."

Jadi boleh, Yuki boleh menentukan apa pun dalam hidupnya. Raphael menyadari keraguan besar dari Yuki, hal itu mungkin wajar. Raphael sendiri tidak bisa membayangkan seberapa berat hidup Yuki selama ini, gadis itu menghadapi semuanya seorang diri.

"Yuki, boleh aku minta ijin?" Raphael memandangnya sungguh-sungguh.

"Mau ketemu Bunda?"

"Itu juga, tapi sebelum itu ada hal lain yang penting." Raphael lagi-lagi tersenyum. Sudahkah Yuki katakan dia terpesona dengan senyum itu, Raphael sepuluh kali lipat lebih tampan dengan senyumnya.

"Boleh aku lebih dekat sama kamu?" Raphael akan memulai dengan langkah paling kecil, dia tidak akan memaksa Yuki untuk menerimanya. Lagipula apa pun yang terjadi mereka memang ditakdirkan untuk bersama.

"Meski pun aku bukan Bangsawan?"

"Aku nggak peduli soal itu."

"Meski pun pada akhirnya nanti ada masalah?"

Raphael seketika mengingat ramalan Nyonya Brigitha. Mengeraskan tekad, Raphael menatap Yuki dengan kesungguhan paling kuat.

"Sebesar apa pun masalahnya, aku nggak akan menyerah. Karena aku nggak akan membiarkan kamu sendirian lagi."