Profesor Danurdara melepas kaca mata khususnya, dia menghela napas panjang dengan berat. Ditatapnya Yuki yang berdiri tidak jauh darinya. Gadis yang selama ini tak pernah dianggap, justru menemukan sesuatu yang luar biasa.
"Masih belum jelas itu apa, tapi kemungkinan tulisan itu adalah mantra kuno." Ucapnya, keluar dari celah di antara kaki patung.
"Mantra kuno seperti apa?" Danurdara melihat mata Yuki yang bersinar cerdas. Terdapat keingintahuan yang besar dari gadis itu. Hal yang jarang dia temui dari seorang gadis di jaman sekarang.
"Itu mantra yang membuat Pribumi mendapatkan kekuatan. Kamu tentu tahu tentang legenda Barong."
"Hal yang terjadi setiap seratus tahun sekali, setiap bulan merah muncul."
"Betul. Kakuatan seorang Pribumi hanya dapat muncul sekali dalam seratus tahun, karena itu para tetua di jaman Penjajah merapalkan sebuah mantra terlarang yang paling kuat. Dan mantra itu adalah yang kamu temukan."
Yuki mengikuti Profesor Danurdara kembali ke tempat istirahat. Mereka hanya berdua, karena Aurora bilang dia memiliki sedikit urusan.
"Mantra itu berisi perjanjian antar Pribumi dan roh Barong. Pribumi meminta agar mereka mendapat kekuatan Barong hingga mereka berhasil mengusir para Penjajah dari tanah Nusantara, saat itu Pribumi yakin mereka akan menang karena Penjajah tak memiliki ilmu spiritual sekuat mereka. Tapi Pribumi tak memprediksi, jika para Penjajah ternyata meminta bantuan Bangsawan yang ternyata memiliki kekuatan Volk. Pertarungan antara kedua spesies pun terjadi hingga satu dekade."
Saat Yuki dan Profesor Danurdara sampai di tempat peristirahatan, kedua rekan Danurdara tidak berada di tempat. Mungkin mereka sedang memastikan keamanan murid yang lain. Profesor Danurdara dan Yuki kembali melakukan diskusi mereka.
"Bangsawan yang pertama kali mengusulkan perundingan untuk kedua belah pihak. Bangsawan mengusulkan perdamaian, hal yang jelas ditentang terutama oleh para Pribumi. Mereka sudah terlalu lama menderita di tanah mereka sendiri, sebuah perdamaian jelas tidak sebanding untuk pengorbanan mereka. Hingga akhirnya, setelah perundingan alot dan panjang, perjanjian perdamaian itu berhasil disepakati. Dengan syarat Pribumi terpilih akan menjabat jabatan paling banyak di pemerintahan, dan Bangsawan terpilih menempati kedudukan ketua. Itu karena dua hal. Pertama, Pribumi tidak ingin lagi dijajah di tanah mereka, karena itu mereka ingin memonopoli segala sesuatu yang ada di pemerintahan. Kedua, karena Bangsawan yang telah menjadi pelopor perdamaian itu mereka yang terpilih akan menjadi kedua dari Harjuna. Hal itu tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun."
Yuki terpaku, dalam sejarah tidak dirincikan apa yang terjadi di masa lalu. Hanya sebuah garis besar yang terkadang menimbulkan tanya di benaknya. Tapi hari ini Yuki mengetahui semuanya, pertanyaan yang menghantui pun terjawab. Tapi ternyata, semua itu belum berakhir.
"Meski begitu, terjadi sebuah kesalahan." Profesor Danurdara melihat sekelilingnya, tidak ada yang memperhatikan mereka saat itu. Orang tua yang masih terlihat bugar itu mengulurkan tangannya. "Perjanjian itu, justru menjadi kutukan untuk seluruh Pribumi di negeri ini." Tangan Profesor Danurdara perlahan berubah, dipenuhi bulu harimau dengan cakar tajam yang kuat. Melihat itu, Yuki mundur selangkah karena terkejut.
"Yang leluhur inginkan adalah mengusir para Penjajah dari tanah ini, namun mereka gagal karena perjanjian perdamaian itu membuat Penjajah masih tetap menduduki tanah Nusantara. Hal itu membuat mantra yang diucapkan oleh para leluhur berubah menjadi kutukan yang turun-temurun. Selama ini kami menyembunyikan hal ini dari khalayak umum, bahkan dari para Bangsawan dan Penjajah. Jalan satu-satunya agar kami bisa menjadi manusia seutuhnya, adalah dengan menyingkirkan seluruh Penjajah. Namun hal itu pun tidak mungkin. Tapi sekarang, semua menjadi mungkin."
Tangan Profesor Danurdara kembali seperti semula. "Semua itu berkat kamu menemukan mantra ini. Saya akan menelitinya, dan menemukan cara untuk mengembalikan Pribumi menjadi manusia seutuhnya. Kamu melakukan hal baik Yuki, kerja bagus."
Seumur hidupnya baru kali ini Yuki mendapat pujian, Yuki tak bisa mencegah hatinya mengembang oleh rasa bahagia. Akhirnya dia bisa berguna untuk orang lain.
"Terima kasih, Profesor." Ucapnya disertai senyum lebar.
"Kamu bisa istirahat, maaf kamu jadi melewatkan makan siang."
"Bukan masalah. Kalau begitu, saya permisi."
Sepertinya malam ini, Yuki akan bermimpi indah.
***
Yuki sangat lelah, seharian ini dia sudah bekerja keras. Karena itu dia memutuskan tidur lebih cepat. Di luar sana lagi-lagi acara api unggun berlangsung, sepertinya kali ini lebih meriah karena Yuki bisa mendengar suara orang-orang menyanyi. Karena letak tenda Yuki berada cukup jauh dari acara api unggun, dia tidak terganggu dengan suara itu. Alhasil Yuki tertidur lebih cepat seperti yang dia rencanakan.
Dia tidak menyadari, di luar tendanya ada beberapa orang yang berusaha masuk.
Mulutnya dibekap, tubuhnya ditahan erat. Yuki meronta kuat namun usahanya sia-sia melawan beberapa orang sekaligus, meski tempat itu gelap Yuki tahu orang-orang itu adalah gadis seusianya. Tubuhnya diangkat dibawa ke suatu tempat, itu adalah gerbang kokoh yang memisahkan hutan dan tanah perkemahan. Yuki dihempaskan begitu saja hingga tersungkur, di depan matanya Yuki melihat sepasang kaki berbalut sepatu feminim. Saat dia mengangkat wajahnya, Yuki melihat Sinta menatapnya dengan senyum paling dingin.
"Hai Yuki, apa kabar." Ucapnya ramah, namun Yuki bisa merasakan punggungnya meremang oleh kengerian. Yuki tahu dia memang tidak bisa bersembunyi selamanya.
"Coba kita ingat, sudah berapa lama aku ngebiarin kamu berbuat seenaknya. Kayaknya cukup lama ya." Sinta terkekeh sendiri. "Tapi sekarang, kamu nggak akan bisa seenaknya lagi." Sinta tersenyum, dia mengeluarkan sesuatu dari balik punggungnya yang telah dia siapkan sejak awal.
Di bawah sinar rembulan, benda tajam itu berkilau. Mata Yuki membesar, dadanya dihantam ketakutan murni. Yuki terkejut saat tiba-tiba kedua tangannya ditahan, begitu juga kedua kakinya.
"Sinta, kamu mau apa? Tolong jangan, aku minta maaf. Aku minta maaf!" walau Yuki tak pernah tahu apa kesalahannya, tapi dia terus memohon ampun. Sita yang mendengar itu segera menutup mulut Yuki erat.
Tanpa belas kasih, Sinta mengangkat pisau di tangannya tinggi-tinggi. Suara teriakan Yuki hanya sampai di tenggorokannya ketika pisau itu menghujam kedua kakinya. Air mata Yuki menganak sungai, rasa sakit mulai menjalar ke seluruh tubuhnya. Sinta mencabut pisau itu dengan cepat, membuangnya ke semak belukar. Dengan isyaratnya Sinta membuat kedua gadis yang pernah satu tenda dengan Yuki membuka gerbang kokoh di belakangnya, kedua gadis itu terlihat sangat gugup ketika membuka gembok besar yang mengunci gerbang tersebut.
Suara angsel berkarat terdengar nyaring ketika gerbang itu akhirnya terbuka. Sensasi dingin dan hawa mengerikan seketika menyergap mereka yang ada di sana, kecuali Sinta yang terasa lebih mengerikan bagi Yuki.
"Ada yang bilang, di dalam hutan ini terdapat makhluk buas yang selalu haus akan darah. Makhluk itu hanya keluar ketika malam hari, dan dia akan mengejar makhluk apa pun yang mengeluarkan aroma darah." Sinta bicara seolah sedang mendongeng. Matanya melirik luka di kedua kaki Yuki yang mengeluarkan darah, ketika senyumnya muncul Yuki diserang perasaan panik seketika.
Sinta memberi Sita isyarat, gadis galak itu segera melepaskan tangannya dari mulut Yuki. Dia kemudian menyeret Yuki memasuki hutan, Sinta menulikan telinga dari segala permohonan gadis itu. Baginya ini adalah hukuman paling sepadan yang layak Yuki terima.
"Sinta aku mohon! Aku minta maaf! Aku salah! Aku salah! Tolong jangan tinggalin aku di sini! Sinta!"
Yuki seperti melupakan rasa sakitnya untuk sementara waktu, mengetahui nyawanya terancam membuat lupa diri. Sita yang menyeretnya kualahan menghadapi perlawanan Yuki. Setelah cukup jauh dari gerbang, Sita menghempaskan Yuki ke tanah.
"Di sini kuburan lo, jangan pernah muncul lagi di hadapan Sinta." Ucapnya, meninggalkan Yuki yang mengerang kesakitan saat kakinya dengan sengaja ditendang.
Saat Yuki melihat gerbang itu mulai tertutup, saat itu juga Yuki merasa hidupnya telah berakhir. Yuki tahu hidupnya tidak ada artinya untuk orang lain- mungkin juga untuk dirinya sendiri, namun dia masih memiliki Fahira. Setidaknya jika Yuki pada akhirnya harus mati, dia ingin Ibunya tahu ke mana harus berkunjung untuk menabur bunga. Bukan berakhir di perut seekor makhluk buas.
Yuki berteriak, berharap seseorang mendengarnya. Namun nihil, usahanya hanya membuat tenggorokan sakit. Setiap gerakan yang Yuki lakukan menimbulkan rasa sakit luar biasa, tapi dia tidak bisa hanya diam saja dan menunggu ajalnya datang.
***
Aurora menoleh ketika telinganya menangkap suara seseorang, namun itu terdengar sangat samar karena ramainya acara api unggun. Aurora menjauh dari keramaian itu, menuju tenda milik kakaknya.
Raphael tidak pernah ikut acara api unggun sama sekali, dia lebih suka tidur di tendanya seorang diri. Aurora menggerakan bahu Raphael hingga lelaki itu bangun.
"Mau apa?" tanya Raphael kesal.
"Aku tadi dengar suara, kayak suaranya Yuki." Mendengar itu rasa kantuk Raphael hilang sepenuhnya. "Aku nggak begitu yakin sebetulnya. Tapi, gimana kalau kita cek dulu. Aku dengar Yuki tidur sendirian di tendanya, dua gadis yang sama dia pindah ke tenda lain."
Tanpa menunggu lama Raphael segera menuju tenda Yuki. Tiba-tiba Raphael merasa begitu cemas, perasaannya semakin kacau ketika dia mendapati tenda Yuki kosong. Raphael bisa mencium aroma gadis itu bercampur dengan aroma orang lain, tepatnya beberapa orang. Raphael juga melihat bekas jejak di tenda Yuki, dan isi tendanya yang berantakan. Tangannya mengepal keras, jelas ada yang tidak beres.
Aurora segera melaporkan hal itu pada para guru. Acara api unggun mau tidak mau berakhir lebih cepat. Semua orang mengeluh ketika mereka tahu kenapa api unggun dimatikan.
"Apa sih, nyusahin banget. Orang lagi seru-seruan juga."
"Paling caper doang biar dicariin."
Telinga Raphael panas mendengar gerutuan orang-orang itu, Aurora tidak seharusnya mengatakan pada mereka. Seorang guru mendekati Raphael- dia laki-laki dengan kaca mata bulat dan kumis tebal.
"Begini Tuan Raphael, biar besok kita mencarinya. Untuk sekarang lebih baik kita semua beristirahat, hari ini semuanya sudah sangat lelah. Lagipula, hutan itu sangat berbahaya saat malam hari dan gembok yang ada di gerbang sangat kuat, jadi kemungkinan besar dia tidak ada di sana." Ucapnya yang membuat Aurora meringis, apa yang guru itu lakukan seperti menyiram minyak pada api.
Guru itu tampak gugup ditatap setajam itu oleh Raphael. Dia memperbaiki letak kaca matanya dengan tangan gemetar.
"Anda adalah seorang guru, sudah menjadi kewajiban anda untuk menjaga seluruh murid termasuk Yuki. Anda tidak seharusnya mencampurkan urusan pribadi dengan pekerjaan." Ucapnya, nadanya terdengar seperti musik kematian.
"Sa-saya tidak sedang mencampurkan urusan pribadi, tuan."
"Ohya, jika memang begitu, seharusnya anda mengabaikan rasa lelah itu dan mulai mencari murid anda yang hilang. Bukannya menunggu besok, atau memang lebih mudah menemukan mayat daripada murid yang sedang membutuhkan pertolongan." Ucap Raphael tajam, membungkam semua suara.
"Bukan begitu Raphael." Sinta muncul dari balik kerumunan. Gadis pribumi itu mendekat, Raphael menegang ketika dia mencium aroma yang familiar.
"Hutan itu sangat berbahaya, akan sangat beresiko jika memasukinya di malam hari. Apalagi ada kabar bahwa makhluk misterius di hidup di sana." Ucapnya tenang.
Raphael mendekati Sinta, gadis itu mempertahankan ketenangannya sampai Raphael tiba-tiba menunduk. Raphael mengendus, semakin yakin dengan aroma familiar itu saat dia mendekat. Itu aroma manis milik Yuki, bercampur dengan aroma darah. Raphael akan membuka mulutnya ketika dari hutan terdengar suara teriakan binatang buas. Burung-burung berterbangan, semua orang ketakutan.
Seketika, Raphael berlari dalam wujud serigala. Perubahannya membuat semua orang tercengang, baru kali ini mereka melihat perubahan wujud seorang bangsawan. Volk memiliki dua perwujudan, yaitu ketika mereka bertarung karakteristik serigala sekaligus manusia akan terlihat jelas, mereka berjalan dengan dua kaki namun saat berlari mereka pun akan menggunakan kaki depan. Tubuhnya tinggi besar dengan otot kuat di setiap bagian. Sedangkan perwujudan kedua, adalah bentuk murni serigala dengan ukuran tiga kali lipat serigala biasa.
Raphael menggunakan wujud bertarungnya, dengan mudah melompati pagar setinggi lima meter, dia membelah gelapnya malam dengan kecepatan tak terkira. Menggunakan kemampuan penciumannya Raphael bisa dengan mudah menemukan keberadaan Yuki.