Yuki sedang membantu ibunya di dapur membuat makan malam, namun meski raganya berada di tempat itu pikirannya melayang entah ke mana. Alhasil pisau yang Yuki gunakan untuk mengiris sayuran justru nyaris memotong jarinya. Fahira yang duduk di sebelahnya panik tidak karuan.
"Kamu ini, kalau kerja jangan sambil melamun." Ibunya memarahi.
"Maaf, Bunda." Yuki meringis ketika Fahira menekan lukanya dengan kain.
"Sebenarnya kamu kenapa? Bunda ngeliat kamu dari tadi nggak fokus." Setelah memecahkan piring dan menumpahkan minyak, sekarang hampir memotong jarinya sendiri. Fahira yakin ada sesuatu yang terjadi.
Yuki menggenggam kain yang digunakan untuk menekan lukanya. Darahnya sudah berhenti, Fahira juga telah mengobati lukanya. Dia menatap ibunya ragu-ragu. "Bunda, wajar nggak kalau ada orang marah tapi dia nggak bicara apa pun. Atau malah sebenarnya dia nggak marah." Yuki bingung harus menjelaskan seperti apa.
Padahal Yuki sudah siap menghadapi Raphael- yang sepertinya sedang marah, tapi orang itu justru hanya melewatinya begitu saja. Menganggap Yuki seolah tak ada. Yang mengejutkan lagi Raphael menghampiri Banyu dan mereka bicara akrab, walau Raphael tetap memasang wajah dingin seperti biasa. Malah mungkin itu terlalu dingin.
Sepanjang hari Yuki dihinggapi perasaan tak nyaman setelah kejadian itu. Dia tidak tahu rasanya, tapi itu mungkin seperti seseorang yang ketahuan berselingkuh. Tapi bagaimana bisa Yuki merasa seperti itu, dia kan tidak sedang dalam hubungan apa pun dengan siapapun. Gadis kecil di sudut hatinya mencibir kepolosan Yuki.
"Kalau dia hanya diam, bisa jadi dia terlalu marah sampai nggak bisa berkata-kata lagi." Fahira mengambil alih pekerjaan Yuki yang tertunda. "Kamu bikin marah seseorang?" Tanyanya.
"Kayaknya gitu. Yuki nggak tahu harus gimana, kami nggak akrab." Tapi kami pernah ciuman. Memikirkan itu wajahnya dihiasi semburat merah tipis.
"Kan tinggal minta maaf dengan tulus, terus kamu luruskan kesalah pahaman jika ada. Memendam perasaan terlalu lama itu nggak baik, bisa jadi boom waktu yang nggak tahu kapan meledaknya." Ujar Fahira yang mulai sibuk di depan kompor.
Yuki tidak yakin akan semudah itu, apalagi orang itu adalah Raphael. Yuki mengerang kesal, kenapa dia harus terganggu dengan amarah lelaki itu.
***
Aurora memakan anggur sambil menyaksikan Raphael yang sedang memukuli samsak. Saat kantung berisi pasir itu jatuh dengan isi berhamburan, Aurora menyeringai. Dalam waktu satu jam Raphael telah merusak tujuh samsak, tiga di antaranya terbelah menjadi dua sisanya lebur. Tak berbentuk.
Saat Aurora melihat Raphael siap menggantung samsak kedelapan, dia mulai beranjak dari tempatnya. "Kak, sebentar lagi makan malam loh. Nggak mau istirahat dulu." Ujarnya menghampiri.
Namun Raphael mengabaikan adiknya, membuat Aurora mendengus. Sejak pulang sekolah Raphael sudah memancarkan aura buruk, bahkan mata lelaki itu berubah dan taringnya mulai tampak. Tanda bahwa dia sedang menahan emosi.
"Yuki." Aurora memancing dan Raphael tertangkap dengan mudah. Gadis itu tertawa saat pukulan Raphael luput dari sasaran, membuat wajah tampan itu tanpa sengaja menghantam samsak.
"Sial!" Raphael mengumpat.
"Buruan selesai marahnya, setelah harus makan malam. Kalau nggak, Mama bisa curiga loh." Aurora berlari kecil menjauhi Raphael, keluar dari ruang latihan di rumahnya.
Raphael menendang samsak hingga isinya berhamburan. Rahangnya mengetat, jarinya mulai berubah menjadi cakar tajam setiap bayangan Yuki dan Banyu terlintas di benaknya. Raphael tidak sebodoh itu, dia bisa melihatnya dari mata gadis itu dengan sangat jelas. Kekaguman yang tidak ditutup-tutupi, pemujaan seorang wanita pada lelakinya, senyum manis yang belum pernah dia lihat. Hal-hal yang seharusnya menjadi milik Raphael justru dimiliki orang lain.
Raphael rasanya ingin menghancurkan Banyu saat itu juga. Beruntung pikirannya masih cukup waras, karena itu dia bisa menahannya. Tapi di kesempatan yang lain, entah Raphael bisa menahan diri atau tidak.
***
Akhirnya Yuki memilih menggali kuburannya sendiri. Dia tak mendapat kesempatan mendekati Raphael, atau lebih tepatnya, lelaki itu tak membiarkannya mendekat. Karena setiap kali melihat Yuki Raphael akan pergi. Ini sama seperti waktu itu, hanya saja posisinya terbalik. Yuki sendiri tidak mengerti kenapa dia berusaha sekeras ini untuk mendekati seseorang, apalagi orang itu adalah Raphael. Orang yang selama ini ingin Yuki jauhi.
Bus yang akan membawa mereka ke tempat tujuan telah berjajar rapi. Yuki bisa melihat, enam puluh orang yang ikut dalam kegiatan itu mulai mengantri memasuki bus. Enam puluh orang tersebut terdiri dari tiga puluh orang dari kelas reguler, dan tiga puluh orang dari kelas khusus.
Yuki berada di urutan terakhir, dari tempatnya dia melihat Aurora melambaikan tangan dengan bersemangat. Yuki membalasnya dengan senyum tipis, namun senyum itu surut ketika melihat Raphael berdiri tepat di depan Aurora. Lelaki itu sempat melihatnya sekilas, tapi berpaling sedetik kemudian dengan rahang mengeras.
Yuki yang terpaku tak menyadari seseorang berdiri di belakangnya.
"Ngeliatin apa?"
Yuki terperanjat, saat berbalik ada Banyu di belakangnya dengan senyum ramah seperti biasa. "Banyu, aku pikir kamu udah di dalam bus." Ujar Yuki gugup, tapi kali ini bukan gugup seperti biasanya. Dia melirik ke tempat Raphael, meringis saat mendapati tatapan tajam lelaki itu.
"Aku kesiangan, untung aja nggak telat. Tapi bagus juga sih, aku jadi bisa duduk bareng kamu." Ujar Banyu, senyumnya secerah matahari pagi ini.
Yuki yakin Banyu masih menjadi orang yang dia sukai sampai beberapa waktu kemarin, jadi saat dia mendengar itu seharusnya Yuki senang. Tapi kenapa dia tak merasakan apa pun, segalanya menjadi hambar bahkan saat dia bisa sedekat ini dengan Banyu.
Yuki melihat keluar jendela, bus yang dia tumpangi berseberangan dengan bus kelas khusus. Mungkin itu kebetulan atau memang takdir, Raphael ada di sana melihat keluar jendela, mata biru dan hazel itu bertemu dalam rasa yang rumit. Seumur hidupnya baru kali ini Yuki begitu kebingungan oleh rasanya sendiri.
Perjalanan itu membutuhkan waktu hampir setengah hari. Tempat di mana acara kemping berlangsung berada disebuah kawasan hutan, jauh dari perkotaan ataupun desa. Pagar tinggi yang membatasi antara tanah lapang tempat tenda para murid berada dan hutan terlihat dari kejauhan, banyak orang mengatakan bahwa di dalam hutan bagian barat terdapat monumen dan peninggalan bersejarah sejak jaman Penjajahan. Murid yang ada diminta untuk mempelajari peninggalan bersejarah itu dan membaca setiap paragraf kuno.
"Katanya, hutan ini dekat sama tanah keramat loh."
"Serius, berarti Yuki bisa ke makam teman-temannya dong." Tawa mereka berderai. Yuki menunduk, bersikap seolah tak pernah mendengarnya.
Semua murid turun dari bus, mereka perlu berjalan beberapa saat untuk sampai di tanah lapang. Karena panitia tahu semua murid akan sampai saat sore hari, alhasil seluruh tenda untuk murid telah mereka persiapkan lebih dulu. Jadi semua murid yang kelelahan bisa langsung beristirahat.
Sebelum mereka beristirahat, guru yang ikut bertugas mengumpulkan semua orang. Dia memberi arahan pada seluruh peserta, dan beberapa peringatan yang salah satunya adalah untuk tidak memasuki hutan seorang diri terutama di malam hari. Lalu mereka dibagi beberapa kelompok, Yuki berada satu tenda dengan dua gadis tidak dikenal. Terlihat jelas ketidak nyaman keduanya disatukan dengan Yuki, tapi dua gadis itu tak bisa melakukan apa pun. Alhasil yang mereka lakukan hanya terus mengabaikan Yuki.
Hal itu sama sekali bukan masalah untuk Yuki, malah bagus.
"Yuki." Banyu menghampirinya dengan segelas minuman hangat. "Buat kamu." Ujarnya lalu mengambil tempat di sisi Yuki.
"Makasih." Ucap Yuki menggenggam gelas berisi teh jahe, mengirim kehangatan ke tangannya.
"Kamu kok nggak duduk di dekat api unggun sih, kan dingin." Malam itu api unggun menyala, semua orang mendekat untuk menghangatkan tubuh. Kecuali Yuki yang menyendiri di depan tenda.
"Aku nggak mau ngerusak suasananya. Mereka lagi bersenang-senang." Bahkan dari tempatnya dia bisa mendengar kemeriahan itu.
"Kamu nggak akan ngerusak apa pun."
"Menurut kamu gitu, tapi menurut mereka lain lagi." Yuki tersenyum tipis. "Aku nggak papa kok, tenang aja."
Banyu menatap gadis itu dalam kegelapan, tapi anehnya dia melihat Yuki bersinar dalam kegelapan itu. Selalu. Awalnya dia bahkan tak menyadari keberadaan gadis itu, Yuki seperti jarum di antara ribuan jerami, sampai suatu hari Banyu menemukan jarum itu tergeletak jauh di antara tumpukan jerami. Ternyata bukan berada di antara tumpukan.
Jarum yang tampak rapuh namun begitu tajam, kokoh menghadapi setiap karung tebal yang seolah menghalangi. Tanpa sadar Banyu terus memperhatikannya, di mana pun itu matanya akan terus mencari Yuki. Banyu tidak tahu, apakah perasaannya memiliki maksud tertentu atau hanya sekadar penasaran. Yang pasti dia senang bisa berada begitu dekat dengan Yuki, menikmati setiap detik yang keduanya lalui.
Yuki dan Banyu menghabiskan banyak waktu untuk bicara, keduanya hanyut dalam dunia mereka yang sempit. Tanpa menyadari sepasang mata membara mengawasi dari kejauhan, tangannya mengepal kuat hingga nyaris melukai telapaknya sendiri.