Selama perjalanan pulang, hampir setiap orang yang dilewatinya menatapnya aneh. Sebagian besar wajah Yuki ditutupi rambut panjang kecoklatan, menyembunyikan bulan sabit sekaligus wajah kacaunya. Jantung Yuki masih berdetak keras hingga kini, sekarang apa yang harus dia lakukan. Bukan hanya Aurora, tapi Raphael juga. Bangsawan yang sangat dia hindari justru menjadi orang pertama yang mengetahui rahasianya, kenapa keberuntungan sangat jauh dari Yuki.
Yuki sampai di rumahnya yang sepi, lagi-lagi Bunda mendapat shift malam. Setelah melakukan aktifitas seperti biasa, Yuki mengurung diri di kamar sampai pagi. Saat Fahira melihatnya di kamar, gadis itu sedang menyembunyikan diri di dalam selimut.
"Yuki, kok belum bangun. Kamu kan harus sekolah nak." Fahira duduk di tepi tempat tidur, padahal deru kereta api selalu membangunkan Yuki. Tapi hingga matahari beranjak tinggi pun dia tidak keluar dari kamarnya. Perlahan selimut yang membungkus tubuhnya tersingkap.
Wajah Yuki tampak pucat, kantung matanya terlihat jelas. "Kamu nggak bisa tidur?" dia hanya menganggukkan kepala. Fahira tersenyum lembut, tangannya yang kasar karena terlalu keras bekerja mengelus kepala Yuki.
"Apa anak-anak di sekolah, masih sering ganggu kamu?" tidak perlu dijawab pun Fahira sudah tahu jawabannya. "Bunda minta maaf, gara-gara Bunda kamu harus melewati ini."
Yuki menggeleng. "Yuki, nggak papa, Bunda nggak perlu khawatir."
"Kamu yakin?" Yuki mengangguk. "Kalau gitu keluar yuk, Bunda udah selesai masak. Kamu harus makan." Fahira akan beranjak, tapi Yuki menangkap tangannya.
"Bun, Yuki mau ngomong sesuatu." Yuki memperbaiki posisi duduknya dengan kikuk. Dia sudah memikirkan hal ini semalaman, tidak ada cara lain kecuali ini.
"Ada apa sayang?" Fahira kembali ke tepi tempat tidur. Melihat raut wajah Yuki yang ragu namun juga penuh keyakinan, membuatnya penasaran.
"Bunda, boleh nggak kalau Yuki ..." belum sempat Yuki menyelesaikan kalimatnya. Suara gaduh di pintu rumahnya mengalahkan deru kereta api.
Ketika Fahira membuka pintunya, dia melihat wanita empat puluh tahun berdiri dengan wajah masam. Dia Tante Paula, pemilik kontrakan. Darah penjajah wanita itu mengalir deras, terlihat dari wajah asing dan rambut pirangnya.
"Mana uang sewa bulan ini, jangan bilang nunggak lagi! Rumah ini saya sewakan bukan buat jadi tempat tunawisma!" Suaranya yang selalu tinggi mulai terdengar. Yuki mengintip dari balik tembok usang.
"Uangnya sudah ada, Nyonya. Tunggu sebentar." Fahira terburu-buru mengambil uang di kamarnya. Itu adalah seluruh uang yang Fahira miliki.
Paula menghitung segepok uang yang Fahira berikan. Wajahnya sinis saat uang dalam genggamannya terpenuhi. "Begini dong, jangan nunggak terus. Bulan depan juga harus begini. Jangan karena mau memanjakan anak sampai lupa kewajiban." Paula melihat Yuki yang mengintip. "Apalagi kalau yang dimanja seringnya malah ngerepotin." Tanpa mengucapkan permisi, Paula meninggalkan rumah itu dengan gayanya yang angkuh.
Fahira menutup pintu sambil menghela napas panjang. Dia sudah lama menumpuk kesabaran, hal seperti itu bukan masalah lagi untuknya. Saat dia berbalik, Yuki ada di sana menatapnya sendu.
"Maaf, tadi kamu mau ngomong apa Yuki?" wajah lelah itu mencoba untuk tersenyum.
"Bukan apa-apa Bun."
"Kamu yakin?" Yuki mengangguk untuk kesekian kalinya. "Kalau gitu, kamu harus makan setelah itu siap-siap sekolah." Ucapnya dengan suara bergetar.
Yuki memaksakan seulas senyum. "Iya." Semalam Yuki berpikir untuk pindah sekolah, bahkan berhenti saja jika bisa. Tapi melihat kejadian pagi ini dia pun mengurungkan niat, Yuki tidak ingin menambah beban Ibunya. Sudah cukup. Dia akan memikirkan cara lain untuk menghindari para bangsawan itu bagaimanapun caranya.
***
Raphael mengedarkan mata, sudah beberapa menit dia berdiri di sana namun orang yang dicarinya tak kunjung terlihat. Raphael mulai risih dengan beberapa gadis yang berdiri di sekitarnya, berusaha menarik perhatian lelaki itu.
"Kayaknya dia nggak masuk sekolah, atau dia emang punya jurus tak terlihat." Ujar Aurora di sampingnya. "Kakak sih, bikin dia takut." Cibirnya.
"Berisik." Raphael meninggalkan gerbang sekolah kemudian. Dia yakin Yuki masuk sekolah, Raphael tahu karena aroma manisnya meninggalkan jejak samar. Mungkin Yuki datang pagi sekali karena itu dia tidak bisa menemukannya di gerbang depan.
"Kakak kemarin ngomongin apa sama Papa?" Kemarin setelah makan malam, Raphael dengan wajah serius meminta waktu ayahnya untuk bicara. Pembicaraan keduanya baru selesai menjelang tengah malam. Aurora penasaran meski dia tahu Raphael membahas tentang Yuki.
"Kepo." Balasnya acuh.
Aurora menghentakkan kakinya kesal. "Ngeselin banget sih. Kalau bukan karena aku, Kak Raphael pasti nggak akan ketemu sama Yuki. Berterima kasih sedikit dong." Sengitnya.
Tapi Raphael tetap berjalan acuh di depan Aurora, membuat adiknya semakin kesal. Sampai kemudian mereka melihat keberadaan Yuki di ujung lorong. Gadis itu juga menyadari keberadaan mereka. Mata hazel itu memandang takut keduanya sebelum berlari menjauh dari mereka.
"Wah kak, agak susah kayaknya." Aurora melihat kepergian Yuki dengan takjub. Baru kali ini dia melihat seseorang berlari dari mereka, terutama dari kakaknya. Kebanyakan dari mereka biasanya justru sengaja mendekat.
Mata biru itu berkilat tajam, Raphael tentu menyadari sikap Yuki. Dia pun mengingat pembicaraannya dengan sang ayah semalam.
"Tanda Bulan sabit, kenapa kamu tanya itu?" Martinez memandang anak lelakinya heran. Raphael tak pernah tertarik dengan hal ini sebelumnya, bahkan saat istrinya mencoba mencarikannya wanita dia tetap acuh.
"Kalau aku bilang, ada seseorang yang punya tanda itu padahal dia bukan bangsawan gimana?" gerakan pena Martinez berhenti, pria itu segera mengalihkan perhatiannya pada Raphael. Raphael pun menceritakan pertemuannya dengan Yuki tanda diperintah. Martinez memperhatikannya dengan sungguh-sungguh.
Tanpa sadar Martinez menghubungkan hal tersebut dengan kejadian baru-baru ini, pemberotakan dan bulan sabit di kening seorang Londo. Dia menghela napas berat.
"Mungkin ramalan itu mulai terwujud sekarang." ujar Raphael. "Aku cuma mau ngasih tahu Papa, kalau aku nggak akan ngelepasin dia. Nggak peduli dunia ini akan hancur sekalipun."
"Raphael, coba kamu pikirkan dulu. Mungkin kamu salah." Martinez menatap Raphael tajam. "Bagaimanapun itu mustahil, bulan sabit itu tidak mungkin dimiliki orang lain kecuali bangsawan."
"Tapi Yuki buktinya."
"Darimana kamu tahu kalau gadis itu orangnya?"
"Pa, bukankah Papa tahu bagaimana rasanya." Ujarnya membungkam Martinez. Dia jelas tahu bagaimana rasanya, bahkan hingga sekarang Martinez masih tergila-gila pada Cintya. Hal itu berlaku sampai dirinya mati.
"Untuk sementara waktu, jangan beritahu Mama kamu." Martinez tak bisa mengatakan apa pun lagi. Jika dicegah Raphael hanya akan memberontak, itu adalah instingnya.
"Aku tahu. Aku juga butuh waktu buat meyakinkan Yuki." Mengingat raut wajah gadis itu sore tadi, dapat dipastikan Raphael harus bekerja keras.
Prediksinya malam itu pun terbukti, ini adalah hari ketiga dimana Yuki lari darinya. Padahal mereka berada satu lingkungan, tapi gadis itu selalu menemukan cara untuk menghindarinya. Raphael tak habis pikir, apa Yuki memiliki semacam ilmu menghilang. Selama tiga hari itu juga Raphael dibuat sesak napas, setiap malam sejak mereka bertemu dia selalu memimpikan Yuki. Mimpi yang membuatnya harus membasuh wajah dengan air dingin. Tidak hanya itu, bahkan Raphael mulai berhalusinasi tentang gadis itu.
Raphael tidak menyangka, jika pengaruh Soul akan sekuat ini.
"Wajah kakak makin kaku." Ucap Aurora prihatin. "Karena aku kasihan, jadi aku beliin kakak makan siang." Tambahnya, meletakkan makanan di samping Raphael. Mereka berada di gedung olahraga yang kosong. Di tempat itu Raphael tidak akan diganggu oleh gadis-gadis.
"Hm." Gumam Raphael tak jelas.
"Kakak tahu nggak, aku abis makan siang sama siapa?" Aurora duduk sambil memeluk bola basket. Melihat Raphael yang telentang di tegah lapangan. Awalnya Raphael sama sekali tak menunjukan minat pada Aurora. "Aku abis makan siang sama Yuki." Kalimat itu seketika menarik perhatian Raphael, Aurora mencibir tingkah lelaki itu.
"Kok bisa?" Dia menghindarinya tapi makan siang dengan adiknya. Apa-apaan itu.
"Bisa dong, aku kan cerdik." Aurora mengingat caranya mengajak Yuki makan siang tadi. Sedikit ancaman dan gadis itu langsung tunduk, hehehe.
"Kakak pasti iri kan, iya kan, udah jujur aja. Padahal Kakak itu Alpha dan Yuki itu Soul, tapi dia malah nolak Kakak. Aduh jadi kasihan." Aurora tertawa, tidak pernah dalam hidupnya dia melihat Raphael sekacau ini.
Sambil mendengus Raphael beranjak dari tempatnya. Dia berniat mencari keberadaan Yuki, dan sepertinya keberuntungan telah berpihak pada Raphael, saat dia keluar dari gedung olahraga Raphael melihat Yuki berjalan seorang diri di lorong yang sepi. Raphael hampir mendekatinya saat Yuki menyadari kehadiran lelaki itu. Seperti biasa, gadis itu lari secepat yang dia bisa.
Raphael tersenyum sinis. Sudah cukup, bagaimanapun caranya Raphael akan menangkap kucing lincah itu hari ini juga.