Fahira menatap empat keping emas di tangannya bergantian dengan wanita berambut merah yang duduk di depannya. "Maaf, tapi bukankah saya bekerja penuh hari ini?" Ujarnya heran.
Wanita berambut merah itu memandangnya bosan. "Iya, lalu?"
"Kenapa hanya empat keping. Seharusnya enam." Fahira bekerja di sebuah pabrik tekstil tidak jauh dari rumahnya, dia bekerja di bagian kemas. Fahira mendapat upah harian setelah dia selesai bekerja, jika ingin mendapat tambahan Fahira diharuskan lembur.
"Mulai hari ini upah harian hanya itu, ini perintah dari yang di atas." Si Rambut Api menjelaskan sambil mengunyah permen karet.
"Tapi kenapa mendadak?"
"Mana aku tahu. Aku hanya menjalankan tugas." Ketusnya. "Sebaiknya kamu pergi, antriannya sudah panjang." Imbuhnya sinis.
Fahira melihat ke belakangnya, beberapa orang mulai tidak sabar menanti giliran. Dia akhirnya pergi dengan bahu merosot lemas. Upah harian yang biasa Fahira terima bahkan nyaris tidak bisa memenuhi kebutuhan, karena itu dia sering lembur agar mereka setidaknya masih memiliki tempat tinggal. Tapi sekarang- Fahira menatap uang di tangannya, seberapa keras lagi dia harus berjuang.
"Ini keterlaluan! Binatang bahkan diperlakukan lebih baik dari kita!"
"Kamu benar! Upah dikurangi, dan mereka masih ingin kita bekerja keras! Dasar orang-orang menjijikkan!"
"Ini sudah tidak bisa dibiarkan lagi! Kita harus menuntut keadilan!"
"Setuju! Kita harus menuntut keadilan!"
Fahira mendengar gemericik amarah dari pegawai lain. Mungkin mereka akan melakukan demo seperti yang terjadi di distrik lain. Tapi bukankah demo itu selalu berujung bentrok, yang Fahira dengar sampai memakan korban. Tidak ingin mendengar lebih banyak Fahira akhirnya memutuskan pulang. Ada Yuki yang sudah menantinya di rumah untuk makan bersama.
***
Mulai tanggal lima sampai sepuluh, kelas Yuki mengadakan acara kemping di suatu tempat. Ketentuannya mutlak- jika ada yang tidak ikut selain karena urusan kesehatan, akan mendapat nilai buruk di akhir semester. Yuki pun dilema.
Yuki tidak ingin mengecewakan Ibunya dengan nilai buruk, dia bukan murid berprestasi tapi Yuki tidak pernah keluar dari peringkat sepuluh besar selama ini. Tapi mengikuti acara itu sama saja seperti menggali kuburannya sendiri, Sinta dan teman-temannya tidak akan membiarkannya bersenang-senang, itu pasti.
"Harus gimana?" Yuki melamun.
"Apanya?"
Suara yang muncul tiba-tiba itu sangat mengejutkan, terutama di tengah taman yang sepi. Raphael terhibur melihat wajah terkejut Yuki, matanya yang besar mengerjap dan wajah putihnya mulai merona. Dia ingin sekali memeluk gadis itu saat ini juga. Yuki berangsur mundur saat menyadari jarak mereka sangat dekat, bahkan dia bisa mencium aroma maskulin dari bangsawan itu. Tapi belum sempat Yuki bergerak, Raphael sudah menahan lengannya.
"Jangan jauh-jauh, panas." Ujarnya menunjuk terik matahari siang itu. Raphael mengikuti jejak aroma Yuki dan menemukan gadis itu di bawah pohon rindang. Sejak ciuman pertama mereka aroma Yuki terasa semakin kuat, sehingga mudah bagi Raphael menemukannya. Sekarang gadis itu benar-benar tidak bisa lari lagi darinya.
"Kamu lagi mikirin apa?" tanya Raphael, yang kini duduk di samping Yuki tanpa melepas tangannya.
"Le-lepas." Mengabaikan pertanyaan, Yuki berusaha melepas tangan Raphael dari lengannya. Jantungnya bisa meledak jika seperti ini terus.
Tapi bukannya melepas genggaman di lengan kurus itu, Raphael justru mengganti genggamannya di tangan Yuki. Mengisi tiap ruas jari gadis itu dengan jarinya yang kuat. Alhasil tangan Yuki seakan tenggelam dibuatnya.
"Kamu ikut acara kamping itu kan?" Raphael menghiraukan pemberontakan Yuki yang tak seberapa baginya. Menatap Yuki dengan cara paling lembut yang membuat gadis itu berdebar tidak karuan.
"Bu-bukan urusan kamu! Lepasin!" genggaman itu sangat erat, tapi tidak menyakitkan. Yuki dibuat kalang-kabut ketika Raphael tiba-tiba mendekatkan wajahnya, Yuki secara otomatis memejamkan matanya erat. Dia bisa merasakan embusan napas lelaki itu di wajahnya.
Raphael tersenyum tipis melihat seraut wajah panik di depannya. Menurutnya Yuki itu seperti buku yang terbuka, mudah sekali menebak jalan pikir gadis ini. Mata birunya beralih pada bibir penuh Yuki, tanpa sadar Raphael menelan ludahnya kasar. Dorongan primitif dalam dirinya bergejolak, hal yang tidak pernah dia rasakan selama hidupnya sebelum bertemu dengan Yuki.
Sambil menekan sisi liarnya Raphael menjauh dari Yuki, dia tahu tidak seharusnya menggoda Yuki jika pada akhirnya Raphael sendiri yang kerepotan. Yuki membuka matanya ketika tak merasakan apa pun, dia lega saat melihat Raphael memalingkan wajah darinya. Tapi, di sudut hatinya yang terdalam diam-diam ada kecewa yang menggigit. Tunggu, untuk apa dia merasa kecewa. Sejak bertemu Raphael tidak ada satu hal pun benar dalam pikiran Yuki.
Ketika Yuki sadar Raphael melepaskan tangannya, dia segera meraih tasnya cepat dan berlari meninggalkan lelaki itu. Raphael hanya bisa menatap kepergian Yuki sambil menahan diri agar tidak meraih gadis itu dalam pelukannya, dan bergumul di rerumputan.
Yuki berjalan cepat tanpa melihat sekelilingnya, yang dia pikirkan saat itu adalah segera menjauh dari Raphael. Karena kecerobohan itu Yuki tanpa sengaja menabrak seseorang. Yuki mengangkat wajahnya untuk meminta maaf, tapi mulutnya berubah kaku saat mengetahui siapa orang yang ditabraknya.
"Kamu lagi buru-buru ya, sampai nggak lihat jalan." Lelaki yang Yuki tabrak itu tersenyum, sosoknya yang tinggi membuat Yuki harus lebih mengangkat wajahnya.
Banyu Asmorobangun, dia anak dari salah satu Harjuna. Lelaki dengan kulit sawo matang, rambut sehitam arang dan senyuman manis dengan lesung pipi. Banyu mengulurkan tangan untuk Yuki, membantu gadis itu berdiri.
"Ma-maaf, aku nggak sengaja." Ucap Yuki ketika dia berhasil menopang tubuh di atas kakinya.
"Lain kali hati-hati. Untung aja aku yang kamu tabrak." Ujar Banyu penuh perhatian sambil terkekeh kecil.
Iya, untung saja orang itu Banyu. Jika itu orang lain Yuki pasti sudah mendapat masalah sekarang. Karena di antara semua orang, Banyu adalah orang pertama yang memperlakukan Yuki layaknya manusia.
"Kamu bukannya di luar negeri?" yang Yuki tahu Banyu sedang berada di luar negeri selama beberapa minggu belakangan.
"Sebenarnya aku baru aja pulang, tapi aku nggak bisa nunggu besok." Banyu menatap hazel Yuki lembut. "Soalnya aku kangen sekolah." Ucapnya yang entah kenapa membuat Yuki merona.
Ini bukan rahasia, Yuki memang menyukai Banyu. Selain karena dia selalu bersikap baik pada Yuki, itu karena Banyu memang lelaki yang pantas untuk disukai. Bukan hanya Yuki tapi semua orang. Meski Banyu adalah anak dari seorang petinggi pemerintahan, dia sama sekali tak pernah memanfaatkan status sosialnya untuk kepentingan pribadi. Banyu selalu bersikap ramah pada siapapun, selalu tersenyum sehangat matahari.
"Banyu."
Yuki menundukkan wajahnya, mengambil dua langkah mundur ketika Sinta menghampiri Banyu. Waktunya sudah habis, setidaknya Yuki sudah bicara dengan Banyu setelah sekian lama tak melihat lelaki itu. Diam-diam Yuki pergi dari lorong itu, tapi langkahnya membatu saat dia melihat seseorang berdiri tak jauh darinya.
Yuki tahu Raphael bukan orang ramah, tergambar jelas dari sikap lelaki itu pada orang lain. Tapi Yuki tak pernah tahu, jika mata biru yang selalu menatapnya lembut bisa membara layaknya api. Api yang siap menghanguskan siapa saja yang melaluinya.