Yuki meringkuk di bawah meja untuk beberapa saat, setelah memastikan keadaan aman dia merangkak keluar sambil menghela napas lega. Sampai beberapa waktu yang lalu Yuki merasa sekolahnya memiliki luas yang terlalu berlebihan- empat hektar tanah untuk seratus murid, namun setelah tiga hari ini Yuki berubah pikiran. Bagaimana bisa di tempat seluas ini dia selalu bertemu dengan Raphael, padahal setahunya orang itu berada di kawasan khusus di daerah selatan- Tempat dimana kaum Elite berada. Untuk apa Raphael berkeliaran di kawasan reguler setiap hari, membuat Yuki kalang kabut setiap waktu.
Jangan pura-pura bodoh, gadis kecil di sudut hatinya mencibir. Tentu saja dia berkeliaran di sana karena Yuki, apalagi.
"Hai." Seseorang menghadang jalannya, Yuki membulatkan mata melihat orang itu. Aurora memamerkan senyumnya yang cantik, dia segera menggenggam lengan Yuki saat gadis itu akan kabur.
"Kalau kamu nggak makan siang sama aku, aku bakal telfon Raphael sekarang. Biar aja kamu dibawa pulang terus dikurung di kamaranya." Ucapnya penuh ancaman, Yuki tak berkutik usahanya akan sia-sia jika dia bertemu Raphael sekarang.
Alhasil Yuki hanya bisa menurut saat Aurora menariknya ke kantin.
Yuki hampir tidak pernah menginjakan kakinya di tempat ini. Pertama karena terlalu ramai, rasanya dia akan sangat mencolok dengan rambut pirang kecoklatan dan kulit putihnya yang menarik perhatian. Kedua karena Yuki tak memiliki cukup uang untuk membeli makanan kantin. Perlu diketahui, kantin sekolahnya setara dengan kafe mahal di luaran sana.
Saat Yuki merasa orang-orang mulai memperhatikannya, dia menarik hoodie untuk menutupi kepala sekaligus wajahnya. Beberapa kali Yuki mencoba melepas tangan Aurora, tapi tidak bisa, akhirnya Yuki berjalan di belakang Aurora dengan tidak nyaman.
"Kamu suka makan apa?" tanya Aurora saat mereka mengantri.
"Apa aja." Jawab Yuki cepat.
"Nggak boleh gitu dong, kasih tahu aku kamu suka makan apa sekarang." Aurora berbalik menatap Yuki.
"Aku suka bakso." Jawab Yuki akhirnya.
"Nah gitu dong. Berarti kamu sama kayak kakakku, dia juga suka bakso." Aurora tersenyum kekanakan, matanya yang biru berbinar-binar menatap Yuki. Membuat gadis itu merona tanpa sebab. "Kalau gitu kamu pilih mau makan yang mana, tenang aku yang bayar kok." Aurora menempatkan Yuki di depannya saat giliran mereka tiba.
Yuki lagi-lagi hanya bisa menurut, dia melihat berbagai jenis masakan di depannya dari yang tradisional sampai internasional. Karena terlalu banyak Yuki justru bingung memilih yang mana. Tidak ingin membuat Aurora menunggu, Yuki akhirnya memilih apa saja yang ada di depannya. Sedangkan Aurora memilih steak dan salad.
Mereka memilih tempat yang paling sepi, walau nyaris tidak mungkin. Saat jam makan siang seperti ini jelas kantin akan sangat ramai.
Aurora aktif mengajaknya bicara, sedangkan Yuki hanya menanggapinya pendek-pendek. Jika boleh jujur Yuki senang bisa sedekat ini dengan Aurora, dia gadis yang baik dan periang. Aurora tidak protes atau terganggu dengan Yuki yang sangat pendiam. Selain itu Yuki berterima kasih karena pada akhirnya ada yang mengajaknya bicara seperti gadis normal. Hanya saja, keadaan Yuki tak mengijinkannya untuk menikmati hal normal itu. Meski selama tiga hari ini Sinta dan teman-temannya tidak mengganggu Yuki, dia masih saja merasa takut.
"Hai Aurora. Hai Yuki."
Makanan di mulut Yuki nyaris tersembur keluar saat mendengar sapaan itu. Sinta dan kedua temannya berdiri dengan nampan berisi makan siang, gadis pribumi itu tersenyum ramah seperti biasa.
"Hai, mau makan siang ya." Aurora membalasa sapaan itu dengan ramah, dia melirik Yuki yang tiba-tiba diam. Sebenarnya Yuki memang selalu diam, tapi tidak dengan tangan gemetar dan wajah pucat.
"Kita boleh gabung?" tanya Sinta, masih dengan senyum manisnya. Dua orang temannya tampak melirik Yuki sinis.
"Kalian mau duduk di sini? Boleh kok." Aurora tersenyum cerah. Yuki ingin lenyap saja dari tempat itu. "Kebetulan aku sama Yuki juga udah selesai, kalian bisa duduk di sini." Senyum di wajah Sinta surut seketika.
Aurora seakan tak menyadari mendung di wajah Sinta dan kedua temannya, dia dengan riang menarik Yuki pergi dari tempat itu. Aurora sempat memesan makan siang untuk Raphael sebelum benar-benar pergi dari sana.
"Kak Raphael itu kuat, orang-orang kayak mereka bisa dia singkirkan dengan mudah." Ucap Aurora di tengah keheningan.
"Mak-maksud kamu?" dengan gugup Yuki menatap Aurora yang menggandengnya.
"Loh, bukannya kamu ngejauhin kakakku gara-gara mereka ya. Sinta dan teman-temannya mengancam kamu kan." Yuki memandang Aurora horor, apa dia bisa membaca pikiran. "Aku nggak bisa baca pikiran kok, tenang aja." Aurora terkekeh geli. Hal itu sama sekali tak menenangkan Yuki.
"Yuki, tolong buka hati kamu buat Raphael. Kasihan dia jadi kayak orang gila, ngeliat kamu ada di mana-mana. Meskipun aku senang juga sih ngeliat dia kayak gitu." Aurora menunjukan deretan gigi rapinya. Yuki tersenyum kecil melihat itu, dia bisa menebak sedekat apa hubungan kakak-beradik ini.
"Maaf, aku nggak bisa." Ujar Yuki. Dia menarik napas panjang, menguatkan keberanian. "Ini bukan hanya tentang Sinta dan teman-temannya, ini juga tentang aku. Menurut kamu apa yang akan orang lain bilang kalau mereka tahu, Londo kayak aku ternyata seorang Soul." Yuki bicara dengan nada serendah mungkin, tidak ingin orang lain mencuri dengar.
Apa yang Yuki katakan itu benar. Pasti akan terjadi kehebohan, bahkan mungkin lebih dari itu. Terutama dari Kaum Bangsawan, apalagi setelah mereka mendengar ramalan Nyonya Brigitha.
"Mungkin Raphael bisa mengatasi mereka, tapi aku nggak." Yuki membayangkan hidup yang selama ini dia jalani. Bagian-bagian terberat yang hanya bisa dia tahan seorang diri, tanpa orang lain memperdulikannya. Bahkan Yuki merahasiakan beban itu dari ibunya.
"Aku cuma mau sedikit ketenangan." Sebuah keinginan sederhana. Tidak masalah Yuki dianggap sampah masyarakat, asal seluruh dunia mengabaikannya dan membiarkannya sendiri. Itu akan lebih baik.
Yuki melepas tangan Aurora, tersenyum sendu untuk Bangsawan cantik tersebut. "Sekali lagi aku minta maaf, dan terima kasih karena kamu udah mau ngobrol sama aku." Yuki menundukan kepalanya singkat, lalu berlalu dari hadapan Aurora yang terpaku menatap punggung rapuh itu.
"Kasihan."
***
Yuki sebisa mungkin menghindari keramaian, karena seluruh mata di sekolah ini adalah milik Sinta. Yuki tentu saja tahu ada sesuatu yang mengerikan akan terjadi jika dia bertemu Sinta sekarang. Lebih baik dia bersembunyi dulu sementara waktu, di gedung olahraga misalnya.
Gedung olahraga di sekolahnya menjadi tempat paling sepi di hari-hari biasa, jadi kemungkinan Yuki bertemu orang lain akan sangat kecil. Tapi sepertinya Yuki memang tidak memiliki keberuntungan dalam hidupnya. Berhasil menghindari Sinta, tapi justru bertemu Raphael. Bagus sekali.
Saat melihat Raphael, Yuki secara otomatis berlari. Tidak terpikirkan ke mana dia harus pergi, saat Yuki melihat sebuah pintu yang sedikit terbuka dia langsung masuk tanpa pikir panjang. Sekarang Yuki terjebak di sini, toilet wanita di gedung olahraga.
Yuki ingin keluar dari tempat itu, tapi takut bertemu Raphael. Dia akhirnya hanya bisa menunggu sambil memeluk tasnya di pojokan toilet.
"Di sini ternyata."
Yuki terkejut setengah mati. Matanya membulat melihat seseorang yang berdiri di ambang toilet wanita. Mata biru cerah itu menatapnya tajam, sedikit kepuasan terlintas di sana. Setiap langkah yang Raphael ambil terdengar seperti peringatan kematian untuk Yuki, dia terpaku tak mampu bergerak.
"Udah selesai main kucing-kucingannya?" sinis di suaranya tak bisa ditutupi. "Ada sesuatu yang mau kamu sampaikan?" Raphael berharap permintaan maaf dari bibir gadis itu.
"Ini toilet perempuan." Ucap Yuki dengan bodohnya. Raphael terkekeh tak habis pikir.
"Setelah menghindari aku selama ini, itu kata-kata pertama kamu?" Raphael berbinar menatapnya. "Kamu memang luar biasa." Wajah tampan yang selalu menampilkan ekspresi dingin itu melunak lewat senyuman kecil.
Seperti tersadar dari hipnotis, Yuki mulai panik. "A-aku udah bilang, ka-kamu salah orang. Ini cuma gambar yang aku buat sendiri."
"Salah orang? Gambar sendiri?" dalam sekejap Yuki terkurung antara dinding dan kedua tangan kokoh Raphael. "Mana mungkin aku salah."
Yuki tak sempat mengelak saat Raphael membungkam mulutnya dengan ciuman menggebu. Kedua tangan kecilnya entah sejak kapan ditahan, Yuki tak berkutik hingga napasnya hampir habis. Raphael melepaskannya dengan napas menderu. Suhu tubuhnya meningkat derastis, jantungnya memompa seolah akan meledak. Wajah Yuki semerah buah persik, tangannya menutup mulut dengan mata membulat. Itu ciuman pertamanya!
"Benar, mana mungkin aku salah." Mata birunya yang cerah menatap Yuki dengan kobaran gairah.
Setelah ini jangan harap Yuki bisa lepas dari tangannya. Meski harus melawan seisi dunia Raphael akan terus menggenggam jiwa miliknya apa pun yang terjadi.