//Novi//
Setelah memakan roti, kami bergantian untuk mandi dan bersiap pergi ke pasar untuk belanja. Tapi ekspetasiku ke pasar hancur saat melihat suamiku berpakaian rapi seperti hendak ke mall. Aku menepuk jidatku pelan sambil menghela napas panjang.
"Kenapa?!"
"Kita itu ke pasar, pakai pakaian biasa saja kenapa sih?!"
"Pasar..? Aku kan nggak biasa ke pasar, bahan makanannya nggak bersih, tempatnya kotor, dan pokoknya aku nggak suka—"
"Ganti bajumu. Kita ke pasar, aku nggak bisa lagi nahan lapar ya. Apa lagi kita cuma makan roti setengah potong. Jangan sok bersih gitu deh!"
"Apa katamu?! Ya sudah ke pasar saja sana! Aku sih ogah! Perutku bisa sakit kalau makan makanan kotor"
Aku senyum lalu menepuk bahunya "Menurutmu masakan Mama dan Nenek enak enggak?"
"Hah? Enak banget! Kamu bisa nggak masak seperti itu?! Aduh.. masakan mereka itu masakan rumahan tereenak yang pernah kumakan!"
"Mereka belanja dari pasar loh! Kamu nggak sakit kan?"
Pipinya memerah karna kalah bicara denganku lalu mendengus kesal dan pergi ke kamar "Ganti baju yang biasa saja ya! Pakai masker kalau perlu, mukamu bisa bikin ibu ibu di pasar pingsan!"
"BERISIK!!!"
Setelah siap, kami pergi ke pasar. Yah walau kusuruh pakai pakaian yang sederhana dia cuma punya baju yang bisa dibilang cukup mahal. Kaos hitam polos, celana pendek, dan sandal jepit yang bisa dibilang semuanya bermerek. Aku menyuruhnya memakai masker agar orang orang tidak salah fokus padanya. Karna tidak mungkin tidak ada orang yang tahu siapa itu bos besar perusahaan Chandra!
"Nah kita parkir di situ, pakai maskermu"
Kami memarkir mobil di tempat parkir biasa dan turun dari mobil. Sebelumnya dia sudah memakai masker. Astaga, suamiku terlihat paling bercahaya. Aku ingin menjaga jarak darinya, tapi dia menarik ujung bajuku.
"Jangan terpisah dariku—"
"Ikuti saja aku, kamu mau dimasakin apa?"
"Terserahmu"
Aku mengangguk "Baik"
Kami berbelanja beberapa bahan makanan sekalian untuk stok di kulkas. Dia kan kuat jadi dia bisa membawa cukup banyak bahan makanan, kalau tidak kami akan kembali ke mobil.
Belanja selesai dan Marcel dari tadi hanya diam. Saat kutanya kenapa dia hanya menggelengkan kepalanya, aduh kasihan. Aku mengusap usap rambutnya lalu mengajaknya membeli nasi jagung Madura. Dia awalnya menolak tapi akhirnya mau juga karna lapar.
"Aku mau beli es cincau dulu, tunggu sini ya"
"Jangan lama lama!"
Aku mengangguk lalu membeli es cincau dan kembali padanya. Aku duduk di sampingnya lalu kami menikmati es cincau dan nasi jagungnya. Dia terlihat ragu untuk makan nasi jagung dengan lauk ikan asin dan sayuran serta sambal itu.
"Apa ini bersih dan layak dimakan? Harganya sangat murah aku jadi ragu"
"Ini makanan khas Jawa Timur, masih satu loh! Besok kamu bakal cobain yang lain. Sudah makan saja, ini layak kok buat dimakan"
Aku memakan nasi jagung itu dengan sesekali menoleh ke arahnya. Dia yang awalnya ragu mulai memakan makanan di piringnya itu dengan tangan sepertiku karna dia pobia sendok dan warung ini cuma ada sendok.
"Bagaimana rasanya?"
"Lumayan"
"Hng..?"
Pipinya memerah lagi lalu senyum padaku "Enak!"
Setelah makan dan minum, kami pulang ke rumah kami. Di rumah, dia membantuku menata belanjaan dan memasukkannya ke kulkas sedangkan aku menyiapkan makan siang kami. Aku menanyainya menu yang disukainya, dan dia hanya senyum sambil menjawab.
"Terserahmu saja deh"
"Ya ok, kalau terserahku jadi jangan demo ya?"
"Iya iya. Aku kerja di ruang kerjaku, kalau ada apa apa panggil saja aku. Pekerjaan kantor menumpuk dari kemarin"
"Iya, mau kubuatkan kopi?"
"Boleh"
Dia pergi ke ruang kerjanya sambil membawa secangkir kopi yang baru saja kubuatkan untuknya. Aku melihat buku resep dan menemukan resep makanan diet yang enak. Jadi kuputuskan untuk memasaknya.
Jam meunjukkan pukul 12 siang, sudah waktunya makan siang. Aku pergi ke halaman depan sambil membawa pakan ikan, iya aku memberi makan ikan ikan di kolam depan rumah dulu. Setelah iti baru ke ruang kerja suamiku untuk mengajaknya makan siang.
"Makan yang banyak ya"
Ting tung
Ada tamu! Aku membuka pagar dan melihat seorang pria berumur sekitar 40 tahunan di depan pagar "Assalamualaikum"
"Waalaikum salam, ada apa Pak?"
"Ah begini, Nona. Saya adalah RT di blok A4 sampai A6 ini, saya dengar anda penghuni baru. Jadi saya mau meminta data buat di RT dan RW"
"Oh begitu. Mari masuk Pak"
"Iya. Terima kasih Nona. Ngomong ngomong, tinggal sendiri atau sama keluarga ya?"
Aku mengarahkannya ke ruang tamu dan menyuruhnya duduk sebelum menjawabnya "Saya tinggal dengan suami saya"
"S-suami??"
Aku mengangguk lalu pergi ke ruang kerja Marcel dan memintanya menemui Pak RT di ruang tamu. Marcel menghela napas lalu pergi ke ruang tamu sedangkan aku membuat teh untuk mereka.
"Ini minumnya, silakan diminum"
"Terima kasih Non—maksud saya Bu"
"Iya"
Aku duduk di samping Marcel yang sibuk mengisi formulir. Saat kulihat isinya formulir untuk data RT dan RW, ada stempel basah juga. Orang ini memang RT di sini. Aku menanyakan rumah tempatnya tinggal. Dia bilang, dia tinggal di blok A5 tepat seberang dari blok rumahku di A6.
"Perumahan Rose Regency ini sudah baru dibangun jadi masih jarang ada penghuninya. Apa lagi blok A1 sampai A8. Karna blok A itu rata rata rumah elit. Saya saja masih menyicil dengan gaji saya sebagai PNS loh"
"Saya bayar cash dan membangunnya dalam waktu sebulan. Blok A6 kan memang tempat rumah paling mahal"
"Benar, Pak. Makanya blok A6 masih baru ada 4 rumah saja"
Aku mencubit perut suamiku yang sibuk pamer itu dan dia menatapku "Apa? Suamimu kan memang CEO wajar dong rumahnya di blok elit"
"Tapi.. ngomongnya dikondisikan dong. Itu kan sombong namanya"
"Siapa dulu yang pamer—"
"Kalau begitu saya permisi dulu" Pak RT berdiri lalu bersalaman dengan kami dan pamit pulang.
Setelah Pak RT pulang, kami makan siang bersama "Omelet telur dan sayur? Nggak buruk juga"
"Aku lihat di buku resep sih, tapi enak kan?"
"Lumayan, mashed potatonya juga lumayan. Lain kali tambah gravy saja"
"Berisik"
***
//Marcel//
Seminggu setelah pindah rumah, kami memutuskan untuk mengadakan resepsi pernikahan pada bulan Maret. Seperti yang direncanakannya dengan Zico tahun lalu. Awalnya hari hari kami berjalan dengan baik dan lancar, aku setiap hari menjemputnya di rumah Mama karna dia harus berkuliah. Jarak rumah kami dari kampusnya terlalu jauh, jadi aku mengantarnya ke rumah Mama saja dan dia akan pergi kuliah sendiri.
Tapi akhir akhir ini, ada yang aneh darinya. Dia jadi lebih pendiam dan saat kutanya ada masalah apa, dia hanya diam dan enggan menjawabnya. Padahal sebelumnya dia bilang, dia punya sahabat bernama Diana yang biasa dipanggilnya Nana.
Karna aku penasaran, aku mencari tahu lewat Ian. Kalau Ian yang mencari tahu, dia tidak akan curiga padanya. Ian memberiku kabar setelah 2 hari penyelidikan. Ian dan Robert menang lebih lemot Ian, tapi mereka sama sama asisten dan sekretaris pribadi yang hebat. Aku memuji mereka karna kecepatan mencari informasi.
"Jadi intinya, Nyonya jadi korban bully lagi"
"Hah? Kenapa langsung intinya saja?! Kamu belum menjelaskan apa pun loh!"
"Ya kan sebagian besarnya begitu, ok, saya jelaskan. Jadi Nyonya Novi awalnya menganggap semua sudah baik baik saja, tapi tiba tiba ada yang membuat berita dia itu wanita simpananmu. Nah di berita itu, Tuan adalah suami dari seorang wanita bersama Savira Adriana. Seorang model dan desainer baju"
"Nyonya juga mengabaikan berita hoax itu, tapi berita itu makin tersebar luas. Awalnya hanya ada di mading, dia sudah merobek robek kertas artikel itu lalu berita itu tersebar melalui media massa. Tentu saja dia sangat terpukul"
"Banyak netizen yang menghujatnya dan juga mahasiswa lainnya yang ingin dia dikeluarkan dari kampus. Dia menerima bully dan cyberbully yang membuatnya cukup terpukul"
Aku mengangguk paham dengan laporan Ian itu. Tapi ada yang janggal menurutnya, berita itu muncul setelah 2 bulan aku membongkar pernikahan kami di kampusnya. Dan satu satunya pelaku bisa saja Hardin, dia dendam dan kerja sama dengan Savira untuk cari masalah. Tapi bagaimana Savira tahu soal Hardin?
"Maaf Tuan, tapi menurut saya Diana-lah dalang di balik semua ini"
"Nana..?"
"Iya, karna dia sahabat baru Nyonya. Bukannya terlalu aneh tiba tiba mau jadi sahabat Nyonya, pahadal tidak pernah berteman dengannya?"
Pendapat Ian ada benarnya, dia adalah teman dekat Novi saat SMA jadi tidak menutup kemungkinan, Ian tidak tahu seperti apa sifat Novi. Bukannya aku mudah teralihkan, tapi ada benarnya juga Nana mendadak jadi sahabat dekat Novi. Itu pasti ada sesuatu.
"Selidiki Nana dan Hardin"
"Hardiansyah? Dia sudah dipindahkan ke kampus lain dan sebelum pindah, dia menyampaikan perasaan sukanya ke Nyonya dan menyayangkan soal pernikahan Nyonya di usianya yang masih terbilang muda"
"Tapi tetap saja, aku mau laporan soal mereka"
"Baik Tuan"
Ian pergi dan aku menelepon Robert untuk membereskan berita hoax-nya yang ada di media sosial. Jika pelakunya bisa berbuat sejauh ini, aku bisa menjamin dia pasti orang kaya.
Sepulang kerja, aku menjemput istriku seperti biasa. Tapi kali ini, dia memelukku sambil menangis terisak. Saat kutanya kenapa dia memukul dadaku sambil mengoceh tidak jelas karna menangis.
Aku membiarkannya menangis hingga tenang, setelah agak tenang. Kami segera pulang. Di rumah aku langsung ganti baju karna bajuku basah air mata dan ingus istriku yang sedang tidur setelah menangis.
Aku ke ruang kerjaku dan melihat berita berita di sosial soal masalah yang dialami istriku. Benar kata Ian, Savia mengarang cerita di berita tersebut. Dia bilang kalau dia ihklas melihatku menikah dengan selingkuhanku, Novi karna dia tidak juga memiliki anak. Aku ingin tertawa, cerita konyol apa sih yang sedang dibuatnya itu?!
Ian mengirimiku pesan dan katanya, benar NANA ADALAH DALANG DI BALIK BULLY yang dialami istriku. Hardin tidak tahu menahu soal berita itu, tapi dia turut sedih mendengarnya. Rektor tidak bisa mengeluarkan Novi dari kampus karna pengaruhku. Walau katanya dia sering didemo untuk segera mengeluarkan Novi, tapi dia menolak. Karna itu para mahasiswa membully istriku habis habisan?
Aku senyum lalu menyuruh Ian menculik Nana. Setelah itu, aku ke kamar dan tidur bersama istriku selagi menunggu laporan Robert dan Ian.
Pagi harinya, aku mendapati istriku demam tinggi. Mungkin dia terlalu setres hingga demam, walau berusaha tenang, tapi tetap aku tidak bisa membantah kalau aku khawatir. Ryan, saudara jauh dan dokter pribadiku bilang kalau istriku sakit karna terlalu setres.
"Lalu apa yang harus kulakukan?"
"Yah, mungkin membantu agar pikirannya bebas. Jika seperti ini terus dia bisa bunuh diri. Kebanyakan kasus bullying berakhir dengan hal itu sih"
"Begitu"
"Coba buat klarifikasi soal masalah itu, kasihan kalau istrimu yang masih muda itu terkena masalah sebesar ini. Oh iya, aku ada sedikit resep obat. Itu hanya untuk menurunkan demam"
Aku mengangguk setelah menerima resep obat itu dan mengantar Ryan ke depan pagar rumah "Dengar Marcel, masalah ini bukan hanya masalah istrimu saja. Ini juga masalahmu. Terlebih keluarga besar juga akan menghabisimu kalau masalah ini belum juga selesai"
"Aku tahu. Jika itu hanya berdampak padaku bukanlah masalah tapi kalau istriku, berarti dia sudah melewati batas kesabaranku"
"Benar. Sekarang rawat istrimu dan cari siapa dalangnya"
Sambil merawat istriku, aku juga meretas data internet. Aku harus meretas beberapa web yang berkaitan dengan skandal itu. Robert sudah memberiku kabar soal pelaku penyebarannya. Awalnya aku juga tidak percaya, tapi itulah kenyataannya bahwa Zico dan Mom turut ikut campur di dalamnya.
Sedangkan Savira dan Ayana adalah dalang aslinya. Mereka berkoalisi karna iri pada wanita pilihanku, istriku. Mereka berdua adalah model ternama dan istriku hanyalah mahasiswa biasa yang bekerja di toko roti. Aku tahu pilihanku sangatlah melenceng dari ekspetasi para wanita yang menginginkanku. Tapi apa yang bisa lebih kuat dibanding cinta?
Aku menaruh ponselku setelah mengirimkan pesan pada Robert lalu pergi ke kamarku. Tugasku sebagai hacker telah selesai. Aku duduk di sampingnya dan meraih tangannya yang masih demam itu.
"Maaf sudah melibatkanmu ke dalam masalah, Sayang"
"Huff.. huff.."
Setelah menggganti kompresnya, aku pergi dari kamar. Sangat menyedihkan jika melihatnya seperti itu. Aku melibatkannya dalam masalahku, aku yang membuatnya jadi seperti itu. Kalau aku tidak menikahinya, dia tidak mungkinkan terkena hal semengerikan ini?
Aku pergi ke dapur untuk membuatkannya bubur. Aku memilih tinggal di perumahan yang jarang ada peminatnya agar tidak ada seorang pun yang menemukan kami. Tapi tetap saja, masalah bisa menemukan kami dengan cepat. Apa tidak boleh aku bebas dari lingkar keluarga dan masalah seperti ini? Kalau tidak bisa membebaskanku, tolong bebaskan istriku.
Ini benar benar membuatku terluka.
Sejak kecil, aku sudah mengenal hidup di dunia memanglah bukan hal mudah. Tapi juga bukan berarti seburuk itu, sejak awal aku bisa merangkak, aku melihat duniaku di pemukiman kumuh itu, dunia ini indah.
To be continue.