Chereads / Shit, Maybe I Love You / Chapter 9 - Chapter 8

Chapter 9 - Chapter 8

//Marcel//

"Selamat pagi, Tuan. Saya Damian Putra, saya adalah asisten pribadi baru anda selama di kantor Surabaya. Saya ditugaskan oleh Tuan Robert"

"Selama di kantor cabang Surabaya maksudmu?"

"Iya Tuan—"

"Jabatanku dan Robert lebih tinggi aku loh! Bisa bisanya kamu berpikir Robert bosmu. Ckckck.."

Tubuhnya bergetar, apa aku membuatnya takut? Namanya adalah Damian, dia teman SMA Novi kata Robert. Novi sendiri belum mengetahui hal ini, tapi yang pasti Robert memilihnya karna ingin membuat Novi nyaman denganku. Ide bagus.

"M-maafkan saya Tuan.."

"Aku adalah bos dari Robert dan kamu ada di bawah Robert. Itu silsilahnya dan satu hal lagi, aku di Surabaya bukan sementara. Tapi selamanya karna istriku memintaku tinggal di kota kelahirannya"

"Baik.."

"Silakan keluar, sudah cukup perkenalanmu—"

GUBRAK

"MARCEL!!! BISA NGOMONG BENTAR?!"

Aku dan Damian begong saat melihat istriku datang dengan sangat semangat bahkan pintu ruanganku pun rusak di tangannya. Damian menatap istriku dengan familiar begitu pun istriku menatapnya.

"NOVI?!"

"IAN??"

Aku menghela napas "Hah.. silakan reauni—"

Mereka berpelukan dengan sangat bahagia—seperti pasangan LDR—bahkan Novi menangis bahagia. Bukannya itu berlebihan?! Aku berdiri lalu menarik istriku dan memeluknya yang membuat Damian bingung.

"L-loh loh loh—kalian ada hubungan apa?! Bukannya tahun kemarin kamu tunangan sama siapa tuh—ah Zico!!! Lalu kenapa sama Tuan Marcel sekarang?!"

"Ceritanya panjang! Tapi—"

"Sudah kubilang kan? Keluar dari ruanganku atau kupecat!"

Damian langsung saja pamit dan pergi dari ruanganku. Sedangkan Novi menatapku dengan sangat marah. Aku tidak melepaskan pelukanku itu karna aku yang seharusnya marah.  NOVI ADALAH MILIKKU DAN HANYA AKU YANG BOLEH MENYENTUHNYA. Itulah motto-ku sekarang.

"Lepas"

"Enggak"

"LEPAS!"

"ENGGAK!"

Dia terus meminta dilepas dan aku juga terus menolak, hingga dia menggigit tanganku yang membuatku melepaskannya. Tapi aku langsung menahan pintu. 

"NGGAK BOLEH KE DAMIAN!"

"Dia kan teman lamaku?!"

"Aku tahu, tapi nggak boleh! Apa lagi sampai menyentuhmu, nggak boleh!"

Dia hanya diam lalu menepuk jidatnya dan menghela napas "Dasar bodoh, apa maksudmu?!"

"Aku itu suamimu, apa salah kalau aku cemburu—"

"Ya terserahmu.. itu kan perasaanmu, lagi pula aku dan Ian nggak ada hubungan apa apa. Dasar aneh, lagian aku juga belum tertarik padamu. Jadi suka sukaku dong"

Aku membiarkannya pergi dan mengintipnya saja, dia cuma mengobrol sedikit dengan Damian. Bahkan hanya sebentar untuk mengobrol. Tapi kenapa hatiku terasa sakit..?

Beberapa hari setelah kejadian itu, Novi mendiamkanku. Mungkin sekitar 3 hari, aku sudah berusaha mengajaknya mengobrol tapi dia masih saja mendiamkanku.

"Sayang—"

Apa yang harus kulakukan kalau setiap menyapanya dia hanya mengabaikanku. Ini masih serumah dengan orang tuanya, bagaimana kalau rumah kami sendiri?

Di kantor, aku menelepon Sasha dan meminta sarannya. Dia bilang, wanita sangat suka makanan manis dan belanja di mall. Mungkin benar, aku akan mengajaknya ke mall dan membelikannya kue yang manis.

Aku menutup teleponku dengan Sasha saat Damian izin masuk ke ruanganku. Dia melaporkan beberapa dokumen dan perkembangan keuangan. Setelah itu dia minta pendapat soal laporannya barusan. Aku hanya mengangguk dan menjawab laporannya bagus.

"Terima kasih Tuan!"

"Damian, ada yang mau kutanyakan!"

Dia terlihat bingung tapi juga semangat "Iya apa Tuan?!"

"Soal.. Novi, kamu teman SMAnya kan? Apa yang disukainya? Kalau dia marah apa yang musti kulakukan?"

"Hah? Saya pikir dia suka makanan yang manis dan porsi banyak, tapi jangan pakai cabai atau sambal. Dia punya penyakit di tenggorokkannya, sekali dia makan makanan pedas penyakit itu akan kambuh. Lalu kalau marah? Dia tidak pernah marah lama pada saya, tapi saat dia marah, saya selalu membelikannya keripik kentang"

Sore harinya, aku pulang membawa banyak kue dan sekardus keripik kentang favoritnya. Mama sampai kebingungan dengan apa yang kubawa itu. Tapi aku meyakinkannya kalau kue yang kubawa itu adalah kue dari outlet cafè milikku.

"Sayang, maafkan aku! Ini untukmu, kumohon jangan marah lagi!"

Dia terdiam saat melihat apa yang kubawa lalu menghela napas panjang "Dengar, aku nggak marah. Aku cuma nggak mood karna menstruasiku, bukan karnamu! Dasar bodoh!"

"Ya sudah coba saja makan kue dan keripik kentangnya"

"Huh.. baiklah, makasih"

Aku mengangguk.

Malan itu juga, kami sekeluarga makan kue yang kubawa karna terlalu banyak. Acara makan malam kami pun semakin ramai saat aku memesan delivery beberapa makanan lagi. Aku dan Nino makin akrab, Mama dan Nenek juga sangat bahagia, sedangkan Novi? Dia tetap seperti biasanya, datar dan tanpa ekspresi, tapi aku bisa melihat sorot kebahagiaan dari mata hazel miliknya.

"Marcel, makasih. Malam ini terasa sangat ramai"

"Iya sama sama, kalian adalah keluarga pertamaku. Jadi wajar dong, aku memberikan semua yang terbaik untuk kalian"

Dia hanya mengangguk tapi senyum terukir di bibirnya. Aku mendekatinya lalu menindihnya di bawahku sambil menatapnya "Hei, ngapain?!"

Aku mengusap pipinya itu tapi dia tiba tiba menguap "Ah nggak bisa diajak romantis—"

"Aku ngantuk bodoh! Cepat turun aku mau tidur!" dia mendorongku lalu meraih guling dan memeluknya hingga tertidur. Aneh, aku cemburu pada guling. Aku meraih guling itu dan membuangnya lalu memeluk istriku erat.

Aku cemburu pada apa pun yang mendekati istriku! Termasuk guling!

Seminggu kemudian, kami sudah pindah ke rumah baru. Novi berpikir, ia akan serumah dengan keluarganya lagi. Padahal aku sudah menyiapkan rumah lain yang akan kami berdua tinggali.

"Marcel, terima kasih banyak ya"

Aku mengangguk "Iya, Nek. Toh ini juga rezeki hehe.. doakan kerjaku lancar ya.."

"Iya"

"Mama! Nino! Bantu aku buat ngasih ke tetangga baru. Pesanan makanan sudah datang"

Iya, hari ini kami syukuran pindah ke rumah baru. Aku juga membantu mereka hingga sore harinya, aku memberitahu mereka kalau aku sudah membeli rumah lagi untukku dan Novi. Tapi aku juga berjanji akan sering sering berkunjung ke rumah mereka. Yah mau bagaimana lagi, Novi adalah putri mereka satu satunya jadi aku harus tetap membuat hubungan mereka tersambung.

"Kalau begitu, kami pulang dulu ya. Besok kami akan ke sini lagi"

Kami pulang ke rumah baru kami yang sudah kusiapkan. Rumahnya berada di perumahan mewah yang letaknya saja cukup jauh dari tengah kota jadi agak tenang. Modelnya hampir sama seperti rumahku di Jakarya yang sekarang ditinggali Sasha dan Robert.

"Selamat datang"

Dia terdiam melihat rumah barunya lalu turun dari mobil "M-marcel?! Ini kita salah rumah ya?!"

"Enggak. Ini benar kok" aku berlari setelah turun dari mobilku. Tiba tiba dia mukulku.

"HEH! BODOH! RUMAH SEBESAR INI KITA TINGGALI BERDUA?! AKU ITU PARNOAN! SAAT KAMU KERJA, AKU DI RUMAH SAMA SIAPA?!"

"BERSYUKUR DIKIT DONG! AKU BELI RUMAH PAKE DUIT HASIL KERJAKU!!!"

Kami saling menatap satu sama lain dengan sangat marah. Bagaimana tidak marah?! Dia marah karna aku beli rumah terlalu besar?! nggak bersyukur malah marah marah!

***

//Novi//

Aku marah padanya. Bisa bisanya dia beli rumah sebesar ini. Benar benar nggak menghargai uang. Dia membelikan rumah keluargaku saja, aku sudah sangat berterima kasih. Aku nggak pernah menutut apa pun lagi, tapi dia malah memberiku rumah pribadi.

Selain itu, runah ini juga ada di perum mewah yang pastinya semua warganya berduit. Aku ingin menangis.

"Mau kucarikan pembantu untuk menemanimu?"

"Nggak perlu"

Dia hanya menghela napas lalu menaruh handuk yang sudah dipakainya. Rumah ini sudah penuh dengan perabotan, berbeda dengan Mama. Bisa dibilang kami pindah hanya membawa badan dan pakaian kami saja.

"Aw.."

"Kenapa?"

"Bukan, sudahlah selamat tidur—"

"Mandi dulu sana, jorok banget jadi cewek. Kamu cuma mandi tadi pagi. Badanmu penuh keringat dan cuma ganti baju saja—"

Aku melempar bantalku padanya karna terlalu marah "Sedari tadi apa yang kamu lakukan di kamar mandi?! Mastrubasi?! Lama banget tahu—"

"Yah kan orang di kamar mandi privasi, aku nggak pernah melakukan itu. Aku kan kaya dan tahu harga diri, mana mungkin aku melakukan itu. Aku mau berak kek mau ngapain saja itu terserahku. Lagi pula rumah ini ada 3 kamar mandi kok"

Apa katanya 3 kamar mandi?!

"Makanya cepat mandi habis itu home tour, si bodoh. Rumah sendiri nggak tahu—"

"BODOH AMAT! AKU TIDUR DI KAMAR LAIN!!!"

Aku pergi dari kamarku dan menelan ludahku melihat rumah yang begitu besar. Aku hanya lihat sekilas, ada ruangan tengah dan ruang tamu yang ada di tengah lantai dasar rumah. Ada satu tangga besar dan melingkar dengan model yang klasik dan warna yang indah. Selain itu ada 4 kamar di lantai dua, termasuk kamarku.

J-ja-jadi ada 3 kamar kosong?!

Aku melanjutkan berjalan, menyusuri lorong rumah di lantai 2 ini yang mirip kos kosan.  Tapi tentu sangat indah dan mewah. Lampunya pun diberi jarak, hanya di dinding pembatas kamar satu dan lainnya.  Kamarku ada di tengah, jadi bida terlihat jelas dari balkon dalam rumah yang menuju ruang tengah dan ruang tamu. 

Aku takut..!!!

Terlebih ini sudah hampir jam 9 malam. Aku menelan ludahku lalu berlari dan tiba di ujung lorong itu. Sialan, hanya ada 2 kamar yang saling berhadapan tapi begitu besar. Aku berlari lagi ke sudut yang lain dan sama juga. Berarti di lantai 2 ada 5 kamar termasuk kamar utama.

KENAPA AKU JADI BEGINI SIH?! KAMAR TINGGAL PILIH DAN SIAP DITEMPATI TAPI MALAH KEBINGUNGAN?!

Aku pergi ke kamar yang ada di kiri kamarku dan terdiam karna kamar itu sangat cantik. Nuansa biru dengan wallpaper yang indah. Ada AC, lemari, dan tempat tidur ukuran single. Ada juga TV LED dan beberapa furniture lainnya.

Kriet..

"Hei, apa yang kamu cari?!"

"KYAAAAAA!!!"

Aku berlari menerobos orang yang sedang di pintu itu lalu masuk ke kamarku lagi dan sembunyi di balik selimut. Marcel menghilang. Aku takut!!!

"Sayang...?!"

Selimutku terbuka dan aku berteriak yang membuat orang itu juga berteriak. Setelah itu, aku menyadari orang itu adalah Marcel. Aku melompat dan memeluknya erat.

"Hei, tenang! Tenang! Ada apa sih sampai—ekh!"

"Aku takut bodoh! Rumah ini terlalu besar untuk kita berdua, hiks.. hiks.."

"Kamu benar"

Apa?! Dia mengalah lagi, apa berarti kami akan pindah rumah?!

Sayangnya beberapa menit kemudian, dia mengantarku mandi lalu menemaniku tidur seperti biasanya dan dia tertawa melihatku yang seperti orang gila itu. Dia mengacak acak rambutku sambil meledekku.

"Sudah, biasakan diri saja. Rumah ini sangat luas, kamu bisa main petak umpet dengan aman. Aku juga nggak perlu khawatir. Besok kita jalan jalan deh"

"Bodoh! Aku membencimu!"

"Benci bisa jadi cinta—"

"Never in the million years!"

"Cuma ngasih peringatan. Kena karma lagi, aku bakal lebih tertawa keras!"

"Ya kamu yang bakal kena karma hiks hiks.." aku meraih gulingku lalu memeluknya sambil membelakangi suami bodohku itu. Percuma saja kaya kalau suka menghambur hamburkan uang seperti ini.

Sejam kemudian, aku berbalik karna menyadari tidak adanya pergerakan. Apa dia menghilang?! Tapi aku malah melihatnya tidur dengan nyenyak di sampingku. Aku menelan ludahku lalu memeluk gulingku sambil terus mendesak suamiku agar bangun.

"HEH?! APA SIH?!"

Aku menatapnya dengan mata berkaca kaca. Sudah melas kan aku? Dia mendengus kesal lalu memelukku erat "Sudah cepat tidur, atau penghuni lainnya bakal bangun—"

Bug! Bug!

"AKU NGGAK BISA TIDUR KARNA TAKUT DAN KAMU MALAH BILANG GITU! MAU AKU MATI SEKARANG?!"

"Aduh, tenang dong! Siapa yang mau begitu?! Makanya tidur, jangan seperti anak kecil. Ayo sini!"

Awalnya aku kesal padanya, tapi akhirnya aku memeluknya juga hingga tertidur. Saat aku membuka mataku lagi, masih saja malam padahal perasaan sudah lama aku tidur.

Jam di kamarku menunjukkan pukul 3 pagi, aku jadi semakin takut. Lalu Marcel?! Dia juga seperti sedang berusaha tidur. Aku membangunkannya dan dia menatapku bingung.

"Aku nggak bisa tidur lagi"

"Ya coba saja tidur, ini belum subuh loh"

"Tapi nggak bisa"

Dia juga terlihat bingung tapi hanya menghela napas "Aku juga"

"Bukannya karna kamu penderita insomnia—"

"Aku nggak bisa tidur karna pengap kamu memelukku terus dari tadi tahu! Mana tangan kiriku pegal pula"

"Sassy banget jadi cowok, sama istri sendiri juga"

"Bodoh amat!"

Krempyang

Kami saling menatap lalu aku masuk ke dalam selimut sedangkan dia tengkurap dan kembali berusaha tidur. Dua jam kemudian, tepatnya jam 5 pagi, kami berdua terbangun dengan mata panda di pipi kami. Bagaimana tidak?! Kami sama sama tidak bisa tidur nyenyak.

"Untung hari Minggu"

"Yah.."

Aku menghela napas lalu keluar rumah dan melihat halaman depan rumah yang ada kolam ikan dan air mancur kecil untuk kolam. Selain itu, pagar besi tinggi berwarna hitam pekat dan juga ada garasi mobil. Tapi tetap saja teras depan masih tergolong luas dan sejuk karna dekat rumahku masih berupa hutan.

Aku berbalik lalu pergi ke dalam rumah, desain interior rumah ini tergolong sederhana tapi masih tetap mewah karna perabotannya. Ada foto pre-wedding kami yang dipajang di ruang tamu dengan satu set sofa dan meja ruang tamu. Ada juga vas bunga cantik dan AC di sudut ruangan.

"Ada sisa roti kemarin, makan gih" dia datang memberiku sepotong roti. Aku ingat, semalam kami belum sempat makan malam karna aku sudah parno sendiri.

"Kita masih bisa bertahan hidup berapa lama? Mau ke pasar juga jauh"

"Kita belanja nanti siang"

Kami berdua duduk sambil memakan kue itu. Ini lebih dari cukup untuk bertahan hidup hari ini.

To. Be. Continue..