Chereads / Shit, Maybe I Love You / Chapter 7 - Chapter 6

Chapter 7 - Chapter 6

//Marcel//

Selama di kereta, Novi menceritakan tentang kota kelahirannya itu. Tentang kehidupannya di sana, keluarganya yang cukup hangat, warga kota, dan keindahan kotanya. Terakhir kali aku menginjakkan kakiku di Surabaya adalah saat rapat di sana.

Aku melihat di sepanjang trotoar kota ada banyak sekali bunga berwarna pink seperti halnya daun pohon Sakura yang berguguran. Saat kutanyakan pada supirku, dia menjawab bahwa itu adalah pohon Tatebuya.

Aku hanya mengangguk angguk saja. Dan sekarang, aku akan melihat jalanan cantik itu lagi setelah setahun lamanya.

Jam menunjukkan pukul 8 malam, kami tidak tahu sudah berapa lama kami mengobrol dan berada di dalam kereta. Waktu terasa sangat cepat saat kami bersama atau sangat lama?

Aku tidak pernah sedikit pun memikirkan itu, tapi aku kadang bertanya tanya siapa dia yang bisa membuatku seperti ini?

"Marcel, coba ini. Ini keripik kentang rasa rumput laut"

"Hng? Enak?"

"Kalau nggak enak sudah kumuntahkan di mukamu dari tadi"

"Kamu mau kutinggal di sini?!"

Sesekali kami saling mengejek satu sama lain, tapi pada akhirnya juga saling bercerita lagi. Dia bilang padaku, dia sudah menghubungi Nino. Nino adalah saudara kembarnya dan Nino bisa membantu kami agar terbebas dari omelan. Tapi tetap saja, aku bakal kena omel orang tua Novi.

"Hah.. bosan!"

"Tidur sana, jangan seperti anemon laut kesepian begitu"

"Apa katamu?!"

Aku menghela napas lalu berdiri "Aku mau ke toilet sebentar, tolong tetap di sini"

"Memangnya aku mau kemana?!"

Aku pergi ke toilet lalu buang air kecil sebentar lalu terdiam melihat sekitarku. Mungkin ini sudah jam 9an kurang, dan kami masih berada di tengah perjalanan. Ini pertama kali bagiku naik kereta ekonomi yang hampir berhenti di setiap stasiun dan itu memakan waktu cukup lama. Sekitar 12 atau 13 jam lamanya.

Kami mulai perjalanan pukul 2 siang dan tiba sekitar 3 pagi. Aku nggak bisa berhenti membayangkan rasanya pantat sepanas apa duduk di kursi selama itu.

Sepanjang jalan kembali ke kursiku, aku melihat banyak orang yang juga ikut naik kereta ini. Kalangan menengah kebawah, antara mereka akan pulang atau pergi. Aku terus berjalan dan tiba di kursiku, di sana aku melihat istriku sibuk memandang ke jendela.

Pemandangannya sangat indah, pemandangan langit malam yang cerah. Bulan terlihat bersinar terang dan bintang yang menaburi langit gelap itu. Tapi itu semua teralihkan saat aku melihatnya yang sibuk menatap langit malam. Walau berada di dalam kereta tapi tetap, bagiku dia lebih indah dari apa pun.

"Oi, melamun apaan sih?! Sok keren deh bikin syair"

"Hah?! Bisa baca pikiranku?"

Aku duduk di sampingnya dan dia tertawa "Cuma nebak"

Saat jam 10 malam, dia mulai tertidur sambil bersandar ke dinding kereta. Dia memakai masker saat tidur, mungkin takut jika kufoto. Aku lanjut membaca buku sambil memakan camilanku. Karna dia tidak mau makan malam, jadi aku juga tidak makan malam.

"Uhuk—"

Aku batuk lagi?!

Sudah seminggu tapi aku masih belum juga pulih, luka di dahi Novi pun juga masih belum pulih. Dia hanya menutupinya dengan plester lalu poninya saja. Tapi kenapa aku jadi selemah ini? Aku masih makan makanan yang bergizi, juga masih terlihat sehat. Tapi—benar juga, karna aku menderita insomnia jadi aku kurang istitahat, dan itu sebabnya kenapa aku masih saja batuk darah.

Apa aku harus konsumsi obat itu lagi..?

"Marcel..? Kamu.."

Sialan, apa aku membuatnya terbangun?! Dadaku terasa sakit lagi, aku yakin pasti karna lebam itu dan—ukh!

"Sudah, waktumu tidur biar aku yang menjagamu"

Aku menatapnya lalu mengangguk, dia dengan lembut mengusap darah di telapak tangan dan bibirku menggunakan tissue. Dia juga menukar tempat duduknya denganku agar aku bisa tidur.

"Pakai ini. Ini bisa membuat lehermu agak rileks dan nggak sakit" dia memberiku bantal lehernya yang bermotif Pikachu itu.

"Maaf..  aku malah jadi bebanmu.."

Dia hanya senyum setelah melepas maskernya itu. Iya, dia senyum lalu memberiku sebotol air mineral "Minum juga"

Setelah meminumnya, aku tertidur hingga beberapa jam. Mungkin dua jam, aku terbangun dan melihatnya sibuk memakan camilannya. Aku meraih botol air mineral itu lagi lalu meminum airnya.

"Tidur saja dulu, ini masih jam 12an loh"

"Aku sudah cukup lama tidur"

"Marcel.. setelah pengeroyokkan itu kamu sama sekali nggak tidur dengan benar. Kamu bahkan hanya tidur sebentar saja lalu sibuk mengurus acara pernikahan Sasha! Itu yang membuatmu batuk darah terus!"

Dia tetap menyuruhku tidur, sialan aku tidak bisa melawannya. Dia menyuruhku tidur sambil bersandar di bahunya. Itu cukup memalukan bagiku, tapi dia membuatku nyaman dengan mengelus elus punggungku.

"Tidurlah"

Bisiknya yang membuatku semakin mengantuk dan tertidur hingga dia membangunkanku karna kami sudah hampir tiba di statiun tujuan kami. Aku mengucek mataku dan melihat keluar jendela, pemandangan kota yang indah. Aku harus segera menghubungi supirku untuk menjemput kami.

"Marcel, sesampai di rumahku, kamu harus tidur lagi—"

"Aku nggak ngantuk"

"Tapi tubuhmu lelah!"

Baru kali ini aku dikalahkan seorang wanita, bukan kali ini saja sih. Saat di villa saja aku harus mengalah dan buktinya adalah aku ikut ke Surabaya.

Sesampai di stasiun yang kami tuju, kami turun dari kereta dan pergi ke loby stasiun "Kita tiba jam 4 subuh"

Aku melirik ke arahnya dan melihat jan tanganku "Hah.. tunggu sebentar lagi dia datang"

"Baiklah, nggak ada yang ketinggalan kan?"

"Enggak"

Setelah melalui perjalanan menggunakan mobil, kami tiba di rumah keluarga Novi. Iya, rumah kontrakan yang sederhana tapi terasa nyaman walau agak diasingkan. Dia tinggal di perkampungan yang ada di dekat jantung kota, katanya setahun atau dua tahun lagi mereka harus pindah rumah atau cari kontrakan baru.

"Bagaimana kalau kubelikan rumah?"

"Rumah..?"

Aku mengangguk "Satu untuk keluargamu dan satu untuk kita, jangan khawatir aku akan mengurusnya nanti dengan Robert"

"Marcel, itu berlebihan!"

"Nggak apa"

Di tengah obrolan kami tiba tiba seorang pria menonjok perutku hingga aku terjatuh dan lagi lagi batuk. Tentu saja suasana langsung memanas saat Novi menampar pipi pria itu dan memarahinya.

"Uhuk uhuk..!"

"Marcel—"

***

//Novi//

"Maaf aku sudah kabur seenakku, aku membuat kalian khawarir"

Baru sampai sudah ada saja masalah, Marcel pingsan karna tonjokkan Nino yang mengenai perutnya dan dia batuk darah lagi. Sedangkan telingaku ditarik Nino hingga merah menemui Mama dan Nenek.

"Siapa dia?!"

"Dia.. orang yang mau melamarku, dia sudah menolongku dan dia mau menikahiku. Tapi Nino menonjoknya hingga pingsan"

Kami bereempat terdiam sejenak lalu Nino melempar pertanyaan "Apa dia Marcel??"

Aku mengangguk "Iya, dia Marcel"

Setelah itu, Marcel disuruh tidur di kamar Nino bersama Nino sedangkan aku kembali ke kamarku. Sebelum sampai di rumah, aku melepas cincinku dan menyembunyikannya agar mereka tidak tahu soal pernikahanku. Kecuali Nino.

Aku tidur hingga jam 8 pagi Mama membangunkanku. Mama bilang kalau Marcel sudah bangun dan bertengkar Nino, ah sudah kuduga, mereka nggak bakal akur.

Aku segera pergi ke kamar Nino dan benar saja mereka adu argumen. Nino marah pada Marcel dan begitu juga Marcel. Mereka saling memaki satu sama lain, iya selama ini Nino memang tidak pernah berbagi tempat tidur kecuali dengan sahabat dekatnya atau kucing peliharaan kami. 

"Marcel—"

Marcel menatapku lalu menghampiriku "Dia lagi lagi memukulku!"

"Apa?! Kamu duluan yang memukulku, brengsek!"

"Apanya?! Coba bilang sekali lagi?!"

"Kamu memukulku—"

"Itu karna kamu memukulku semalam, adikmu sudah bilang kan kalau aku sakit! Dasar keparat! Punya dendam pribadi apaan sih?!"

"Ya kamu punya dendam pribadi, setan! Awas saja sampai adikku menangis karna pria brengsek sepertimu!"

"Hah! Seumur hidupku, aku nggak akan pernah membuatnya menangis!"

"Kupegang omonganmu itu, brengsek"

"NINO! MARCEL! BISA NGGAK SIH DIAM SEMENIT SAJA!!!"

Aku sudah tidak bisa menahan untuk berteriak. Aku langsung menarik telinga Marcel dan menyeretnya ke kamarku.

"Kok cuma aku yang dihukum?! Dia duluan yang salah! Aku cuma membalas apa yang—"

Aku mencium bibirnya di saat dia sedang mengomel itu dan melepasnya setelah dia merasa tenang "Sudahlah"

"Iya ugh—"

"Marcel?!"

Dia jatuh dalam pelukanku dengan tubuh yang mulai demam. Kenapa tubuhnya jadi sangat lemah?! Aku merasa bersalah karna tidak bisa menolongnya saat itu.

Yang bisa kulakukan sekarang, adalah minta tolong ke Nino. Aku langsung pergi ke Nino yang sedang dimarahi Nenek sambil menangis "Nino.."

Beberapa saat kemudian, kami bertiga sudah di klinik. Dokter bilang keadaan Marcel cukup mengkhawatirkan. Dia masih belum sepenuhnya pulih dari kejadian pengeroyokan seminggu yang lalu, tapi dia sudah beraktivitas normal dan sering sekali insomnia. Dokter juga menekankan bahwa Marcel mengalami insomnia akut dan hanya akan tidur selama 2 atau 4 jam saja, itu pun sudah sangat lama baginya.

"Kasih saja obat tidur toh dia juga belum parah banget kan? Lagian ngapain juga sih begadang tanpa tujuan kayak orang penting saja"

"Nino, Marcel itu CEO perusahaan Chandra Group—"

"HAH?! SERIUSAN?!"

Aku mengangguk lalu meraih apel di keranjang buah dan mengupasnya "Iya, dia juga hidup berbeda dengan kita"

"Berbeda? Yah yang jelas dia orang kaya dan kita miskin, kamu mau nikah dengannya karna dia punya niatan busuk. Orang kaya memang nggak pernah ada yang tahu diri. Tanpa orang—"

"Nino—dia jauh dari kata hidup mewah seperti yang ada di otakmu. Dia lebih menderita dari kita"

Nino terdiam lalu mengambil sepotong apel yang kukupas tadi "Ceritakan padaku"

"Ceritanya sangat panjang, tapi dia mengalami beberapa gangguan psikologis karna traumanya. Ibunya seorang wanita malam dan ayahnya CEO saat itu. Dia lahir dari hubungan gelap ayah dan ibunya lalu setelah usianya 3 tahun dia dibuang ibunya"

Aku menceritakan semua yang pernah diceritakan Marcel padaku dan Nino mulai memahami keadaan Marcel sekarang. Dia terlihat iba pada Marcel lalu menghela napas.

"Aku akan membantumu sebisaku, jangan sedih dia bakal baik baik saja"

"Hiks.. aku sangat merasa bersalah cuma bisa diam dan lihat dia dihajar karnaku dan aku—"

Nino meraih tanganku dan menatapku. Mata hazel miliknya itu bertemu dengan mata hazel milikku dan aku bisa melihat mata itu sangat bersinar di tengah kesedihan. Nino mengusap air mataku dan senyum.

"Itu bukan salahmu, jangan menyalahkan dirimu sendiri"

"Tapi—"

"Novi kamu itu kembaranku, aku juga tahu apa yang kamu rasakan. Sudah nggak apa, aku yakin dia baik baik saja. Dia bukan pria yang lemah, dia hebat sudah bertahan sejauh ini"

Nino pergi pulang untuk mengambil motor karna kami tadi bertiga naik taksi online. Setelah Nino pergi, aku hanya menangis sambil menunggu Marcel terbangun.

"Marcel.. maaf.. maaf.."

Aku menggenggam tangannya hingga aku tertidur sambil sesegukkan. Saat terbangun, aku mendengar dia sedang bertengkar lagi dengan Nino. Tapi Nino sepertinya jadi lebih melunak ke Marcel saat aku terbangun—

"Adikku sudah bangun, jadi bicaralah berdua. Jangan menyalahkannya karna kejadian malam itu, kalian adalah korban di sini. Aku akan keluar"

Nino pergi lagi meninggalkan kami. Aku menatapnya lalu senyum "Bagaimana keadaanmu..?"

"Aku yang harusnya tanya begitu, matamu bengkak dan merah. Apa kamu habis menangis? Siapa yang melakukannya?!"

Aku menggelengkan kepalaku lalu memeluknya erat "Nggak apa.. aku senang bisa memelukmu lagi"

"Aku juga"

Setelah melepas pelukanku, aku menjelaskan seluruh keadaannya dan meminta maaf padanya karna itu terjadi karnaku. Bukannya marah atau menghujatku seperti biasanya, dia malah senyum dan mengatakan padaku bahwa dia baik baik saja. Dia juga bilang itu semua bisa terjadi karna dia kurang istirahat dan asupan makanan.

"Dari kecil aku bisa dibilang agak kekurangan gizi, ibuku bahkan jarang memberiku ASI waktu aku masih bayi lalu mulai menelantarkanku saat aku bisa berjalan. Setelah dibawa Dad pun aku juga jarang makan makanan yang layak, Mom akan mengusirku jika aku makan bersamanya"

Astaga, dia benar benar sama sekali tidak pernah merasakan kebahagiaan dan kebebasan. Bahkan kasih sayang orang tua saja tidak didapatkannya. Tapi dia bilang, walau dia dianggap apa pun bagi keluarganya. Dia tetap bersyukur diberi kesempatan untuk hidup sampai sejauh ini.

Air mataku lagi lagi mengalir dan aku memeluknya lagi yang membuatnya tertawa "Hahaha jangan meluk terus, nanti aku bonyok lagi karna ulah kakakmu yang gila itu"

Kami pulang kembali ke rumah dan aku mengaku  pada Mama dan Nenek kalau Marcel adalah suamiku. Bahkan aku menunjukkan buku nikah kami yang membuat mereka terdiam, antara marah, bingung, dan senang. Itu yang tergambar di reaksi mereka.

Nino langsung turun tangan dan membantuku meminta restu. Marcel pun langsung memohon restu pada mereka dengan sangat tulus dan dia juga minta maaf sudah menikahiku tanpa restu. Setelah lama meminta restu, mereka merestui kami. Aku memeluk Nino dan berterima kasih padanya.

Tapi tiba tiba Marcel sempoyongan lagi yang membuatku dan Nino segera memapahnya ke kamarku "Kamu lemah gini gimana bisa melindungi adikku"

"Bacot—"

"Mau cari ribut lagi hah?!"

"NINO! MARCEL!"

Nino kembali ke kamarnya setelah menjitak kepala Marcel. Marcel yang merasa dirinya lebih tua, tidak dihargai dan hendak membalasnya tapi aku sudah menutup pintu kamarku rapat.

"Well, waktunya mulai hidup baru yang sehat"

To. Be. Continue.