//Marcel//
Hari ini kami memutuskan kembali ke Jakarta karna sudah seminggu kami berada di villa. Novi juga harus bertemu Sasha, setidaknya mereka sekarang saudara ipar. Tapi tiba tiba dia meminta pulang ke Surabaya, tempat asalnya. Aku sebenarnya kurang setuju dengan keinginannya itu, karna urusanku juga terlalu banyak di Jakarta.
Alhasil kami beradu mulut dan saling menyebutkan kebutuhan kami. Walau pada akhirnya aku yang memenangkannya karna jika diteruskan, kami akan kembali ke titik awal. Kami juga memutuskan untuk memulai hidup baru di Surabaya.
Itu sedikit memberatkanku bahkan Robert juga memperingatkanku soal hal itu, tapi sekarang aku tidak punya banyak pilihan. Robert juga tahu, hanya Novi seorang yang bisa meluluhkan hatiku. Sebenarnya aku sedikit takut Sasha akan marah karna dia adalah adik perempuanku dan akulah satu satunya keluarga yang dimilikinya. Itu juga berarti bagiku.
Tapi sekarang, aku hanya punya dua pilihan ikut dengannya atau berpisah dengannya. Aku memilih ikut asal setiap sebulan sekali, kami harus ke Jakarta untuk menjenguk Sasha. Selain itu, aku juga punya rencana menjodohkan Robert dengan Sasha. Karna aku tahu mereka berhubungan di belakangku.
"T-tapi Tuan—"
"Sudah, nikahi saja adikku! Kamu kan sudah sering tidur dengannya"
"Bukan begitu Tuan, saya dan Nona—"
"Kalau kamu mencintainya sudah halalkan saja. Aku akan segera pindah ke Surabaya dengan istriku, aku nggak mau Sasha kesepian"
Kami terdiam lalu Robert setuju. Jelas kalau dia menolak, aku akan marah padanya. Itu adalah cerita tentang kemarin malam, dan hari ini kami pergi ke Jakarta. Novi terlihat cukup tenang, aku membelikannya beberapa camilan agar dia tidak bosan selama perjalanan. Walau pada akhirnya dia tidur juga.
Setelah dua jam perjalanan, kami tiba di rumah dan aku turun sambil menggendongnya ke kamarku. Sasha yang kebingungan kusuruh diam dulu, aku kembali setelah menidurkan istriku di kasurku.
"Kak, jelaskan dia siapa?!"
"Iya sabar dong! Dia istriku, kakak iparmu—"
"APA?!"
Aku mengangguk sambil melepas jaketku "Iya, dia istriku"
Sasha terdiam dengan muka muka shock lalu aku mengacak acak rambutnya "Aku merestui hubunganmu dan Robert, cepat nikah ya karna aku mau tinggal di Surabaya"
"APA?!"
"Jangan apa apa terus, aku serius—"
"Enggak enggak, tadi kamu bilang merestui hubunganku dan Robert lalu pergi ke Surabaya?! Kamu serius Kak?!"
Aku mengangguk "Maafkan aku, tapi itu serius. Istriku punya banyak urusan dari pada aku. Sasha, aku minta maaf. Aku janji bakal ke Jakarta sebulan sekali untukmu"
"Kakak.. kamu tahu—"
"Aku tahu, kamu adik dan keluargaku satu satunya. Kamu sangat berharga untukku. Jadi kamu.."
"Iya Kak pergi saja nggak apa. Toh aku sudah sama Robert, nggak ada lagi deh si tukang julid" dengan santainya dia pergi ke kamarnya.
"W-woi aku lagi sedih nih—"
"Katamu sebulan sekali ke Jakarta, ya sudah nggak apa Kak. Asal kamu bahagia itu saja cukup, selama ini kamu nggak punya pasangan. Jadi aku setuju saja sih kalau kamu mau ikut istrimu. Buat hidup baru yang bahagia Kak"
Sasha memelukku sangat erat, iya dia memang adikku. Aku mengusap rambutnya lalu mendorongnya pelan.
"Ok, kalau dia sudah bangun akan kukenalkan. Kalian harus akur"
"Tenang saja. Urusan ini serahkan padaku!"
"Ya"
Aku pergi kembali ke kamarku dan melihat istriku itu terbangun dengan bingung dia dimana sekarang. Mungkin itu pikirannya. Sungguh saat bangun tidur, dia makin imut saja. Aku duduk di tepi kasur sambil menatapnya.
"Pagi Sayang—"
"Kamu siapa ya?"
Kami saling menatap lalu dia menghela napas dan aku menjawab "Aku seperti jelly"
"Ah aku lupa kalau aku punya suami jelly"
"Sudah bangun? Aku kan sudah bilang jangan molor, malah molor selama itu. Kamu kan sudah makan puding kesukaanku banyak"
Dia mendengus kesal lalu memeluk banyalnya "Karna kamu ngebosenin"
"Cih, padahal kamu sendiri juga gitu"
"Enak saja. Em apa ini rumahmu?" dia bertanya sambil celingukan dan aku mengangguk.
"Iya ini rumahku. Di rumah ini nggak ada pembantu, jadi mandiri ya"
"Ya aku tahu itu, Robert sudah cerita kok. Apa ada adikmu?"
Aku mengangguk lagi "Dia di kamarnya, sekarang kamu mandi dan bantu bantu buat makan malam"
Dia turun dari kasur dan pergi ke kamar mandi. Sedangkan aku sibuk merapikan barang barang kami. Sebenarnya ada pembantu tapi khusus melayani Sasha, aku yang menyuruh mereka tapi mereka akan marah dan memakiku. Hah.. padahal aku yang membayar mereka.
"Marcel, ada sesuatu di kamar mandi"
Aku menaruh barang barangku dan melihat isi kamar mandiku. Ada bangkai tikus di dalam sana.
"Sebenarnya apa yang terjadi?"
"Sudah nggak apa, biar kuantar ke kamar mandinya Sasha"
Aku pergi mengantarnya ke kamar Sasha dan meminta Sasha meminjamkan kamar mandinya untuk istriku. Untungnya Sasha mau dan membiarkan istriku mandi di kamar mandinya.
"Ada apa Kak? Jangan bilang.."
"Sudah sudah, jangan buat masalah makin runcing. Mereka boleh nggak melayaniku tapi jangan kamu dan istriku" aku mengusap rambut Sasha dan senyum.
"Kak, aku setuju kalau kamu ikut dengan istrimu ke Surabaya. Aku harap kalian baik baik saja di sana"
"Semoga saja"
"Baik. Sekarang bersihkan kamar mandimu yang ada bangkai tikusnya. Biar kuantar istrimu setelah mandi nanti"
Aku pergi ke kamar mandiku dan membersihkannya. Aku nggak pernah sedikit pun mengeluh sejak kecil, Mom yang selalu memukulku dan memakiku. Dad yang selalu menutup mata, dan para pembantu yang tidak pernah menganggapku majikan mereka. Hanya kakek dan Bi Ani yang ada untukku saat itu, tapi sekarang mereka sudah tiada. Kenapa aku jadi sedih?
Ceklek
"Marcel"
"Ya?"
Dia mengeringkan rambutnya dengan handuk lalu duduk di sampingku "Jadi para pembantumu gila lalu kamu nggak peduli?"
"Buat apa juga peduli? Urusanku masih banyak. Syukur syukur ada mereka yang mau bersih bersih rumah"
"Aku sudah memarahi mereka dengan Sasha"
"Hah?!"
Apa dia cari mati?! Mereka itu adalah orang pilihan Mom. Aku nggak bisa marah karna aku tahu Mom selalu memantauku. Tapi dia malah mencari masalah. Apa yang harus kulakukan?!
***
//Novi//
"Hng? Pulang ke Surabaya besok?!"
"Iya besok! Kalau kamu nggak cari masalah, kita bisa istirahat seminggu!"
Dia terlihat kesal lalu meraih ponselnya sambil berjalan pergi keluar kamar. Setelah mengeringkan rambutku, aku pergi ke kamar Sasha. Namun di ruang tengah, aku mendengar beberapa pembantu sedang sibuk membicarakan soal Marcel yang membawaku ke rumah ini. Mereka bahkan secara terus terang memanggil Marcel sebagai "anak haram". Benar benar kurang ajar.
Aku berdecak kesal lalu berlari ke pembantu yang menyebut Marcel seperti itu dan menamparnya "Dasar tidak tahu diri! Dia itu yang membayarmu! Tanpa dia, kamu nggak mungkin bisa punya uang!"
"Hei tenanglah jalang"
"Apa katamu?! Mana mungkin aku bisa tenang dengar kalian memaki SUAMIKU!"
Plaaakk
Seorang dari mereka menamparku dengan keras yang membuat pipiku terasa perih. Aku menatap mereka tajam lalu mengepalkan tanganku mendengar mereka memaki Marcel lagi dan lagi.
"Nyonya benar, anak dari jalang pasti akan menyukai jalang juga"
"Nyonya bilang kita bebas mau melakukan apa pun. Hanya boleh melayani Nona Sasha seorang jadi kamu bukan apa apa"
Di tengah mereka memaki Marcel, aku berdiri lali menarik rambut mereka "BISA BERHENTI NGGAK?!"
"HEI! RAMBUTKU JAUH LEBIH MAHAL DARIMU!"
Mereka mendorongku hingga tubuhku terpental tapi kenapa aku nggak jatuh?! Rasa hangat dan nyaman ini seperti pelukan seseorang. Aku mendongak dan melihat Marcel menangkapku.
Dia mengusap pipiku yang merah karna habis ditampar itu "Apa ini sakit? Siapa yang melakukannya?"
Aku hanya diam lalu menoleh ke arah mereka. Mereka melihatku sambil senyum lalu pergo begitu saja. Tapi langkah mereka terhenti saat Marcel berteriak.
"SIAPA YANG MENYURUH KALIAN BUBAR?!"
"M-mar-cel.."
Air mata mengalir di pipinya tapi dia tidak menatapku. Hei, kenapa dia menangis?! Apa dia selemah itu?! Dia menyuruhku duduk di sofa sebentar lalu menghampiri para pembantu kurang ajar itu.
Dari tempatku duduk, aku dapat melihat. Dia seperti orang yang sedang sangat marah. Bahkan dia meneriaki para pembantu itu dengan keras. Ada apa dengannya?
Sasha datang dan langsung memeluk kakaknya itu. Seketika pandanganku jadi buram. Kepalaku sangat pusing. Apa yang terjadi selanjutnya setelah aku menutup mataku, aku tidak tahu. Tapi yang jelas, aku masih bisa melihat mata Marcel yang memerah penuh air mata dan dia memelukku. Aku belum mati kan?
Aku membuka mataku dan sudah berada di kamarku. Tepat di sampingku, Marcel tertidur. Dia tidur seperti anak kecil. Tapi setelah kuingat ingat lagi, wajahnya yang menangis itu. Pasti ada banyak luka dan trauma yang dialaminya.
Aku meraih segelas air mineral di meja nakas lalu meminumnya. Apa aku nggak salah lihat tadi?! Raut wajahnya sangat menyedihkan tadi, kenapa? Apa yang terjadi padanya sebelum bertemu denganku?!
"Kamu sudah bangun?"
Aku menoleh ke arahnya yang sedang duduk menatapku sontak aku memeluknya "Hiks.. hiks.."
Tanpa sebab yang jelas, aku menangis. Rasanya sangat menyedihkan, dia dari kecil diperlakukan tidak adil. Ini nggak manusiawi! Aku memeluknya semakin erat sambil menyembunyikan wajahku di bahunya. Entahlah apa yang harus kukatakan, hatiku ikut terluka.
"Berhenti menangis, mukamu jelek kalau nangis" dia mendorongku pelan lalu mengusap air mataku dengan tangannya. Sangat lembut. Aku memegang tangannya lalu menatapnya.
"Marcel.."
"Aku benci mengatakannya, tapi aku harus mengatakannya. Tapi jangan biarkan seorang pun menyakitimu, karna kamu adalah batas kesabaranku"
"Eh?!"
Tatapannya yang hangat jadi sangat dingin dan mencekam. Aku adalah batas kesabarannya? Apa maksudnya?!
"Marcel, gimana para pembantumu itu—"
"Mereka sudah kubunuh"
Aku menelan ludahku lalu menurunkan tangannya dari pipiku "Apa.. maksudmu..?"
Dia tidak menjawab. Tapi dari tatapannya, aku tahu semuanya. Dia memang sudah tidak memiliki rasa takut. Apa dia sungguhan membunuh 4 orang pembantunya?!
Membayangkannya saja ngeri apa lagi melihatnya. Aku sangat bersyukur karna aku pingsan, tapi kenapa rasanya aku ingin muntah?!
Pagi harinya aku menemui Sasha dan meminta penjelasannya. Jawabannya pun sama, Marcel telah menghabisi 4 orang itu. Apa mereka 2 saudara yang hobi bermain bunuh bunuhan?!
Aku menutup mulutku lalu pergi ke kamar mandi untuk muntah. Ini bukan hal yang bisa kuterima dengan mudah. Mereka berdua dengan mudahnya mengatakan sudah membunuh orang hanya karna menamparku?! Apa dan siapa mereka?!
"Kak Novi, maaf kalau ini berat untukmu. Tapi kenyataannya memang seperti itu"
"Aku.. maafkan aku.. hiks hiks.."
Sasha memelukku erat dan menenangkanku. Dia membantuku untuk duduk di kasurnya dan menceritakan apa saja yang terjadi selama aku pingsan.
Iya, benar. Mereka berdualah yang membunuh 4 orang pembantu itu. Bagi mereka itu bukanlah hal yang aneh, tapi sudah biasa. Sudah biasa apa?! Menghabisi nyawa orang lain?! Kalian mengambil hak orang lain untuk hidup tahu!
"Aku baru pertama kali melihat Kakakku marah seperti itu. Dia seperti kehilangan arah hidup dan kesabarannya. Aku nggak tahu apa yang terjadi padanya, yang jelas aku baru kali ini lihat dia sebrutal itu"
"Apa kalian sendiri yang menghabisi mereka?"
Sasha mengangguk "Ya"
"Astaga.."
"Mereka bukan orang baik, mereka layak untuk itu" tatapan Sasha juga ikut kelam seperti kakaknya. Ah mereka memang saudara seayah dan sudah jelas bahwa mereka memiliki fisik yang sama.
Mata abu abu gelap, mata yang jarang dimiliki orang di Indonesia atau dunia. Dan mereka berdua mewarisi mata itu. Mata yang cantik dan sangat penuh kegelapan.
Saat Marcel pulang, dia datang bersama temannya bernana Tomi. Katanya Tomi adalah psikiater yang akan membantuku untuk lebih rileks dan tenang di saat seperti ini. Apa dia menganggapku gila?!
Setelah aku berteriak seperti itu, dia memelukku sambil terus menangkanku "Mana mungkin aku anggap kamu gila? Aku mau membuatmu sedikit lupa tentang hal itu"
Jawabannya membuatku menatapnya dan mengatakan padanya "Aku nggak akan melupakan hal itu dan bakal menjaga diriku sendiri. Tapi tolong jangan bunuh orang lagi"
Semua berakhir dengan aku yang kehabisan tenaga. Gimana nggak?! Karna mual membayangkan kedua saudara itu hobi membunuh orang karna hal sepele. Aku nggak habis pikir, gimana kalau sampai mereka tahu tentangku di kampus? Sebaiknya aku menyembunyikan itu darinya.
"Ayo makan dulu. Besok kita pulang ke Surabaya"
"Sungguh?"
Dia mengangguk "Kalau itu maumu, mana bisa aku nolak"
"Tapi apa pun yang terjadi jangan MEMBUNUH orang lagi. Mereka berhak hidup" aku menatapnya lalu meraih tangannya untuk berjanji padaku. Dia lagi lagi hanya diam.
"Kamu itu batas—"
"Hilangkan batas kesabaranmu itu bakal menghancurkanmu. Lihat aku, aku dan kamu punya nasib yang sama. Aku nggak perlu balas mereka biarkan saja mereka dapat karmanya. Sudahlah, percaya padaku ok?"
Dia menghela napas lalu mengalihkan pandangannya dariku "Baiklah kalau itu maumu! Aku nggak bakal peduli lagi apa saja yang terjadi padamu loh! Aku itu—"
Aku membungkam mulutnya itu dengan bibirku. Banyak yang bilang kalau laki laki suka ngomel, cium saja dia akan nurut nanti. Setelah aku melepas ciuman itu, aku bisa melihat pipinya sangat merah dan dia pun nurut. Iya setidaknya dia akan tobat jadi psikopat walau sementara. Tapi aku berjanji! Aku nggak akan membiarkan tangannya berlumuran darah lagi. Aku akan mengubahnya!!!
To. Be. Continue..