Chereads / Engine Batska / Chapter 13 - Chapter 12

Chapter 13 - Chapter 12

"Take me to church, I'll worship like a dog at shrine of your lies~"

Jemari Galang membuat ketukan di setir mobilnya, seirama dengan melodi yang dimainkan Hozier. Bibirnya ikut melantunkan refrain Take Me to Church. Ia tengah dalam perjalanan pulang dari kelas terakhirnya.

"I'll tell you my sins and you can sharpen your ....anjing!"

Acara karaokenya terpotong ketika mobilnya tiba-tiba berhenti. Dicobanya lagi menyalakan mesin, namun tak membuahkan hasil. Decakan kesal keluar dari mulutnya, wajahnya pun sudah tertekuk.

Dengan malasnya ia membuka kap mobilnya. Beruntungnya, ia tengah berada di jalan kecil dan ia melaju di bagian pinggir. Namun, nahasnya juga tidak ada seorang pun melintas di jalanan itu, mengingat jam sudah menunjukkan pukul 8 malam.

"Anjing lah. Aki sialan!" Galang mengumpat sambil mengusak rambutnya sebal.

Ia lalu menghubungi bagian service dealer mobilnya, dan mereka mengatakan baru bisa tiba disana sekitar sejam lagi.

Benar-benar hari beruntungnya. Mobil mogok di hari yang melelahkan, sendiri, di gang yang sepi dan remang.

Akhirnya, dengan pasrah, ia mengeluarkan sepuntung rokok dan mulai membakarnya untuk menghabiskan waktu.

Setelah tiga isapan, ia mendengar sebuah motor berhenti di dekat mobilnya. Ia kembali berdecak ketika melihat siapa gerangan yang berhenti disana.

"Mogok?" Tanya orang itu.

Galang menghembuskan asap rokoknya sambil memutar matanya malas.

"Menurut lo?" Ketusnya.

"Ya siapa tau lo suka nongkrong di tempat begini." Jawabnya sambil mengedikkan bahu acuh.

Galang hanya menatap datar Kala, orang yang masih duduk di atas motor tadi. Netranya mengikuti pergerakan Kala yang membuka helmnya, lalu ikut membakar rokok sambil masih duduk di atas motornya nyaman.

"Ngapain lo?" Galang bertanya.

Butuh beberapa detik bagi Kala menjawab setelah menyelesaikan isapannya yang pertama.

"Jagain anak kucing."

Alis Galang mengkerut dibuatnya. Anak kucing? Siapa? Dirinya?

"Ck! Balik aja lo! Gue bisa nunggu sendiri." Balasnya.

Sedangkan yang diusir hanya membalasnya dengan tatapan datar tak berarti dan tak bergerak sedikitpun.

"Lo gak baca berita?" tanya Kala. Galang menatapnya bingung dengan wajah super keki-nya.

"Apaan?"

"Dua hari yang lalu ada yang dibegal di daerah sini. Mati. Palanya dibacok."

Galang menatap Kala curiga.

"Terus?"

"Yang ngebegal belom ketangkep." Lanjutnya.

Galang melihat sekitarnya. Gang yang tidak terlalu lebar namun juga tidak terlalu sempit. Ia juga tidak biasa melewati gang ini, akibat Jakarta yang macet dan ia hanya menuruti GPS yang mencarikan alternatif. Belum lagi kondisi gang yang sempit, sepi dan minim penerangan.

Namun, gengsinya jauh lebih tinggi dari rasa takutnya. Ia menatap seniornya yang masih duduk santai dengan tatapan ragu-ragu yang disamarkan.

"Bohong ya, lo? Lagian kalo bener pun si begal gak bakal keluyuran di tempat yang sama. Sorry, gak bakal kemakan gue sama cerita abal lo!"

Mendengar itu, Kala hanya tersenyum miring. Ia mengambil isapan terakhir rokoknya lalu menginjak sisa puntungnya. Ia menatap Galang yang menatapnya petty.

"Yakin?" Tanyanya seakan ini tawaran terakhir.

Galang hanya berusaha mempertahankan tatapannya, berharap Kala termakan wajah sok beraninya.

"Okey. Kalo gitu gue balik deh. Ati-ati ya, anak dewasa." Ujarnya sarkas lalu mulai memakai kembali helmnya.

Galang melihat dengan ragu gerak-gerik Kala yang sepertinya benar-benar akan meninggalkannya. Sial. Batinnya berperang, dalam dirinya pun ia merasa sangat ngeri dengan tempat ini, dan dirinya harus menunggu kurang lebih 45 menit sendirian.

Ia mendengar mesin motor Kala mulai menyala. Tangannya meremat bajunya gelisah. Ia terus menatap Kala yang terlihat memutar gas di tangannya menghasilkan suara erangan yang cukup nyaring dari motor gagahnya.

"EH!" Galang berujar dengan kencang dan membuat Kala menunda tangannya untuk memutar gas motor.

Matanya yang terlihat di helm fullfacenya menatap Galang yang terlihat menatapnya ketakutan sambil menggigit bibir bawahnya.

"Kenapa?" Ucap Kala sambil menatap Galang usil. Jika ia tak mengenakan helm, sudah terlihat jelas wajah jahilnya.

Si junior hanya menampakkan wajah kebayi-bayiannya. Ekspresi pemberaninya seakan sirna dalam sekejap, tergantikan raut bocah yang tidak mau ditinggal sendirian.

Namun Kala tak semudah itu lumer. Ia tetap bertahan di atas motor, dengan mesin menyala dan tatapan sok tidak mengerti pada Galang.

Mereka terdiam dalam posisi yang sama selama puluhan detik. Galang yang seakan bicara dengan ekspresinya dan Kala yang seolah-olah tak bisa membaca pesan ekspresi Galang.

Hingga akhirnya Galang berdecak sebal. Menurunkan gengsinya yang terkalahkan dengan rasa parno berlebih.

"At least tungguin gue sampe teknisnya dateng bisa kali." Terdengar nada merajuk dari Galang.

Pemuda itu melirik Kala yang terlihat masih diam di motornya. Sial. Sesusah itu apa menangkap sinyal butuh bantuan darinya? Biasanya teman-temannya pasti sudah langsung menurutinya jika ia sudah memasang tampang pundungnya.

"Tadi minta tolong apa ngomel?" Tanya Kala.

"Ck! Masa gak ngerti?"

Kekehan kecil terdengar dari bibir Kala. Galang terlihat seperti anak kecil yang tengah ngambek dan sudah malas untuk bicara.

"Ya soalnya gak denger kata tolong." Balas Kala.

Galang menatap Kala makin sebal lalu menginjak puntung rokoknya dengan sekali hentakan yang cukup keras.

"Yaudah! Sono dah! Capek gue ngomong sama lo." Ujarnya tak peduli.

Kala mengangkat sebelah alisnya.

"Oke. Ati-ati deh." Ujarnya singkat lalu kembali menyalakan mesin motornya.

Namun, belum sampai tancap gas, ia tersentak melihat kunci motornya sudah dicabut dan diambil alih oleh Galang.

Matanya memicing menatap juniornya yang sudah memasang tampang super kusut dan mata yang berkaca-kaca seakan menahan rasa kesal yang berlebihan.

Dapat dilihatnya nafas Galang yang menderu sangat cepat, seakan terserang panik luar biasa. Kala menatap Galang dalam diam, memberikan adik tirinya itu waktu untuk mengatur nafas dan emosinya.

"Temenin gue....." Ucapan Galang menggantung, begitu juga dengan alis Kala yang menggantung sebelah menunggu lajutannya.

"Please."

Akhirnya. Mengajarkan anak ini untuk meminta tolong dengan benar saja ternyata sesusah ini.

Kala akhirnya mengalah. Melepas helmnya lalu menatap Galang dengan tatapan teduh yang entah mengapa membuat Galang otomatis merasa aman.

---

"Bang, pinjem atm."

Pandu bersandar di balik salah satu rak yang tengah ditelusuri Jey. Pemuda berwajah imut itu mengadahkan tangannya ke arah Jey.

"Beli apaan lo?" Tanya Jey yang menghentikan kegiatan membacanya.

"Buku mesin lah. Emang lo, spend buat yang begituan." Balas Pandu sambil menunjuk sebuah novel dewasa yang tengah dibaca Jey.

Jey hanya menarik bibirnya datar dan menatap adiknya jengah. Ia lalu merogoh sakunya dan memberikan kartu atmnya.

Senyum lebar Pandu langsung menyambut kartu atm yang sudah berpindah ke tangannya lalu meninggalkan Jey dengan langkah menggebu.

Jey hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah adiknya. Sudah menjadi kebiasaan, Pandu akan menghampirinya atau menurutinya untuk jalan jika diiming-imingi traktirannya dalam hal apapun.

'Dasar adik mata duitan.' batin Jey.

Selesai dengan kegiatan membelikan buku untuk Pandu, Jey merangkul adiknya keluar dari toko buku sebelum bocah itu meminta dibelikan hal lainnya yang bisa langsung membocorkan saldo bulanannya.

"Bangsat! Lo beli buku apaan nyampe sejuta?" Jey menjerit tertahan melihat pemberitahuan uang keluar dari tabungannya, yang artinya uang untuk membayar buku yang baru Pandu beli.

"Ya lo gak bilang limit berapa boleh belinya, sih." Bela adiknya.

Jey memicingkan mata sipitnya sehingga membuat seakan matanya menghilang sekejap.

"Yaolo, Ndu. Ini mah bisa dapet Jaeger sebotol anjir. Masih dapet kembalian redler pula." Sesal Jey.

Pandu menghela nafas. Waktu bagian adik menceramahi abang dimulai.

"Bang, harusnya lo bangga kalo gue ngabisin duit banyak buat cari ilmu. Lah, ini malah dibandingin sama harga alkohol. Gimana sih."

Jey bersidekap sambil berjalan malas. Ludes sudah rencananya minggu ini untuk traktir minum pacar barunya. Ceramah Pandu pun tak digagasnya.

"Bete gitu sih, lo? Yaudah, besok gue minta mama ganti pake Jaeger sebotol deh."

Ucapan Pandu langsung dihadiahi tatapan tajam kakaknya. Pemuda itu langsung tertawa kencang.

"Belajar ngelawak dimana lo? Gak menghibur." Ujar Jey sambil menoyor Pandu pelan.

"Yaudah nih, laper....makan kuy." Alih Pandu.

Jey hanya menghela nafas pasrah. Jiwa kakaknya lebih kuat dari kekuatan rajukannya. Ia lalu kembali merangkul Pandu untuk melanjutkan jalan mereka namun sebuah suara kembali menghentikan mereka.

"Pandu?"

Baik Pandu maupun Jey menoleh ke sumber suara. Jey mengerutkan alisnya bingung karena dirinya tak mengenal orang itu, sementara Pandu langsung memasang senyum lebarnya ke arah wanita yang memanggilnya itu.

"Hai, Kak." Sapa Pandu.

Seakan diterangi bola lampu, Jey akhirnya mengingat siapa wanita itu.

"Jalan-jalan sama temen?" Tanya Marissa, wanita yang menyapa adiknya tadi.

Pandu melirik Jey yang masih memperhatikan Marissa dengan curiga. Lalu dengan pelan, disenggolnya lengan kakaknya itu untuk berhenti menatap wanita itu intens.

"Ini abang aku, Kak. Bang Jey, kenalan gih."

Jey yang sudah kembali dari lamunannya lalu otomatis tersenyum ramah dan mengulurkan tangannya.

"Jey, abang Pandu." Ucapnya ramah.

Marissa menyambut uluran tangan itu tak kalah hangat.

"Marissa." Ucapnya sambil tersenyum.

Wanita itu lalu menatap Pandu dan Jey bergantian.

"Kalian cuma berdua aja?"

Pandu mengangguk sebagai jawaban.

"Udah pada makan malam?"

---

Galang dengan terburu-buru membuka pintu garasi rumahnya. Rambut dan pakaiannya pun sedikit basah akibat rintik hujan yang tiba-tiba saja turun tanpa aba-aba. Ia kembali menutup pintu garasi saat Kala dan motor hitamnya sudah masuk ke garasi.

Setelah teknisi dealer datang, ternyata bukan hanya akinya yang bermasalah namun ada bagian lain dari mobilnya bermasalah sehingga ia terpaksa menginapkan mobilnya di bengkel. Kala pun berakhir mengantar Galang pulang karena mood Galang sudah anjlok bukan main.

"Lo stay disini dulu aja sampe ujannya redaan." Ujar Galang.

Kala pun hanya menurut karena memang hujan sudah turun dengan lebat dan tidak mengijinkannya untuk langsung pulang.

Ia lalu mengikuti langkah Galang yang berjalan memasuki rumah. Kediaman keluarga Galang terbilang besar, apalagi yang menempati hanya ia dan ayahnya. Ketika masuk, Galang disambut Bi Ati yang menatapnya khawatir.

"Loh, Mas Galang kok pulang gak bawa mobil? Lagi hujan diluar juga."

Galang menerima handuk yang disodorkan Bi Ati lalu tersenyum tipis.

"Mogok, Bi. Harus dibengkelin dulu."

Bi Ati hanya mengangguk. Wanita paruh baya itu lalu menemukan Kala yang berdiri kikuk di belakang Galang.

"Loh, ada temennya Mas Galang. Bajunya sama-sama basah gitu. Masuk dulu, Mas. Bibi ambilin handuk ya."

Sebelum Kala sempat menjawab, Bi Ati sudah lebih dulu menghilang entah kemana. Tinggalah Galang dan Kala yang ada di ruang tengah.

Galang mendekati sofa ruang tengah lalu menatap Kala yang masih berdiri sambil mengamati rumahnya.

"Lo kira upacara, berdiri doang. Sini duduk." Ujar Galang.

Namun Kala tak menggubris ucapan juniornya. Ia malah mengutari dinding ruang tengah, mengamati foto-foto.

Matanya berhenti di koleksi DVD yang tertata rapi di rak samping TV.

"Anjir! Lengkap banget marvel lo." Tungkas Kala.

Galang menoleh dari posisinya sudah tertidur nyaman di sofa sambil memainkankan hpnya asal.

"Punya ayah." Jawabnya singkat.

Si senior hanya mengangguk asal. Puas dengan sesi geledah ruang tengah Galang, ia melangkah mendekati sofa yang sedang ditiduri Galang.

Dengan tak peduli, diangkatnya kaki Galang, lalu ia turunkan di atas karpet. Didudukannya dirinya di bagian yang tadinya tempat kaki Galang bersandar.

Galang mendelik dalam posisi 90 derajat menekuk setengah tidur di sofa dan setengah lagi turun di karpet, melihat Kala seenak jidat menurunkan kakinya.

"Gak sopan tiduran pas ada tamu." Ujar Kala lalu membuka hpnya membalas pesan yang masuk.

Galang berdecak kesal. Seniornya itu selalu bisa bersikap menyebalkan bahkan di rumahnya sendiri.

"Rese lo!" Ujarnya setelah membenahi posisinya menjadi duduk.

Bi Ati lalu datang dengan dua cangkir teh hangat dan dua buah handuk untuk Kala.

"Ini ya mas, diminum teh angetnya. Di luar hujannya deres banget, kayaknya bakal lama redanya." Ucap Bi Ati.

"Makasih, Bi." Ujar Kala sambil tersenyum ramah.

Bi Ati masih diam berdiri disitu sambil mengamati Kala.

Kala pun yang merasa diamati melirik Bi Ati.

"Kenapa, Bi?"

Bi Ati hanya tersenyum malu sambil menyerahkan handuk.

"Gapapa. Masnya kegantengan jadi Bibi linglung liatnya."

Galang memicingkan matanya sedangkan Kala terkekeh singkat.

"Kok gak pernah lihat Masnya main ke rumah? Temen kuliah?" Bi Ati melanjutkan sesi keponya.

"Iya, Bi. Emang jarang main." Kala menjawab.

"Oh, tapi Mas Galang juga temennya Dira sama Pandu doang yang biasanya kesini. Baru ini ada wajah baru. Ganteng lagi."

Galang akhirnya meletakkan hpnya dan memandang Bi Ati heran.

"Bi, mending bikinin indomi rebus aja boleh? Galang laper nih." Alihnya.

Bi Ati mengangguk.

"Sama buat temennya sekalian?"

Galang hanya mengangguk asal lalu kembalilah Bi Ati ke dapurnya.

Sepeninggalan Bi Ati, Kala melirik ke Galang yang kembali dengan hpnya.

"Lo introvert ya?"

Galang melirik Kala tajam lalu lanjut fokus ke hpnya.

"Bukan urusan lo." Jawabnya jutek.

"Gitu sih jawaban orang yang gak punya temen lain." Balas Kala.

Helaan nafas kesal dihembuskan Galang. Ia menghadap ke Kala yang menatapnya jahil.

"Lo tuh ya, bisa gak sih kurangin nyebelinnya? Rumah gue nih!"

Bukannya kata maaf, justru tawa geli Kala yang didengar Galang. Sang senior geleng-geleng kepala sambil terus tertawa dan meraih cangkir tehnya.

Galang makin merengut ketika tawa itu tak kunjung berhenti. Diliriknya tajam Kala yang tengah menyeruput teh hangat.

"Bocah banget ya lo." Kala berucap usai meminum tehnya.

"Apaan sih, lo! Ck!"

Galang melipat kedua tangannya di depan dada sambil memanyunkan bibirnya, tanda anak itu merajuk.

"Tuh. Ngambek? Kok Dira bisa banget tahan sama lo bertahun-tahun? Heran gue." Komen Kala.

Tak terima, Galang memberikan perhatian penuhnya pada Kala.

"Gak usah sok tau deh. Makin rese pula. Heran banget gue Kak Gavin bisa tahan sama lo juga bertahun-tahun."

Strike. Memang spesialis keduanya dalam memainkan dan memutar balikkan kata.

"Mana dapet cewek model Kak Grizelle lagi. Lo pake pelet apaan ke dia? Dari pertama liat, gue gak nemu tuh bagus lo dimananya."

Tegukan Kala akan teh hangatnya sedikit terganggu mendengar serangan Galang.

"Nyuruh gue gak usah sok tau tapi lo nya sotoy mampus. Nyokap lo dulu ngidam apaan si pas hamil lo?"

Mata Gilang seketika melotot mendengar ucapan Kala.

"NYOKAP GUE NYOKAP LO JUGA SI ANJING!" Galang berujar sangat keras.

Bi Ati pun sampai keluar dari dapur dibuatnya.

"Mas Galang kenapa???"

Keduanya, Kala dan Galang, saling tatap kaku karena Galang yang kelepasan.

"Gak papa, Bi. Lagi niruin adegan di sinetron tadi. Lanjut aja masaknya, Bi." Alibi Galang.

Nafas lega dihembuskan Galang ketika Bi Ati sudah kembali ke kegiatannya. Mata elangnya menatap Kala tajam, seakan menyalahkan.

"Lo yang teriak ya. Bukan gue." Kala berujar sambil mengedikkan bahu acuh.

"Lagian pake bawa-bawa nyokap sih lo. Kalo dia kegigit lidahnya pas makan di surga gimana gara-gara diomongin mulu?"

Kerutan alis terlihat di wajah Kala.

"Surga? Maksud lo?"

"Hah? Ayah belom cerita ke lo? Tentang nyokap?"

Kala menggeleng.

"Kan terakhir ketemu juga pas di cafe kemarin sih."

Tatapan Galang pada Kala seakan melunak ketika disadarinya topik pembahasan ini akan menjadi cukup berat.

Sial. Ia kira tak akan terlibat pembicaraan yang bertemakan ibunya apalagi dengan Kala.

"Ehm... ya gitu. Duh. Kok gue jadi yang bilang sih." Gumamnya sendiri, tak yakin menyampaikan hal ini ke Kala.

"Apaan sih? To the point aja deh."

Galang menatap ragu mata Kala yang sepertinya segera ingin tau.

Ia menghela nafas pelan lalu menjawab.

"Ya... nyokap udah gak ada. Dari gue lahir."

Netranya memperhatikan dengan saksama ekspresi yang ditunjukkan Kala.

Namun, makin bingung jadinya ketika ia tak menemukan secuil ekspresi lain selain datar.

"Oh. Jadi udah meninggal? Lo gak pernah ketemu juga?"

Galang menggeleng.

"Kata ayah meninggal gara-gara pendarahan abis gue keluar. Jadi, yaudah. Cuma bisa liat fotonya yang di kalung ini." Ujarnya sambil menunjuk kalung yang ada di lehernya.

"Hm." Galang mengangguk-angguk mengerti.

"Lo gak sedih gitu?" Tanya Galang penasaran karena tak menemukan raut sedih atau kecewa dari Kala.

Si senior hanya tertawa kecil, lebih tepatnya tertawa miris.

"Ngapain sedih? Emang dari awal gue gak punya nyokap juga, jadi gimana caranya ngerasain kehilangan yang bahkan gak pernah gue miliki?"

'Shit. Dalem bener nih orang' Batin Galang.

Ia sendiri pun juga tak tau harus membalas apa. Seketika suasana ruang tengah berubah canggung.

Galang tak tau harus bereaksi apa, Kala juga tak mau repot-repot mengalihkan pembicaraan.

Namun, tiba-tiba ia teringat sesuatu. Otaknya pun seketika terang benderang.

"Bentar." Suara Galang membuat Kala kembali mengalihkan fokusnya.

Ditatapnya Kala yang kini juga tengah menunggunya mengatakan sesuatu.

"Tadi lo bilang gue sotoy pas bahas Kak Grizelle."

Kala mengerutkan alisnya sebentar, me-recall apa yang dikatakannya. Lalu mengangguk membenarkan.

"Lo..... gak pacaran sama Kak Grizelle?" Tanya Galang yang entah sejak kapan melupakan kecanggungan yang tengah terjadi terkalahkan dengan rasa penasaran.

"Emang darimananya lo bisa simpulin gue pacaran?"

"Dih! Gue kan nanya kenapa dijawab nanya balik sih. Idiot."

Kala mengernyitkan alisnya bingung. Sungguh sensitif sekali anak tingkat 1 ini.

"Ngegas doang ya isi lo." Ujar Kala lalu kembali diam.

Galang pun yang menyadari orang di sebelahnya tak melanjutkan kembali naik pitam dan level keponya.

"Kalo ada orang nanya tuh dijawab pake kata-kata." Tungkas Galang.

Kala tiba-tiba terserang deja vu. Ia merasa seperti pernah mengatakan hal ini di hari ospek pada Galang.

Merasa tak kunjung direspon, Galang menjetikkan jarinya di depan Kala yang langsung mengagetkan si empunya badan.

"Ye! Malah bengong. Jawab si, Sat!"

Kala hanya berdecak kesal dibuatnya. Ia menghabiskan tegukan terakhir di cangkirnya lalu menjawab.

"Kita sama-sama sepakat kalo status bukan hal paling pertama yang harus dicapai."

Galang mengerutkan alisnya bingung. Apalagi hal yang akan diutarakan Kala kali ini?

Menangkap ekspresi tak mengerti dari Galang, Kala terkekeh. Ia lalu melanjutkan.

"Banyak orang ngira kalo udah pacaran sama orang yang lo suka itu tujuan utama yang harus tercapai. Lo udah pasti bakal bahagia."

Pikirannya menerawang ke kejadian dua tahun lalu sambil terus menjelaskan.

"Gue sama Grizelle anggep itu salah. Justru pemenuhan status pacaran itu goal akhir yang lo bisa capai."

Ia lalu melirik Galang yang mendengarkannya dengan serius.

"Status bukan tolak ukur kebahagiaan. Waktu yang lo abisin sama dia sebelum sepakat adanya status itu, kunci yang bisa lo pegang apakah bakal terus bahagia atau enggak nantinya kalo milih buat pacaran."

---To be continued---