Chereads / Engine Batska / Chapter 18 - Chapter 17

Chapter 18 - Chapter 17

Langkah cepat Galang terdengar menuruni tangga. Ia menghampiri meja makan dimana ayahnya tengah sibuk dengan tabletnya sambil sesekali menyesap kopi paginya.

"Pagi, Yah." Ujarnya sambil duduk di hadapan Bima. Sang ayah hanya membalas dengan dehaman singkat, masih fokus dengan pekerjaannya.

Galang menyendokkan sesuap sereal ke mulutnya sedang tangan kirinya aktif men-scroll layar ponselnya. Diperiksanya group chat kelas untuk memastikan tidak ada tugas atau kuliah yang tiba-tiba di-cancel.

"Oh iya, Lang. Ayah lupa bilang ke kamu. Nanti malam Ayah ada tugas harus ke cabang yang di Singapura."

Galang hanya mangut-mangut sambil masih fokus ke ponselnya, tak terlalu mendengarkan info sang ayah karena memang sudah biasa ditinggal untuk bisnis trip.

"Dua minggu loh Ayah perginya. Masa dikacangin gini." Bima mencoba mendapatkan perhatian putranya. Berhasil. Galang meliriknya dan meletakkan ponselnya.

"Ya kan biasanya juga selama itu, Ayah Bima." Timpalnya gemas. Bahkan pernah ia ditinggal sebulan hanya dengan Bi Ati saja di rumah.

"Hm iya juga sih." Bima mengangguk pelan menyetujui.

Galang hanya geleng-geleng kepala melihat ayahnya. Ia lantas melanjutkan sesi sarapannya yang sempat tertunda. Namun, belum masuk sesuap, ayahnya kembali berceloteh.

"Ets! Tapi ada yang beda kali ini."

Sang anak menghela nafas kesal mendapati suapannya tertunda. Ia meletakkan sendok dan ponselnya lalu menatap Bima kesal. Tak mengerti mengapa ayahnya berbeda pagi ini.

"Apanya yang beda?" Tanggapannya membuat Bima tersenyum kecil, namun ia menangkap senyum mencurigakan.

"Kamu harus mandiri, soalnya Bi Ati libur juga dua minggu. Anaknya nikah."

Galang melebarkan matanya. Sial. Selama ini ketika sang ayah pergi bisnis trip, ia pasti akan tenang-tenang saja karena ada Bi Ati yang mengover semua kebutuhannya. Juga menemaninya di malam hari agar tidak merasa sendiri di rumah. Namun, jika dua minggu tanpa ayah dan Bi Ati? Bagaimana jadinya seorang Galang Ksatria?

"Gak usah panik gitu dong. Udah gede kan? Begini doang mah kecil, cuma dua minggu doang, Lang." Bima berusaha menenangkan anaknya yang terlihat mulai panik.

"Emang Bi Ati beneran libur? Lah ini masih dibikinin sarapan." Sanggah Galang.

"Ya itu dibikinin sebelum Bibi pulang. Sekarang cek aja di kamar, udah gak ada. Kalo masih ada juga si Bibi udah seliweran daritadi dong."

Bahu Galang menurun, ia sandarkan punggungnya di kursi. Sial, ia akan benar-benar sendiri. Otaknya mulai memutar strategi, menjadwalkan diri untuk menumpang di tempat Dira atau Pandu selama dua minggu. Tak mungkin ia tinggal sendiri di rumah, selain tak bisa memasak, ia juga tak bisa sendirian di rumah. Jiwa penakutnya akan bangkit di malam hari.

"Kalo takut tidur sendirian, nginep di tempat Kala aja. Perlu Ayah telponin biar dia kesini nemenin kamu?"

"Gak usah! Galang kan udah gede, Yah. Masa pake ditelponin orang segala buat ngasuh, Kala apalagi. Nanti burung peliharaan Ayah pada kabur semua liat dia. Serem gitu anaknya." Sanggahnya cepat.

Tawa kecil dilontarkan Bima dengan geli. Selalu saja Galang akan berubah menjadi sok dewasa jika ia membawa nama Kala di dalam percakapan, dan tak dipungkiri ini adalah jurus barunya untuk menguji Galang dan jiwa manja anak itu.

"Udah ah, Galang berangkat dulu, keburu telat nih." Ia beranjak bangkit sambil menenteng tasnya, memberi pelukan singkat pada Bima lalu berjalan ke arah garasi.

"Ati-ati, ya! Kalo ada apa-apa bilang. Beneran gak mau ditelponin Kala?" Bima setengah berteriak ketika tak melihat punggung Galang lagi.

"Bodo ah!"

Tawanya meledak mendengar nada kesal Galang dari arah garasi. Setelah mendengar bunyi mobil Galang yang menjauh, Bima langsung melancarkan rencananya. Ia mengetikkan sesuatu di ponselnya sambil tersenyum licik. Skenarionya pasti berhasil kali ini.

----

"Kenapa tuh komuk bonyok amat?" Pandu meletakkan tasnya di meja samping Dira yang sudah sampai dan duduk manis lebih dulu di kelas.

"Nabrak tikus di jalan." Yang ditanya hanya membalas sekenanya, masih sibuk dengan game di ponselnya yang dimainkan sejak tadi.

Pandu mengerutkan alisnya bingung, "Tikusnya segede apa sampe malah lo yang bonyok?"

"Tck! Elah kalah kan gue!" Dira membanting ponselnya kesal lalu menatap Pandu seakan menyalahkan. Yang ditatap justru membalasnya dengan wajah masih penasaran.

"Tikusnya udah dari awal mati, terus dibawa sama kucing yang nyebrang jalan sengaja pas gue lagi lewat. Karena gue punya jiwa berperikehewanan ya gue ngehindar lah, eh dipeluknya sama pohon."

PLAK!

"Njir!" Dira mengaduh ketika Pandu memukul bagian belakang kepalanya sebal.

"Kesimpulannya lo nabrak pohon titik. Gak usah bawa-bawa tikus segala. Kasian, gak tenang nanti almarhumah tikusnya." Pandu menimpal kesal.

Dira hanya mencibir. Pemuda itu melirik Pandu yang beralih bergelut dengan ponselnya. Mata lincah titisan lambe turahnya seketika beraksi. Diliriknya chat Pandu dengan orang di seberang.

"Sokap noh pagi-pagi udah chat? Dapet yang baru gak cerita-cerita ya lo. Gitu mainnya." Jiwa kompor Dira bangkit.

Sahabatnya hanya melirik balik tajam lalu kembali mengetikkan sesuatu di ponselnya. Dira tiba-tiba teringat kejadian seminggu yang lalu, ketika ia bertemu dengan Marissa di rumah sakit. Pemuda itu lalu menghadap dengan antusias ke arah Pandu.

"Ndu."

"Hm."

"Yang kemaren nganter ke rumah sakit itu?" Tanya Dira.

Pandu kembali melirik Dira sambil mengangkat sebelah alisnya, berpikir keras.

"Itu apaan maksud lo?"

"Ish! Ya gebetan baru lo lah!"

"Ngaco lo! Itu kenalan doang, temen." Pandu menyanggah. Dira merengut. Tidak bisa berhenti disini, jiwa haus akan informasi menguasainya.

"Ya kalo gebetan gak papa kali. Gue mah dukung-dukung aja kalo emang selera lo gitu."

Dira terkesiap ketika Pandu meletakkan ponselnya cukup keras. Cowok itu lantas menatap Dira serius.

"Bukan, Dir. Temen doang, gak bohong gue. Kalo gak percaya gue bikin janji deh sama dia terus lo ikut aja, biar jelas."

Dira menggigit bibir, memasang ekspresi seakan tak enak pada temannya. Padahal dalam hati, jiwanya bersorak kegirangan. Ia menemukan sebuah jalan menuju Roma, akhirnya.

"Ya bukan gitu, Ndu. Penasaran aja. Tapi mau dong dikenalin."

Pandu menatap Dira sejenak lalu mengangguk menyetujui.

"Bener ya?? Awas lo kalo ngibul, gue laporin ke malaikat." Dira mengancam, Pandu memasang wajah jengah.

"Baru tau gu, koneksi lo sampe malaikat." Galang tiba-tiba menanggapi sambil berjalan menuju mereka. Dira langsung memasang wajah kelewat percaya dirinya sambil membusungkan dada.

"Ets! Jangan salah! Bang Kala blasterannya kalah sama darah campuran gue."

Kedua temannya menatapnya aneh.

"Emang lo ada blasteran?" Galang menanggapi malas.

"Sembarangan! Adalah. Temen lo ini blasteran syurga, Darling. Gak ada yang ngalahin Adirajada, keturunan dari Yang Maha Esa langsung." Dira menepuk dadanya bangga, Galang dan Pandu langsung mengalihkan perhatian ke ponsel masing-masing, tak mau bereaksi.

"Eh! Gue mau nginep di rumah kalian gentian dong. Seminggu di Dira, semiggu di Pandu. Bokap ada bisnis trip, Bi Ati lagi pulkam."

"Hm. Sabi."

Mendengar jawaban Dira, Pandu langsung menoleh cepat ke Dira, panik sekaligus membunuh.

"Heh! Kan lu kata ada hang out keluarga mingdep."

Cowok berlesung pipit itu menatap Pandu penuh tanya. Seakan tak mengerti apa yang dimaksud kawannya.

"Hah? Hang out apaan? Lagian gue kan kalo acara keluarga tiap weekend doang si."

Dira makin mengernyit bingung ketika Pandu malah menatapnya tajam. Sedi adu pandang berlangsung selama hampir semenit.

Ia mencoba memutar balik otaknya hingga akhirnya bola lampu di otaknya menyala dan menyadari sinyal yang Pandu kirim sedari tadi.

"Ooh! Oh! Iya! Aduh! Anjir! Gak bisa, Lang. Ada hang out keluarga gue mingdep. Bener juga lu, Ndu." Dira langsung menarik kembali perkataannya sambil melirik Galang agak panik.

Galang menatap Pandu dan Dira bergantian, mulai curiga.

"Acara keluarga seminggu full? Tumben." Galang berkomentar, Dira melirik Pandu panik seakan meminta bantuan.

"I-iya, Lang. Jadi kayak simulasi lebaran. He-eh lebaran. Pada nginep di tempat gue gitu, cek kapasitas ruangan. Gitu." Dira tergagap mengarang jawaban dan makin membuat Galang mengernyit bingung.

"Apaan si? Lebaran masih lama anjir. Tapi yaudah deh. Ndu, kalo gitu-"

"Duh, Lang. Lagi ada sepupu gue juga di rumah nginep sampe bulan depan. Gak ada slot kosong. Sorry." Pandu menjawab cepat sebelum Galang sempat menyelesaikan kalimat.

Mereka berdua diam-diam menghela nafas lega. Merasa agak bersalah berbohong dan membuat Galang semakin memajukan bibirnya, merajuk. Tapi apa boleh buat? Titah dari Om Bima, ayah Galang sendiri, yang menyuruh mereka tak mengizinkan Galang menumpang.

"Lo nanya Bang Kala aja gih. Daripada sendirian gitu." Dira menimpali.

"Kala mulu. Sama aja lo berdua kaya bokap gue. Emangnya dia babysitter gue apa?"

Keduanya terdiam. Galang sedang dalam mode airplane. Tak bisa diajak bicara dan didekati. Cara terbaik adalah diam dan tunggu saja. Namun, perhatian keduanya teralihkan dengan Kala yang berjalan masuk ke kelas menghampiri Galang. Yang dihampiri hanya menaikkan alis bingung.

"Ngapain?" Tanyanya dengan nada cukup sewot.

"Bokap lo nyuruh gue ngasuh lo selama dia gak ada. Pulang kuliah, lo bareng gue. Tidur di apartemen gue mulai nanti malem." Titahnya dengan nada tegas lalu berbalik pergi tanpa mendengarkan reaksi Galang emosinya tiba-tiba sudah melesat sampai ke ubun-ubun.

Bagaimana tidak emosi? Kala mengatakan hal itu santai dengan keadaan kelas yang sedang hening namun sudah ramai anak-anak duduk di tempat.

"Oh, satu lagi. Join grup baru yang di-invite bokap gue." Ujarnya lalu langsung berjalan keluar kelas.

Galang menganga, speechless. Ia pendam kembali segala sumpah serapah yang sudah sepanjang kereta tujuan Jogja dari Jakarta. Dengan malas, ia mengecek hpnya.

Ben Greco has invited you into 'The Coolest Guys Fams Ever' Group.

Matanya memicing melihat judul grup. Ia lalu memeriksa anggota grup. Matanya yang tadi hampir menghilang, sekarang melebar. Isi grupnya hanyalah ayahnya, ayah Kala dan Kala. Ini grup keluarga barunya. Yang diberi nama 'The Coolest Guys Fams Ever' oleh Ben, ayah Kala.

'Udah gila ini hidup.' Batin Galang.

---

"Cemberut mulu sih, Lang? Kita traktir, lho?" Grizelle memandangi wajah Galang yang tertekuk sejak sejam yang lalu.

"Tau gitu gue di rumah aja. Nyamuk di rumah masih banyak, malah gue ngobat nyamuknya disini." Pemuda itu berujar kesal.

"Yaudah gih, balik. Udah maghrib kan tuh. Lo balik-balik rumah remang-remang, timing-nya pas tuh buat sarang nyamuk sama penghuni rumah keliaran." Kala menanggapi tanpa menatap Galang karena matanya fokus ke layar hp, menelusuri hasil jepretannya.

"Tck!" Galang mendecih. Dibuangnya punggungnya ke sandaran sofa cafe sambil bersidekap tangan di depan dada.

Sejak pulang kuliah, Kala sudah stand by di dekat mobilnya, membuatnya mau tak mau mengikuti pemuda yang dua tahun lebih tua darinya itu. Seusai membereskan bekal pakaian untuk menginap di apartemen Kala, Grizelle datang dan berinisiatif untuk jalan sore sekaligus hunting foto. Dan berujung dirinya menjadi obat nyamuk di antara dua sejoli yang asik melakukan pemotretan.

"Foto lo boleh juga tapi yang ini." Kala mengalihkan pembicaraan. Grizelle melirik layar ponsel Kala dan mengangguk setuju.

"Iya, nih. Cakep. Diasah dikit bisa tuh kerja bareng Kala."

"Terserah." Ujarnya singkat, masih merajuk. Grizelle dan Kala melirik Galang sekilas sambil tersenyum geli. Di mata mereka, Galang sudah seperti balita yang sedang ngambek karena tak dibelikan mainan favoritnya.

"Gue upload nih ya? Ntar gue tag deh. Pasti langsung diserbu cewek-cewek genit nih akun lo."

Galang hanya mengangguk sekenanya sambil sibuk atau 'sok' sibuk dengan ponselnya.

"Cewek-cewek genit mah dah biasa ngestalk atau dm gue." Komennya.

"Salah lo, Zel. Kalo Maya yang bakal ngegenitin dia baru deh mempan." Kala menimpali.

Galang menatap Kala sebal. Sudah dibuat obat nyamuk, sekarang nama gadis yang ia dambakan pun disebar. Memang kakak tak berakhlak.

Grizelle mengerutkan alisnya, berpikir.

"Maya siapa nih?" Tanyanya.

"FK, Maya bola." Kala menjawab.

"Oh...Maya yang itu. Bilang dong daritadi."

Gadis itu menatap Galang jahil sambil tersenyum tipis. Ia kembali sibuk dengan ponselnya. Tak menyadari Galang sudah gelagapan panik seperti anak SD yang rahasianya terbongkar.

Ponselnya bergetar. Ia melirik Grizelle curiga. Yang dilirik hanya tertawa jahil sambil mengisap minumannya.

Dengan ragu-ragu, dibukanya notifikasi instagram. Grizelle menge-tag namanya dalam postinga terbaru.

Grizelleamp Evening's out with my only ~ (Taken by fotografer amatir tapi handal @Galangkn)

Galang menghela nafasnya lega. Ia kira gadis itu akan menyebar yang aneh-aneh. Netranya kembali menatap dua insan di hadapannya. Ingin protes tentang penyalahgunaan privasi, namun getaran ponselnya kembali menarik perhatian.

@Mayandr is following you

Galang melebarkan matanya tak percaya. Dengan cepat, dibukanya profil yang baru saja mengikutinya di instagram. Dan benar. Maya yang ia kenal.

Ia lantas mendongak menatap Grizelle dengan mata yang berkilauan. Gadis yang ditatap itu mengerutkan alisnya, tak mengerti arti tatapan adik tingkatnya.

"Gila, calon kakak ipar gue kenapa cakep banget dah? Mata gue sampe silau liat lo, cakep luar dalem." Pujinya.

Sedang sepasang manusia di depannya saling bertatap aneh. Galang tak menghiraukan mereka. Ia fokus ke layar hp yang menunjukkan profil Maya dengan senyum miring terpancar di wajah.

Saatnya Galang 'Fuckboy' Ksatria beraksi.

---

Sudah beberapa kali kaki Dira manapaki tempat ini. Namun, waktu yang dipilih selalu malam. Tentu saja, karena tempat ini buka pada waktu malam. Kali terakhirnya adalah saat ia mabuk berat dan terlibat perkelahian akibat tingkah frontal Jey yang asal sentuh bagian privat orang.

Langkahnya mengikuti Pandu yang berjalan di depan, memasuki bagian klub lebih dalam. Ini kali pertamanya masuk sedalam ini ke tempat yang ia sebut tempat anak malam bermain. Ternyata, lebih kompleks dari yang ia bayangkan. Ketika memasuki pintu besi yang dijaga dua orang berbadan kekar, Dira melihat berbagai bilik cukup besar untuk disebut kamar. Di setiap pintu terdapat nomor. Matanya berkeliaran ke segala arah, seakan baru menemukan sisi lain dari dunia yang dua tahun ini dia masuki.

"Canggih gak sih?" Pandu berujar dari depan. Dira mengangguk antusias.

"Gila, ini tempat gue kira classy gara-gara yang dateng bussinessman semua. Tapi ya emang classy mampus for a hidden brothel (rumah pelacuran)."

Tak jarang mereka berpapasan dengan wanita-wanita berparas cantik dan bertubuh menawan dengan balutan kain bermerk mahal di tubuhnya. Tak terbuka, minimalis dan mengekspos sedikit bagian on point. Bisa Dira pastikan, tarif mereka di atas rata-rata.

Pandu mengetuk pintu merah maroon di ujung lorong. Seorang wanita, di bawah 30 tahun, membukakan pintu. Wanita itu mengenakan pakaian kerja normal, dengan jas dan sepatu haknya dan rambut yang ditata rapi tanpa make up berlebih.

"Hey, Pandu! Akhirnya dateng juga kamu."

Pandu tersenyum manis lalu menarik Dira, yang masih tersesat dalam pikirannya, masuk. Mereka menghampiri Marissa yang sudah duduk manis di sofa ruang kerjanya. Manik Dira otomatis berlarian menyusuri ruangan baru itu.

"Sorry, ya, kita gak janjian diluar. Malam ini ada tamu-tamu besar jadi aku harus stand by disini kalo ada masalah." Suara Marissa memecahkan konsentrasi Dira. Pemuda itu menoleh lalu membalas senyum Marissa.

"Oh, Dira. Ketemu lagi kita ternyata."

"Hehe, iya tante- eh-Kak maksud aku." Tangannya menggaruk tengkuknya malu sementara Pandu dan Marissa tertawa mendengarnya.

"Kalian udah pernah ketemu?" Pandu tiba-tiba bertanya melihat Marissa mengenali Dira.

Anggukan singkat menandakan Marissa mengiyakan.

"Kemarin waktu aku nganter kamu jenguk temen ke rumah sakit, Dira tiba-tiba datengin aku di mobil. Dia kira aku mama temennya katanya, soalnya mirip, ya, Dir?" Marissa berujar sambil menuangkan wine ke dua gelas tinggi di mejanya.

Dira tertohok mendengarnya. Ia belum sempat menceritakan hal ini ke siapapun. Akhirnya, pemuda itu hanya mengangguk sekenanya.

"Dira minum?" Tanya Marissa sambil mengangkat botol wine-nya, menawari. Dira mengangguk membalas.

"Temen? Siapa?" Pandu lanjut bertanya.

"Ada temen SMP. Nyokapnya mirip banget sama tan-eh-Kak Marissa. Cantik-cantik bule gitu deh." Dira menjawab sambil tersenyum menerima gelas berisi wine dari Marissa.

"Jadi sekalian bilang aku cantik?" Marissa menggoda dengan nada genit. Dira tersedak.

Kedua orang lainnya kembali tertawa geli dibuatnya. Pandu menepuk-nepuk punggung Dira pelan.

"Pelan-pelan, sayang itu wine mahal." Ujarnya dan mendapat tatapan membunuh dari sahabatnya.

"Tapi bener sih. Mungkin kalo aku ngejalanin hidup normal, pasti anak aku seumuran kalian sekarang." Marissa berujar sambil bersandar santai di sofa empuknya.

Kedua pemuda di ruangan itu hanya mengulum senyum datar, tak tau harus bereaksi apa.

"Anyway, udah pernah masuk ke tempat kayak gini, Dira? Atau ini kali pertama?" Wanita berhidung mancung itu menatap penasaran ke Dira.

"Kalo ke klub hampir tiap minggu sih, tan-eh Kak! Yaoloh sorry kebiasaan, Kak. Abis mirip banget sama nyokap temen."

"Hahaha, kamu nih lucu banget ya. Santai aja, kalo mau panggil tante juga gak papa kok. Emang udah tante-tante, sih. Tapi ngomongnya biasa aja, yang nyantai gitu kayak ke temen. Mau nanya apa aja juga boleh."

Marissa menuangkan kembali wine ke gelas Pandu yang sudah kosong.

"Oh ya, yang aku maksud tadi bukan klub kali, tapi brothel-nya." Ujarnya.

Dira hanya meringis malu. "Belom sih, Tan. Ini baru pertama kali. Keren juga, gak kayak yang di film-film gitu. Cewek-ceweknya kelihatan mahal semua." Dira berceloteh.

Kekehan singkat dilontarkan Marissa. Sejujurnya pun ia melihat Dira sebagai anaknya, karena umur, penampilan dan caranya berbicara. Sangat berbeda pembawaannya dengan Pandu.

"Iya, soalnya target pasar kita bukan mahasiswa yang dikasih uang bulanan doang macem kamu, Dir. Kita lebih ke pengusaha yang budget spent-nya udah 10 juta ke atas. Jadi ya, sumber dayanya harus mahal juga, dong?"

Anggukan setuju ditunjukkan Dira. Memang logis menurutnya, tapi tetap saja, ia masih takjub.

"Kalo Tante sendiri? Udah lama di bisnis ini? Kalo boleh nanya sih, kalo gak ya gak usah dijawab."Ujar Dira sedikit takut menyinggung.

"Santai aja, Pandu malah nanya lebih yang aneh-aneh loh waktu kali kedua ngobrol." Marissa sejenak melirik Pandu yang membalasnya dengan senyum miring.

"Hm, udah.... hampir 30 tahunan? Tante udah di bidang ini dari umur 18 sih, jadi ya..bisa dibayangin sendiri."

Dira mengut-mangut sambil berpikir. Ia lalu kembali menatap Marissa antusias, matanya berbinar seperti anjing yang haus akan camilan.

"Terus, terus, Tan, ee... gak pernah kecolongan hamil gitu?" Nada Dira sedikit memelan, ragu dan takut jika Marissa bisa tersinggung walaupun wanita itu sudah menyuruhnya untuk menanyakan apapun tadi.

Marissa menatap langit-langit kantornya sambil mengerutkan alisnya, terlihat berpikir dan mengingat-ingat masa lalu. Pandu diam-diam menatap wanita itu, ikut penasaran karena ia tak pernah melontarkan pertanyaan ini.

"Hmm.... pernah." Marissa mengangguk. Netranya kembali menatap Dira dan Pandu bergantian, menangkap sinyal ingin tau yang berlebih dari keduanya. Jemari lentiknya mengetuk-ngetuk gelas wine miliknya yang tinggal sedikit. Pikirannya pun melayang ke kejadian puluhan tahun lalu.

"Dari dulu, mungkin ini aneh buat kalian, tapi buat seorang pegawai seks, menjalin hubungan bahkan jatuh cinta sama seseorang itu hal tabu. Terutama buat kami yang memang gak ada tujuan hidup apapun dan ya memang suka seks." Marissa menjeda dengan menyesap sedikit minumannya.

"Dulu pernah ada seseorang yang suka banget sama Tante. Dia selalu dateng setiap malem kesini, nganterin tante pulang, makan siang bareng. Kayak pacar lah. Tante juga gak ngasih tarif ke dia karena ya memang tante sendiri juga suka. Sampe akhirnya kita pacaran."

Pandu dan Dira diam-diam menarik nafas panjang. Masih setia mendengarkan.

"Tante termasuk pekerja yang strict. Kalo mau book buat seks, you have to wear condom. Of course, kalo gak aku bisa buka panti asuhan dong? Banyak anak. Tapi beda kalo rasanya sama orang ini. He is not an outsider. Jadi, ya memang kita melakukan itu banyak kali. Tapi disitu masalahnya, cinta bisa bikin adiktif, lebih dari alkohol, dan bisa bikin kita jauh lebih bodoh dari mabuk gara-gara alkohol."

Dira mencoba mempertahankan senyum dan wajah penasarannya. Dalam hati, jantungnya sudah naik turun bergelombang tak karuan karena punya dua kemungkinan siapa pria ini dan apa kelanjutannya.

"Kita, kecolongan. Aku hamil. Tapi aku udah buat prinsip dari awal, I don't want to have a child. Jadi pilihannya cuma gugurin atau mau dia yang urus. Aku dengan senang hati mengandung sembilan bulan, tapi dengan syarat dia yang urus anaknya nanti. Dan aku gak bakal pegang peran jadi seorang ibu. Rahim aku fungsinya cuma wadah dia lahir aja, cukup."

Marissa sempat menangkap perubahan ekspresi Pandu yang ia sendiri tak pernh lihat dan tak bisa artikan.

"Dan orang itu ambil keputusan?" Tanya Dira dengan nada ragu namun penasaran.

"Dia mau urus bayinya. So, ya aku lahirin. Tapi setelah itu, dia hilang, aku juga hilang. Problem solved."

Baik Dira maupun Pandu tak ada yang mengeluarkan sepatah kata. Mereka menatap Marissa dengan tatapan berbeda, namun sama-sama tak bisa dibaca wanita itu. Senyum manis nan ramah masih terpampang di paras cantiknya.

"Aku tau, mungkin kalian berpikir aku jahat, gak pantas disebut ibu lah, gak punya hati lah. But I am. Jujur aja, kalo kamu mau bertahan di dunia ini, di bidang ini, kuncinya cuma satu. Gak pake hati. Itu aja."

Tangan Dira mengambil gelasnya dan menenggak habis wine di tangannya. Setengah hatinya bersorak ketika mendapat secercah informasi yang ia mau, namun masih tertinggal banyak ketidak jelasan disini. Ia merasa masih kurang.

Lalu dengan senyum serupa yang membuat lesung pipitnya tergambar, ia balik membalas tatapan Marissa.

"Gak kok, Tan. Mungkin memang itu yang harus dilakukan kalo udah kerja disini. Well, I can't relate but I do understand you."

Anggukan kecil dilihat Dira dari Marissa. Ia mengetukkan jarinya ke gelas, menimang ingin bertanya lebih lanjut adalah hal yang tepat atau tidak.

"Hm, Tan. Kalo aku nanya lagi, keberatan gak?"

Marissa menaikkan alisnya, namun mengangguk sebagai persetujuan.

"Jadi tante selama tiga puluh tahun kerja, cuma kecolongan sekali?"

Dira agak panik melihat Marissa memiringkan kepalanya dan menatapnya dalam diam. Ia menggigit bibir bawahnya, takut salah bicara.

"Eh..kalo gak mau jawab gak usah gak pa-"

"Seinget aku, haha, seinget...ya pasti inget sih. Dua kali." Kedua pemuda itu kembali merasa informasi baru yang diperoleh cukup terlalu banyak, namun memang ini yang diharapkan Dira.

"Tapi.... yang satu gak tau sih. Karena yang satu memang itu murni kecolongan, tanpa ada jalinan hubungan ada rasa. Yang satu ini orang luar, tapi dia kekeh minta aku pertahanin dan aku gak tau kelanjutannya dia bawa anak itu kemana."

Itu dia. Kala dan Galang. Dira sudah merasa penuh. Ia menyandarkan punggungnya di sofa sambil menghabiskan minumannya. Setidaknya, semua ketidakjelasan ini ada jawabannya.

Ia sejenak melirik Pandu yang sedari tadi terdiam dan hanya menjadi pendengar setia. Pemuda itu terlihat menopang dagunya dan menatap Marissa dalam hening.

"If.." Pandu akhirnya bersuara sehingga menarik perhatian Dira dan Marissa.

"If one day, you will meet your children, what would you do?"

Wanita yang ditatap Pandu terdiam. Senyumnya sejenak menghilang, pikirannya pun melayang. Namun, itu hanya berlangsung sepuluh detik.

"I told you. I don't want to have a child. I do not have children." Jawabnya sambil tersenyum manis seperti biasa namun berhasil membuat Pandu dan Dira cukup tercekik dari dalam membayangkan perasaan jika anak dari Marissa mendengarnya.

---