Dentuman musik menguasai seluruh indra pendengar Dira. Pandangannya berbayang, namun masih bisa melihat jelas teman-temannya yang juga menggila malam itu. Netranya mengeliling, mencari keberadaan duo sahabatnya, Pandu dan Galang, yang entah sejak kapan menghilang.
Tak pikir panjang, ia melanjutkan keseruannya bersama Aurel, Gavin dan Jey yang menggoyangkan badannya dengan heboh hingga menarik perhatian meja sebelah yang iri dengan kesenangan tingkat tinggi mereka.
"Nambah, Dir!" Aurel harus berteriak karena suaranya kalah dengan musik.
Dira ingin menggeleng, namun gelas kosongnya langsung dituangi cairan entah apa dari botol yang digenggam Aurel. Jujur, kepalanya mungkin sudah melayang saking tingginya ia saat ini.
"Cheers!" Jey mengangkat gelasnya tinggi, diikuti dengan beberapa cewek dari meja sebelah yang datang bergabung entak sejak kapan. Ia pun hanya mengikuti sulangan gelas dan langsung menegak habis cairan di benda kaca tersebut.
Belum sampai dua menit ia kembali menikmati musik, perutnya bergejolak. Dengan langkah gontai dan sempoyongan, ia berusaha membelah kerumunan menuju ke toilet terdekat untuk mengeluarkan isi perutnya.
Senyumnya merekah lega ketika akhirnya matanya yang kabur melihat sign toilet. Tanpa pikir panjang, ia asal berjalan memasuki salah satu lorong, namun ketika ia berjalan masuk, serangkaian teriakan khas perempuan menyapa gendang telinganya.
"Anjir! Dira! Ngapain lo di toilet cewek?!" Suara familiar seseorang menyapanya. Dira mengernyit bingung.
"Lo yang ngapain di toilet cowok?" Tanyanya balik dengan nada menyeret khas orang teler.
"Eh, lo kenal? Bisa tolong bawa keluar gak? Gak nyaman nih." Ucap seorang perempuan lainnya.
Kyra, si perempuan yang menyapa Dira tadi mengangguk lalu menarik cowok itu keluar. Dira hanya bisa mengerutkan alisnya bingung bercampur sudah tak tahan ingin muntah.
"Toilet cowok di sebelah, tuh!" Kyra menoleh dan sudah mendapati Dira berjongkok di taman depan toilet sambil mengeluarkan isi perutnya yang sudah tak bisa lagi ia tahan.
"Huekk..hah.. Ew!" Cowok itu sempat mengumpat, tak menyukai sensasi tak enak saat ia memuntahkan makanan dan alkohol keluar.
Kyra yang melihat itu menghela nafas. Ia lalu mencoba memijat lembut tengkuk Dira untuk mempermudah anak itu memuntahkan isi perutnya.
"Udah?" Tanya gadis itu ketika Dira tak lagi mengeluarkan suara.
Yang ditanya hanya mengangguk. Ia lalu menerima uluran tangan Kyra yang membantunya berdiri. Tanpa pikir panjang, ditariknya tangan itu menuju ke toilet cowok. Kyra yang melihatnya langsung mengerem.
"Mau kemana?!" Paniknya.
"Kencing." Ujar Dira santai yang ternyata masih setengah sadar.
"Masuk sendirilah! Gue kan cewek, Adirajada." Jawabnya. Dira pun hanya menghela nafas lalu berjalan masuk ke dalam toilet dibantu dengan tangannya yang meraba dinding sekitar untuk membantu tubuhnya yang masih tak stabil.
Seusai dengan urusannya, Dira dan Kyra berjalan kembali masuk ke klub. Rasa-rasanya jiwa haus party mereka masih belum terpuaskan. Kyra pun baru mencapai tahap tipsi, kurang rasanya jika ia tak sampai menumpahkan isi perutnya seperti Dira.
Namun, ketika masuk, bukannya suasana party seru yang mereka lihat di meja mereka sebelumnya, melainkan kekacauan yang terjadi dengan Jey dan Aurel serta Gavin berada di tengahnya.
Dira langsung menghampiri mereka dengan jalan belok-beloknya karena kepalanya masih melayang diikuti dengan Kyra yang was-was tak tau harus berbuat apa. Keributan di klub bukanlah hal yang bisa diatasi seorang perempuan.
"WOY! JAGA TUH TEMEN LO! MAIN NYOSOR AJA!" Teriak seorang cowok marah-marah ingin menghajar Jey sambil ditahan kawannya.
"YA SORRY, KAN TAU SENDIRI DIA MABOK!" Aurel membela tak terima namun tetap menamengi Jey yang masih memasang tampang tak berdosanya setelah mencium cowok yang marah-marah di depannya.
"YA TAPI MABOKNYA KELEWATAN!" Mereka berdua, Aurel dan korban cipok Jey, masih beradu argumen, sedangkan Jey di belakang masih menikmati dunianya sambil menganggukkan kepalanya sesuai irama musik dengan Gavin yang tadi sempat ikut menarik Jey sudah terkapar di sofa mereka.
"APA-APAAN SIH LO?!" Aurel makin meninggikan suaranya ketika cowok tadi terlepas dari tangan kawannya dan beralih mencengkram kerah bajunya.
"Sabar bos, sabar, ini juga mabok dianya." Kawan dari cowok itu mencoba memperingati Aurel yang terlihat emosi dengan kerahnya yang masih dicengkram paksa.
"YA INI LEPASIN MAKANYA TEMEN LO!" Aurel membentak, namun ternyata cowok itu bergerak lebih cepat, ia melayangkan tinjunya ke wajah Aurel hingga pemuda itu termundur.
"HEH MAIN PUKUL ABANG GUE AJA LO!" Dira tiba-tiba datang dan langsung menyerbu cowok yang meninju Aurel tadi dengan beberapa tinjuan bahkan cakaran.
Terlibatlah mereka semua dalam suatu perkelahian tak terhindarkan antara Aurel, Dira, cowok tadi dan temannya. Kyra yang melihat itu pun langsung mencoba menghubungi Pandu yang saat ini mungkin masih berada di klub.
"UDAH WOY!!" Kyra mencoba berteriak melerai tanpa ikut masuk ke dalam lingkaran perkelahian yang sudah menjadi pusat perhatian.
"Jey!! Bantuin itu temen lo pada berantem! Lo yang punya acara, kan?!" Kyra mencoba menggoyangkan bahu Jey yang masih asik bergoyang. Jey menatap Kyra malas, lalu mengalihkan pandangan halunya ke lingkaran pertikaian.
Dengan santainya, ia menarik Aurel yang tengah meninju kawan korbannya. Kemudian, ia melihat Dira yang berada di bawah cowok kekar, korbannya tadi. Ia mengerutkan alisnya tak suka melihat Dira mendapat beberapa bogeman mentah dari pemuda itu.
Dengan emosi, ia menarik rambut cowok itu hingga si pemilik keasakitan dan menoleh padanya.
Pandu yang baru saja tiba, seketika membelalakkan mata ketika kakaknya tengah menjambak rambut seseorang dan orang yang dijambak seakan ingin melayangkan tinjunya.
Namun, dengan gesit tangan lincah Jey menyentuh bagian yang seharusnya tak boleh terjamah, bagian bawah perutnya, organ paling berharga untuk seorang lelaki.
"BANG J-j....jey..." Panggilannya menggantung di udara. Pandu juga membeku seketika melihat tindakan Jey.
Sang korban itu pun langsung menghentikan tangannya yang ingin memukul Jey lalu membelalak kaget merasakan 'miliknya' digenggam kuat tangan Jey. Ekspresinya kaget dan tak tau harus berbuat apa diperlakukan seperti itu.
"Lo pukul temen-temen gue sekali lagi, abis masa depan lo di tangan gue." Ancamnya dengan nada tajam namun khas orang masih melayang akibat alkohol.
Semua orang yang melihatnya langsung ternganga. Jey memang ahlinya menakhlukan keributan dalam suatu acara. Tak pikir panjang, kedua pemuda asing tadi langsung pergi meninggalkan tempat sambil menatap Jey horror.
Selesai dengan urusannya, Jey memutar tubuhnya melewati Pandu, Kyra dan Aurel yang menatapnya shock.
Jey merangkul Dira yang sudah tergeletak di lantai, bukan pingsan gara-gara pukulan namun karena alkohol. Ia menoleh pada Pandu.
"Lo balik sendiri bisa, kan? Bawa mobil aja. Gue ke kosan bang Aurel sama yang lain."
"Bang, bangunin Bang Gavin gih, udah saatnya pulang. Mood turun nih." Jey berujar pada Aurel.
Mahasiswa tingkat 3 itu lalu merangkul Gavin yang juga tepar, dan menggandeng Kyra yang entah diam karena tipsi atau shock.
"Ati-ati pulangnya, Lang." Ujar Jey lalu berjalan dengan yang lain keluar klub.
Pandangan Pandu mengikuti komplotan itu dengan tatapan tak percaya.
"Yang mabok siapa, yang bilang ati-ati siapa." Gumamnya sambil geleng-geleng kepala.
---
Sinar matahari pagi membuat kelopak mata Dira bergerak, ingin terbuka karena merasa terganggu.
Pemuda itu membuka matanya yang lengket secara perlahan. Sekali kerjap, dua kalo kerjap, netranya mulai normal dan memandang jelas pemandangan langit-langit ruangan.
Ia mengernyit ketika pening cukup kencang menyerangnya langsung. Tangannya beralih memijit kepalanya pelan. Ia mencoba memperhatikan sekitar, menebak dimana gerangan ia tidur semalaman.
"BANGSAT! ASTAFIRLOH!" Tubuhnya langsung terjatuh meniban sebuah tubuh lainnya.
"ADUH ANJING, YAOLOH!" Suara orang yang ia tibani menyadarkannya kembali.
Aurel segera mendorong Dira yang berada di atasnya sehingga Dira meniban Gavin yang tidur di sebelah Aurel.
"YA YESUS! SAKIT GOBLOK!" Gavin ganti mengaduh.
"Beda sendiri lo bang nyebutnya." Ujar Dira yang sempat menanggapi.
"Ya kan gue kristen, goblok!"
"Lagian lo ngapain sih main jatoh-jatohan. Ini bukan saatnya friendship test yang kayak di youtube, Dir." Aurel mulai mengomel.
Dira lalu kembali ingat alasannya terjatuh. Ia mengalihkan pandangan ke atas kasur, Kyra masih tidur disana, di sebelah bekas tempatnya tidur semalaman.
"Siapa yang biarin gue tidur sekasur sama Kak Kyra?!" Hardik Dira.
Aurel dan Gavin mengernyit lalu menoleh ke kasur. Mereka juga sama-sama terkejut melihat Kyra terlelap disana.
"Ya Yesus! Siapa yang bawa tuh cewek kesini?!" Aurel berujar kaget. Pasalnya kosnya ini khusus laki-laki.
"Salah nyebut, goblok!" Gavin memukul belakang kepala Aurel hingga yang dipukul mengaduh.
"Lagian yang kemarin jalan sama lo kan si Jey!" Aurel menunjuk Dira.
Mereka lantas terdiam. Bergelut dalam pikiran masing-masing, mencoba mengingat-ingat kejadian tadi malam.
"Nah terus si Jey kemana?" Gavin menyuarakan pertanyaan yang juga bergelayut di benak dua orang lainnya.
"ASTAGA!!!! KOK GUE DISINI?!" Sebuah suara berasal dari kamar mandi.
Mereka bertiga pun tergopoh-gopoh melihat ke kamar mandi. Dan menemukan Jey yang duduk bersandar di lantai kamar mandi kos Aurel bertelanjang dada.
"Nih anak kenapa bisa nyasar tidur disini?" Aurel bergumam linglung, semua yang ada disana pun juga menerawang, hilang arah dan tak bisa mengingat apapun.
"Dia yang minta, yaudah gue biarin...hoamm" Suara Kyra mengintervensi dari belakang.
Para lelaki pun menoleh cepat ke arahnya.
"Kok.. lo gak shock apa teriak gitu sih, Ra?" Gavin bertanya, tak habis pikir melihat juniornya santai-santai saja.
"Ya orang ternyata cuma gue doang yang sadar tadi malem. Satpam kosan tidur, terus pas masuk kamar, lo sama Bang Aurel main tidur di lantai, Dira nemplok ke kasur, Jey udah masuk kamar mandi terus tidur disana gara-gara adem katanya." Jelasnya.
"Terus kenapa lo ikutan tidur disini?" Dira kali ini bertanya.
"Kosan gue udah digembok lah. Yaudah sekalian aja, tenang aja, Dir. Gue gak ngapa-ngapain lo, kali. Kalo udah ngapa-ngapain juga pasti lo gak bisa berdiri sekarang." Kyra tersenyum jahil sambil menatap Dira menggoda. Yang ditatap hanya bergidik ngeri.
Keheningan mereka buyar oleh suara pesan masuk di hp Dira. Si empunya ponsel segera memeriksa pesan itu, lalu dengan tergesa membereskan barangnya.
"Mampus Dira mampus~" Gumamnya sambil sibuk membereskan barangnya yang berserakan.
"Gue pulang dulu kakak-kakak sekalian. Bapak negara sudah bertanya. Samlekum!" Ujarnya lalu keluar.
"EH! Gue juga!! Tungguin, Dir!" Kyra terburu-buru keluar kamar Aurel tanpa pamit.
Namun ketiga insan di kamar tak mengindahkan karena kembali menempatkan diri di posisi ternyaman untuk tidur.
---
Kyra dengan licinnya berhasil membuat Dira percaya jika kosnya searah dengan jalan pulang Dira sehingga mereka menaiki bus kota bersama. Tak sempat menemukan taksi di sekitar gang kosan Aurel.
Kini mereka tengah berdiri di bus jurusan terakhir. Kondisi bus yang tak biasanya ramai di hari Minggu.
Kyra berdiri di depan Dira, tubuh mereka pun berhimpit saking penuhnya bus hari itu. Kyra mengernyit ketika pahanya terasa diraba dari samping.
Ia menoleh curiga ke bawah, dan benar saja, tangan lelaki yang berhimpit di sebelahnya mengambil kesempatan untuk meraba pahanya.
Tangannya terlepas dari pegangan bus ingin meninju langsung orang itu, namun gerakannya tertahan ketika Dira tiba-tiba menyempil di antara mereka dan mendorong laki-laki itu sengaja hingga terjatuh dengan pantatnya.
"Eh, sorry not sorry, busnya gerak." Alibi Dira tanpa tampang bersalah melihat efek domino yang ia timbulkan di samping dan tatapan tajam orang-orang yang ikut terjatuh karenanya.
Kyra menatap pemuda itu cukup takjub. Dira lalu lanjut menariknya dalam diam, menukar posisi mereka, menjadikan Kyra bersandar di jendela bus sedangkan Dira berada di depannya, seakan memanfaatkan tubuh besarnya sebagai tameng.
Gadis itu tersenyum singkat di belakang. Ia tau Dira tak benar-benar terjatuh tadi. Bus berjalan dengan normal dan mulus, bahkan sangat lambat sehingga mustahil baginya untuk kehilangan keseimbangan.
Akhirnya mereka bisa terbebas dari sumpeknya bus ketika turun di halte terakhir menuju rumah Dira. Dua insan itu berjalan beriringan. Kyra dengan konsisten melayangkan gombalan-gombalannya yang membuat Dira akhirnya tertawa geli melihat tingkah genit seniornya itu. Awalnya ia geli, tapi lama-lama, makin didengar makin menghibur.
"Kosan lo beneran kesini? Ini udah masuk kompleks rumah gue lho, Kak. Setau gue gak ada kos-kosan tuh disini." Dira menatap gadis itu mulai curiga ketika mereka memasuki gerbang kompleks.
Kyra melirik sekitar, ia saja tak tau ini daerah mana. Sejak tadi, bibirnya terlalu asik mengumbar jiwa tante-tante kurang belaiannya dan tak sadar sudah berjalan sejauh apa.
"Hm.. gue sebenernya mau mampir sekalian ke rumah tante gue hehe." Alibinya.
Dira makin mengerutkan alisnya ketika Kyra melangkah memasuki gang rumahnya. Ia lantas berhenti mendadak dan membuat gadis itu mau tak mau juga ikut berhenti.
"Modus ya lo? Kalo tante lo tinggal di gang ini, gue kenal dong. Coba tante lo namanya siapa?"
'Shit.' Kyra membatin.
"Hm.... Tante.... Tante Dewi!" Ujarnya lantang dan asal. Kerutan di alis Dira yang tak menghilang sontak memberinya jawaban kalau tak ada yang namanya Dewi di dekat sini.
"Ck, gue sih manggilnya tante dewi. Gatau deh tetangga. Tuh rumahnya." Ia menunjuk asal satu rumah. Dira pun mengikuti arah telunjuk Kyra. Ia lalu menghela nafas pasrah.
"Terserah deh, masuk duluan sana." Dira berujar.
"Lo dulu lah. Nanti diculik orang lagi, terus hati gue nanti mau ditaro dimana kalo lo ilang?" Ujar Kyra dengan senyum tipisnya.
Dira menaikkan sebelah alisnya. Pasti mau gombal lagi, batinnya.
"Hubungannya apaan sama hati lo?" Jawabnya, mencoba membuka celah agar cewek itu bisa meneruskan gombalannya. Tak dipungkiri ia pun juga ingin mendengar kelanjutannya.
"Ya... lo kan yang punya. Kalo lo ilang, hati gue gak ada yang jaga dong, CIEEEE.." Kyra mengakhiri kalimatnya dengan tawa lepas namun pipinya memerah sendiri.
Dira otomatis ikut tertawa geli sambil geleng-geleng kepala mendengarnya.
"Geli deh lo, Kak. Yaudah gue masuk dulu." Ujarnya lalu berbalik mulai melangkah memasuki pekarangan rumah. Namun belum sempat ia membuka pagar, Kyra kembali memanggil.
"Eh, Dir! Bentar deh." Dira pun kembali menoleh dan melihat Kyra menghampirinya.
"Kenapa lagi?" Ia menatap aneh Kyra yang mengangkat dagunya, memutar wajah manis Dira ke samping kanan dan kiri sambil mengamati dengan teliti, seperti sedang mencari sesuatu di wajahnya.
"Muka gue ada apaan sih?" Dira akhirnya ikut meraba wajahnya sendiri.
"Tadi gue liat...dari jauh kayak ada sesuatu gitu di muka lo."
Gadis itu lalu berhenti dari kegiatannya, dan beralih mengusak rambut Dira yang lebih tinggi darinya.
"Gak jadi. Ternyata ada masa depan gue tadi sekilas di mata lo. CIAA!" Ujarnya sambil tersenyum lebar tanpa rasa bersalah.
Dira seakan membeku, speechless. Menatap shock kakak tingkatnya sambil menganga.
"Anjir, niat ya lo gombalnya, Kak." Komentarnya sambil mengut-mangut terpaksa.
"Hehehe...yaudah gih masuk. Bau alkohol lo." Titahnya, Dira mencibir.
Ketika telah menutup pagar, cowok itu menatap Kyra sekali lagi, lalu tersenyum miring.
"Ati-ati, Kak."
"Di jalan?"
"Ati-ati ntar nyasar kejauhan di hati gue."
Timpal Dira sambil tersenyum geli lalu lekas masuk ke rumah. Ia tak sempat melihat wajah merah bak kepiting rebus milik Kyra atas efek samping ucapannya barusan.
Dira berjinjit, membuka pintu utama rumahnya perlahan supaya tak menimbulkan bunyi yang mengundang perhatian. Ia menggigit bibirnya, berusaha untuk masuk tanpa ketahuan.
"Adirajada!"
Matanya memejam terpaksa, helaan nafas pasrah terdengar dari mulutnya.
'Mampus gue.' Batin Dira.
Ia mengalihkan pandangan ke arah sumber suara, ayahnya sudah berdiri di ruang tamu, tangan kanannya meremat koran yang sebelum Dira datang sudah ia baca tiga kali. Matanya menatap anak semata wayangnya datar namun kekelaman dalam manik itulah yang membuat bulu kuduk Dira berdiri.
"Darimana aja kamu?" Suara bariton ayahnya menusuk gendang telinga Dira saking tajamnya.
Pemuda itu hanya menunduk dalam diam. Tak berani menjawab apapun, jujur akan membunuhnya langsung, bohong akan membuka jalannya menuju maut. Dua-duanya sama saja akhirnya. Maka seperti kata pepatah, diam adalah emas untuknya saat ini.
"Ditanya sama orang tua itu dijawab! Semaleman gak pulang, giliran nongol bau alkohol sama rokok dimana-mana." Nada bicara ayahnya kian meninggi membuat degup jantung Dira yang tadinya sempat turun setelah gombalan Kyra kini kembali meningkat.
"Ma..ma-af, Pa." Ujarnya mencicit.
Lelaki payuh baya itu mengenyit, tak mendengar jelas ucapan putranya. Ia lantas melangkah perlahan ke arah Dira. Namun baru dua langkah, pemuda itu terlihat melangkah mundur menjauh hingga tubuhnya membentur tebok di belakangnya.
"Kenapa mundur? Takut?" Suara itu kembali merendah namun disitulah letak ngerinya di telinga Dira.
Ayahnya berjalan makin mendekat hingga sekarang sudah berada di hadapannya. Dira menahan nafas dan menutup mata ketika melihat tangan berurat ayahnya mencengkram kaos bagian atasnya, sehingga membuatnya sedikit berjinjit. Ia dapat merasakan nafas sang ayah menerpa wajahnya.
"Udah saya bilang, kalau main malem-malem, pulangnya harus di bawah jam 11. Kalo ngelanggar, gak usah pulang sekalian. Tuli kamu?"
Nafas Dira memburu panik. Mendapati jaraknya dan ayahnya yang amat dekat membuatnya ketakutan setengah mati karena ia tak dapat melarikan diri seperti biasa.
Ia tercekat ketika tangan ayahnya beralih mencengkram rahangnya, membuatnya mau tak mau mendongak dan membuka mata. Maniknya langsung disapa netra kelam ayahnya yang menatapnya tajam dan kalap.
"Di-dira... kan... memang gak pulang, Pa, se-semalam." Ujarnya terbata.
Ia menunggu reaksi ayahnya, namun beberapa detik ayahnya diam dan hanya menatapnya tajam tanpa pergerakan sedikitpun. Diam-diam ia menghela nafas.
BUGH!
Dira terlempar ke lantai ketika bogeman mentah dari ayahnya mengenai tepat di pinggir bibirnya. Cairan amis berwarna merah otomatis keluar dari lukanya. Tangannya secara refleks melindungi kepala ketika ayahnya mulai mendatanginya dan menghadiahinya beberapa pukulan dan tamparan di wajah tanpa ampun.
"Dasar anak gak tau diuntung!"
BUGH!
"Kamu itu harusnya sadar, cuma kamu penerus perusahaan keluarga! Tapi kelakuan udah kayak anak liar!"
BUGH!
"Harusnya kamu yang mati waktu itu! Bukan kakak kamu!"
PLAK!
"Papa! Cukup! Apa-apaan kamu!" Suara wanita seketika menghentikan pukulan sang ayah. Wanita itu menarik tubuh kekar suaminya dan menatapnya tajam.
Ia lantas menghampiri Dira yang masih melindungi kepalanya dan terlihat bergetar.
"Sayang, kamu gak papa? Coba bunda lihat mukanya." Ujarnya lembut. Dengan pelan ia menurunkan tangan Dira. Helaan nafas sedih dihembuskan wanita itu ketika melihat wajah Dira sudah luka di beberapa bagian, belum lagi mata anaknya yang sudah basah, menangis.
"Ke kamar, ya? Bunda obatin."
"Bela terus aja dia! Kamu kebiasaan manjain anak, jadinya lembek kayak banci. Dikerasin dikit nangis! Coba kalo Dika yang ada di tempat dia, pasti bakal tahan sekeras apapun aku pukul."
Sang ibu menatap suaminya tajam, tak habis pikir dengan pemikirannya.
"Kamu kenapa sih, Mas! Buka gitu caranya ngajarin anak! Ini namanya udah kekerasan."
"Ini cara orang tua aku ngajarin aku hingga bisa jadi seperti sekarang! Dira itu terlalu lemah, dia perlu dikerasin! Kalau Dika ada disini, dia juga pasti setuju!"
"Kak Dika udah mati, Pa! Stop bandingin aku sama dia! Aku ini anak Papa, bukan samsak tinju!" Dira tak tahan lagi. Ia akhirnya berdiri setelah berkata demikian dan keluar meninggalkan ruang tamu. Tak dihiraukannya teriakan dan makian sang ayah dari dalam.
Namun, langkahnya terhenti ketika ia keluar dari pagar rumahnya. Netranya yang masih basah menatap Kyra yang juga menatapnya khawatir. Ia melirik pintu rumahnya yang terbuka, Kyra pasti bisa mendengar keributan tadi.
"Sejak kapan lo ada disitu, Kak?" Tanyanya.
Gadis itu terlihat menggigit bibir bawahnya dan menatap Dira ragu.
"Hm...sejak lo... masuk." Diamatinya wajah Dira yang terluka di beberapa bagian dan mengeluarkan darah. Belum lagi pipi dan mata pemuda itu yang basah, bekas air mata.
"Lo.. gak papa, Dir?" Tanyanya sungguh-sungguh khawatir.
Dira tak menjawab. Beberapa saat terlewati. Mata pemuda itu menatap Kyra kosong. Gadis itu makin panik dibuatnya. Ia mencoba mendekati pemuda itu dan menggoyangkan bahu lebarnya pelan.
"Dir?" Dira masih tak bergeming.
"Dir?"
" Dir!" Dira mengerjap cukup cepat ketika gadis itu menggoyangkan bahunya dengan agak keras.
"Oh! Kak, sejak kapan disini..hehe." Alis Kyra seketika menyatu mendengar ucapan Dira.
Hatinya berdenyut aneh ketika Dira telah tertawa kecil sambil tersenyum bodoh, seperti ia yang biasanya. Seperti tak pernah terjadi sesuatu yang menyakitkan sebelumnya. Seperti, orang yang tak waras.
"Cari bubur yuk, Kak? Laper nih gue! Udah karokean gini cacing di perut." Pemuda itu menarik tangan Kyra dan berjalan menjauhi rumahnya.
Namun, Kyra menghentikan langkah mereka dan membuat Dira menoleh.
"Lo gak oke. Liat tuh muka lo, masa iya kita jajan bubur pake muka bonyok gitu."
Si junior meringis ketika menyentuh wajahnya yang terluka, namun kemudian berdecih.
"Ck! Udah biasa ini mah, kecil. Ke apotek bentar deh kalo gitu, yuk! Keburu tutup nih warungnya."
Kyra hanya menghela nafas pasrah ketika Dira kembali menariknya untuk berjalan entah kemana. Ia menatap punggung Dira prihatin sekaligus khawatir. Senyum anak itu seakan menipu semuanya, karena dibaliknya, ada sakit yang tak diperlihatkan ke yang lain.
*To be continued*