Galang meregangkan otot-ototnya yang berteriak tak karuan setelah dua jam duduk tak bergerak mengerjakan soal UTS.
Otaknya seakan sudah dalam kapasitas maksimum sehingga siap meledak kapan saja. Denyutan tak nyaman menghampirinya semenjak ia membuka soal fisika dasar yang pertama.
Pijatan ringan tiba-tiba didapatkannya dari belakang.
"Otak lo papa gak tadi? Susah tuh." Dira, si tukang pijat sukarela langganannya berucap.
"Ck! Lo aja bilang susah apalagi gue. Ngulang nih kayaknya."
"Belom UAS udah prediksi ngulang aja lo. Justru kalo UTS udah kerasa gak bisa, ya di UAS lo harus perbaiki."
Pandu berujar di sampingnya, badannya bersandar ke pintu kelas sambil melipat tangannya di depan dada.
Galang hanya memutar matanya malas. Gampang saja mengatakan hal itu dari mantan seorang murid teladan di SMA.
"Ikutan tutor aja gih. Daftar di akademik, yang nutor katanya dijamin enak dan gampang dimengerti." Pandu menambahkan.
Helaan nafas berat terdengar dari Galang. Inilah susahnya ketika berteman dengan orang-orang yang murni jenius dari lahir. Sedangkan dirinya? Hanya jago di bidang non akademis.
Masih sebuah misteri juga bagi dirinya yang diterima masuk di jurusan tersulit nomor 3 ini.
"Yaudah, temenin gue lah."
Dira dan Pandu mengerutkan alisnya bingung.
"Kemane?" Tanya Dira yang masih memijit pundak sahabatnya.
"Akademik. Katanya disuru daftar tutor?"
Secara otomatis, kedua sahabatnya memasang tampang datar, menatapnya penuh hujatan.
Alis Galang menggantung sebelah.
"Apa sih?"
Dorongan pelan di kepalanya didapat dari Dira. Sedangkan si empunya kepala menatap Dira kesal bercampur bingung.
"Ya gak sekarang, Zaenab! Belom buka juga, daftarnya pas mau deket-deket UAS. Tolol ih!"
Mata tajam Galang menghujani Dira dengan tatapan paling membunuh.
"BANGS-"
"Eh, Galang?"
Sebuah sapaan lembut menghentikan sesi mengumpatnya.
Wajah garang miliknya tiba-tiba melembut seperti kucing baru lahir serta senyuman manisnya terpasang secara otomatis.
"Eh... Kak Maya hehe."
Maya, gadis yang berhasil menginterupsi perang tiga sahabat itu tersenyum geli.
"Mau ngapain jauh-jauh ke teknik, Kak? Jangan-jangan....."
Wajah Galang berubah tengil dan genit.
"Bukan ketemu kamu. PD bener."
Jawaban Maya seketika memancing tawa ledek Pandu dan Dira di sampingnya.
Galang pun hanya cemberut sebentar dibuatnya. Lalu melanjutkan lagi kesempatan PDKT-nya.
"Terus mau kemana, Kak?"
"Mau ke kantor TU kamu. Mau pinjem ruangan buat meeting klub bola."
Galang pun hanya mangut-mangut mengerti.
"Yaudah, aku anterin aja, Kak. Ntar nyasar lagi. Bahaya loh kalo cewek cantik nyasar di teknik mesin. Nanti diterkam buaya."
Pandu dan Dira yang di masih disana pun memasang muka seakan ingin muntah mendengar Galang.
"Kayak yang lagi ngomog itu, Kak!" Dira menimbrung yang langsung dihadiahi tatapan mematikan Galang.
"Gak usah. Udah ada-"
"Gue!!"
Sebuah suara nyaring terdengar dari seberang koridor. Kyra berjalan dengan cepat ke arah mereka. Dira pun beranjak bersembunyi di balik Pandu. Traumanya akan senior satu ini belum hilang.
"May, bilang ke gue lo diapain mereka?? Emang anak mesin gak bisa dipercaya kalo liat cewe bening lewat."
Maya hanya tertawa geli lalu menjawab.
"Gak diapa-apain, Ra. Galang kan anak bola juga."
Galang mengangguk antusias, menyetujui.
"Gue aja deh kak yang nganter Kak Maya. Sekalian mau ke akademik juga nih, kan searah?"
Kyra memicingkan matanya curiga.
"Atas dasar apa gue bakal biarin lo nganter Maya?"
Mata Galang mengarah ke sekitar. Berpikir. Netranya lalu berhenti pada Dira yang juga menatapnya penuh hujatan seakan berkata 'Gue bunuh lo kalo bilang gue ada disini!'
Namun senyum penuh kemenangan terpampang di wajah Galang yang membuat Dira menangis dalam hati.
"Tuh. Ready buat digodain."
Galang berujar sambil menunjuk Dira yang masih bersembunyi di belakang Pandu.
Kyra melongok ke belakang Pandu, senyum jahilnya level maksimum keluar.
"Ehm... May, lo sama Galang aja ya. Gue ada urusan urgent nih."
Galang menatap Kyra dengan penuh tatapan kemenangan negosiasi. Sedangkan Dira makin meremat kemeja belakang Pandu.
"Gak usah deh. Gue kan tau ruangannya sendiri." Maya berujar.
"Jalan biasa ke akademik banyak yang ditutup loh, Kak. Lagi ada perbaikan soalnya. Jadi harus muter dulu. Lagian udah mau jam maksi, keburu tutup nih." Galang beralibi.
Maya terlihat menimang-nimang tawaran Galang sambil melirik jam tangannya.
"Hmm, yaudah deh. Awas ya lo kalo bohong."
Senyum Galang makin melebar seakan terlihat bibirnya akan sobek saking lebarnya.
"Siap, Bos. Galang Ksatria Prasaja terkenal akan kejujurannya dan kemurnian hatinya. Tenang aja. Yuk!"
Galang dan Maya berjalan menjauh. Dari kejauhan terdengar Kyra yang memulai sesi menggodai Dira yang mengundang tawa kecil Galang.
---
"Oke.... Nice.... Sip....Tahan..."
Kala bergumam sambil terus membidik model di hadapannya dengan kamera profesionalnya. Weekend adalah waktu yang tepat baginya untuk melakukan pemotretan karena tak akan ada kelas yang mengganggu.
"Backgroundnya bisa ganti warna item aja? Sama lighting-nya tolong terangin dari kanan, kirinya redupin dikit." Titahnya sopan pada kru siang itu.
Para kru pun mulai melaksanakan permintaan Kala, sementara para make up artist memanfaatkan waktu itu untuk retouch make up si model.
Kala menghembuskan nafas kasar. Tangan kirinya menekan-nekan perlahan bagian ulu hatinya yang sejak tadi pagi nyeri tak karuan sementara tangan kanannya masih memegang kameranya hati-hati. Alis lurusnya pun ikut mengernyit ketika merasakan ngilu itu tak mereda sedikitpun.
"Kal, segini cukup?" Seorang kru berteriak dari balik lampu.
Netra Kala melirik bagian tersebut lalu mengangguk pelan sambil terus mengernyit dan memijit bagian dadanya. Ketika menyadari semuanya sudah kembali ke posisi dan siap, Kala menarik nafas dalam dan mengangkat kameranya untuk melanjutkan photoshoot.
Sepuluh menit kemudian sesi untuk outfit kedua selesai. Kala memeriksa foto terakhir yang diambilnya lalu memberikan instruksi bagi model untuk berganti ke next outfit.
Konsep berikutnya cukup kontras dibanding sebelumnya sehingga butuh waktu kurang lebih setengah hingga satu jam untuk menyelesaikan persiapan. Setidaknya Kala memiliki waktu untuk bernafas dan istirahat.
Ia menjatuhkan pantatnya ke kursi di ujung ruangan. Kameranya diletakkan dengan hati-hati di meja depannya. Dengan leluasa, dipijitnya kembali bagian ulu hatinya yang masih terasa sakit, sambil mencoba mengatur nafas. Keringat dingin telah mengalir sejak awal pemotretan.
Badannya bersandar pada sandaran kursi. Sambil terpejam, ia terus memijit bagian yang sama selama 10 menit. Decakan kesal dilontarkannya karena tak merasakan ngilu yang berkurang.
Matanya terbuka ketika mendapati seseorang tengah memijit kepalanya dari belakang. Tanpa menoleh pun ia mengenali sosok itu dari wangi parfumnya.
"Ngapain? Kan weekend."
Gavin, si pemijit amatir, tersenyum tipis sambil terus memijit pelan kepala sahabatnya.
"Bonyok lagi keluar kota, ada bisnis trip. Gabut deh gue."
Kala hanya bergumam menanggapi. Matanya kebali terpejam, menikmati pijatan Gavin.
"Tinggal berapa outfit lagi?" tanyanya.
"Hm... ini yang terakhir. Konsepnya paling beda jadi prep-nya la- bangsat!"
Kala mengakhiri kalimatnya dengan decakan kesal. Nyeri di ulu hatinya kembali menyerang lebih kuat, mengharuskannya untuk menekan-nekan pelan bagian itu. Gavin yang mendengarnya pun ikut memperhatikan.
"Kenapa lo?"
"Tau, nih. Dari tadi pagi sakit gini. Berubah sakit jatung apa ya gue?"
"Hus! Ngawur banget kalo ngomong. Lagian jantung di kiri kali bukan di tengah gitu." Gavin melihat Kala terus menekan bagian ulu hati, di tengah dadanya.
"Udah minum obat?"
Gelengan singkat dari Kala ganti membuat Gavin yang berdecak kesal. Netra hitamnya mengitari sekitar, mencari tas sahabatnya. Ia lantas mengambil tas itu ketika menemukannya berada di tengah ruangan.
Namun setelah beberapa saat, tak kunjung ditemukannya botol obat itu.
"Lo gak bawa obat?"
Kala kembali menggeleng. Gavin pun menghela nafas kasar. Kebiasaan sahabatnya: mengabaikan barang yang penting.
"Yaudah, gue ke apart lo buat ngambil dulu."
"Gak usah."
Langkah Gavin tertunda mendengar jawaban Kala. Ia menaikkan alisnya bingung.
"Abis ini temenin gue ke RS aja sekalian. Jadwal transfusi."
Gavin makin mengernyitkan alisnya.
"Lah... bukannya jadwalnya kemarin?"
"Lupa gue."
"Gak usah ngomel, nanti malah pusing guenya."
Kala menambahkan cepat ketika melihat Gavin yang sudah mulai membuka mulutnya, ingin memarahi dirinya. Mendengar itu, yang bisa dilakukan hanya mengalah dan menunggu. Kala yang tak mendengar Gavin bereaksi pun menunjuk kepalanya, kode untuk Gavin melanjutkan pijitannya. Tak ada alasan bagi lelaki itu untuk menolak, karena hanya itu yang bisa dilakukannya.
Dengan sabar dan telaten, Gavin memijit pelan kepala Kala. Jika tak biasa melihat kedekatan dua sahabat itu, pasti orang akan mengira mereka adalah sepasang kekasih. Tak jarang model atau kru yang baru pertama bekerja dengan Kala berpikiran demikian. Mereka pun hanya tersenyum ketika menanggapi komentar-komentar tersebut.
Setelah dua jam, akhirnya pemotretan hari itu selesai. Gavin langsung menarik Kala yang sudah selesai membereskan barang-barangnya. Mereka berjalan ke arah mobil Gavin. Kala pun juga tak melakukan perlawanan saking lemasnya tubuh saat itu.
Tak dipungkiri, pandangannya sudah memburam ketika berjalan ke arah mobil dan bisa dipastikan tubuhnya akan jatuh jika saja Gavin tidak langsung mendudukkannya di kursi samping pengemudi.
Mata Kala sudah terpejam, alisnya pun sudah menyatu, mengernyit kesakitan. Tangannya menekan bagian dadanya, dimana rasa ngilu itu bersarang.
Gavin yang sudah duduk di kursi kemudi menelisik sahabatnya itu khawatir. Dengan cepat, dipasangkannya seatbelt untuk Kala. Tanpa menunda, ia langsung menginjak pedal gas menuju rumah sakit.
"Telat transfusi sehari doang masa sampe kayak gini parahnya, sih?" Gumam Gavin panik.
---
"Nanti ini dibawa waktu konsul ke Dokter Fadli ya. Tiga antrian lagi bisa masuk kok." Ujar seorang perawat memberikan selembar kertas hasil tes darah Kala.
"Oke, Sus. Terima kasih." Gavun berujar sambil tersenyum ramah.
Ia lalu kembali melangkah mendekati Kala yang tengah duduk sambil memejamkan matanya, entah tertidur atau lelah setelah melakukan transfusi darah rutinnya.
Gavin menghela nafas pelan. Ia lantas mengeluarkan hpnya yang sedari tadi bergetar, tanda banyak pesan masuk yang sempat tak dihiraukan.
Ia pun tak terkejut melihat pengirim adalah Grizelle. Saat menunggu Kala transfusi, ia sempat mengabari seniornya mengenai kondisi Kala yang otomatis membuat gadis itu menggila. Grizelle tidak bisa datang langsung secepat kilat seperti biasa karena tengah berada di Barcelona untuk job-nya.
Gavin dengan cepat mengambil foto Kala yang masih dalam posisi yang sama, untuk dikirimkan pada Grizelle. Namun, tersentak kaget ketika tiba-tiba Kala membuka matanya saat ia menekan tombol kamera.
Udah kayak orang sekarat mampus tanpa lo.
Tulis Gavin setelah mengirimkan foto Kala pada Grizelle. Setelah memastikan chat-nya terkirim, Gavin kembali mengantungi hpnya dan melirik Kala. Lelaki itu kembali memejamkan matanya.
"Ngirim apaan lo ke Grizelle?" Kala berujar, masih dalam posisinya.
"Ada deh. Gak usah posesif." Balas Gavin singkat yang hanya dibalas dengusan lemah Kala.
"Kalandra Putra!" Gavin menoleh ketika seorang perawat memanggil nama sahabatnya. Ia lalu menepuk pundak Kala agar pemuda itu mengikutinya untuk masuk ke ruangan dokter.
Dokter Fadli tersenyum ramah seperti biasa menyapa Kala dan Gavin. Netra lelaki berumur 40 tahunan itu meneliti lembar pemeriksaan Kala yang dibawa Gavin. Fokusnya pun beralih pada layar komputernya yang menampilkan riwayat kesehatan Kala.
"Ada keluhan, Kala?"
"Belakangan ini saya sering sekali pusing, Dok. Sampe pandangan sering kabur. Dan baru tadi pagi rasanya ulu hati nyeri sekali."
"Obat diminum rutin?"
"Obatnya aja ditinggal di rumah, Dok." Gavin menjawab dengan cepat sebelum Kala berhasil berargumen.
Dokter Fadli menghela nafas pelan. Ia lalu mengambil stetoskop dari laci mejanya dan berdiri.
"Coba, tidur dulu disana. Saya periksa sebentar."
Disana, dokter Fadli mulai memeriksa Kala, mulai dari mengukur detak jantungnya, menekan bagian-bagian tertentu di dadanya dan memastikan bagian yang menurut Kala menjadi sumber rasa ngilunya.
"Ini ada sejak kapan?" Tanyanya menunjuk memar yang ada di bagian dekat ulu hati.
"Hm... semingguan, Dok." Jawab Kala seadanya.
Selesai dengan semua periksaannya, dokter itu mempersilahkan Kala kembali duduk. Ia menulis beberapa catatan di bukunya dan mengetikkan sesuatu di komputernya.
Setelah selesai, pria paruh baya itu melepas kaca matanya dan menatap Kala serta Gavin serius. Kedua pemuda di ruangan itu pun juga merasakan suasana yang menegang seketika.
"Anemia aplastik Kala memang sudah kronis sejak SMA. Namun karena memang belum diketahui sampai sekarang apa yang memicu timbulnya anemia di badan kamu, kami juga belum menemukan pengobatan yang cocok dan tepat dibutuhkan."
Dokter itu menjeda, sambil melihat kembali catatan medisnya.
"Sepertinya transfusi juga tidak memperlihatkan improvement yang berarti. Dan dari keluhan kamu belakangan ini, ada indikasi komplikasi."
Gavin mengerutkan alisnya panik bercampur bingung. Sedangkan Kala hanya menyimak dengan tenang walaupun hatinya berdesir gugup.
"Komplikasi yang bagaimana dok maksudnya?" Gavin bertanya.
Dokter Fadli menghela nafas cukup kencang. Terlihat dokter itu juga khawatir akan kondisi pasien lamanya.
"Ada dua kemungkinan. Bisa jadi Pansitopenia, bisa mengarah ke infeksi atau pendarahan dalam. Bisa juga Mielodisplasia. Yang saya takutkan adalah mielodisplasia, karena ini adalah sebuah sindrom akibat transformasi keganasan yang masih langka sebenarnya hingga sekarang. Namun sangat bisa berkembang menjadi leukimia."
Baik bahu Kala maupun Gavin terlihat menurun, lemas sekaligus hopeless ketika mendengar penuturan Dokter Fadli. Gavin menggigit bibir bawahnya, berpikir dalam keterkejutannya.
"Lalu, apa yang bisa dilakukan sekarang, Dok?" Tanyanya.
"Kita tunggu hasil labnya seminggu lagi. Kalau memang benar, Kala harus transplantasi sumsum tulang belakang. Kita harus cari donor yang cocok, biasanya dari orang tua atau saudara kandung."
Gavin mengangguk mengerti. Setelah menerima resep dan menebus obat, mereka berdua melangkah keluar dari rumah sakit. Selama berjalan menuju mobil pun tak ada yang bersuara sama sekali.
Ketika memasuki area parkiran, Kala mengeluarkan bungkus rokoknya dan menyalakan sebatang. Ketika baru satu isapan, tiba-tiba Gavin merebut rokok dari tangannya dan menempatkan batang tembakau itu ke mulutnya.
Kala mengernyit bingung, tangannya langsung merebut kembali rokok itu dari mulut Gavin.
"Apaan sih, lo?!" Bentaknya karena Gavin bukanlah seorang perokok. Ia tau betul temannya itu sangat membenci rokok.
"Lo yang apaan! Baru aja dari rumah sakit malah datengin ajal lagi. Bisa gak sih sadar diri bentar?!"
Kala berdecak kesal. Dengan tak peduli, diisapnya lagi tembakau itu. Gavin makin melebarkan matanya. Tangannya, dengan cepat, kembali ingin merebut benda itu namun Kala mengelak dengan cepat.
Tak kehabisan akal, ia merogoh saku celana sahabatnya dan merampas kotak rokok sisanya.
"Matiin atau gue bakar sekotak?" Ancam Gavin.
Kala membuang nafas kasar lalu dengan berat hati membuah puntung rokok ke aspal lalu menginjaknya hingga padam.
"Oke! Puas?!" Ia berujar lalu langsung masuk ke mobil Gavin dan menutup pintu dengan kencang.
Helaan nafas dihembuskan Gavin. Lelaki itu lalu menyusul sahabatnya masuk ke mobil.
Suasana di mobil pun tak jauh berbeda dengan kuburan. Sepi. Tak ada yang bersuara, bahkan radio pun tak dinyalakan.
Gavin yang tengah mengemudi melirik Kala yang terlihat memejamkan matanya sambil menyandarkan kepala di jendela mobil.
"Mau gak mau lo harus kasih tau Om Greco." Gavin berujar.
Namun Kala tak terlihat akan merespon atau menjawab barang satu kata pun.
"Kal? Serius, nih! Jangan ngeremehin lagi! Apa perlu gue yang ngasih tau bokap lo?"
"Ck! Iya!" Kala berujar kesal.
"Iya apaan?" Pancing Gavin.
Kala kembali bungkam, tak ingin menjawab sahabatnya.
"Kalandra!"
"Iya iya! Gue bakal kasih tau bokap, puas?!"
Gavin mengangguk puas. Jangan dikira ia akan percaya sepenuhnya. Ia sudah hafal betul kebiasaan sahabatnya satu ini. Untuk mendapatkan jawaban jujur, butuh lebih dari seribu kali kalimat konfirmasi hingga pemuda berdarah Indo-Italia itu mau melaksanakan perintahnya.
"Awas aja, kalo sampe lo gak bilang ke bokap, gue bakal pindah ke apartemen lo. Inget!" Gavin berujar galak.
---To be continued---