Usapan lembut diberikan Ben pada rambut Kala. Setelah mendengar kabar bahwa putranya kritis, ia langsung membatalkan semua pekerjaannya dan terbang dari Itali langsung hari itu juga. Pakaian kerjanya pun masih menempel pada badannya.
Diamatinya anak semata wayangnya yang berangsur lebih kurus dari terakhir bertemu. Anemia telah berteman dengan Kala sejak kecil, namun tak pernah dibayangkan Ben akan menjadi seperti ini parahnya. Ia mengabsen pipi Kala yang menirus, hampir menonjolkan tulang pipinya saking kurusnya.
Lelaki paruh baya itu membetulkan letak nasal canula yang sedikit miring di hidung Kala, tangan kanannya pun masih setia menepuk-nepuk dada anak itu pelan, kebiasaan yang selalu ia lakukan ketika anaknya sakit.
"Permisi." Ben menoleh ke arah pintu, alisnya mengerut bingung tak mengenali dua orang yang baru datang. Seorang lelaki paruh baya dan seorang pemuda yang mungkin seusia Kala.
"Siapa ya?" Tanyanya.
"Perkenalkan, saya Bima, ini anak saya Galang yang kemarin membawa Kala ke rumah sakit ini."
Ben lantas mengingat mereka, sebelum pulang, Gavin memberitahu kronologis Kala yang dibawa ke rumah sakit oleh junior dan ayahnya. Ia memasang senyum ramah lalu menerima jabatan tangan Bima.
"Saya Ben, ayah Kala. Terima kasih banyak atas bantuannya. Saya gak tau lagi kalo Galang gak tanggap, Kala bakal gimana sekarang."
Galang menggaruk tengkuknya yang tak gatal, merasa canggung. Namun senyum ramah dan sopan tetap dipertahankannya.
"Justru saya yang makasih ke Kala. Ini anak kalo gak ngawur main malemnya, gak bakal ngerepotin Kala sampe bolehin dia nginep di apartemennya. Anak jaman sekarang memang gak kira-kira mainnya." Bima menanggapi.
Masih teringat jelas di ingatannya, kemarin ia mencerca habis Galang yang akhirnya tak bisa mengelak berbohong lagi. Ia pun juga dengan mudah mengetahui peristiwa Galang pasti mabuk di pesta malam kemarin, hingga merepotkan Kala.
Ben hanya tertawa singkat menanggapi. Ia lalu mempersilahkan Bima dan Galang duduk.
"Kala belum sadar?" Tanya Bima.
"Sudah, tadi siang, tapi disuntik obat tidur untuk istirahat." Jawab Ben.
Bima memperhatikan Ben yang masih mengamati Kala dalam diam. Terlihat lelaki itu letih dan cukup berantakan. Ia sempat memikirkan sekilas juga ingin membicarakan masalahnya yang pasti berhubungan dengan lelaki itu.
"Pak Ben, mau ngopi sebentar di luar? Biar Galang yang jaga Kala. Kayaknya Anda perlu kopi." Tawar Bima.
Ben menimang-nimang tawaran itu, lagipula Kala juga sebenarnya sudah sempat sadar dan hanya perlu tidur lagi, selain itu pikirannya pun sedang berantakan. Ia lantas mengangguk.
"Boleh, panggil Ben aja. Galang titip Kalanya sebentar ya.. kalu ada apa-apa langsung panggil dokter aja." Ben menjawab.
Bima mengusak sebentar rambut Galang yang hanya duduk canggung, "Kalo ada apa-apa telpon Ayah."
Kedua lelaki itu pun melenggang keluar kamar meninggalkan Galang hanya dapat memandang punggung keduanya hingga tak terlihat lagi. Tak tau apa yang terjadi ketika ayah Kala kembali, sikap apa yang harus dilakukannya dan ekspresi apa yang harus ia pasang.
Dua pria itu duduk di area smoking cafe rumah sakit. Bima dengan rokok elektriknya dan Ben dengan rokok tradisionalnya telah berbincang cukup banyak hal. Mulai dari bisnis, mengurus anak sendiri tanpa bantuan perempuan dan pergaulan anak jaman sekarang.
Ben menghembuskan asap rokok dari mulutnya sambil melihat taman belakang cafe yang gelap gulita. Ia duduk bersandar santai lalu kembali fokus ke Bima. Ia menopang dagunya sambil tersenyum tipis.
"Galang ngerokok?" Tanyanya. Baru 15 menit mengobrol dengan Bima membuatnya seakan teman karib yang terpisah, padahal baru pertama kali bertemu. Hingga bahasa mereka pun juga sudah bak teman akrab.
Bima terkekeh singkat sebelum menjawab, "Dia bilangnya sih enggak. Ya tapi gue pernah muda lah, bau rokok mau ditutup parfum berapa liter pun tetep kecium. Mau gue tegur, tapi biarin aja deh, masa muda gak bakal indah kalo belum bohong sama ortu."
Ben tertawa kecil sambil menggelengkan kepalanya geli namun setuju. Hal ini yang membuatnya langsung klik dengan lelaki itu, mereka mendidik anak dengan cara yang serupa.
"Kenapa gak ganti ke rokok elektrik aja? Rokok konvensional udah gak bagus buat umur kita." Tanya Bima balik.
"Kalo lagi di Itali, of course gue pilih rokok eletrik. Rokok biasa kaya gini jauh lebih mahal berkali lipat. Mumpung di Indo lah, murah, mau stock sekalian buat besok kalo balik."
"Lebih nendang juga." Imbuhnya dan Bima mengangguk menyetujui.
"Kalo Kala? Ngerokok?" Bima bertanya lagi.
"Dulu sih umur 17 tahun gue tawarin, kamu mau cobain ngerokok? Isapan pertama harus sama Papa, minum juga tegukan pertama harus sama Papa. Jadi gue bisa tunjukin mana yang bagus, mana yang enggak, mana yang gak boleh disentuh. Lanjutnya ya.... dia sendiri bisa takar, udah gede, cowok pula."
"Mandiri banget jadinya, anaknya. Gue bisa lihat dari awal ketemu, semua dia urus sendiri, bahkan family matter pun dia simpen sendiri." Bima sedikit tersendat mengakhiri kalimatnya.
Sepertinya ia keceplosan, dan Ben pun menyadarinya. Lelaki itu menatap Bima penuh tanya.
"Maksudnya?"
Bima berpikir sambil mengisap kembali vape-nya. Memang hal ini yang sebenarnya ingin ia bicarakan dengan Ben sejak awal. Mungkin saat ini dalah momen yang tepat.
"Udah lama sebenarnya gue mau ketemu sama lo, Papa Kala. Ada hal penting yang harusnya lo juga tau, tapi Kala nggak mau gue kasih tau lo karena ya...itu tadi. Dia mau simpen sendiri aja."
Ben mengerutkan alisnya, mendengar penjelasan Bima. Namun ia berusaha menahan segala jenis pertanyaan yang membayang di otaknya, mencoba bersabar dan mendengarkan.
"Lo... pasti gak asing sama nama Marissa?" Bima menatap Ben penuh harap.
Ben yang tau arah pembicaraan ini lantas menghela nafas. Ia mematikan rokoknya di asbak dan menyalakan sebatang lagi, tau pembicaraan ini akan panjang dan tak mudah.
"Still the clearest thing in my mind after this long." Jawabnya setelah menghembuskan isapannya nikotinnya.
Bima ikut tersenyum tipis menghargai Ben menunjukkan sign positifnya untuk membahas hal ini.
"I think.... we fell in the same trap. Dan jalan keluar yang kita pilih kurang lebih sama."
Bima mulai menjelaskan. Dari awal Galang memberitau segala peristiwa anak itu bertengkar dengan Kala hingga akhir dimana mereka menemukan bahwa mereka saudara seibu. Tak dilewatkannya pula pendirian Kala untuk tak melibatkan Ben dalam masalah ini. Ben juga hanya diam, mendengarkan, mencerna dan mencoba untuk sedikit demi sedikit menerima.
Pria blasteran Itali-Indo itu menghela nafas cukup kasar. Tak pernah terpikirkan olehnya akan bertemu kembali dengan sisi gelap masa lalunya dan Kala, yang sudah ia coba kubur dalam-dalam. Ia tertawa pahit setelah Bima selesai bercerita panjang.
"This world is kinda funny. Mau gue kabur sejauh apapun... ke benua manapun, masih aja bersinggungan. Kayaknya percaya bumi itu datar salah besar, karena bumi ternyata bulat dan mau sejauh apapun kita pergi, pasti juga akan balik ke titik awal lagi. Sucks." Ujarnya lirih.
Pria di depannya pun hanya mengangguk pelan sambil tersenyum sarkas, setuju. Bukan hanya Ben yang merasa aneh, ia pun juga namun bedanya ia menemukan hal ini lebih awal, sehingga ia mengerti betul perasaan Ben.
"The funniest thing is bukannya ketemu sama Marissa, tapi malah ketemu sama sesama korbannya yang senasib." Bima menambahkan.
"Pathetic but yea, i can't deny. We both sucks. Tapi... lo pernah ketemu sama dia lagi?" Tanya Ben.
Bima menggeleng, tak sirna senyuman tipis dari wajahnya. "Gue bilang ke Galang sejak dia mulai bisa ngerti, kalo mamanya meninggal waktu ngelahirin dia. Dengan itu, dia gak bakal cari-cari wanita itu lagi. Dan hal sama gue bilang juga ke Kala malam itu."
Ben mematikan rokoknya yang sudah tandas di asbak. Ia melipat tangannya di depan dada sambil menatap Bima, namun pandangannya jelas sekali menerawang jauh.
"Gue gak pernah jelasin apa-apa ke Kala. Yang cuma gue tegaskan adalah you don't have mama. You can live with papa, grandpa, grandma, and still be happy . Thanks God, Kala bukan anak yang rewel dan rebel. Walaupun gue ngerti deep down dia pengen banget tau, tapi ya...lo bisa bayangin lah, bakal kayak apa reaksi seorang anak kalo kita bilang mereka lahir dari suatu kesalahan dan sang ibu kerjaannya jual tubuh bahkan keperawanan ke sembarang orang berduit?"
Bima pun tertawa miris, ikut mengingat masa mudanya yang gelap, membawa hasil Galang yang sekarang hidup tanpa ibu dan kebohongannya.
"But I heard dia masih kerja disana, she's still going strong." Timpal Ben.
"No wonder, dari seorang Marissa dan prinsipnya. Gue cuma takut Galang atau Kala gak sengaja ketemu sama dia. I don't know what to explain." Bima menjawab.
Ben meneguk habis kopi hitamnya, lalu kembali menatap Bima serius.
"Jadi, skenario sekarang, mereka saudara seibu, tapi ibunya udah meninggal waktu ngelahirin Galang?" Alihnya.
Bima mengangguk, "Tapi apa Kala gak papa? I mean.... apa dia bakal membenci Galang?"
"Kala bukan anak yang pikirannya sedangkal itu kok. Menurut gue, dia malah seneng punya orang lain yang jelas sedarah, apalagi, Galang lebih muda, kan?"
Bima mengangguk untuk menjawab.
"Kala bakal seneng akhirnya punya adik buat dijaga. He likes taking care of someone instead of being taken care. Tenang aja. Gue malah yang merasa lega. Bisa gue titip Kala kalo gue balik kesana sama lo? Masih panjang urusan gue disana, kalo udah kelar, gue bakal cepat-cepat urus kepindahan kesini." Ben menatap Bima memohon, penuh kepercayaan dan keyakinan.
Bima menepuk bahu Ben dengan pelan, sambil tersenyum senang.
"With my pleasure. Jadi nambah satu anak cowok malah makin seru. Apalagi nambah yang bisa ngawasin Galang dari deket." Bima menjawab dengan nada riang.
"Lagian, kayaknya mereka bakal jadi saudara yang paling akur. Galang... gue lihat diem doang kalo ada Kala, tipe adek penurut." Ucap Bima tersenyum meyakinkan, tak sadar hipotesisnya bertolak belakang dengan fakta lapangan.
---
DUK!
Suara apel yang telah terpotong tak beraturan menyentuh lantai menggema di penjuru kamar rawat Kala.
"Tuh kan! Gigit aja sih, ribet nih kalo motong! Nanti kalo jempol gue ilang gimana? Gak bisa kawin dong!" Galang berujar sambil mencak-mencak kesal mengambil apel yang terjatuh.
Kala bangun lima belas menit para ayah keluar untuk coffee break. Pemuda itu mengeluh lapar, sehingga Galang inisiatif mengambil apel dan memotongnya, Kala bahkan tidak meminta apel dan tidak meminta Galang untuk mengiriskan buah itu.
"Cincin nikah dipasang di jari manis sih, bukan jempol. Lagian kawin doang gak pake jari, pake yang di dalem celana lo tuh." Matanya mengarah ke bagian celana Galang.
"Gak ada suster apa? Minta bubur apa apa kek. Masih lemes gini gue gak kuat kalo lo suruh gigit apel segede gaban." Kala berujar.
Galang berdecak, "Bilang dari tadi, Zaenab! Kan gue gak usah repot motong apel." Omelnya lalu tetap berjalan keluar untuk mencari suster.
"Yang inisiatif motongin siapa, yang dimarahin siapa." Gumam Kala. Ia lalu menoleh ke atas dan menekan tombol merah untuk memanggil perawat. Sungguh cerdas juniornya itu.
Seorang suster melangkah keluar ketika Galang baru akan masuk dengan seorang suster juga. Kedua suster itu berbincang dan pamit ke Galang untuk mengambil keperluan Kala. Pemuda itu lalu masuk ke kamar rawat kembali.
Ia mendapati ayahnya dan ayah Kala telah kembali ke ruangan. Lalu dengan ramah tersenyum sopan ke arah Ben.
"Kok ada suster?" Tanyanya ke Kala. Si kakak menunjuk tombol merah di atasnya lalu menatap Galang datar.
"Goblok dipelihara." Ujar Kala, Galang hanya merengut.
"Hush! Kala! Kasar gitu ngomongnya sama adek sendiri." Ben menanggapi.
Kala dan Galang seketika menoleh ke arah Ben setelah mendengar pria itu berkata demikian. Menerima sinya SOS kebingungan dari keduanya, ia lalu tersenyum lebar.
"Om Bima udah cerita semuanya ke Papa. Kamu lagi sok rahasia-rahasiaan. Papa oke aja. Jadi jangan simpen rahasia lagi, ya?" Ia menatap Kala hangat.
Kala menghela nafas pelan, namun mengangguk setelahnya. Ia menatap Bima yang bersandar di sebelahnya lalu membalas senyum Bima dengan manis.
"Lagian, seneng Papa kamu jadi punya adek. Manis sama nurutan gini lagi kayak Galang." Imbuh Ben.
Kala menatap Ben seolah tak percaya. Telunjuknya menunjuk Galang sambil menatap ayahnya dengan maksud bertanya 'dia?'. Ben mengangguk
"Papa inget aku pengen pelihara kucing?" Tanya Kala. Ben mengangguk dengan ragu sekali lagi.
"Nah, sekarang malah dapet singa buat dipelihara." Ujarnya sambil menunjuk Galang.
Bima dan Ben pun tertawa terbahak-bahak, sementara Galang merengut tak terima dikatai Kala.
"Bagus dong! Singa kuat, bikin semua orang takut sama tunduk." Bela Galang.
"Iya, kalo yang dengerin juga satu spesies. Kalo bukan, isinya cuma ngaum pake gas pol doang, gak jelas." Balasnya, sukses membuat Galang membuang punggungnya ke sofa sambil bersidekap dan cemberut, merajuk.
"Tuh, singanya ngambek gitu, Kal, gara-gara kamu godain."Bima menyahut sambil tertawa geli.
"Halah, gampang Om. Dikasih nomor Maya juga langsung jadi kucing." Kala menjawab.
Galang melebarkan matanya, menatap Kala terkejut. "Tau darimana lo?!"
"Informan gue ada di setiap sudut. Ati-ati aja lo."
Bima lalu menatap Kala, penuh rasa kepo.
"Maya siapa sih? Ceweknya Galang?" Tanyanya.
"Kayaknya lagi berburu, Om. Nah ini target betina dia." Kala menjawab sambil menatap Galang jahil.
Bima lalu balik menoleh ke Galang, "Oh sekarang udah on the way gak jomblo lagi, dong?"
Galang menatap ayahnya angkuh, "Yaiyalah, cowok kayak Galang gini dicari banyak cewek cantik, Yah. Emang dia,...." Galang ucapannya terhenti. Lupa, kehabisan amunisi mau menyerang apa.
Kala menaikkan sebelah alisnya menantang, sedangkan kedua pria paruh baya di ruangan menunggu lanjutan Galang.
"Apa? Gue kenapa?" Kala mengompori sambil memasang senyum kemenangan.
"Gue lupa cewek lo cakep lagi! Udah ah Galang mau kencing!" Ujarnya kesal lalu berjalan ke toilet menggebu diiringi tawa ketiga orang disana.
---
"Hah! Capek hati kecil Jey nonton horror. Tolong, butuh sandaran." Jey berkomentar dengan nada manja setelah siang itu mereka, Aurel, Gavin, Grizelle, Dira, Pandu dan Galang serta dirinya sendiri, menonton Coming Soon, film horror thailand di kamar rawat Kala.
Dengan sengaja ia mengayunkan badannya perlahan menyandar di bahu Grizelle yang duduk di sebelahnya. Namun, belum sempat menyentuh, tangan gesit Grizelle langsung mendorong kepala anak itu hingga jatuh ke Aurel.
"Kesempatan ya, lo, Jey! Kurang-kurangin tuh sikap om hidung belang, keliatan modusnya." Grizelle mengomel di sisi Kala.
Mereka melingkari tempat tidur Kala untuk menonton film dari proyektor yang dibawa Aurel lalu ditembakkan ke tembok ruangan.
"Lo yakin gak mau puter haluan ke yang lebih oriental gitu kayak gue, Kak? Nanti anaknya bule banget loh kalo sama Bang Kala, gak ada indo-indonya." Sanggah Jey.
"Ini kebun binatang kandangnya ada yang rusak apa? Buayanya lepas satu nih." Dira menyahut.
"Biasanya cewek-cewek takhluk loh sama buaya satu ini." Jey membela sambil menunjuk bangga dirinya.
"Itu cewek-cewek emang biasanya pelihara kadal, dikasih buaya jadi gak nolak. Gue peliharanya naga tuh, buaya udah macem daki buntut naga gue doang, harus dibuang jauh-jauh." Grizelle menjawab.
"UWOOOOO!!!" Semua yang mendengar itu bersorak bak suporter bola.
"ANJAAAAS! KAK GRIZELLE AQ PADAMU!" Dira bersorak paling kencang.
"Gak level, Bang. Mundur aja, malu-maluin keluarga." Pandu menambahi sambil menepuk pundak Jey yang cemberut.
Ribut-ribut mereka langsung teredam ketika Ben masuk ke ruangan bersama dokter. Mereka semua tersenyum menyambut Ben.
"Gak usah salaman satu-satu ya, nanti kayak jumpa fans." Ben mengangkat tangannya, menghentikan mereka yang sudah berdiri berniat salam sambil mencium tangan Ben.
"Huek, sok ganteng." Kala menanggapi Ben.
Aurel yang biasanya tim kompor juga bersiap untuk ikut muntah, namun terhenti.
"Mau ngedukung Kala, tapi emang ganteng, Om. Gak jadi deh." Ujar Aurel yang membuat Ben dan teman-temannya tertawa.
"Masih ada keluhan, Kala?" Tanya dokter Fadli sambil mengecek infus dan kantung darah yang bertengger di tiang samping ranjang Kala.
Yang ditanya hanya menggeleng, menjawab dokter itu. Dokter Fadli pun mengangguk, ia lalu menatap Kala dan teman-temannya bergantian.
"Mungkin dua atau tiga hari lagi udah bisa pulang. Tapi tetep dijaga ya, temen-temennya juga tuh yang paling sering bareng Kala, diingetin kalo Kalanya udah bandel." Nasihat Dokter Fadli diangguki semuanya.
"Tenang aja, Dok. Banyak bodyguard-nya gini. Apalagi yang betina, kalo udah marah apinya keluar dari ubun-ubun, hii!." Gavin menanggapi dan langsung ditatap tajam Grizelle.
"Apalagi udah punya adek baru nih, Dok. Makin gampang diawasinya, gengsinya gede banget soalnya." Imbuh Ben yang membuat seisi ruangan menatapnya penuh tanya kecuali Kala dan Galang yang melebarkan matanya panik.
Ben menangkap seisi ruangan menatapnya kepo, ia pun lantas menatap balik ke Kala dan Galang yang saling melemparkan pandangan.
"Loh? Belum dikasih tau gengnya?" Ben bertanya.
"Apaan nih, Om? Sampe pakar gosip kampus gak tau?" Jey menimbrung kepo.
Ben hanya mengulas senyum tak bersalah lalu menarik dokter Fadli keluar.
"Gak ikutan ya, Papa. Urusan anak muda diselesaikan sendiri. Yuk, Dok. Ngopi ganteng, kita." Ujarnya lalu pergi meninggalkan ruangan.
Sepeninggalan Ben, mereka semua lalu melayangkan pandangan haus informasi pada Kala dan Galang. Kala langsung menyembunyikan dirinya dengan selimut hingga ujung kepala.
"Gue sakit, gak kuat cerita. Tanya sama yang sehat aja." Ujarnya dari balik selimut.
Lantas, semua pandangan kali ini tertuju pada Galang yang meneguk ludahnya kasar. Anjrit, Batinnya. Ia memasang senyum kikuk nan datar di wajah, dengan matanya yang membelo.
"Hmm..au..ak..i..sa..ng..mong.." (Aku gak bisa ngomong) Ujarnya sambil berpura-pura gagu dan menggunakan bahasa isyarat asal.
---