Chereads / Engine Batska / Chapter 16 - Chapter 15

Chapter 16 - Chapter 15

"Cause I don't care, when I'm with my baby yeah~"

Galang menutup kepalanya dengan bantal yang tadinya berada di bawah kepalanya. Ia tak ingat sudah berapa kali alarm paginya berbunyi. Kedelapan? Sembilan? Entahlah.

"Ck!" Decaknya sebal ketika suara Ed Sheeran benar-benar mengganggunya. Dengan malas, tanpa membuka bantal, Ia meraih HPnya yang entah berada dimana. Namun sebelum berhasil menemukan benda itu, alarmnya sudah diberhentikan paksa.

Di balik bantal, ia tersenyum senang. Akhirnya tak ada pengganggu tidurnya. Galang membuka bantalnya, bergeser untuk pindah posisi memeluk bantal itu. Ketika menemukan posisi nyaman, matanya tak sengaja terbuka, namun kembali tertutup lagi secepat kilat, terlalu malas untuk menyapa pagi.

Beberapa detik ruangan hening, Galang pun belum kembali tertidur. Dalam bayangnya, ia mencerna, mengapa kamarnya terlihat berbeda?

Matanya terbuka dengan cepat, menyadari ini bukan tempat tidurnya. Pemandangan punggung seseorang langsung menyapa netranya yang baru saja terbuka. Alisnya berkerut bingung. Dilihatnya sekeliling ruangan, memastikan ia sedang tidak berada di kamarnya.

Ketika mulai tersadar kamar siapa yang ia tiduri, Galang langsung menancapkan netranya pada punggung orang yang tidur di sampingnya. Mata elangnya melebar ketika menyadari saat ini ia sedang berada di kamar Kala dan tidur seranjang dengan seniornya itu.

Tubuhnya langsung beranjak duduk tiba-tiba, hingga pening langsung menyapa kepalanya, hangover. Galang dengan terpaksa menutup matanya sejenak sambil memijit pelan kepalanya.

"Napa lo?" Suara serak khas bangun tidur terdengar dari Kala yang masih tiduran namun melihat ke arah Galang. Matanya juga masih setengah terbuka.

"Pusing." Jawab Galang singkat.

Ia dapat mendengar Kala menghela nafas malas. Lalu beberapa saat kemudian, pemuda itu bergerak menjauhi tempat tidur, pergi entah kemana.

"Anjing!" Umpat Galang.

Ia tersentak ketika sebuah handuk dilempar ke arahnya hingga menutupi wajah kasurnya. Dengan kesal, disingkirkannya handuk itu sambil menatap tajam Kala.

"Apaan, sih?!" Marahnya pada Kala.

Si pemilik ruangan hanya melipat tangan di depan dada sambil bersandar di dinding kamarnya, menatap Galang santai.

"Mandi air anget, gih. Hangover tuh lo, lagian bocah sok-sokan minum banyak."

Galang yang tak terima lalu melempar balik handuk yang entah milik siapa itu ke arah Kala.

"Najis gue mandi di apart lo, bisa gatel-gatel nih kulit." Ujarnya ketus lalu kembali merebahkan dirinya di tempat tidur sambil meraih ponselnya untuk dimainkan.

Belum sempat dibuka password ponselnya, tangannya sudah lebih dulu ditarik Kala secara paksa. Tubuhnya yang masih lemas akibat hangover tak bisa melawan dengan kuat. Ia diseret paksa menuju kamar mandi.

"KALA! APA-APAAN SI!" Geramnya masih di cengkraman Kala.

Kala tak bersuara, masih menarik Galang dengan keras menuju kamar mandinya. Saat ia mau membuang Galang langsung ke dalam, kaki pemuda itu dengan cepat melebar dan tertahan pada dua sisi dinding pintu kamar mandi, menolak masuk.

Kala pun menajamkan matanya ke arah Galang, menatap adik tirinya penuh mandat untuk segera masuk ke kamar mandi, sedangkan yang ditatap masih dengan kuat menahan kakinya di dinding, menghalangi Kala untuk melemparkannya masuk.

"Masuk, gak?" Suara Kala merendah namun penuh penekanan.

"Gak!"

"Galang. Masuk." Suaranya kian merendah hingga membuat bulu Galang sedikit merinding.

"Eng-gak." Cowok itu juga menjawab dengan penuh penekanan.

Mereka berdua saling menatap tajam dalam diam, seakan perang dingin antar batin tengah berlangsung disana. Hingga Kala bergerak dengan cepat, memeluk pinggang Galang dan menghimpit cowok itu, mengangkatnya lalu membuang tubuh itu ke kamar mandi. Tangan Kala langsung menutup pintu kamar mandi dengan gesit, menahannya dari luar.

"BAJINGAN!!BUKA GAK?! FUCK! KALANJING!" Galang menyemburkan sumpah serapahnya dari balik pintu sambil menggedor-gedor dengan keras.

"Mulut apa tempat sampah sih? Kotor amat." Komentar Kala.

"Kalo 10 detik lagi gue gak denger lo mandi, gue telpon Om Bima kalo lo kobam tadi malem. Mau?" Lanjutnya.

Seketika, tidak terdengar gedoran dari Galang lagi. Kala masih diam di posisinya, takut kalau-kalau adiknya itu tiba-tiba keluar. Namun, senyum kemenangannya terpancar ketika mendengar suara gemericik air dari dalam.

"Pake aernya dikit aja, takut kulit burik lo infeksi kena air mahal gue. Ada campuran berliannya tuh."

"TAI!" Suara Galang terdengar dari dalam membuat Kala tertawa geli.

"Handuk sama baju ganti gue taro di depan pintu." Ujarnya setelah meletakkan baju ganti dan handuk untuk Kala lalu berjalan keluar kamar.

Kala lalu melenggang ke dapur untuk membuat sarapan. Tak dipungkiri, minum alkohol akan membuat perut keroncongan di pagi harinya, belum lagi bonus hangover seperti yang dialami Galang sekarang ini.

Ia membuka dua bungkus mie kuah instan sambil merebus air. Sebelum air mendidih, Galang telah berjalan ke arah dapur, dengan rambut yang masih basah dan handuk terkalung di leher.

Kala menoleh ke arah Galang lalu terkekeh geli melihat wajah pemuda itu masih tertekuk kesal. Sedangkan si cowok yang lebih muda duduk malas di ruang makan.

"Awas jatoh tuh muka, ditekuk mulu. Sakit mata gue liatnya." Kala berujar sambil masih berkutat dengan urusan dapurnya.

Dug!

Kala kembali menoleh ketika mendengar suara kegaduhan dari belakangnya. Galang sudah berdiri sambil memegang lututnya kesakitan. Seperti baru terantuk sesuatu.

"Ngapain lo?"

"Ck! Tuh kan! Langsung lecet gini gue baru duduk semenit di kursi lo. Seharian disini bisa kehabisan darah gue!" Ujarnya sambil masih mengelus lututnya yang linu terantuk meja.

Gelengan kepala hanya bisa dilakukan Kala melihat tingkah Galang. Ia membawa dua mangkuk berisi mie kuah ke arah meja makan dan bergabung duduk dengan Galang yang masih mengelus lututnya.

"Giliran sadar aja udah balik jiwa keanjingan lo. Tadi malem pas mabok udah kayak bayi." Ujarnya sambil mengeluarkan sebutir aspirin pereda sakit kepala dari tempatnya dan menyodorkan benda itu ke Galang.

"Kok gue bisa disini sih? Kan tadi malem sama temen-temen gue?" Tanyanya sambil menerima aspirin itu.

"Orang lo yang minta nginep disini...Makan dulu baru minum itu." Kala menahan tangan Galang yang hampir memasukkan aspirin ke mulutnya.

Galang mengernyitkan alisnya bingung. Pikirannya mencoba menerawang kejadian tadi malam, namun tak secuil memori pun didapatnya selain ia bersenang-senang di klub bersama teman-temannya.

"Kok gue gak inget?"

Kala mengedikkan bahunya tak peduli sambil menyantap mie nya.

"Terus... gue ngapain aja tadi malem?" Tanya Galang.

"Ngapain ke siapa?" Kala melirik Galang yang masih menatapnya was-was.

"Sambil makan, keburu dingin itu mienya."

Tanpa disadari, Galang menuruti perintah Kala tanpa perlawanan. Ia menyendokkan sesendok mie beserta kuah, mengunyahnya lalu menelannya cukup cepat.

"Ke elo lah." Ujarnya setelah menelan makanannya.

"Yakin mau tau? Ntar nuduh gue bohong pasti ujung-ujungnya."

"Kenapa gitu? Lo pasti udah niat mau karang cerita kan biar malu-maluin gue?"

"Emangnya gue tukang boong kayak lo?"

"Ya gak ada yang tau. Siapa tau emang lo suka ngarang?"

"Sambil makan." Kala menunjuk mangkuk Galang. Galang pun kembali menyuapkan sesendok makanan ke mulutnya.

"Buruan dih! Gue ngapain aja?" Ujarnya sambil mengunyah makanan setengah hati dan menatap Kala kesal.

"Minta sebat, minta dianter pulang, minta digendong, minta dibeliin es krim, minta tidurnya sambil ditepuk-tepuk kepala. Percaya?" Kala menjelaskan sambil menatap Galang datar.

Cowok yang lebih muda itu menatap Kala sambil merengut.

"Gak! Ngarang lo!"

"Tuh kan. Ngapain deh gue buang-buang suara." Timpal Kala.

Pemuda itu bangkit tergesa lalu berjalan keluar dari dapur.

"Kemana lo?!" Galang bertanya karena melihat mangkuk Kala yang masih tersisa setengah porsi.

"Toilet! Abis makan, obatnya diminum!" Teriak Kala yang sudah berjalan ke dalam kamar mandi.

"Ck! Kan! Gue jadi makan sendiri, mana gak bisa nelen obat padet lagi." Gumam Galang sambil mengerucutkan bibirnya dan melanjutkan makannya tanpa berhenti menggerutu.

Tiga puluh menit berlalu, Galang sudah selesai dengan makannya dan sudah menelan aspirin dengan susah payah. Ia tengah memainkan hpnya, membalas group chat yang berisi Dira dan Pandu.

Dira

Apakabar sahabat????

Pandu

Sehat dan masih ganteng, sahabat

Galang

Siapa yang tadi malem biarin gue dibawa Kala?

Dira

HAH?! Gue aja gak tau lo ngilang kemana njir semalem

Pandu

Sorry, Lang. Abisnya semalem Bang Jey asal nyipok cewek tapi cowoknya di sebelah dia

Dira

ASOY BANG JEY PANUTANQ

Pandu

Eh kebalik. Doi nyipok cowok tapi ceweknya di sebelahnya

Dira

KEREN! BANG JEY TETEP IDOLAQ

Galang

Bangsat Bang Jey.

Gue gatau lagi semalem ngapain aja ke Kala. Kalo mabok kan gue malu-maluin.

Dira

Yauda si masih Bang Kala. Lo bakal kaget kalo gue cerita semalem gue dibawa balik sama siapa.

Pandu

Halah, paling juga Kak Kyra

Dira

TAU DARIMANA LO?????

Galang

DEMI APA NYETT?????

Galang menoleh ke jam dinding ruangan. Sudah 45 menit Kala tak kembali. Mie kuahnya pun sudah lembek, tak layak lagi dimakan. Pemuda itu beranjak mencuci mangkuknya yang tadi digunakan. Masih diingatnya sopan santun yang diajarkan sang ayah.

Setelah selesai membersihkan dapur Kala, Galang melangkah menuju kamar. Alisnya mengerut ketika tak mendapati keberadaan kakak tirinya itu dimanapun. Kamar mandi menjadi tujuan akhirnya.

"Woy lo tidur apa gimana si? Mienya udah gak bagus tuh." Ia berucap sambil mengetuk pintu kamar mandi.

Beberapa detik ditunggu, tak ada respon yang didapatnya dari dalam.

"Nyabun ya lo?!"

Galang kembali tak mendapat repon dari dalam. Pikirannya mulai aneh, terbayang hal-hal yang tidak-tidak.

"Kal? Gak mati kan lo?" Ia mulai meningkatkan frekuensi gedorannya. Namun hening masih menjawabnya.

"Kala?"

Galang makin mengerutkan alisnya ketika mendengar suara seperti seseorang sedang muntah dari dalam. Ada yang tak beres.

Dengan ragu-ragu ia memutar kenop pintu kamar mandi. Berhasil, pintunya tak dikunci. Dengan cepat ia membuka pintu itu. Ketika melihat ke dalam, mata sipitnya melebar, terkejut menemukan Kala telah duduk bersimpuh di lantai dan kepalanya menyandar lemas, menunduk di ujung toilet.

"Kala?! Kenapa lo?!" Kakinya menghampiri Kala yang masih merunduk.

Netra elangnya makin melebar melihat kloset tak berisi muntahan biasa, melainkan bercampir dengan cairan pekat berwarna merah.

Kala terlihat lemas, nafasnya pun tinggal satu-satu dan tak beraturan. Ia tak memiliki cukup tenaga, bahkan hanya untuk menjawab Galang. Tubuhnya pun terasa linu, namun yang jelas, bagian perutnya terasa diaduk-aduk tak karuan.

Ia mengarahkan kepalanya ke arah kloset ketika merasa ada sesuatu yang bergejolak ingin keluar. Matanya memejam erat, cairan berwarna merah pekat itu terus keluar dari mulut dan hidungnya. Tangannya bergetar mencengkram pinggiran kloset erat.

"Uhuk uhukk..argh!" Pemuda itu terus mengerang sakit namun mulutnya pun terus memuntahkan darah.

"Anjing. Gu-gue telpon ambulance dulu." Galang tergagap sambil berusaha mengotak atik ponselnya.

Ia mengalihkan pandangannya dari ponsel ke arah Kala ketika merasakan tangan dingin pemuda itu menyentuh tangannya. Kala menatapnya lemah sambil berusaha menstabilkan nafasnya yang sudah mau habis.

"O..bat. La..ci.. Hukk!" Ucapan terbatanya terhenti ketika perutnya mulai bergejolak kembali.

Tak membuang waktu, Galang berlari ke arah kamar, memuka laci nakas samping tempat tidur Kala. Ketika ditemukan botol obat, ia lalu kembali berlari ke toilet. Galang berjongkok di samping Kala.

"Lo butuh berapa?!" Tanyanya panik.

Kala membentuk isyarat 'dua' dengan tangannya. Dengan cepat dan terburu-buru, Galang mengambil dua butir obat. Ia menyodorkan obat itu pada Kala. Namun, tangan Kala tak sanggup menerimanya.

"Ck!" Decakan gelisah dikeluarkan Galang.

Ia pun menopang tubuh Kala yang tadinya bersandar di kloset, menjadi bersandar pada tubuhnya. Kemudian, dibukanya mulut Kala sedikit lalu dimasukkannya dua butir obat langsung, tak peduli kakaknya itu akan tersedak nanti, ia tak tahan melihat Kala terus kesakitan.

"Uhuk! Uhuk!" Kala sedikit terbatuk ketika mencoba menelan obatnya, namun tak sampai dimuntahkan kembali.

"Gue ambil air dulu." Galang mencoba beranjak namun Kala menahannya. Ia mencengkram perutnya sambil terus memejam dan mengernyit menahan sakit.

Melihat itu, Galang menyentuh tangan Kala yang mencengkram perutnya, melepas cengkaram itu dan beralih menekan pelan bagian perut Kala. Kepala Kala pun ia alih sandarkan ke bahunya.

Selama sepuluh menit mereka terdiam di posisi itu. Galang masih setia memijit lembut perut Kala. Sejenak, dilupakannya gengsi yang membumbung tinggi. Hatinya lebih meringis melihat Kala kesakitan seperti ini.

"Masih sakit gak? Kuat pindah ke kasur?" Galang bertanya.

"Disini dulu aja." Kala berujar lirih. Sakitnya hanya berkurang secuil, namun setidaknya tak ada darah yang bergejolak keluar dari mulutnya.

"Lo sakit parah ya?" Tanya Galang lagi.

Butuh beberapa detik bagi Kala untuk menjawab, ia perlu menstabilkan nafasnya kembali.

"Panggil gue pake 'Bang' dulu baru dijawab." Ujarnya dengan nada rendah dan lemah.

"Dih, najis!"

"Tadi malem lo panggil gue pake 'Bang'."

"Halu lo. Mabok juga kali." Jawab Galang menanggapi.

Hening menyelimuti mereka. Kala tak lagi menjawab maupun melanjutkan percakapan. Galang mencoba melihat ke arah wajah Kala, namun pemuda itu memang sedari tadi terpejam.

"Njing, jangan diem aja dong. Takut gue!"ujarnya.

Kepalanya kembali menoleh ke Kala yang bersandar di bahunya dalam diam. Pemuda itu tak menjawab. Galang panik.

"Kala!" Ujarnya setengah teriak sambil menggoyangkan bahunya.

"Belom mati." Kala berujar lemah.

"Alhamdullilah, yaoloh." Galang refleks berujar yang membuat Kala terkekeh.

"Bisa bantuin gue ke kasur gak? Pegel."

Galang mengangguk. Ia mengubah posisinya pelan menjadi setengah berjongkok, tangannya menopang punggung Kala. Kemudian, mereka berdiri bersamaan. Galang meletakkan lengan kala di pundaknya.

Namun, belum dua langkah, Kala merasa tiba-tiba pandangannya memburam, kepalanya memberat dan telinganya berdenging kencang. Ia langsung limbung tanpa aba-aba dan membuat Galang ikut terjatuh namun masih sempat menjadikan tangannya sebagai bantalan kepala Kala agar tidak langsung membentur lantai.

"Kala?! Shit!" Umpatnya melihat hidung Kala kembali mengeluarkan darah dan pemuda itu mulai mengejang. Galang meraih ponselnya lalu bergegas menelpon siapapun yang ada di panggilan teratasnya.

"Ayah!"

---

"Lo beli buah berapa kilo dah, Bang? Berat banget, nih!" Komplain kelima yang dilontarkan Dira semenjak mereka berjalan dari parkiran ke arah lobi rumah sakit sore itu membuat Aurel dan Jey akhirnya menoleh.

"Lemah banget, adek acu. Itu sekilo aja ga ada." Aurel berujar tanpa ada minat membantu Dira.

"Tau, nih. Semalem emang berapa ronde sama Kyra? Sampe tenaganya gak ada gini."Jey menimpali jahil.

"Sembarangan kalo ngomong! Orang gak ngapa-ngapain! Jarak ada kali lima meter!" Dira berujar sensi.

"Yaudah si kenapa defensif gitu, kalo defensif berarti....."Jey melirik Aurel jahil dan pemuda itu juga menangkap sinyal sekawannya.

"Hm.... hidung gue mencium bau sesuatu yang ganjil disini, saudara Jey." Aurel menanggapi.

"Gue juga mencium bau-bau suatu rahasia tingkat kecamatan, Bung Aurel." Jey menanggapi.

"Gue mencium bau-bau ketololan dua tikus got, saudara-saudara." Dira membalas.

"Astafirloh, dikatain kita, Bang."

"Lo merasa, Jey? Gue mah kaga." Aurel menjawab, Jey melotot tak terima.

Dira hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan kakak tingkatnya. Senyumnya mengembang melihat Pandu juga baru tiba di lobi.

"Darimana aja lo, Ndu? Ninggalin gue semaleman sama duo setan lagi. Bungkus cewek ya lo?" Dira menyapa Pandu yang sejak event semalam tak terlihat.

"Udah main bungkus-bungkusan gini ya pada? Pake karet gak biar gak bocor?" Aurel menimpali.

"Ih jorok banget ngomongnya, Jey masih polos." Jey berujar sok imut.

Mereka bertiga lantas menoleh ke Jey dan menatapnya seakan ialah yang paling ternodai.

"Kata orang yang semalem nyium cowok orang terus pas mau digebukin malah megangin kelamin orangnya sampe temen segengnya ikutan ngeri." Pandu menimpali, Jey pun melotot kembali hingga bola matanya seakan ingin keluar.

"Pandu! Aib keluarga jangan diumbar-umbar ah! Malu!" Jey berucap panik. Sedangkan mereka bertiga tertawa.

Lalu empat sekawan itu bergegas menuju ke kamar Kala setelah bertanya letak ruangannya ke petugas di lobi. Namun sebelum sempat meninggalkan lobi, suara seseorang menghentikan mereka.

"Pandu!"

Si empunya nama pun menoleh diikuti teman-temannya. Marissa, orang yang memanggil, berjalan cepat lalu menyodorkan sebuah dompet.

"Dompet kamu ketinggalan di mobil tadi." Ujar Marissa.

Pandu tersenyum sambil menggaruk tegkuknya yag tidak gatal, malu.

"Makasih, Kak." Ujarnya.

"Loh, ada Jey juga?" Ujar Marissa yang melihat Jey.

"Hai, Kak. Iya, kebetulan temen yang sakit temen aku juga."

Marissa mengangguk paham sambil tersenyum ramah.

"Ya udah, aku pamit dulu ya, salam buat temen kalian semoga cepat sembuh."

"Ati-ati, Kak." Pandu dan Jey berujar bersamaan.

Dira sedari tadi membatu di tempat. Pikirannya berputar tak karuan. Seakan merasa pernah melihat Marissa atau bahkan mengenalnya. Ia tetap di posisinya, tak menyadari ketiga temannya telah berjalan duluan.

"What the fuck!" Dira refleks berujar ketika menemukan ingatan siapa orang tadi.

Umpatan kerasnya itu cukup untuk membuat ketiga temannya berhenti dan berbalik lalu menatapnya aneh.

"Kenapa lo, Dir?" Tanya Pandu penasaran.

"Anjing! Eh titip bentar gue ada urusan!" Ujar Dira lalu menyerahkan keranjang buah ke Pandu dan berlari cepat mengejar Marissa.

"Dira! Woy!" Pandu dan yang lain mencoba memanggil namun Dira seakan menuli.

Mata lebarnya melihat sekeliling, mencari keberadaan Marissa yang mungkin belum berjalan jauh. Ia berlari hingga kembali ke lobi dan keluar menuju parkiran. Ia menangkap sosok Marissa yang baru saja membuka pintu mobilnya, berniat untuk masuk.Dengan kecepatan maksimumnya, ia berlari menuju Marissa.

Tangannya menahan pintu mobil Marissa yang belum sempat ditutup. Marissa menatap kaget Dira yang masih ngos-ngosan, mencoba menetralkan nafasnya dulu.

"Loh? Temennya Pandu tadi, kan?"

Butuh beberapa detik bagi Dira untuk menetralkan nafasnya. Setelah dirasa nafasnya normal, Dira menegakkan badannya dan menatap Marissa yakin. Ia yakin betul sosok wanita di depannya adalah sosok wanita yang sama dengan yang ada di kalung Galang.

"Boleh minta waktunya?" Ujar Dira.

---