Galang masih duduk malas di bangkunya seusai kelas terakhirnya hari ini selesai. Jemarinya menge-scroll layar hpnya tak bersemangat. Netranya terarah ke ponselnya namun pikirannya berkecamuk entah kemana.
Dira yang sudah menenteng tasnya menatap teman sebangkunya itu aneh.
"Lang! Gak mau balik lo?" Tanyanya.
Galang hanya membuang nafas lemas sambil mengangguk asal namun tak sedikit pun ia beranjak dari posisinya. Dira lantas hanya mengedikkan bahu lalu berdiri.
"Yaudah, gue duluan ya, ada janji."
Setelah itu, Dira melangkah meninggalkan ruang kelas. Merasa keadaan menyepi, Galang melirik seisi kelas dan betul saja, hanya tinggal dirinya seorang.
Ia lalu bergegas merapikan buku-bukunya lalu memasukkannya ke tas. Belum sempat ia bangkir berdiri, sebuah pesan masuk ke hpnya. Ia melirik layar hpnya sambil menenteng ranselnya di pundak.
Ayah
'Udah dapet waktu janjian sama kakak tingkatmu?'
Galang seketika berdecak malas. Sudah tiga hari ia sengaja tidak menyinggung hal itu dengan ayahnya berharap sang ayah lupa. Dan selama itu juga ia menghindar dari Kala.
Ia meraih hpnya lalu berpikir sejenak harus membalas apa. Setelah mendapat ide, jemari lentiknya dengan cepat mengetik sesuatu.
'Anaknya lagi sibuk, Yah. Galang gak ketemu-ketemu.'
Setelah puas dengan rutinitas bohongnya, ia lalu beranjak melangkah keluar kelas. Namun baru menginjak 3 langkah denting ponsel tanda pesan masuk terdengar dari ponselnya.
'Kamu chat aja kan bisa. Jangan ditunda ya. Ini serius.'
Membaca itu, Galang mengacak rambutnya frustasi. Sial. Kalau begini, ia mau tidak mau harus mencari Kala. Otaknya berputar sejenak, memikirkan bagaimana caranya menemui cowok itu.
Tangannya berkacak di pinggang namun terhenti ketika merasakan sebuah benda berbentuk kotak di saku depan celananya. Seakan diterangi cahaya ilahi, Galang tersenyum miring lalu beranjak ke tempat yang terlintas di pikirannya.
Setelah menginjakkan kaki di tangga terakhir, Galang menarik nafas sejenak untuk menetralkan deru nafasnya yang cukup cepat hasil dari menaiki tangga tiga lantai ke rooftop.
Ia lantas membuka pintu rooftop sore itu. Cahaya jingga mentari langsung menyapa kulitnya. Ia berjalan pelan menuju ke pembatas balkon sambil matanya mengitari dengan jeli setiap sudur rooftop.
Sial. Kala sepertinya tidak berada disini. Ia tak melihat batang hidung si seniornya itu di sudut yang biasa ia tempati untuk merokok. Alhasil, Galang hanya membakar rokoknya pasrah lalu mengisap batang tembakau itu sambil menikmati langit senja.
Namun, tubuhnya menegak ketika mendengar suara pintu rooftop terbuka dan seseorang melangkah pelan di belakangnya. Kepalanya berputar kaku, menoleh ke belakang.
Kala berdiri disana sambil menatapnya datar. Pandangan mereka terkunci canggung satu sama lain selama beberapa detik. Ini kali pertama mereka bertatap muka kembali setelah kecelakaan kecil galang di arena gokart seminggu yang lalu.
Kala yang pertama kali memutus acara adu tatap itu. Pemuda itu berjalan ke arah balkon lalu bersandar disana, sekitar tiga meter jauhnya dari Galang yang juga tengah bersandar. Dinyalakannya rokok kesayangannya.
Mereka diam selama beberapa menit. Hanya suara hembusan angin yang terdengar dan memainkan rambut lembut keduanya. Canggung, itulah yang menyelimuti Kala dan Galang saat ini.
"Kaki lo udah baik?" Suara Kala akhirnya memecah keheningan.
Galang akhirnya dapat menghembuskan nafas lega. Ia lantas melirik ke Kala yang sama sekali tidak menatapnya.
"Hm." Gumamnya menjawab.
Hening kembali menyerang. Namun, beberapa saat kembali terpecahkan dengan suara Kala.
"Udah ketemu Baron?"
Galang menaikkan sebelah alisnya. Ia sedikit menoleh ke Kala dan menatap pemuda itu penuh tanya.
"Belom. Kenapa?"
"Gak papa. Nanya doang."
Kala lalu menginjak rokoknya yang sudah habis. Kemudian melirik Galang sambil berkata.
"Lain kali, ati-ati milih temen. Untung langsung ketawan." Ujarnya lalu beranjak melangkah ke arah pintu untuk pulang.
Galang seketika panik. Mulutnya bekerja lebih cepat dari otaknya.
"Kal!" Ujarnya tanpa sadar.
Kala berhenti lalu menoleh ke arah cowok yang sedang merutuki kebodohannya. Pemuda itu menunggu beberapa saat, namun Galang masih saja terdiam dan menatapnya ragu-ragu.
"Apaan si?" Ujarnya.
Galang meremat pengangan tas yang tersampir di pundaknya. Ia menggigit bibirnya makin ragu.
"Ck! Buruan! Jangan kayak anak kecil deh." Ujar Kala.
Galang menyelami netra Kala yang terlihat melunak.
"Ehm... gue mau bilang makasih buat nyuruh medis stand by waktu kemarin di arena."
'Tot! Salah!' Batin Galang merutuki kebodohannya lagi.
Kala menatapnya sedikit terkejut. Ia menganggukkan kepalanya pelan.
"Hm." Ujarnya singkat lalu pergi meninggalkan rooftop.
Galang seketika kelabakan ketika melihat Kala sudah menghilang. Ia langsung mengacak rambutnya frustasi sambil menghentak-hentakkan kakinya sebal.
"Bangsat! Goblok lo, Lang!!"
---
"Oke, break dulu setengah jam." Kala berujar kepada semua kru photoshoot malam itu.
Ia berjalan ke arah laptopnya dan langsung mentransfer foto dari memory card kameranya ke laptop. Setelah semuanya telah selesai, kakinya berjalan ke arah meja di pinggir ruangan, bergabung dengan Gavin yang sejak tadi menunggunya dan Grizelle yang malam ini menjadi modelnya.
Mereka mulai membuka nasi padang yang dibawa Gavin. Grizelle menatap isian bungkus nasi padangan dengan mata berbinar.
"Anjir! Lama banget gak makan padang. I love you, Vin!!" Ujarnya lalu memeluk Gavin dan melahap makanannya.
"Oh iya, Kal. Btw, lo gimana sama Galang?" Gavin bertanya.
Kala yang masih fokus dengan makanan dan ponselnya hanya mengedikkan bahu tak peduli. Gavin lalu meletakkan sendok dan garpunya.
"Tuh kan. Pasti gak berusaha nge-approach Galang deh lo. Kalo gini kapan kelarnya?" Omel Gavin.
Kala meletakkan ponselnya lalu mulai fokus dengan makanannya saja.
"Ck. Udah coba tadi sore ke rooftop." Jawab Kala.
"Nyoba apaan?"
"Ya itu. Nge-approach." Jawabnya kembali.
Gavin memicingkan matanya dan menatap curiga sahabatnya itu.
"Terus?"
Kala yang risih ditanya akhirnya ikut meletakkan sendok dan garpunya. Ia menyelesaikan kunyahannya dulu sebelum menjawab.
"Ya udah. Gitu. Gak kebahas."
Gavin berdecak sebal dibuatnya. Ia menghela nafas lalu lanjut makan.
"Pasti malah berantem, kan?" Hardiknya.
"Enak aja! Gak berantem." Bela Kala.
Grizelle yang sedari tadi hanya mendengarkan dengan tenang hanya geleng-geleng kepala. Tak habis pikir dengan Kala dan juniornya yang satu itu.
"Terus ngomongin apa dong kalo gak berantem dan gak ngomongin yang seharusnya diomongin?" Akhirnya Grizelle angkat bicara.
Pandangan Kala tergeser ke cewek itu. Kemudian ia melirik sekilas ke kotak rokok di meja. Jarinya menunjuk kotak itu.
"Nyebat." Jawabnya.
Bagaikan ditabrak iblis, Gavin dan Grizelle menjatuhkan sendok mereka bersamaan.
"Astafirloh, Ya Yesus! Gue buang lu ke kali code!"
Gemas Gavin sambil memukul meja sementara Grizelle menahan cowok itu untuk tidak mencekik Kala.
Kala hanya menyipitkan matanya lalu kembali makan seolah tak terjadi amukan setan di hadapannya.
Punggung Gavin tersender lemas sedangkan kakinya dihentak-hentakkan kesal.
"Kalaaa!!! Bisa gak sih pinter dikit?"
Kala mengerutkan alisnya tak suka.
"Ya abis, dianya juga gak ngomong. Gue kan udah mancing bangun percakapan." Bela Kala yang hanya dibalas tatapan lelah dari duo G di depannya.
Di sisi lain, Galang mendapat wasiat omelan dari Dira yang isinya serupa dengan Gavin ke Kala. Si korban omelan hanya menyandarkan kepalanya di meja belajar Dira sambil memanyunkan bibirnya kesal.
"Orang dibilangin ya, kalo ada kesempatan tuh dimanfaatin. Gini aja kicep lo, kalo sama cewek aja gampang manfaatin kesempatan dalam kesempitan!" Dira masih terus menyemburkan segala sumpah serapahnya.
"Ck! Udah napa?! Panas kuping gue lo omelin terus tau gak? Yang ada sekarang bantuin gue cari cara lain, keburu bokap gue nagih lagi nih!" Balas Galang.
Dira langsung melotot mendengar bentakan Galang yang memotong omelannya.
"Lo tuh ya! Gue ngomong belom kelar udah dipotong! Lagian gara-gara siapa juga gue ngomel?!"
Galang menegakkan badannya lalu menatap Dira tersulut emosi.
"Ya siapa juga sih yang mau diomelin sama lo?! Kayak Pandu tuh! Diem, gak ganggu siapa-siapa!"
Merasa namanya disebut, Pandu melirik dan sudah menemukan kedua temannya sudah saling tunjuk dan saling memaki.
"Eh! Udah woy udah! Apaan si malah jadi berantem. Baru gue tinggal meleng bentar." Ujarnya sambil berdiri di antara mereka dan mendudukkan Galang yang masih menggebu-gebukan emosinya.
"Udah. Okey? Calm." Ujarnya.
Beberapa saat kemudian akhirnya mereka sudah berhasil menurunkan emosi. Pandu memastikan Dira dan Galang sudah cukup tenang dan akhirnya meraih tangan dua temannya. Disatukannya kedua tangan itu.
"Maaf-maafan dulu gih. Baru ngomong lagi." Ujarnya.
Dira dan Galang hanya saling menatap dalam diam. Namun akhirnya Dira berucap duluan.
"Sorry." Ujarnya.
Galang mengangguk lalu bergumam untuk mengiyakan. Pandu akhirnya menghela nafas lega.
"Yaudah, gini aja. Lo telpon aja deh Bang Kala. Nanyain mau gaknya sama kapan kosongnya. Kalo ngomong langsung gak bakal kejadian pasti." Ujar Pandu.
Galang hanya menatap Pandu datar. Ia melirik ponselnya, lalu kembali melirik Pandu.
"Gue gak ada kontaknya. Pake hp lo aja."
Pandu melipat tangannya di depan dada. Berusaha bersabar. Akhirnya ia mengeluarkan hpnya dan membuka kontak Kala lalu menyerahkan benda pipih itu pada Galang.
Temannya hanya menerima benda itu pasrah. Ia amat terkejut ketika sudah tersambung telpon ke Kala.
"Ndu! Kan gue belom siap!!" Ucap Galang sedangkan Pandu hanya mengedikkan bahu tak peduli.
Ia terdiam ketika panggilan diangkat.
"Halo, Ndu. Kenapa?"
Galang tetap saja diam. Tak tau harus bicara apa selama beberapa detik.
"Halo?" Suara Kala masih terdengar.
Galang masih diam tak bersuara. Sedangkan Pandu dan Dira sudah menatapnya tajam.
"Gue tutup nih."
"Eh bentar Bang. Ada yang mau ngomong." Ujar Pandu.
Cowok itu lalu memukul Galang pelan, mengodenya untuk lekas bicara. Galang menghela nafas pasrah dan akhirnya mulai angkat bicara.
"Bokap gue mau ngomong sama lo."
Sejenak tak ada jawaban dari Kala. Sekitar 10 detik lamanya.
"Om Bara? Kenapa?"
Galang melirik Pandu, "Om Bara sokap?" Bisiknya.
"Bokap gue." Jawab Pandu singkat. Galang memutar matanya dongkol.
"Ck! Ini Galang." Galang berujar ke arah hp Pandu.
Kala kembali tidak bersuara. Terdengar background keramaian di seberang sana.
"Tentang apa?" Tanya Kala.
"Ya tentang apa lagi. Pake nanya." Jawab Galang ketus yang langsung merima pelototan membunuh dari Pandu dan Dira.
Tut..tut..tut
"Si anjing! Dimatiin dong!" Ujar Galang melihat di layar ponsel Pandu panggilan sudah terputus.
Pandu lantas merebut ponselnya dan mengecek panggilan. Benar. Panggilan terputus.
"Elo sih, Lang! Lagian ngomong baik-baik apa susahnya sih? Jutek banget jadi orang." Komentar Dira.
Galang merengut tak suka. Sudah rela ia turunkan egonya, Kala malah dengan senangnya menginjak-injak harga dirinya.
"Bodo ah! Kalo dia gak mau ngomong yaudah!"
Dira dan Pandu kembali menatap Galang jengah. Ngambek adalah jurus terjitu dan terakhir cowok itu. Yang jadi masalah adalah, orang yang ia pundungi bahkan tak sadar.
"Jangan kayak bocil dah lo. Udah mau 20 tahun bentar lagi juga!" Tungkas Dira. Galang hanya menangkupkan kepalanya diam di meja.
Ting!
Pandu membuka ponselnya ketika mendengar dering tanda pesan masuk. Setelah membaca pesan itu, ia lantas menepuk-nepuk Galang yang masih menangkupkan kepalanya.
"Lang, dari Bang Kala nih!" Ujar Pandu.
Galang langsung mendudukkan kembali badannya dan membaca chat dari Kala di ponsel Pandu.
Bang Kala:
Besok malem gue free di atas jam 7. Lo pilih tempatnya.
---
Galang tak pernah merasa secanggung ini di sekitar ayahnya. Apalagi jika ditemani dengan segelas caramel macchiato favoritnya.
Matanya melirik Kala yang sejak tadi sibuk menyesap americano-nya sambil menatap rintik hujan dari balik jendela.
Mereka tengah berada di cafe, menunggu Bima, ayah Galang, datang.
Tak sedikit pun kata keluar dari bibir keduanya sejak detik pertama duduk. Baik Kala maupun Galang juga tak ingin repot-repot memulai basa-basi.
"Udah pada nunggu lama nih?" Sebuah suara hangat terdengar.
Bima bergabung duduk, masih dengan pakaian kantornya. Wajah ramahnya tersenyum ramah menatap Kala yang tersenyum canggung menyambutnya.
"Jadi ini Kala, ya?"
Pemuda itu mengangguk sambil mempertahankan tersenyum tipisnya. Galang hanya melirik Kala sekilas.
"Gimana kuliahnya, Kala?"
Bima mencoba membangun percakapan singkat untuk pengantar topik inti yang mereka tau akan segera datang.
"Yah, begitu aja om. Naik turun kayak kuliah biasa." Jawabnya.
Bima lalu mengangguk. Sejujurnya, ia juga merasakan kecanggungan yang menyelimuti mereka. Basa-basi pun tak membuatnya merasa lebih nyaman.
"Kamu emang tinggal di Jakarta dari dulu?"
Kala menyesap kopinya meredakan resah yang menggelayutinya semenjak melihat wajah Bima.
"Iya." Jawabnya singkat.
"Sendirian?"
Netranya sejenak melirik cahaya kuning dari lampu cafe. Mencoba mengulas kembali memorinya.
"Sampe kelas dua SMA papa masih disini. Tapi waktu naik kelas tiga, papa balik ke Itali."
Bima diam-diam menghela nafas berat. Memikirkan apa yang selanjutnya harus diutarakan dan dibahas dengan Kala.
"Terus....sendirian disini sejak saat itu?"
Kala mengangguk sambil menarik kedua ujung bibirnya membentuk garis datar.
"Ya. Papa sempet bolak-balik sini sana buat bantuin pendaftaran kuliah, sih. Tapi abis itu aku minta dia balik aja kesana."
Alis Bima berkerut mendengarnya.
"Kenapa? Bukannya lebih enak kalo ada papa disini?" Tanya Bima.
Kala mengedikkan bahu sekilas sambil menjawab.
"Pengen rasain vibes jadi anak kuliah yang mandiri aja. Lagian tanggung jawab dan kerjaan Papa juga disana semua. Yang ada makin susah kalo harus bolak-balik."
Manik Kala menatap Bima yang mengangguk pelan, respon akan jawabannya. Pendengarannya menangkap helaan nafas cukup berat dari Bima.
"Kalo Om nanya tentang mama kamu, keberatan gak?"
Netra bijak Bima terarah tepat ke mata kelam Kala yang juga menatapnya datar. Pemuda itu terdiam sejenak lalu mengangguk tipis.
"Emang itu yang harusnya kita bahas sekarang, kan?"
Meja mereka terlibat dalam keheningan sesaat. Galang yang sedari tadi hanya menjadi pendengar setia pun mulai merasakan gelombang ringan di dadanya, mengantisipasi topik selanjutnya.
"Kamu tau seberapa banyak tentang mama kamu?" Tanya Bima.
Kala menatap netra Bima dan Galang bergantian lalu mengalihkan pandangannya ke gelas kopinya yang sudah hampir tandas isinya.
"Gak ada."
Bima dan Gilang serentak mengerutkan dahi serupa mereka, cukup terkejut dengan jawaban Kala. Sedangkan yang memberi jawaban juga menatap mereka dengan tatapan yang tak mampu diartikan.
Kala menarik nafas sejenak untuk bersiap menceritakan sisi hidupnya yang tak pernah ia bongkar selain pada Gavin dan Grizelle.
"Papa cuma ceritain ke aku sejak kecil kalo aku cuma punya papa dan kakek-nenek di Itali. Sampe aku masuk SD, aku gak kenal kata mama. Tapi waktu sekolah orang-orang mulai nanyain mama dan disitu baru aku tanya ke papa tentang mama."
Netra elangnya melirik Bima dan Galang yang menyimak ceritanya dengan seksama. Ia lantas melanjutkan.
"Dan... Papa hanya bilang kalo mama udah hilang dari lama. Peran dia cuma hamil dan ngelahirin aku. Gak lebih. Papa juga selalu bilang buat gak perlu nyari tau soal dia karena bakal sia-sia dan cuma bisa ngecewain aja."
Helaan nafas berat terdengar dari Kala. Galang mengabsen raut wajah seniornya yang terlihat datar-datar saja tanpa emosi sedikit pun saat mengatakan hal yang sangat menyakitkan menurut Galang.
"Ya... udah. Dari situ, aku udah ngilangin kata mama dan gak pernah cari tau tentang dia."
Bima membuang nafas pedihnya dengan cukup kencang. Hatinya seakan diremas-remas hingga hancur mendengar cerita menyakitkan itu. Ia menatap nanar Kala yang hanya menatapnya datar.
"Maaf... Om gak tau kalo kamu punya anggapan seperti itu."
Kala hanya membalas Bima dengan senyuman tipisnya. Jauh dari lubuk hatinya, ia pun juga merasakan kesedihan dan kekecawaan yang telah dikuburnya dalam-dalam.
"Kala, boleh Om bicara dengan papa kamu? Mungkin Om bisa dapat nomornya?"
Pemuda berwajah datar itu terdiam. Sejak awal, ia tak ingin melibatkan ayahnya dalam masalah baru ini.
"Ehm... aku udah merasa cukup dewasa untuk bisa tau tentang ini dan ngatasin sendiri. Lagipula, dari awal aku udah berniat gak akan kasih tau papa. Jadi, Om bisa bicara dengan Kala aja?"
Bima menggigit bagian bawah bibirnya, menimang permintaan anak di depannya itu. Setelah berpikir cukup lama, ia akhirnya mengangguk, menyetujui.
"Boleh Om liat foto mama kamu yang kamu punya?"
Tangan Kala merogoh sakunya lantas mengeluarkan dompetnya. Ia mengambil sebuah cover kecil dan membuka cover itu lalu menyerahkannya pada Bima.
Bima mengambil benda itu, dan menemukan gambar seorang wanita yang sangat dikenalinya, pujaan hatinya sekaligus wanita yang melahirkan Galang.
"Om sangat kenal dengan mama kamu. Tapi mungkin memang Papa kamu lebih dulu mengenal mama kamu."
Bima menjeda untuk melegakan hatinya lalu melanjutkan lagi.
"Om sendiri gak tau apa yang terjadi dengan Papa dan Mama kamu, tapi yang Om tau, beliau juga wanita yang melahirkan Galang."
Baik Kala maupun Galang membisu. Mereka sudah tau jelas jawaban dari pertanyaan yang melanglang buana di otak mereka sejak penemuan ini, namun tetap saja, mendengarnya secara langsung dari orang yang bersangkutan juga tetap mengejutkan.
Bima memberi tatapan penuh pengertian pada mereka berdua yang terdiam cukup lama.
"Om tau ini sangat aneh dan mungkin mengejutkan kamu. Galang juga. Tapi, yang Om mau luruskan disini adalah kamu dengan ini juga punya hubungan darah sama Galang. Kamu bagian dari keluarga kami juga, Kala."
Kala mengalihkan pandangannya ke Bima. Mendengar hal yang sehangat ini sangat jarang baginya. Ia bahkan lupa terakhir kali mengucapkan kata saling sayang pada ayahnya.
"Rumah kami terbuka buat kamu. Om mau minta kamu sering-seing main ke rumah. Sepi juga tau cuma tinggal sama Galang. Mana anaknya bentukannya begini, kamu bisa lihat sendiri." Ujar nya sambil melirik Galang, menggoda. Sekaligus mencairkan suasana.
Galang lantas melirik tajam ayahnya yang bisa-bisanya jahil di situasi ini.
"Udah ah serius-seriusnya. Ngeri tau!" Ujar Bima yang disambut kekehan singkat dari Kala.
Sekilas perasaan hangat timbul dari hatinya melihat perilaku Bima yang tak berlaku seperti orang asing, bahkan padanya yang baru sekali bertemu.
"Oh ya, Kala gabung makan malam, yuk? Bibi di rumah masakannya enak banget loh." Tawarnya.
Kala melirik jam di tangannya sekilas lalu tersenyum ramah sambil menjawab.
"Kala ada job abis ini, Om. Mungkin lain kali."
Bima hanya mengangguk mengerti.
"Ehm... Om." Panggil Kala.
"Ya?" Bima menatapnya antusias. Dilihatnya Kala yang tengah berpikir. Terlihat ingin mengutarakan sesuatu.
"Kenapa Om langsung percaya sama aku? Padahal aku cuma punya selembar foto mama doang?" Tanyanya.
Bima tersenyum mengerti. Ia mengambil cangkirnya yang sudah dingin lalu menyesap kopinya. Setelah itu ia menjawab dengan mata menerawang dan senyum tulus.
"Wanita yang di foto itu, hanya ada satu di dunia ini. Dan Om mengerti betul kalau keluarga kami bukanlah keluarga satu-satunya bagi dia. Om sudah menyadari konsukuensi ini sebelum yakin memilih Marissa."
---To be continued---