Desiran angin lembut dari kipas yang terpasang di ruangan kembali membawa Galang ke setengah bawah sadarnya.
Posisinya setengah duduk di ranjang ruang medis. Di depannya, Kyra, Grizelle dan beberapa orang bertag medis di lengan mereka tengah sibuk mengurus kakinya dan beberapa bagian tubuhnya yang terluka.
Pemuda itu menghela nafas malas. Matanya kembali beralih ke hpnya yang sejak tadi ia mainkan karena bosan.
"Mas Galang ada lagi yang kerasa sakit gak?" Ucap seorang tenaga medis di depannya.
Galang melihat beberapa luka di lengan kanannya dan kakinya yang sudah selesai dibalut perban karena terkilir.
Ia lantas menggeleng ketika merasa tidak ada lagi yang perlu ditangani. Tenaga medis itu mengangguk dan tersenyum ramah lalu meninggalkan ruangan.
Ia lalu kembali fokus ke ponselnya. Namun beberapa saat kemudian bulu kuduknya merinding merasakan dua pasang mata menatapnya dengan beringas.
"Galang?" Panggil Kyra.
Galang lalu melirik Kyra ragu-ragu. Ia sudah tau nasib telinganya setelah ini. Bersiap kebas untuk menerima segala bentuk ceramah dari kedua gadis disitu.
"Kan udah tau remnya gak bagus? Kenapa masih diterusin pake speed lo yang biasa?" Mulai Kyra.
Galang mengambil nafas sejenak sebelum bersiap mulai mendebat. Namun ketika sudah akan membuka mulut untuk menyahut, tangan Grizelle membekap mulutnya. Pemuda itu melotot seketika.
"Gak ada hak veto buat ngebantah ya! Tugas lo cuman diem dan dengerin." Ujar Grizelle tegas.
Galang membuang nafas kasar, mengalah menghadapi kedua cewek itu. Ia lantas mengangguk patuh.
"Satu. Lo tau remnya udah gak bagus tapi maksa." Ujar Grizelle.
"Dua. Di lap kedua udah sempet nyerempet ban pembatas kenceng bikin stir miring. Lo masih jalan pake speed normal lo." Kali ini Kyra menambahkan.
"Tiga. Lo ada waktu buat mampir ke bengkel dulu sebelum lap terakhir tapi malah bablas aja jadi nubruk kan?" Grizelle menyelingi.
Galang makin cemberut. Ia tau semua ini murni ego dan kesalahannya sendiri, tapi siapa yang tidak kesal diceramahi apa yang sudah ia sadari?
"Ya tapi bisa liat hasilnya, kan kita jadi juara dua? Lumayan dong?" Belanya.
DUK!
"Aw! Fuck!" Kekuh Galang ketika mendapat sebuah sentilan cukup keras dari Grizelle.
"Udah dibilangin gak boleh jawab masih jawab aja ya lo. Beo banget sih." Grizelle berkata gemas.
Galang masih mengelus dahinya yang pasti merah sambil menatap Grizelle kesal.
Kyra hanya bisa geleng-geleng kepala dibuatnya. Untung saja kecelakaan Galang di garis finish tadi tidak serius. Hanya membuat kaki Galang sedikit terkikir dan beberapa lecet.
"Lo bilang makasih gih ke bang Kala. Kalo tadi dia gak nyuruh medis stand by, udah abis lo ditabrakin finalis lain." Ujar Kyra.
Galang hanya memutar bola matanya malas. Kala lagi. Kapan ia bisa tidak berurusan dengan Kala?
Melihat reaksi Galang, Grizelle hanya menghembuskan nafas pelan. Tau betul masalah dari dua cowok itu belum terselesaikan.
"Galang... Galang. Kalo punya masalah tuh diomongin baik-baik. Bukannya ngajak ribut tiap ketemu. Sama aja lo berdua, gak habis pikir gue." Kata Grizelle dengan nada lelah.
Galang hanya menatap cewek itu malas.
"Gue kan pas itu dateng baik-baik. Lah dianya tiba-tiba mau bogem gue gitu, masa guenya diem, Kak?" Adu Galang.
Cewek berambut pendek itu kembali menghela nafas lelah untuk kesekian kalinya.
"Mending ngomong gih kalian pas udah kalem dua-duanya. Yang kemarin bukan perkara yang bisa dilupain gitu aja, kan?"
---
Suasana apartemen Kala malam itu lebih ramai dari biasanya. Di ruang tengahnya telah berkumpul Gavin, Jey, Aurel, Pandu dan Jetro. Mereka tengah mendengarkan penjelasan Jetro beserta bukti-bukti yang pemuda itu kumpulkan.
"Jadi kemarin anak buah gue ngikutin Baron dan Dalu. Udah bisa gue jamin yang nyerang Dira sama yang ngerusak rem kart kalian itu Dalu dkk." Jetro mengakhiri penjelasannya sambil menunjukkan beberapa foto Baron dan Dalu serta komplotannya.
"Bangsat! Cari masalah mulu ini orang! Udahlah, kita kasih pelajaran aja sekali-kali." Ujar Aurel emosi diikuti anggukan setuju Jey.
"Setuju gue. Kalo udah gini harus turun tangan sendiri kitanya, Bang! Kalo didiemin bisa makin jadi dianya." Tambah Jey.
Gavin mengerutkan alisnya tampak tak setuju dengan kedua temannya.
"Sabar dulu, sih. Kalo kitanya ikutan emosi yang ada sama-sama bego. Kalo gue mending kita kasih ajalah ke polisi." Ujar Gavin.
Aurel berdecak kesal mendengarnya.
"Lo gak inget dulu Dalu pernah masuk penjara gara-gara kita libatin polisi? Menurut lo dia kapok gitu? Liat aja sekarang berulah lagi. Polisi udah gak mempan buat dia." Aurel menjawab.
Gavin terdiam mendengar jawaban Aurel yang tak bisa ia bantah. Memang sepertinya Dalu sudah tidak terpengaruh jika mereka melibatkan polisi kembali.
Pemuda itu lantas melirik Kala yang sedari tadi belum angkat bicara.
"Gimana menurut lo, Kal? Kita semua gak akan jalan kalo dari lo gak setuju juga." Gavin berujar.
Kala berdiri dari duduknya dan melangkah ke balkon apartemennya yang terbuka. Disana ia bakar sebatang rokok kesukaannya. Setelah isapan ketiga, ia berujar dengan tegas.
"Udah saatnya kita kasih gertakan. Besok malem." Ujarnya singkat.
Semua yang ada di ruangan itu otomatis mengerti. Aurel dan Jey tersenyum puas ketika akhirnya mereka bisa melepas amarahnya yang selama ini tertahan. Sedangkan Gavin hanya menghela nafas. Mau tidak mau ia juga akan bergabung.
Kala lalu melirik ke arah Pandu yang juga mendengar segala penjelasan sejak awal hingga akhir.
"Ndu, lo gak usah ikut. Cukup gue dan yang lain aja yang urus."
Pandu yang sedari tadi diam beranjak dari posisinya lalu menghampiri Kala yang berdiri di balkon. Cowok itu ikut menyalakan sebatang rokok yang entah ia dapat darimana. Hal itu membuat Jey terkejut.
"Sejak kapan lo nyebat?" Hardik Jey pada adiknya.
Pandu hanya mengedikkan bahunya acuh.
"Udah lama. Orang biasanya juga nyebat kalo dugem. Abang aja gak perhatiin."
Jawabannya membuat Jey menatap adiknya masam. Sedangkan semua yang berkumpul disitu tertawa.
"Tau nih, yang diurusin cewek mulu sih lo. Jadi ketinggalan tumbuh kembang adek lo sendiri kan." Timpal Aurel yang langsung mendapat jitakan maut dari Jey.
Pandu dan Kala yang berdiri bersandar di batasan balkon hanya geleng-geleng kepala melihat Jey dan Aurel mulai menyerang satu sama lain.
Teralihkan dari keributan itu, Pandu lalu menoleh sekilas ke arah Kala dan berkata.
"Ijinin gue besok ikut, Bang."
Kala menatap Pandu setengah bingung sambil mengerutkan alisnya mencoba menebak alasan juniornya ingin bergabung.
"Gue mau bales para pengecut yang beraninya main keroyokan. Apalagi yang diserang sahabat gue yang lagi berdua doang." Ujarnya.
Kala terdiam sejenak sambil menyelami netra kelam Pandu yang masih menatapnya penuh keyakinan. Ada sedikit keraguan darinya untuk melibatkan mahasiswa baru.
"Tenang aja, Bang. Gue ban 3 item karate, fyi. Gue gak bakal bikin repot siapa-siapa." Tambahnya meyakinkan.
Mendengar itu, Kala mengangkat sebelah alisnya. Tak lama ia lantas mengangguk.
"Oke. Inget aja, aturannya cuma bikin bonyok, bukan bunuh orang. Lo masih maba, masih panjang perjalanan lo." Pesan Kala yang dibalas dengan acungan jempol Pandu.
---
BUK!
Pukulan telak Aurel mengenai rahang Baron membuat si empunya tesimpuh menubruk kursi-kursi yang berada di tengah ruangan basecamp mereka. Tak berhenti disitu, Aurel menarik kerah baju Baron dan menghujami pemuda itu pukulan bertubi-tubi.
Seisi basecamp Baron dkk dalam sekejap porak poranda ketika tiba-tiba Kala dan yang lainnya menyerbu masuk dan tanpa aba-aba langsung menghajar mereka satu persatu.
Kala menendang punggung seorang anak tingkat 2 yang tak ia ketahui namanya. Tangannya reflek menangkis pukulan seseorang dari samping. Dengan cekatan ia menendang perut orang itu dan meninju rahangnya hingga orang tadi terjatuh mundur.
Dalu, si empunya tangan, terkekeh sambil mengusap ujung bibirnya yang sobek mengeluarkan darah.
"Cepet juga lo nemuin kita." Ujarnya dengan nada sarkas.
Kala masih berdiri tegak dan tenang di hadapan Dalu. Tangannya terkepal erat menahan diri untuk menghabisi orang di depannya.
"Sekali liat juga tau kalo itu rencana lo. Rencana tolol anak TK." Balas Kala.
Dalu berdiri dengan sedikit kesusahan karena pukulan dan tendangan Kala sebelumnya memang tak main-main kerasnya. Ia menyadari, jika dalam segi kekuatan fisik bertarung pasti ia akan kalah karena orang di hadapannya memegang sabuk hitam bela diri yang ia tak ketahui apa. Begitu juga dengan seluruh komplotan Kala yang tak diragukan lagi kemampuan bertarungnya.
"Tapi dibalesnya juga sama-sama pake rencana balas dendam anak TK tuh." Timpal Dalu yang mengarah ke aksi mereka malam ini.
Kala tertawa sinis. Ia melirik sekeliling yang mayoritas anak buah Dalu sudah terkapar di bawah teman-temannya. Kemudian pemuda itu kembali menatap Dalu angkuh.
"Tapi sayangnya pake standar rencana gini aja semua temen lo udah KO. Menurut lo? Gimana jadinya kalo gue pake rencana yang beneran serius?"
Tatapan Dalu ke Kala menajam. Sifat angkuh yang baru keluar dari pemuda di depannya inilah yang membuatnya makin ingin menghancurkan Kala.
"Well, kebetulan kita gak siap ngadepin surprise yang kalian buat. Beraninya nyerang tiba-tiba pas kita semua lagi lengah. Bisa gue sebut pengecut?" Ujar Dalu dengan nada super sinisnya.
"Kalo yang lo sebut pengecut itu kita yang jumlahnya bahkan sekarang gak sampe setengah dari kalian, nyerang lo pada, terus gue harus sebut komplotan lo yang ngeroyok dua temen gue rame-rame apa?"
Pandu tiba-tiba muncul dari belakang Kala dan ikut menimbrung percakapan dua tokoh utama yang menjadi akar permasalahan ini.
Dalu menatap Pandu tak suka.
"Oh, dendam gara-gara kejadian kemarin? Kita sih niatnya main doang, taunya temen lo kelewat lemah."
Netra Pandu tiba-tiba membara. Tanpa aba-aba ia mendekati Dalu yang masih kesusahan menahan posisi berdirinya dan menyerang cowok itu dengan bogeman-bogeman terkuatnya. Kala yang melihat itu hanya diam dan menikmati.
Setelah puas dengan hadiahnya, Pandu berdiri lalu menemukan Kala telah mendekat. Kala menarik bahu Pandu mendekat dan memberi rematan sedikit kuat untuk menenangkan juniornya itu.
Mereka berdiri diam sambil melihat Dalu yang tersungkur menahan sakit dan meludahkan darah dari mulutnya. Wajahnya pun sudah tak berbentuk.
"Oh, sorry. Tadi niatnya sih gue cuman mau main, tapi ternyata lo kelewat lemah." Katanya membalikkan kalimat Dalu beberapa menit sebelumnya.
Kala terkekeh mendengar ucapan telak Pandu. Ia lalu membuka dompetnya dan mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu. Kemudian melemparkannya ke arah Dalu.
"Nih. Gue masih tanggung jawab kasih biaya berobat. Kalo kurang, tinggal telpon gue aja."
"Kalo lo berani macem-macem lagi ke temen-temen gue, kayak yang udah pernah gue bilang, gue pastiin bahkan penjara pun masih jauh lebih bagus dari apa yang bakal lo terima."
Kala berujar dengan nada mengancam lalu merangkul Pandu untuk berjalan keluar dari gedung itu diikuti yang lainnya. Dalu pun hanya dapat menatap penuh amarah lembaran uang yang dilemparkan Kala di tanah.
---
Galang menyendok malas nasi goreng di piringnya. Ia sudah merasa kenyang padahal baru menyuap 3 sendok nasi. Katakan saja, moodnya masih berantakan.
Ayahnya yang juga tengah menyantap makan malam di meja yang sama menatap Galang aneh. Sejak duduk di depannya, putranya itu tak mengeluarkan sepatah kata pun. Tak seperti biasanya.
"Lang, kamu sakit?" Tanya sang ayah.
Galang mengalihkan pandangan dari piringnya ke ayahnya. Pemuda itu lantas menggeleng pelan menjawab pertanyaan itu. Kemudian kembali melihat makan malamnya tak berselera.
Bima, ayah Galang, masih mengerutkan alisnya bingung melihat tingkah anaknya.
"Terus kenapa lemes gitu?"
Galang hanya bisa menghela nafas malas. Sejujurnya, ia sendiri tak tahu kenapa tiba-tiba moodnya mendadak jelek. Ia menatap bersalah kepada ayahnya yang ikut terkena imbas moodnya yang sedang tidak bagus.
"Biasa, Yah. Anak kuliah, banyak yang dipikirin." Jawabnya.
Bima tertawa khas bapak-bapak mendengar jawaban Galang.
"Kamu ini, memangnya apa sih yang dipikirin anak seumuran kamu kalo gak tugas atau cewek? Hm?"
Pemuda itu hanya mengangguk asal menjawab ayahnya. Tangan Galang mengaduk-aduk makanannya asal semetara di pikirannya penuh dengan pertanyaan mengenai bundanya yang sama dengan Kala.
Hatinya bergejolak, antara ragu dan belum siap menanyakan hal ini ke ayahnya. Tapi, jika dipikir lagi, semakin lama ia tunda, semakin tak siap hatinya.
Netra elang Galang lantas menatap ayahnya yang sudah selesai dengan makan malam namun masih sibuk dengan iPad dan kopi sebelum tidurnya.
Cowok itu mencoba memantapkan hatinya sekali lagi dan menarik nafas dalam untuk mempersiapkan diri.
"Yah." Panggilnya.
Bima langsung mengalihkan pandangannya ke arah Galang yang juga tengah menatapnya ragu.
"Hm?"
Galang berusaha menahan netranya untuk berani menatap ayahnya. Ia menggigit bibirnya pelan sebelum bertanya.
"Keluarga bunda itu cuma kita, kan" Tanyanya.
Bima seketika mengernyit bingung mendengar pertanyaan putranya. Ia melepas kacamata bacanya dan mulai fokus ke arah Galang.
"Maksudnya?"
Galang meletakkan sendok dan garpunya lalu berusaha untuk menceritakan semua yang ia alami dari mulai kalungnya yang direbut paksa Kala, well, tentu saja ia tidak menggunakan kata direbut paksa atau dirampas pada ayahnya hingga kejadian ketika Kala menyebut foto bundanya adalah foto ibu pemuda itu juga.
Bima terdiam menyimak cerita anaknya. Hatinya seketika berdenyut tak nyaman mendengar hal yang selama ini ia hindari. Cerita tentang istrinya dan keluarga lain dari istrinya.
Selesai dengan ceritanya, Galang juga hanya menatap ayahnya yang terdiam dengan ekspresi tak dapat ia artikan. Ia hanya diam menunggu respon atau jawaban dari ayahnya.
Besar dari hatinya berharap ayahnya akan menjawab dengan bercanda namun dilihat dari ekspresinya sekarang, sepertinya hal ini bukanlah sesuatu yang bisa dibercandai.
Beberapa menit ruang makan mereka hening tanpa suara. Hanya jangkrik malam dan kipas angin di atas yang membantu malam memberikan efek yang tidak terlalu sepi. Galang mendongak kembali menatap ayahnya yang terdengar membuang nafas.
Bima melihat putranya pasrah. Sudah saatnya masalah ini diperjelas. Namun, ia tidak bisa hanya memperjelas hanya ke Galang saja. Hal ini diperlukan banyak pihak.
"Kakak tingkat kamu, tinggal sendiri atau sama orang tuanya disini?" Tanyanya.
Galang mengertukan alis bingung namun tetap menjawab.
"Sendiri, Yah. Ayahnya di Itali kalo gak salah, sedangkan ibunya Galang juga gak tau dimana."
Bima mengangguk mengerti.
"Kamu coba ngomong ke dia dulu, buat cari waktu omongin hal ini. Sama ayah, kamu, dia dan kalo bisa ayahnya. Ayah juga pengen ketemu dia dulu buat konfirmasi."
Galang, masih dengan kerutan di dahinya, menatap ayahnya penuh tanya. Awalnya, ia hanya membayangkan hal ini tinggal di dirinya dan ayahnya. Tapi sampai mengumpulkan Kala dan ayahnya? Sebesar inikah?
"Apa gak bisa ayah jelasin sama aku aja?" Tanyanya.
Bima menggeleng sambil tersenyum tipis.
"Ayah harap kamu bisa bawa dia kesini, Lang. Kabarin ayah kalo kalian udah nemu waktunya."
Disitu Galang tersadar, ia akan kembali menghadapi masalah lagi. Dengan Kala lagi.
---To be continued---