Chereads / Engine Batska / Chapter 10 - Chapter 9

Chapter 10 - Chapter 9

Jemari lentik Grizelle dengan telaten menyisir surai coklat gelap Kala. Pemuda itu masih memejamkan mata. Wajah tenangnya masih sukses membuat gadis itu terkesima walau terpasang selang oksigen di hidungnya.

"Kok gak bangun-bangun ya, Vin?" Gadis itu bergumam.

Sudah 12 jam lamanya Kala tidak sadar dari kejadian malam kemarin. Dan hal itu cukup membuat Grizelle khawatir walaupun dokter sudah mengatakan Kala akan sadar kurang dari 24 jam.

Gavin yang duduk di sofa ruang rawat beranjak melangkah ke arah ranjang Kala dan mengecek kantung darah dan cairan infus yang tersambung ke tangan Kala sekaligus.

Cowok itu mengernyit membayangkan apa rasanya mendapati benda itu terpasang ke tubuhnya.

"Capeknya kebangetan kali, Kak. Gak tidur berapa hari dia, mana skip obat sama transfusi juga." Ujarnya sambil memperhatikan Grizelle yang masih sibuk membelai lembut rambut Kala sambil menidurkan kepalanya di tangan Kala yang bebas infus.

"Ck! Bandel banget sih jadi anak. Masa iya kita harus cek tiap jam? Kecolongan terus kitanya."

Gavin hanya menghela nafas lelah. Dalam hati membenarkan Grizelle. Begitu sulitnya mengawasi temannya yang satu ini.

Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan Kala ketika ia bangun. Belum selesai dengan masalahnya dengan Galang, masalah lain ikut datang.

Semalam ketika mereka sibuk mengurusi Kala di rumah sakit, Galang dan Dira diserang orang tak dikenal. Galang hanya luka-luka kecil sedangkan Dira mendapat luka cukup berat di punggungnya karena pukulan benda keras.

Sudah dapat dipastikan, ini berkaitan dengan turnamen dan rival universitas lain yang mulai bermain kotor. Tiap tahun mereka sudah menghadapi situasi seperti ini. Namun tetap saja masih menjadi masalah.

"Gue mau keluar cari makan. Lo mau ikut apa nitip, Kak? Sekalian beliin Galang sama Pandu yang masih jagain Dira."

Grizelle menimang-nimang sejenak lalu menjawab.

"Nitip big mac aja 1 boleh gak? Gak tega gue tinggalin dia, bentar lagi bangun pasti."

Gavin mengangguk lalu beranjak keluar dari ruangan.

Sepeninggalan Gavin, cewek itu kembali fokus ke Kala. Ia menegak ketika melihat kelopak mata Kala bergerak.

"Kala?" Panggilnya.

"Kala? Denger gue gak?" Ujarnya kembali.

Perlahan tapi pasti, kelopak itu terbuka dan menampilkan netra coklat gelap kesukaan Grizelle. Berulang kali Kala mengerjap untuk menyesuaikan pandangannya yang masih buram.

"Kal?"

Pemuda itu menoleh ke samping dan ditangkapnya wajah Grizelle yang tak jauh dari wajahnya.

"Hm." Gumamnya menanggapi yang dibalas senyum lebar milik Grizelle.

"Akhirnya bangun juga. Gue panggil dokter dulu. Diem dulu lo." Cewek itu dengan sigap menekan tombol merah di atas ranjang Kala.

Tak lama dokter datang dan memeriksa kondisi Kala. Setelah selesai ia memberi penjelasan Kala harus menghabiskan darah di kantong yang masih tersisa setengah dan sekantong infus lagi, lalu baru boleh pulang.

Kala dan Grizelle mengucapkan terima kasih kepada dokter sebelum dokter itu meninggalkan ruangan.

"Gue tidur berapa lama?" Suara parau milik pemuda itu masih membuat Grizelle prihatin.

"12 jam-an. Lama ya, bayar berapa hari gak tidur tuh?" Sinisnya.

Kala hanya memutar bola matanya malas. Ia kembali terdiam dan menatap langit-langit ruangan. Memanggil kembali memori apa yang terjadi sebelum ia pingsan.

"Galang gimana?" Tanyanya.

Grizelle mengerutkan keningnya. Bingung harus menjawab apa.

"Ya gak gimana-gimana. Lebih kaget gara-gara lo nya jatoh pake mimisan gak berhenti. Terus lagi sibuk ngurusin Dira."

Kali ini giliran Kala yang mengernyit bingung. Grizelle seketika merutuki kebodohannya.

'Anjir kan keceplosan.' Batinnya.

Ia sebenarnya belum mau menceritakan penyerangan itu karena pasti Kala akan langsung bertindak.

"Dira kenapa?" Tanyanya.

Grizelle menatap Kala sejenak lalu menghela nafas kasar.

"Diserang gak tau sama siapa. Kayak tahun lalu lah, kalo udah deket turnamen kan mulai ngaco." Jelasnya singkat.

Grizelle mendengar helaan nafas kasar dari Kala. Kedua alis pemuda itu langsung bertaut terlihat memikirkan sesuatu.

"Bantuin gue duduk, please." Ujarnya.

Grizelle memutar matanya kesal.

"Belom sepuluh menit sadar, Kal. Nanti dulu lah tiduran dulu." Ujarnya yang langsung dihadiahi tatapan memohon Kala.

"Tapi ini gak bisa dibiarin kelamaan. Dira tingkat 1, gimana bisa mereka nyerangnya anak baru, sih?"

"Please, Zel." Pinta Kala sekali lagi.

Grizelle hanya memandang Kala datar sambil menggeleng tegas.

Kala makin merengut. Bibirnya mulai maju, cemberut namun cewek itu melihat hal yang kebalikan. Justru wajah cowok itu tampak lucu dan menggemaskan.

"Bantuin gue, pleaseeee." Ujarnya dengan nada makin memohon dan wajah super imut.

Grizelle menahan senyumnya. Tak tahan dengan kegemasan yang tersuguhkan di hadapannya saat ini.

"Kakaknya mana?" Ujar Grizelle tak kalah manja.

Kala menghela nafas sekali lagi. Kalau sudah begini, ya harus ia turuti.

"Bantuin gue duduk please, Kak Grizelle?" Ujarnya dengan nada manja dan raut wajah diimutkan.

Oke. Grizelle sudah kalah. Cewek itu lalu berjalan mendekat dan menekan tombol otomatis ranjang Kala sehingga bagian atas naik menjadi agak miring dan memudahkan Kala untuk duduk.

Dengan telaten, ia menata bantal Kala ke belakang punggungnya agar cowok itu nyaman. Setelah dirasa posisi sudah nyaman, Grizelle menyerahkan ponsel Kala.

Membiarkan juniornya itu berkutat dengan koneksinya yang diam-diam luar biasa banyak dan mengusut masalah ini dengan cepat seperti tahun-tahun sebelumnya.

Bukan tanpa alasan Kala dipercaya memegang jabatan sebagai ketua klub. Di tiap turnamennya, gokart adalah cabang yang terkenal dengan bermain kotor.

Sehingga banyak klub memilih anggota apalagi ketua yang bisa diandalkan dalam mengatasi masalah-masalah kotor itu.

Dan Kala adalah orang yang sejak awal bisa mengatasi masalah yang dianggapnya receh itu dengan cepat. Seluruh klub tau Kala adalah anak pendiam dan introvert, tapi tak ada dari mereka yang meremehkan koneksi Kala karena cowok itu diam-diam memiliki jaringan luas di balik sifat pendiamnya.

Tak lama kemudian, Gavin kembali dengan sekantong makanan di tangannya. Grizelle menyambutnya dengan penuh kebahagiaan lalu melahap big mac favoritnya di sofa ruangan.

"Lah, udah bangun aja, gue kira nungguin resepsi nikahan gue sama Gigi Hadid." Godanya pada Kala yang hanya mengacungkan jari tengah sambil sibuk berbicara dengan orang lain di hpnya.

Gavin lalu mengambil alih kursi Grizelle di samping ranjang Kala dan menunggu lelaki itu selesai dengan urusannya.

"Gimana Dira?" Tanya Kala usai menyelesaikan panggilan teleponnya.

"Gak parah sih. Cuma shock aja, gak ada retak sama internal bleeding untungnya."

Kala lalu hanya mengangguk paham.

"Parah banget sih tapi, udah berani nyerang maba yang belum tau aturan mainnya." Tambah Gavin kembali.

"Gue udah minta Bang Jetro ngurus sama Aurel dan Jey. Sekali kena, abis mereka." Ujar Kala tegas.

Gavin mengerutkan alisnya.

"Sampe ke Bang Jetro amat? Biasanya Aurel Jey doang kelar?"

Jetro adalah kakak kelas mereka semasa SMA. Murid yang terkenal bandel, tawuran sana sini dan datang setiap hari dengan luka berbeda.

Banyak yang meremehkan masa depannya namun jangan sekali-sekali meremehkan koneksinya. Ia bagaikan preman underground, tau semua geng dan anggotanya, rampok, pencuri bahkan hingga mendapat kepercayaan beberapa oknum polisi sebagai informan.

Kalau kata Kala dan Gavin, ia dijuluki calon mafia. Tak ada yang tau juga dengan siapa dan untuk siapa Jetro bekerja.

Namun, yang terpenting bagi Kala adalah hubungan baiknya dengan Jetro sangat menguntungkannya dalam menangani masalah-masalah 'receh' kampusnya ini.

"Udah kelewatan mereka kali ini. Gue kasih sedikit pelajaran biar gak main-main sama klub kita lagi tahun depan." Ujar Kala tegas.

Gavin lalu mengangguk paham. Temannya sedang dalam mode tegas dan serius.

Mereka lalu hening sejenak. Tenggelam dalam pemikiran masing-masing. Hingga akhirnya Gavin memberanikan diri untuk kembali berujar.

"Kalo masalah sama Galang? Gak bisa pake bang Jetro dong?"

---

Langkah kaki terburu-buru terdengar memasuki basecamp. Semua orang yang sedang berkumpul dikelilingi asap rokok itu seketika mengalihkan pandangan ke sosok yang baru memasuki ruangan.

"Bang." Sapa semua orang serentak.

Dalu, orang yang baru saja datang, mengangguk lalu bergabung duduk di antara mereka.

"Jadi ada rencana apa kali ini, Bang?" Tanya Baron, salah seorang di ruangan itu.

Dalu membakar rokoknya lalu menatap Baron penuh arti.

"Denger-denger lagi pecah kan klub lo?" Tanya Dalu pada Baron.

Baron lalu mengangguk mengiyakan. Melihat Kala dan komplotannya sedang kalang kabut menangani penyerangan Dira beberapa hari lalu.

"Empat hari lagi turnamennya, kan? Pasti si Kala fokus ke jagain anak-anaknya. Disitu kita masuk buat bikin masalah ke jantung mereka." Jelas Dalu yang dibalas tatapan penuh tanya anggotanya.

"Maksudnya, Bang?"

Kekehan pelan terlepas dadi Dalu.

"Baron sama anak-anak yang masih stay di klub, lo tawarin bantuan ke anak mesin buat final check."

Ia kembali menghisap rokoknya pelan sebelum melanjutkan penjelasan.

"Mereka pasti bakal kirim kart-nya dua hari sebelum turnamen. Nyisain sehari buat test drive lapangan. Disitu lo masuk. Sabotase aja dikit remnya waktu masih disini. Sisanya lo tinggal tambahin pas udah h-1 di lapangan."

Semua yang ada di ruangan terdiam. Beberapa mengangguk mengerti.

Baron masih terdiam sejenak mencerna rencana yang baru saja didengarnya.

"Bakal ada korbannya dong, Bang? Apalagi Galang ikut main juga di lap terakhir." Tambah Baron.

Dalu menghela nafas agak kasar.

"Lo tinggal bilang aja ke Galang buat gak main. Pura-pura sakit atau apalah. Pasti si Jey sama Aurel bakal gantiin." Jawab Dalu.

Baron hening sejenak mencerna apa yang baru masuk ke otaknya dan apa efeknya setelah ia melakukan rencana itu.

"Abang yakin sama rencana ini? Gue denger dari beberapa anak, backing-an Kala bahaya juga, Bang." Jelas Baron.

Dalu hanya tersenyum lalu menepuk pelan pundak Baron. Jemarinya meremas pundak lebar cowok itu pelan, menyalurkan kepercayaan dirinya.

"Ini langkah pertama kita kalo mau balas apa yang udah si Kala lakuin selama ini, Ron."

Ia menatap Baron penuh percaya diri.

"Dan masih banyak rencana lebih besar yang menanti. Kalo di awal lo aja udah ragu, mending lo gak usah ikut sekalian. Gue cuma butuh orang yang konsisten dan bisa dipercaya."

Baron membalas tatapan Dalu dengan sedikir keraguan. Butuh beberapa detik baginya untuk memantapkan diri sebelum menyanggupi tugas seniornya itu.

"Oke, Bang. Kalo lo yakin, gue juga yakin. Gue bakal kabarin progress-nya kalo kita udah berhasil masuk."

Mendengar itu, Dalu tersenyum lega dan meremat pundak Baron untuk menyalurkan keyakinannya.

---

Gavin memainkan hpnya bosan. Setelah mengantar Grizelle ke arena terlebih dulu untuk menggantikan Kala, ia dan Kala langsung menuju ke rumah sakit terdekat di arena gokart Semarang untuk jadwal transfusi sahabatnya.

Besok adalah hari turnamen yang mereka tunggu-tunggu. Hari ini adalah hari uji coba arena turnamen bagi racer. Semua anggota klub sudah berada disana kecuali Kala yang harus memenuhi kebutuhan medisnya.

Gavin yang bukan anggota klub pun akhirnya ikut serta ke Semarang untuk menjalankan tugas sebagai babysitter sahabatnya itu.

Kali ini ia tengah duduk di sofa tunggu ruang transfusi, sedangkan Kala duduk di hadapannya dengan infus yang dialiri darah masuk ke lengan pemuda itu.

Kala, si pemilik lengan, sibuk menelpon anggotanya yang tengah berada di arena untuk mengecek segala jenis keperluan dan kelengkapan teknis mesin.

Senyum kikuk Gavin terpasang ketika mendapat tatapan tak menyenangkan dari seisi ruangan.

Kala berbicara cukup keras hingga menggema ke seluruh ruangan dan mengganggu suasana tenang disana menjadi agak ribut.

"Stir nya gimana, Dit? Kemarin udah dicoba pas di jakarta normal sih, masa bisa derajatnya berubah lagi gara-gara pengiriman. Lo pake jasa apaan?

Adit, mahasiswa teknik mesin seangkatan dengan Kala menjadi penanggung jawab divisi mesin ketika ia sedang tidak ada.

Kala terdiam sejenak mendengarkan jawaban Adit dari seberang.

"Ck! Cakram remnya oke gak? Cek dulu, delay di belokan bisa jadi cakramnya gak stabil."

Kala masih terus melanjutkan padahal Gavin sudah memberinya kode untuk mengakhiri panggilan akibat tatapan maut dari pasien lain.

"Ck! Sst!" Kala membalas tepukan Gavin berkali-kali sengan desutannya yang tajam.

"Udahan anjing! Gak enak sama yang laen. Lo lanjut lagi pas udah kelar darahnya aja." Bisik Gavin pada Kala.

Sedangkan Kala tak terlihat mengindahkannya.

"Yaudah, tunggu gue kesana. Bentar lagi kelar. Jam 8 an paling nyampe." Ujar pemuda itu dan akhirnya mengakhiri panggilannya.

Gavin akhirnya bernafas lega lalu menebar senyum bersalah ke pasien lainnya.

"Ini lama banget sih selangnya, dari tadi masa masih setengah."

Kala mengomel melihat jumlah darah yang masih tersisa di kantung darahnya masih setengah.

Gavin menghela nafas lelah. Saat ini adalah waktu bagian Kala mengomel tak berhenti sampai darah di kantong habis. Dan dia harus menghadapi sahabatnya itu dengan penuh kesabaran dan ketulusan dari hati.

"Mau diminum aja darahnya biar cepet? Gue bilangin suster nih biar bawain gelas." Tawar Gavin yang dibalas tatapan malas Kala.

"Haha. Lucu lo, bangsat." Kala berujar datar.

"Lagian dari tadi gak berhenti ngomel. Gue yang kena sama orang-orang. Lo nya mah enak gak peka."

"Iya ini kan udah berenti. Rebek lo." Balas Kala lalu memejamkan matanya.

Gavin menatap sahabatnya penuh drama. Yang mengomel siapa, yang dibilang rebek siapa.

Pemuda itu hanya bisa menelan kerebekan Kala bulat-bulat dan memilih untuk kembali fokus ke ponselnya dan menghabiskan waktu yang tersisa.

---

Sejam kemudian mereka tiba di arena. Kala langsung turun dari mobil dengan tergesa sedangkan Gavin menenteng kantong plastik berisi makan malam untuk para anggota klub.

Gavin berjalan santai ke garasi klub mereka dan disambut bahagia oleh Grizelle.

Cewek itu membantu mengambil alih beberapa kantong makanan dari Gavin dan menatanya di atas meja.

Perutnya dan anak-anak lain sudah keroncongan karena jam sudah menujukkan pukul setengah sembilan malam sedangkan tidak ada yang bisa beranjak keluar dari sana karena adanya masalah teknis dari kart tim mereka.

"Kala mana?" Tanya Gavin tak melihat Kala yang tadinya datang bersamaan.

Grizelle menunjuk bagian bawah kart yang hanya terlihat sepasang kaki yang dikenalinya.

"Udah langsung masuk bawah situ aja dateng-dateng." Timpal Grizelle sambil masih mengeluarkan makanan dari plastik.

Gavin hanya bisa geleng-geleng kepala melihat temannya. Ia bisa lihat ke-hectic-an garasi saat itu. Masalah yang ia dengar cukup serius.

Setelah sejam berkutat dengan bagian krusial kart timnya, Kala akhirnya beristirahat dengan yang lain sambil melahap nasi goreng babat yang tadi sempat dibelinya dengan Gavin sebelum datang ke arena.

"Rel, sekalian briefing aja daripada nanti kemaleman." Ujar Kala.

Aurel lalu mengangguk dan mengomando semua anggotanya untuk melingkar dan mendekat sambil masih menyantap makan malam mereka.

"Buat stir miringnya udah kita atasin. Stir aman." Ujar Kala.

"Tapi buat rem, cakram rem, gue gak tau gimana dia bisa masalah. Padahal pas di jakarta kita semua udah tau pasti ini cakram paling bagus dan bisa diandelin." Kala melanjutkan.

"Iya gue juga bingung. Kata Jey kerasa banget dari lap kedua, di kecepatan Jey aja udah berasa, apalagi Galang." Tambah Aurel.

"Divisi mesin udah gak bisa nambah cakram lagi, waktunya gak cukup. Jadi gue saranin Jey sama Galang kurangin kecepatan aja, cari aman. Nomor satu tetep safety, inget." Saran Kala.

Aurel dan Jey mengangguk. Namun raut wajah mereka berdua menyaratkan suatu keraguan.

"Gue sih bisa aja, Bang. Tapi kalo lo suruh Galang, gue gak yakin dia nurut. Ambis banget ternyata. Gue sama Aurel dibantuin Dira sama Pandu aja tadi siang nyuruh dia kurangin speed gak nurut." Lapor Jey yang diangguki Aurel, Dira dan Pandu.

Kala menghela nafas kasar. Anak itu lagi masalahnya. Ia lantas mengabsen satu-persatu wajah namun tak menemukan yang dicarinya.

"Terus sekarang dimana anaknya?"

Pertanyaan Kala membuat seisi ruangan hening seketika.

---

30 menit sebelum turnamen

Galang yang sudah berseragan lengkap melangkah memasuki sebuah warung di seberang arena. Baron barusan menelponnya dan menyuruh Galang untuk menemuinya di warung itu.

"Bang!" Sapa Galang ketika melihat Baron merokok di bagian teras warung.

Baron mengangguk lalu mengode cowok itu untuk mendekat.

"Lo mending jangan ikut balapan hari ini deh, Lang." Ujar Baron yang membuat Galang mengernyit tak mengerti.

"Maksud lo, Bang?"

Baron menghembuskan asap rokoknya lalu menjawab.

"Bahaya. Lo tau kan cakram remnya gak maksimal?" Ujarnya.

Galang makin mengerutkan alisnya.

"Tau darimana lo? Gue kira lo gak ikut ngurus turnamen ini." Jawab Galang.

Baron tertawa kecil. Ia beralih berdiri lalu meneouk pelan pundak Galang.

"Ya karena gue yang bikin cakram remnya gak bagus. Makanya, gue gak mau adek gue celaka gara-gara masuk ke rencana gue. Lo bilang ke Aurel kalo tiba-tiba lo sakit. Dia pasti ngerti."

Galang terdiam sejenak. Perasaannya campur aduk antara marah, kesal, dongkol dan tak percaya.

"Kenapa lo lakuin itu padahal lo tau gue yang bakal pake kart-nya?" Ujarnya sedikit emosi.

Baron berdecak kesak lalu menjawab.

"Ya makanya gue kasih tau lo sekarang buat gak tanding, Lang. Gue nih peduli sama lo."

Galang masih menatap Baron tak percaya. Sebagian dari dirinya merasa terkhianati.

"Kalo peduli harusnya lo gak ngelakuin itu dari awal."

Sebuah suara tegas berujar dari arah pintu.

Mereka berdua pun menoleh dan mendapati Kala sudah berdiri disana dengan tatapan tajam.

Baron membuang nafas emosi. Ia selalu merasa Kala dapat memergokinya melakukan apapun yang ditugaskan Dalu untuk menghancurkan cowok itu.

"Lo lagi! Gak usah ikut campur urusan orang." Ujar Baron sinis.

Kala tertawa mendengarnya.

"Lucu lo. Yang ikut campur urusan orang justru lo sendiri."

Kala berujar sambil menunjuk Baron.

"Tadinya gue mau nge-confront lo karena udah ngerusakin kart. Tapi ternyata udah ngaku sendiri."

Kala lalu mendekati Baron yang masih menatapnya tajam penuh kebencian.

"Bilangin ke Dalu, lain kali kalo mau bales gue, pake cara yang pinteran dikit. Cara gini mah anak sd juga bisa."

Tatapan tajam Kala membalas Baron. Sudut bibirnya tertarik sedikit ke atas, membentuk smirk yang membuat Baron mendidih seketika.

"Dasar tolol." Ucap Kala lalu berbalik meninggalkan Baron dan Galang yang masih terdiam.

Sebelum keluar, Kala menoleh ke Galang.

"Kenapa diem? Ikut gue! Bentar lagi turnamen mulai." Ujarnya.

Galang lantas tersadar dari keterdiamannya dan mengikuti jejak Kala.

Mereka berjalan dengan posisi depan belakang dalam diam. Galang tak mau menyamai langkah Kala dan Kala juga tak mau memperlambat langkah untuk Galang.

Saat sampai di depan garasi klub mereka Kala menghentikan Galang. Ditatapnya mata elang juniornya itu.

"Jangan jalan lebih dari 200 km/h." Ujarnya singkat.

Galang mengerutkan alis dan menatap Kala tak suka.

"Kalo gak lebih kita gak bakal menang."

"Gue gak mau ada yang celaka di turnamen ini. Biarin aja gak menang, kita pasti dapet bagian dari teknis mesin." Jawab Kala.

Galang mendengus kesal.

"Gak." Jawabnya singkat yang menarik emosi Kala.

"Lo tuh bisa gak sih dengerin gue sekali aja?!" Teriaknya.

Galang tertawa sinis. Ia lalu menatap Kala nyalang.

"Emang lo siapa ngatur-ngatur gue? Lo gak ada hak, asal lo tau."

Kala makin menatap Galang penuh amarah. Tangannya sudah bergetar mencengkram pergelangan tangan Galang.

"Kalo gue bilang gue kakak lo apa lo mau nurut?"

Suaranya merendah namun menajam.

Galang mematung sejenak mendengar jawaban Kala. Namun emosi terlanjur membakarnya.

Cowok itu tersenyum miring. Dengan oenuh nada sarkas menantang ia menjawab.

"Sayangnya lo bukan kakak gue."

Katanya tajam lalu menghempaskan tangan Kala dan menubruk pundak seniornya itu cukup keras untuk masuk ke garasi.

Kala masih menatap tembok di depannya tajam sepeninggalan Galang. Ia lalu meraih HT-nya yang terpasang di pinggang lalu memberi komado dari benda itu.

"Medis sama official stand by lap 3 sampe 6."

---To be continued---