Siulan khas Aurel menggema ke seluruh ruang gudang pagi itu. Di ruangan hanya tersisa dirinya dan Kala yang sedang membagi tugas untuk mengecek mesin gokart yang sudah sepenuhnya jadi.
Setelah menyelesaikan pengecekan bagian depan, Aurel berdiri lalu berjalan ke meja di tengah ruang itu untuk rehat sejenak.
Ia mengambil sebotol air lalu meminumnya hingga tersisa setengah.
"Kal, minum dulu dah. Dari tadi gue gak liat lo stop buat minum doang." Ujarnya menatap Kala yang masih sibuk dengan obengnya.
Beberapa menit Kala masih tak berhenti dari aktivitasnya membuat Aurel jengah.
"Kalandra!" Ujar setengah teriak.
Kala berdecak kesal. Ia melirik Aurel sebal lalu membuang obengnya ke sembarang arah.
Akhirnya, ia berjalan ke arah temannya. Tangannya yang lumayan kotor menerima botol air dari Aurel dan meneguknya hingga tandas.
Ia lalu berbalik berniat untuk kembali namun Aurel menahannya dan mendudukkannya dengan paksa di kursi.
"Duduk diem disitu 5 menit. Kalo masih lanjut sebelum 5 menit, gue iket lo disono sampe sore." Aurel berkata dengan nada tegasnya.
Mata Kala menyipit, menatap Aurel tajam.
"Apaan sih, Rel! Masih banyak yang harus dicek dan besok udah harus bisa dipake sama anak-anak lo, kan?"
Aurel mendengus kesal.
"Emang, tapi anak mesin lain kan masih banyak juga yang bisa ngecek sisanya. Lo udah kerja berlebihan. Tau gini gue gak usah minta ekstra waktu ke Kyra kemarin." Sesalnya.
Terdengar helaan nafas dihembuskan oleh Kala. Temannya sedang dalam mode overprotective dan itu jarang terjadi pada Aurel. Sehingga bisa ia simpulkan berarti kali ini memang dirinya yang berlebihan.
"Oke. Gue duduk. Puas?"
Aurel tersenyum lebar lalu menepuk pelan puncak kepala Kala.
"Ututu, gitu dong, nurut. Kan tambah ganteng."
"Ngomong gitu lagi gue obengin kepala lo ke mesin." Ancam Kala yang dihadiahi tawa terbahak dari Aurel.
Sambil menunggu 5 menit, Kala membuka hpnya dan memeriksa apa yang terjadi di dunia luar karena sejak 3 hari lalu ia tidak membuka ponselnya sama sekali.
Seperti dugaan, pesan dan panggilan tak terjawab dari Grizelle mayoritas masuk dan memenuhi notifikasinya.
Ia lalu mengetikkan sesuatu untuk membalas pesan Grizelle karena jika tidak, bisa dipastikan gadis itu akan menggentayanginya seminggu ke depan.
Lima menit berlalu. Kala lalu menunjukkan layar ponselnya ke Aurel.
"Nih, udah 5 menit. Gue mau lanjut, lo bisa bantu selesaiin cek puteran stirnya dulu gak?" Tanyanya lalu diangguki Aurel.
Kala berdiri dari duduknya namun badannya seketika agak terhuyung. Tubuhnya sudah berbenturan dengan lantai jika saja tangannya tak menyangga tubuhnya dengan meja.
Pening menggelayut tiba-tiba di kepalanya. Kala mengerjap beberapa kali ketika pandangannya mulai berbayang.
Keringat dingin otomatis muncul membasahi telapak tangan dan dahinya ketika dengungan nyaring mulai terdengar di telinganya.
"Shit." Gumamnya membuat Aurel yang tadi fokus ke hpnya beralih menatap Kala yang mencondongkan badannya ke meja.
Aurel mengernyit penuh tanya melihat Kala terdiam di posisi yang sama untuk beberapa detik.
"Kenapa lo?"
Kala tak menjawab karena masih konsentrasi mengembalikan tubuhnya ke keadaan normal.
Aurel mulai ikut berdiri lalu memperhatikan wajah Kala yang menghadap ke bawah karena temannya itu sedang menunduk.
Menyadari Aurel memperhatikan, Kala menarik nafas dalam-dalam lalu menegakkan tubuhnya sekuat tenaga.
"Kebelet. Gue ke toilet." Ucapnya cepat lalu berjalan keluar ruangan meninggalkan Aurel yang masih memperhatikannya hingga keluar ruangan.
Aurel tidak bodoh. Ia sempat menangkap raut pucat pasi milik Kala. Dengan langkah cepat ia mengejar Kala sambil menelpon Gavin.
----
PLAK!
Galang berjengit bangun dari tidur nyenyak di meja kelas ketika merasa kepalanya dipukul sesuatu cukup keras.
"Bangsat lo, Dir!" Ucap Galang menyadari Dira, si pelaku pemukulan. Ia mengelus kepalanya yang sedikit sakit.
Sedangkan Dira hanya tertawa puas. Ia menahan hasrat menjahili Galang yang tidur sepanjang kelas dan akhirnya bisa terlampiaskan.
"Lagian pagi-pagi udah lemes ae, lo. Ngapain sih kemaren?"
Punggung Galang bersandar ke sandaran kursi, tangannya terbuka lebar, merenggangkan ototnya yang kaku sambil menguap.
"Huh! Tau nih! Gak bisa tidur tenang gue dari kemaren. Kepikiran nyokap aja."
Alia Dira terangkat sebelah. Ia menopang kepalanya dengan sebelah tangan.
"Tumben. Jarang-jarang lo kepikiran nyokap."
Galang mengedikkan bahunya acuh.
"Efek gak tau nasib kalung gue sampe sekarang mungkin. Kayaknya kalo sampe beneran ilang gue gak biasa ikut turnamen. Gak fokus, anjing." Curcolnya.
Dira menghela nafas. Ia mengerti kondisi pikiran Galang. Ini kali pertamanya kehilangan kalung itu. Sejenak, Dira berpikir apakah ia harus menyampaikan yang diketahuinya sekarang.
Cowok itu menatap Galang yang memainkan hpnya malas.
"Emang pengaruhnya segede itu?"
"Pengaruh apaan?" Galang berujar tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya.
Dira berdecak gemas.
"Ya kalung lo lah, Bambang!"
Galang mengangguk lemas. Ia merasa sangat tidak bersemangat akhir-akhir ini.
"Tapi lo tetep bisa ngalahin time lap-nya bang Jey?"
Galang mengusak rambutnya frustasi. Ia lalu menggeser posisinya menghadap ke arah Dira di sampingnya.
"Yah, itu beda lagi. Emang gue dari orok udah jago. Gak bisa dikurangin jagonya."
Seketika Dira melayangkan tatapan datarnya ke arah Galang yang benar-benar masih terlihat frustasi.
"Kalo ujung-ujungnya mau nyombong gak usah berlagak frustasi, Babi!" Umpatnya lalu menoyor kepala sahabatnya itu.
"Ck! Gue serius, Dir! Kalo gokart lawan bang Jey doang mah gak bakal pengaruh. Tapi kalo lawannya univ lain, itu yang gue raguin."
Galang kembali melihat Dira dengan mata puppy-nya.
"Bang Gavin beneran gak cerita apa-apa gitu ke lo?"
Dira tak membalas tatapan Galang. Cowok itu menggeser badannya ke arah depan kelas. Tangan kirinya kembali menopang dagu. Pandangannya agak kosong. Dira mencoba berpikir.
Galang mengerutkan alisnya. Ada yang aneh dengan temannya satu ini.
"Lo tau sesuatu, kan?" Hardik Galang.
Dira masih terdiam untuk beberapa saat. Galang juga menunggu dengan sabar.
Helaan nafas kasar terdengar dari Dira. Pemuda itu lalu menoleh ke arah Galang yang membalasnya dengan tatapan penuh tanya.
"Oke, kalo lo bakal tambah stress gara-gara kalung lo, gue kasih tau sesuatu."
Dira menggigit bibir bawahnya. Kali ini ia harus mengingkari janjinya pada Gavin dan berpihak pada Galang sebagai sahabatnya.
"Tenang aja, kalung lo aman." Ujarnya yang membuat Galang menaikkan sebelah alisnya.
Galang masih menunggu Dira menyelesaikan perkataannya namun temannya itu tidak terlihat akan menambahkan apa-apa.
"Udah? Gak ada lanjutannya gitu?" Tanyanya.
Dira hanya tersenyum tipis mengiyakan.
"Emangnya lo tau darimana kalo kalung gue mas-" ucapan Galang terhenti.
Sebuah bola lampu seakan mencerahkan otaknya.
"Bang Gavin, kan?"
Dira mengangguk pelan dan penuh keraguan.
"Tuh, kan! Udah gue duga! Si Kala pasti nyimpen kalung gue. Lagian gak logis banget kalo asal dibuang. At least, dia jual lah." Ujarnya dengan menggebu-gebu.
Galang lalu membereskan barang-barangnya lalu beranjak bangkit dari duduknya.
"Etss! Mau kemana lo?" Dira menghentikan Galang sebelum anak itu melangkah pergi.
Galang menatap Dira kesal.
"Ya nyamperin Kala lah!"
Dira langsung berdiri dibuatnya.
"Gak sekarang, Lang. Nanti malem aja gue temenin lo ke apartemen Bang Kala. Oke?"
Galang berdecak malas sekali lagi. Ia melipat tangan di depan dadanya.
"Kenapa sih semua orang nahan gue buat ngambil milik gue yang dirampas? Bang Gavin lah, Kala lah, sekarang lo ikutan?"
Dira mengerti perasaan Galang. Pasti sebal dan marah. Tapi temannya satu ini juga menjadi penyebab dari kalungnya yang disita Kala juga jika diingat-ingat.
"Bukan gitu, Lang. Hari ini anak divisi mesin lagi mau pada finishing. Ini kan deadline gokart jadi. Anak mesin pada pusing kali, apalagi bang Kala. Lo masih mau nambahin masalah?"
Lipatan tangan Galang mengendur dan akhirnya ia beralih masukkan sebelah tangannua ke saku celana. Tanda ia sedang mendengarkan.
"Nanti malem ajalah. Gue yang temenin lo juga. Ngomong baik-baik, jangan ngajak ribut. Inget, kalian satu tim."
Dira menyelesaikan acara ceramahnya dengan senyum berharap. Jika dilihat, saat ini ia sangat mirip dengan Gavin saat menceramahi Kala.
"Ck! Yaudah! Tapi inget, kalo dia yang mulai bikin emosi, gue juga gak bakalan ngalah." Ujar Galang pasrah.
"Iye! Udah yuk ke kantin! Laper!"
Dira lalu merangkul Galang dan mereka pun berjalan keluar kelas. Dalam hati, Dira bernafas lega karena bisa mencegah Galang berbuat onar lagi.
---
Malam itu apartemen Kala kembali rusuh. Tadi siang memanglah sudah batas toleransi tubuhnya. Ia hampir membenturkan kepala ke lantai toilet jika saja Gavin dan Aurel tidak menangkapnya tepat waktu.
Sejak siang tadi, mereka telah mengurungnya di kamar hingga sekarang. Mata mereka selalu mengikuti kemana langkah Kala pergi di dalam apartemen.
Belum lagi Grizelle datang di sorenya untuk menggantikan Aurel dan makin memperketat pengawasan.
Sejak pukul 6 sore Kala tidak dibiarkan beranjak dari duduk setengah tidur di sofa bed ruang tengahnya oleh Grizelle. Padahal sekarang sudah menunjukkan pukul 9 malam.
Sedangkan gadis itu dan Gavin tengah berkutat di dapur untuk membereskan bekas makan malam mereka.
Kala hanya mengganti-ganti channel TV nya malas karena tak menemukan yang menarik. Pemuda itu bosan luar biasa.
Gavin lalu menghampirinya dengan membawa dua cangkir teh hangat. Satu untuk dirinya sendiri, satu lagi ia berikan pada Kala.
Grizelle bergabung dengan membawa beberapa macam obat dan sebuah thermometer.
"Buka mulut." Titahnya yang hanya dihadiahi tatapan malas oleh Kala.
Gadis itu sudah siap dengan thermometernya.
"Buka sendiri atau gue buka paksa?" Ancamnya.
Kala lalu menurut dan langsung menerima alat pengukur suhu itu di mulutnya.
Setelah itu, Grizelle mengotak-atik kotak obatnya sambil bertanya.
"Pusing?"
Kala menggeleng.
"Mual?"
Kala kembali menggeleng.
"Ada sakit dada atau perut?"
Kala juga menggeleng. Kemudian gadis itu menutup kembali kotak obatnya dan mengeluarkan sebutur vitamin.
TIT!
Diambilnya thermo itu dari mulut Kala. 37,5 derajat. Masih normal, pikirnya.
Ia lalu menyerahkan vitamin itu dan Kala langsung meminumnya tanpa perlawanan.
"Bosen, nih." Gavin akhirnya angkat bicara.
"Nontin netflix aja deh. Gue juga nih." Balas Kala.
Grizelle menatap jam di tangannya lalu mengalihkan pandangan ke dua orang lainnya.
"Gak ada netflix-netflixan. Kala, lo tidur abis ini. Gavin, lo pastiin dia gak kemana-mana."
Kala dan Gavin bertukar pandang layaknya anak-anak itik yang kecewan pada induknya.
"Gue pergi setengah jam lagi. Ada job."
Ucao Grizelle sambil membalas pesan di ponselnya.
Kala membuang kepalanya ke arah belakang, bertemu dengan empuknya head rest sofanya.
Ia paling kesal jika Grizelle sudah selebay ini. Namun, ia sendiri pun tidak punya niat untuk menentang gadis itu karena tak dapat dipungkiri, tubuhnya masih sangat lemas.
"Eh btw, kamera gimana noh? Gue liat udah balik." Tanya Gavin.
Kala menoleh dan mencari keberadaan kamera di sekeliling ruangan.
"Ada, kemarin udah bener. Balik kayak semula." Ucapnya lega.
Gavin ikut bernafas lega. Akhirnya ada titik terang perang dingin Kala dengan Galang.
"Terus itu kalung mau lo balikin kapan?"
Kala menatap langit-langit ruang tengahnya.
"Ya kalo ketemu paling gue balikin. Tolong ambilin di laci kamar gue dong, biar gue masukin ke tas."
Gavin lalu beranjak masuk ke kamar Kala dan kembali keluar lalu duduk di antara Kala dan Grizelle yang masih memainkan ponselnya.
Cowok itu mengamati kalung di tangannya sejenak.
"Tipe liontin jaman dulu gitu, ya? Antik juga." Gumamnya.
Kala melirik sekilas lalu kembali ke layar TV nya.
"He em." Kala bergumam menyetujui.
"Lah lo juga baru nyadar?" Tanya Gavin.
"Yaiyalah, orang waktu gue ngambil itu langsung gue masukin laci dan gak pernah gue sentuh." Jelasnya.
Gavin hanya mengangguk mengiyakan. Atas rasa penasaran, jemari lentiknya lantas iseng membuka bagian bandul kalung Galang.
Didapatinya sebuah foto seorang wanita di bandul itu. Namun, seketika dahinya mengernyit.
Ia seperti tak asing dengan sosok wanita di bandul itu.
"Kal."
"Hm."
"Kemarin Galang bilang ini kalung ada hubungan sama siapanya?"
Kala masih menonton TV sambil mengingat kejadian beberapa minggu lalu.
"Nyokapnya kali. Dira kayaknya juga pernah bilang." Jawab Kala.
Gavin terdiam sejenak. Mencoba mengingat siapa sosok itu. Namun, ketika menemukan jawabannya, matanya langsung melebar.
"Berarti foto yang di kalung ini nyokapnya Galang, dong?"
Kala melirik Gavin malas. Ia mengedikkan bahunya acuh.
"Iya kali. Kenapa, sih? Gak sopan lo main buka punya orang." Timpal Kala.
Gavin masih diam. Ia mencerna apa yang baru saja dilihatnya. Namun, tetap saja masih tidak menemukan sesuatu yang logis sebagai jawaban.
Cowok itu lalu menatap Kala yang saat ini tengah menatapnya aneh.
"Apaan?" Tanya Kala.
"Jangan bilang lo kepincut sama emak-emak." Curiga Kala.
Gavin kembali melihat ke foto dalam bandul itu lalu menatap Kala kembali. Kala makin penasaran dengan apa yang dilihat temannya.
"Kok foto nyokap lo ada disini?"
Pertanyaan Gavin membuat Kala seketika menegak dan alisnya saling bertaut penuh tanya.
Grizelle yang tadinya masih asik dengan ponselnya berhenti. Netra coklat almondnya mengalihkan perhatian ke Gavin dan Kala.
"Maksud lo?" Tanya Kala ragu.
Tanpa basa-basi, Gavin menyerahkan liontin berfoto itu pada Kala. Netra tajam Kala menelusuri foto itu baik-baik.
"Ini maksudnya apaan? Gue gak ngerti." Ucapnya.
Kala juga sudah memastikan dengan baik kalau foto itu persis dengan foto yang ia miliki juga, foto ibunya.
Grizelle lalu mengambil alih kalung itu dan ikut melihat foto yang dimaksud.
"Fuck." Gumamnya ketika juga menyadari foto yang di kalung itu sama persis dengan foto ibu Kala yang pernah ditunjukkan kepadanya.
Ting! Ting!
Bunyi bel apartemen Kala seketika memecah keterkejutan mereka. Gavin lalu beranjak ke arah pintu.
Ia makin membisu ketika melihat orang yang ada di depan pintu.
"Galang?" Ujarnya.
Kala lantas mencoba berdiri lalu mengambil kalung Galang yang masih berada di genggaman Grizelle.
Pemuda itu berjalan pelan menuju ke arah pintu. Ketika ia menemukan Galang dan Dira disana, ia menatap Galang dalam tatapan yang sulit diartikan.
"Gue tau kalung gue ada di lo. Gue mau ambil itu sekarang." Ujar Galang tegas.
Jantung Kala berdegub cukup cepat, di luar batas normal. Ia lalu mengangkat kalung Galang dan menunjukkannya ke arah Galang.
"Boleh." Ujarnya lalu menyodorkan benda itu ke Galang.
Ketika Galang ingin meraihnya, Kala menarik kembali tangannya. Juniornya itu langsung melayangkan tatapan tak suka padanya.
"Tapi lo jawab dulu pertanyaan gue."
Galang menghela nafas kasar. Kenapa si seniornya satu ini gemar sekali mempermainkannya?
"Mau nanya apaan? Buruan." Jawabnya.
"Ini kalung punya lo dari kapan?"
Galang mengerutkan alisnya. Namun, ia tetap menjawab pertanyaan itu.
"Dari kecil." Jawabnya singkat.
"Dapet darimana?" Lanjut Kala.
Galang berdecak kesal sebelum menjawab kembali.
"Dari nyokap gue, kan udah pernah gue bilang itu punya nyokap." Jawabnya.
"Foto yang ada di dalem bandulnya foto siapa?" Tanya Kala.
Gavin dan Grizelle ikut menunggu jawaban Galang bersama dengan Kala. Sedangkan Galang dan Dira tengah dilanda rasa bingung yang agak aneh melihat Kala tiba-tiba ingin tau banyak.
"Ck! Ya siapa lagi? Nyokap gue lah!" Ujar Galang ketus.
Kala, Gavin dan Grizelle seketika terdiam. Mereka mencoba mencerna kata-kata Galang. Namun, gagal. Seakan jawaban itu otomatis dimuntahkan oleh otak mereka.
"Gak usah bohong!" Kala berujar lalu dengan beringas langsung mencengkram kerah baju Galang.
Gavin dan Dira berusaha melerai namun gagal karena Kala sangat kuat mencengkram Galang.
"Kala! Tahan tahan!"
Galang makin bingung ditambah emosi karena tiba-tiba seniornya terlihat naik pitam dan main tuduh.
"Apaan sih lo! Nyokap- nyokap siapa- yang sotoy siapa! Main tangan lagi!" Bentaknya sinis.
"Karena foto yang ada si kalung lo itu nyokap gue!"
"Hah?!"
Galang terkejut bukan main. Otaknya juga serasa mati seketika.
"Maksud lo apa?! Main nuduh yang di kalung itu nyokap lo!"
Nafas Kala tak beraturan. Dadanya naik turun. Jantungnya berdegub bukan main.
Otaknya serasa lumpuh, tak bisa mencerna apapun. Pandangannya kian lama kian memburam. Dengungan nyaring kembali menyerang gendang telinganya.
Cengkramannya pada kerah baju Galang mengendur. Kakinya terasa lemas. Pemuda tampan itu dapat melihat Galang yang juga menatapnya penuh emosi namun seketika berubah panik ketika melihat darah mengalir dari hidung Kala.
"Gue...ma..sih gak ngerti." Racaunya lemah.
Ia membiarkan tubuh lemasnya terhuyung ke belakang namun ditangkap sigap oleh Gavin dan Grizelle.
"Astaga, Kala!"
"Kalandra!"
Ia dapat mendengar samar teman-temannya meneriakkan namanya.
Namun, panggilan itu kian tenggelam diikuti dengan pandangannya yang berubah sampurna menjadi hitam.
---To be continued---