Chereads / Engine Batska / Chapter 8 - Chapter 7

Chapter 8 - Chapter 7

Klub Gokart Universitas Nadao tiap tahunnya pasti mengikuti kompetisi entah dalam bidang rancangan mesin maupun turnamen gokart.

Tiga minggu lagi mereka akan mengikuti turnamen yang mengharuskan tiap universitas menggunakan mesin rancangannya sendiri.

Keterlibatan klub dalam turnamen ini sudah direncanakan berbulan-bulan sebelumnya sehingga mayoritas anggota yang terlibat adalah mahasiswa tingkat 2 dan 3.

Sedangkan mahasiswa baru tetap dilibatkan namun hanya sebagai official dan membantu logistik kecuali ada dari mereka yang sudah punya pengalaman di bidang turnamen dan rakitan mesin.

Sore itu, anggota yang tergabung dalam divisi perancangan mesin dan divisi pembalap sedang berkumpul di ruang klub.

Trio junior juga terlibat di rapat sore itu. Pandu dan Dira yang memang sudah pernah merakit mesin sejak SMA mendapat kesempatan untuk bekerja di bawah pimpinan Kala sebagai penanggung jawab divisi mesin.

Lain halnya dengan Galang yang masuk ke divisi pembalap karena sejak menerima SIM, ia dan ayahnya sering bermain gokart. Divisi pembalap dipimpin oleh Aurel yang tahun lalu menjadi racer di turnamen yang sama.

Divisi pembalap hanya beranggotakan tiga orang, yaitu Aurel, Jey dan Galang. Dua dari antara mereka akan bermain di turnamen besok karena mereka akan bertanding 6 lap.

"Turnamen tinggal 3 minggu lagi. Gue mau denger progress khusus tim mesin dan racer karena 2 divisi ini yang paling krusial."

Kyra, penanggung jawab umum untuk keikutsertaan klub gokart universitasnya tahun ini berujar.

"Buat mesin, udah 80% kelar. Tinggal finishing. Body-nya aja, minggu ini mungkin kelar dan siap test drive." Lapor Kala.

Kyra mengangguk lalu mencatat laporan kakak tingkatnya itu.

"Buat racer? Jadi siapa yang bakal main per 3 lapnya?" Tanya gadis itu.

"Jey di 3 lap pertama, Galang di 3 lap terakhir. Kemarin kita coba main, Galang time lap-nya lebih cepet dari Jey. Makanya gue kasih lap terakhir."

"Tapi kayaknya dari racer butuh waktu lebih dari 2 minggu buat sesuaiin sama mesin dan kart-nya." Lapor Aurel.

Kyra lalu berlahir menatap Kala dan timnya yang juga sedang berdiskusi.

"Jadi gimana, Bang Kala? Kalo dalam tiga hari lagi dikelarin bisa?" Tanya Kyra.

Kala dan timnya melihat satu sama lain dan akhirnya mereka mengangguk.

"Bisa, tapi emang harus lembur." Jawab Kala.

Kyra menghela nafas lalu menutup bukunya.

"Oke, kasih tau kita aja kalau butuh bantuan apapun."

Kala menjawab dengan acungan jempol.

"Ya udah sih, cuma itu aja yang dibahas. Kita kumpul lagi pas mesin udah siap. Thank you semua. Have a great week." Ujar Kyra menutup rapat sore itu.

Cewek itu lalu melangkah ke tim Kala dan memasang senyum cerah.

"Eh, ada dek Dira! Gimana kuliah sebulan disini? Udah dapet cewek belom?" Ujarnya dengan nada genit ke Dira yang masih duduk.

Dira melebarkan matanya takut. Ia memang memiliki sedikit trauma dengan kakak tingkatnya yang satu ini. Sedangkan semua yang di meja sudah tertawa geli.

"Hehe, ehm, Dira lagi mau fokus belajar dulu, Kak." Ucapnya takut-takut.

Kyra merengut kesal.

"Basi jawabannya. Semester satu mah waktunya survey. Atau..." ucapannya tertahan sambil menatap Dira penuh arti.

Dira hanya bisa membeku di tempat.

"Atau apaan?" Timpal Kala.

"Atau....udah punya inceran?"

Dira hanya terdiam tidak mampu menjawab. Sungguh rasanya ia ingin pergi jauh-jauh dari senior agresif satu ini.

"Jangan-jangan lo suka ya sama gue?"

"Hah?!" Teriak Dira kaget.

"Tuh! Kaget, kan? Lo suka beneran ya sama gue? Abis diem mulu salting gitu tiap gue samper." Ujar Kyra percaya diri.

Kala dan Pandu yang ada di sebelah Dira tertawa konyol dan hanya bisa menggelang melihat tingkah teman se-klub mereka.

"Yang ada dia serem sama lo, Ra. Kelakuan udah kayak cewek haus belaian banget." Timpal Jey dari belakang yang bergabung diikuti Aurel dan Galang.

"Om belai aja sini, Ra. Mantep loh, tanya aja ke Jey." Ujar Aurel yang langsung ditatap horror oleh seisi ruangan.

Jey menoleh cepat ke Aurel lalu membalas.

"Ih abang ah! Kebiasaan suka diumbar-umbar. Nanti akuh hukum ya sampe rumah."

Jey memukul pelan dada bidang Aurel bak pacar yang sedang merajuk.

"Anjing, Ndu. Abang lo gak sehat dah pertemanannya." Bisik Dira namun suaranya terlampau keras sehingga semua tertawa mendengarnya.

"Anak gokart makin lama makin gak mutu gini ya kalo kumpul."

Suara seorang yang baru masuk membuat mereka semua menoleh.

Anak tingkat 2 menarik nafas dalam. Mereka tau betul siapa orang itu. Sedangkan Pandu dan Dira melihat satu sama lain tak mengerti apa yang akan terjadi.

Kala langsung berdiri, diikuti Aurel dan Jey. Mata elang Kala menatap Dalu, orang yang baru masuk dengan Baron, dengan tatapan dingin yang tak ramah.

"Ada perlu apa lo kesini? Masuk gak diundang pula." Kala berujar.

"Lo gak mau kenalin gue sama maba? Gini-gini gue alumni sini juga, pernah bawa nama klub ini juga jadi juara." Ujarnya tersenyum bengis.

"Anggota baru gak perlu tau mereka pernah punya senior macem lo." Kala membalas ketus.

Dalu tertawa sinis. Ia melirik sekitar ruangan. Tak jauh berbeda ketika terakhir ia berada disini sebagai anggota klub juga.

"Padahal gue pengen ngasih wejangan buat adek-adek gue. Turnamen nanti bukan turnamen biasa yang lo bisa raih dengan usaha bersih."

"Makasih. Tapi mending lo pergi aja dari sini. Kami gak butuh nasihat sampah dari orang yang cuma bisa main kotor buat menang." Kata Kala.

Baron sejak tadi terdiam berusaha menahan emosinya. Namun, ia melonjak ketika Kala menghina kakak tingkat kesayangannya.

"Mulut lo itu emang gak pernah bisa dijaga ya?!" Ujarnya sambil maju namun ditahan Dalu.

Aurel dan Jey pun juga ikut melangkah maju siap menghalang Baron namun juga ditahan Kala.

"Bangsat, Kal! Ngapain sih lo masih simpen nih anjing satu disini!" Ujar Aurel ikut emosi.

Pandu akhirnya ikut berdiri untuk membantu Kala yang agak kewalahan menahan Jey dan Aurel yang sudah emosi.

Kala lalu menatap Dalu dan Baron bergantian.

"Sengaja. Biar si anak anjing bisa lapor ke induknya kalo klub akhirnya bisa berkembang setelah buang sampah yang harusnya udah dibuang dari lama." Ujar Kala tersirat mengarah ke Dalu.

Baron makin emosi, tangannya sudah terkepal ingin menonjok Kala namun Dalu dengan kuat mencengkram tangan pemuda itu.

Dalu terkekeh mendengar ucapan musuhnya itu.

"Okey. Kalo itu mau lo. Gue udah peringatin lo tentang turnamen itu. Inget aja, busuk cuma bisa dilawan juga pake cara busuk." Ucap Dalu penuh penekanan.

"Oh, satu lagi. Mending lo jaga diri baik-baik deh mulai sekarang. Minggu akhir menuju turnamen teknisi mesin pasti bakal digugurin satu-satu." Ancamnya.

Dalu lalu pergi sambil menarik Baron yang masih menatap tajam Kala dan seisi ruangan.

"Anjing! Kalo aja lo biarin gue bogem sekali, itu bocah pasti udah abis!" Ujar Aurel masih dengan emosi tinggi.

Kala beralih menatap Aurel. Ia melepaskan tangannya yang tadi menahan tangan Aurel.

"Emosi cuma bisa bikin keliatan bego. Lain kali gue harap lo bisa tahan itu, Rel."

Ia lalu menatap ke arah timnya.

"Dan gue juga mau bilang, buat semua. Mulai sekarang hati-hati kalo pergi kemana-mana. Turnamen yang ini memang bukan turnamen biasa. Apalagi klub kita juara bertahan. Pasti banyak yang ngincer."

Seluruh orang di ruangan lantas mengangguk mengerti tanpa dapat menyembunyikan rasa khawatir bercampur takut yang membuncah dari diri mereka.

---

Galang menatap hpnya bosan. Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam namun dirinya tak menemukan kantuk yang ditunggu.

Padahal, seharian ia berada di arena untuk melatih time lap bersama Jey dan Aurel.

Ia membuang hpnya sembarang lalu beralih menatap kosong langit-langit kamarnya.

Tangan kurusnya meraba bagian leher. Kosong. Biasanya ia bisa melihat wajah sang bunda yang bahkan tak pernah ia lihat sejak dirinya lahir.

Galang rindu bundanya. Ia butuh melihat wajah menenangkan bundanya. Namun sayang, satu-satunya benda dari bunda yang ia miliki hanya liontin yang entah sekarang ada dimana.

Galang melamun sejenak. Lalu sebuah ide tersirat di benaknya. Ia langsung membawa tubuhnya berdiri dan melangkah keluar kamar.

Senyum manisnya terpantri di wajah ketika menemukan ayahnya masih duduk di sofa ruang tengah sambil menonton berita di televisi.

"Yah." Sapanya sambil duduk di sebelah sang ayah.

"Lah belum tidur? Katanya besok kelas pagi?"

Galang mengangguk. Ia memposisikan dirinya menyandar dengan nyaman di sofa.

"Gak bisa tidur." Jujurnya.

Bima, ayah Galang, hanya terkekeh. Ia mengalihkan pandangannya kembali ke layar televisi untuk menyimak berita.

Galang hanya memperhatikan ayahnya dalam diam. Ia mengalihkan pandangan ke televisi namun kembali menatap ayahnya.

"Yah." Panggilnya.

"Hm?" Bima menjawab tanpa mengalihkan perhatian dari TV.

"Kangen bunda gak?"

Butuh beberapa detik untuk Bima akhirnya beralih menatap Galang yang menatapnya datar.

"Kenapa?" Tanya Bima karena tiba-tiba anak semata wayangnya bertanya hal ini.

"Jawab dulu dong." Balas Galang.

Bima hanya menghela nafas pelan.

"Ya kangenlah, setiap saat."

Galang menyipitkan matanya. Saatnya bertanya mengenai bundanya. Sejak dulu, ia hanya tau bundanya meninggal saat melahirkannya.

Namun ayahnya tak pernah bercerita apapun selain hal itu ke Galang. Tidak pernah memberi tau tentang sifat sang bunda, bagaimana mereka bertemu, bahkan foto bundanya pun hanya terpajang satu tipe. Satu foto seperti yang ada di liontinnya.

"Kenapa foto bunda cuma yang itu-itu aja, Yah? Galang kan pengen liat Bunda pake gaya lain."

Bima hanya membalasnya dengan senyum penuh pengertian.

"Bunda kamu memang orangnya gak pernah suka difoto. Itu aja ayah ngambil diem-diem."

Galang mengernyit heran. Se-ansos itu kah bundanya?

"Emang pas nikah gak pernag foto juga? Gak mungkin lah, Yah."

Bima kembali tersenyun lalu mengusak rambut Galang gemas.

"Udah malem nih. Tidur aja gih, besok ayah gak mau disalahin ya kalo kamu bangun telat." Ujar Bima mengalihkan topik.

"Ayah nih kebiasaan ngalihin topik deh. Galang kan pengen tau bunda lebih jauh. Masa gak boleh?"

Kali ini Bima pasrah. Ia menghela nafas untuk kesekian kalinya dan mulai siap dengan segala pertanyaan.

"Ya udah, mau tau apa?"

Galang berpikir sejenak. Banyak pertanyaan di benaknya sehingga ia tak tau darimana ia harus mulai.

"Ayah pertama kali ketemu bunda dimana dan gimana ceritanya?" Tanya Galang.

Bima mengerutkan alisnya. Mengulang kembali memori 23 tahun lalu.

"Waktu itu ayah masih baru banget lulus kuliah. Terus rayain bareng-bareng tuh, party kayak kamu biasanya. Ya di party itu ayah ketemu bunda."

Alis Galang terangkat satu ketika ayahnya berhenti cerita.

"Udah? Gitu doang? Ceritain kek PDKT nya gimana, siapa duluan yang suka?"

Bima kembali tertawa geli.

"Hmm...waktu itu bunda kamu sih nyamperin table ayah, tapi ngobrolnya sama temen ayah terus ngerambat ke ayah. Yaudah, lama kelamaan emang ayah sering dateng ke klub yang sama, eh, selalu ketemu bunda kamu juga disana sama temen-temen dia."

"Berarti dulu sama-sama anak dugem?"

Ayahnya mengangguk sebagai jawaban.

"Terus bunda dulu hobinya apa?" Tanya Galang lebih lanjut.

"Hmm...bunda kamu..dulu jago banget minum. Toleransi alkoholnya tinggi banget ngalahin ayah."

Galang menatap aneh ayahnya. Ia baru tau jika bunda dan ayahnya sama-sama berjiwa pemabuk.

"Agak sama-sama anak ancur ya dulu?" Ujar Galang yang langsung ditertawakan Bima.

Anak itu kembali diam sambil memikirkan pertanyaan selanjutnya.

"Oke, last question deh. Aku udah ngantuk ternyata."

Bima mengangguk sambil menghela nafas lega.

"Dulu ayah sama bunda nikahnya gimana? Dan dimana?" Tanyanya.

Bima terdiam sejenak. Galang tak pernah seingin tau ini jika bicara dengan bundanya karena ia takut menangis rindu.

Namun ketika ia ingin menjawab, deringan ponsel menyelamatkannya.

"Ayah mau angkat telpon dulu, kamu tidur aja gih. Udah malem juga. Sweet dreams, Son." Ujar Bima lalu langsung beranjak meninggalkan Galang sendiri di ruang tengah.

Galang hanya membuang nafas kasar sepeninggalan ayahnya. Jujur, ia rindu sekali sosok bunda yang bahkan tak pernah ia rasakan keberadaannya.

Kembali dirabanya leher yang terasa kosong. Ia juga tak yakin apakah Kala masih menyimpan kalungnya mengingat kamera cowok itu yang ia hancurkan dengan sengaja.

Tapi Galang juga tak pernah merasa sekosong ini apalagi tanpa kalungnya.

Ia berpikir, tak ada salahnya meminta tolong dan mencoba.

Setelah mematangkan pikirannya, Galang meraih hpnya lalu mengirimkan pesan ke Gavin.

Galang

Bang, beneran si Kala buang kalung gue?

Gavin

Waduh, Lang. Gue udah nanya beribu kali, Kalanya gak mau jawab. Gue sendiri juga gak bisa pastiin.

Galang

Gue udah butuh banget nih, Bang. Itu penting banget buat gue.

Gavin

Iya gue tau, Lang. Dira juga cerita. Nanti gue coba lagi deh ngomong ke Kala. Doi lagi stres juga kan kejar target turnamen. Mending lo tenang, fokus dulu ke turnamen.

Galang

Oke bang. Thanks.

Galang berdecak kesal. Di saat seperti ini kenapa ia malah memikirkan bundanya yang sebelumnya tak pernah seberat ini.

Dengan langkah gontai, Galang berjalan menuju kamarnya. Berharap dapat bertemu dengan bundanya di alam mimpi.

---

Sore itu mendung, hujan turun dengan lebatnya. Jey yang masih dengan seragam gokartnya menenteng helm kesayangannya di tangan kiri dan nasi goreng titipan Pandu di tangan kanan sambil berjalan menyusuri koridor kampus.

Ia lalu berhenti di depan pintu gudang teknisi, tempat para anak mesin merakit segala macam barang termasuk gokart untuk turnamen depan.

"Ndu! Nih, udah gue beliin!" Teriaknya melihat Pandu dengan masker dan seragam khas teknisi yang berantakan di setiap sisinya.

Pandu menoleh lalu menghentikan kegiatannya memasang roda belakang dan melangkah keluar.

Ketika ia akan menerima nasi goreng kesukaannya, Jey menjauhkan bungkusan itu yang langsung dihadiahi tatapan tajam Pandu.

"Cuci tangan dulu sih. Badan udah kayak abis dikubur idup-idup gitu kotornya."

Pandu menghela nafas lalu berjalan ke

arah toilet untuk membersihkan diri. Ketika ia kembali, Jey sudah entah darimana menghidangkan nasgor di atas piring lengkap dengan sendok garpu di kursi depan gudang.

Pandu duduk dan langsung menyantap makanan yang sejak tadi ia tunggu. Bahkan dirinya rela menahan lapar akibat mangkir dari traktiran bakso Kala tadi siang demi makanan satu ini.

"Pelan-pelan, Ndu." Ujar Jey melihat adiknya makan dengan cepat.

"Udah berapa persen?"

Pandu menelan makanannya lalu menjawab.

"85 paling. Yang ribet di depan sih yang dipegang Bang Kala. Masih nunggu onderdil baru dateng ntar malem." Jawab Pandu.

Jey mengangguk mengerti. Ia melihat adiknya sekilas. Wajah lelah, tubuh tak terurus, makan telat. Keadaan yang bisa dilihat di seluruh divisi mesin karena target sudah dekat.

"Kalo capek udahan dulu. Lo juga masih tingkat 1. Masih belum saatnya." Ujar Jey.

"Ya tapi nanti kesian si Bang Kala. Dia bisa sampe pagi kali disini buat nyelesaiin bagian yang belum kejamah. Mana suka nyuruh anggota pulang kalo kita nguap dikit."

Jey membuang nafas. Benar juga. Senior sekaligus sahabatnya itu memang jiwa pejuang. Tapi agaknya bodoh karena sering kali mengabaikan kapasitas tubuhnya sendiri.

Tiba-tiba Jey teringat sesuatu. Ia menoleh dengan cepat ke arah Pandu yang masih makan.

"Lo....masih suka ketemu sama tante yang di bar itu?"

Pandu hanya mengangguk tak peduli, mengiyakan.

"Lo gak berniat buat pacaran kan, Ndu?"

Mata Pandu seketika menancap ke netra Jey seakan ingin melubangi mata kakaknya itu.

"Apaan sih, bang? Emangnya kalo deket sama cewek harus berakhir pacaran? Secetek itu apa lo?"

Jey langsung memanyunkan bibirnya. Lagi-lagi adiknya sendiri menyerangnya telak.

"Ya abisnya lo kan jarang banget bergaul sama cewek, Ndu. Sekalinya bergaul sama yang jauh."

Pandu menyelesaikan suapan terakhirnya. Setelah semua berhasil ditelan, ia menerima air minum dari Jey dan meminumnya hingga tandas.

"Pandu cuma lagi perluas jaringan, Bang. Lagian lo kan tadi bilang kalo gue jarang bergaul. Justru ini kesempatannya. Lewat dia, Pandu jadi tau sisi lain dunia yang gak pernah Pandu sentuh."

Jey menghela nafas mendengar jawaban adiknya.

"Oke oke. Gue ngerti. Gue percaya sama lo. Lo udah gede, udah bisa bedain mana yang bener dan netepin batas lo sendiri."

Ia lalu menepuk bahu Pandu.

"Pokoknya abang cuma pesen, jangan kelewat bates. Kita semua percaya banget sama lo."

Pandu mengangguk lalu beranjak ingin kembali masuk ke gudang namun ditahan Jey.

"Apa lagi kal- ABANG!" Pandu beralih memarahi Jey ketika kakaknya itu mencium pipinya lalu menatapnya jahil.

"Semangat ya adek abang yang paling ganteng."

Pandu langsung menatapnya super tajam lalu berjalan cepat masuk ke gudang.

Jey lantas tertawa cukup kencang, puas dapat menyentuh adiknya yang tak tersentuh.

"Lo apain adek lo?" Kala tiba-tiba muncul dari dalam gudang sepeninggalan Pandu.

"Biasa, biar semangat, Bang."

Kala hanya geleng-geleng kepala lalu mengeluarkan rokoknya di depan Jey dan membakarnya.

"Yailah, Bang. Masih nyebat aja. Kalo bang Gavin sama kak Grizelle tau abis lo." Ujar Jey.

"Ya makanya gak usah dikasih tau sih. Repot lo." Jawabnya.

Jey mengamati penampilan Kala yang super berantakan. Kantung matanya terlihat sangat tebal ditambah wajahnya yang kelihatan lebih pucat.

"Lo lembur sampe jam berapa dah, Bang? Ancur banget tuh muka." Timpalnya.

"Tapi pas tadi ke kantin cewek-cewek masih senyum gak jelas ke gue tuh." Ujarnya percaya diri.

"Senyum miris kali. Komuk udah mecem zombi yang abis mati, idup terus mati lagi gitu."

Kala hanya memutar bola matanya malas.

"Bagi satu lah, Bang."

Mereka pun mengisap rokok bersama dengan nikmatnya.

---