Jalanan Jakarta sore itu padat seperti biasa. Padahal jam belum menunjukkan busy hour. Galang mengetukkan jarinya ke stir mobil. Ia tengah dalam perjalanan ke rumah sakit bersama ayahnya di sampingnya.
"Macet banget deh, Yah."
Ayahnya mengalihkan pandangan dari laptop di pangkuannya dan menoleh ke Galang sambil tersenyum jahil.
"Ya kamu tadi gak nurut, sih. Kan udah ayah bilangin lewat jalan tikus aja."
Galang mendengus mendengar celotehan ayahnya.
"Iya iya. Galang salah." Ucapnya sambil cemberut.
Sang ayah hanya tertawa lalu mengusak lembut rambut hitam Galang.
Tak sengaja netranya menangkap leher Galang yang kosong, tak seperti biasa bertengger kalung kesayangannya.
"Kalung bunda mana? Kok gak dipake?" Tanyanya.
Galang seketika menegakkan badannya. Sudah lewat dua minggu setelah kejadian pertengkarannya dengan Kala dan ia benar-benar lupa.
'Shit!' Batinnya.
Otaknya otomatis berputar ketika masih menemukan sang ayah menatapnya heran.
"Emmm....kemarin Galang tinggal di kamar sebelum latihan bola, Yah. Takut ilang." Bohongnya lancar.
Alis ayahnya berkerut.
"Emang main bola sebar-bar apaan sampe perlu lepas kalung? Kamu main bola apa rugby?"
"Yee, Ayah. Anak jaman sekarang kalo lari udah ngalahin jaguar. Mana bola kan agak rusuh juga mainnya." Alibinya.
Ayahnya hanya menatapnya aneh lalu kembali fokus ke layar laptop.
Diam-diam Galang menghela nafas lega. Ia harus segera bicara dengan Kala mulai besok.
---
Tiga puluh menit kemudian mereka tiba di rumah sakit. Setelah menanyakan ke resepsionis kamar tempat temannya dirawat, Galang dan Ayahnya segera masuk ke lift.
Dira membuka pintu kamar rawat ayahnya, teman ayah Galang yang sakit, cowok itu lalu menyalami ayah Galang dan mempersilahkan mereka masuk.
"Bima! Ngapain repot-repot kamu nih." Ayah Dira menyambut Bima, ayah Galang, dengan pelukan.
Galang juga menghampirinya, lalu menyalami tangannya.
"Woo, tambah ganteng kamu, Lang. Kok perasaan Dira masih sama aja ya?" Ujar Aron, ayah Dira.
Galang hanya tertawa lalu melirik ke Dira.
"Habisnya si Dira kerjaannya ngegosip doang sih, Om. Bukannya nyari cewek." Ucap Galang lalu dihadiahi toyoran dari Dira.
"Heh! Enak aja lo!"
Kedua sosok ayah di kamar itu tertawa. Lalu mereka melanjutkan obrolan terutama bertopik bisnis karena mereka adalah kolega.
Galang dan Dira yang bosan akhirnya memutuskan untuk keluar, mencari angin katanya.
"Kantin rumah sakit isinya apaan aja, Dir? Haus nih guenya." Ujar Galang ketika mereka berjalan di koridor.
Dira hanya mengedikkan bahu.
"Ada vending machine sih. Lo mau apaan? Gue beliin sekalian mau ke toilet."
Galang menimang-nimang.
"Hm...cola deh satu." Mintanya.
"Yaudah kalo gitu gue ke taman ya. Asem nih mulut." Ujarnya yang dihadiahi tatapan jengah dari Dira.
"Ada bokap lo gitu, nanti kalo baunya masih nempel gak takut ketawan lo?"
Galang tersenyum lalu merogoh saku jaketnya dan menunjukkan sebotol parfum mini.
"Tenang, semua dalam kendali."
"Taman kemana?"
Dira berdecak lalu menunjuk arah taman dengan tangannya. Galang membalas dengan acungan jempol.
"Sip, gue tunggu cola-nya." Ujarnya lalu mereka berpisah.
Dalam perjalanan menuju taman, ia melewati koridor dengan banyak ruangan yang berjendela kaca.
Dari luar terlihat beberapa orang sedang duduk sambil menerima perawatan dengan infus menancap di tangan masing-masing. Entah apa yang sedang dimasukkan ke badan mereka melalui infus itu.
Ia hanya melihat sekilas orang-orang di dalam namun langkahnya mendadak berhenti ketika melihat sosok yang tak asing.
Mata sipit Galang memicing, mencoba memastikan bahwa sosok yang sedang duduk dan memejamkan mata dengan infus di tangannya itu benar-benar orang yang dikenalnya.
"Kala? Ngapain?" Gumamnya.
Matanya lalu mencari penjelasan ruang yang ada di depannya.
Unit Transfusi Darah
Galang makin mengerutkan dahinya. Merasa penasaran. Rasa ingin tahu seketika membuncah dalam dirinya. Namun ia sadar bukan porsinya juga untuk ikut campur.
Ia kemudian memutuskan untuk melanjutkan langkah menuju taman. Posisi dirinya duduk di sebuah bangku taman yang tertutup pepohon dan jauh dari koridor untuk mengantisipasi ayahnya.
Setelah dirasa tempatnya aman dan tak terlihat, Galang membakar lintingan bakau itu.
Sore itu suasana rumah sakit masih cukup ramai. Namun udara di taman sangat mendukung apalagi langit sudah berubah keunguan.
Cukup lama ia menunggu Dira. Hampir sebatang rokoknya sudah menjadi abu. Ketika dirasa seseorang tiba-tiba duduk di sebelahnya, ia langsung berujar.
"Lama benget lo, Dir! Beli cola di cina apa gi-"
Katanya tertahan ketika melihat orang di sebelahnya bukan Dira. Orang itu memunggunginya, terlihat bersembunyi dari koridor karena ia masih sibuk memandangi bagian korodor dari posisi mereka dan tak menyadari keberadaannya.
Galang tau betul siapa pemilik punggung itu. Sudah dua kali, yang pertama ketika orang itu pingsan di rooftop.
"Ngapain lo?" Ujarnya ketus.
Kala lalu menoleh ke arahnya dan menatap Galang tak ramah.
"Yaelah, gak ada tempat nyebat lain yang gak ada elu nya apa." Kesalnya.
Cowok itu ikut membakar rokoknya. Galang mendengus kesal.
"Gue duluan yang nemu tempat ini. Bisa pergi gak? Males banget liat muka rampok."
Mata Kala memicing mendengar ungkapan Galang.
"Sorry?"
"Gak usah pura-pura bego. Jelas-jelas lo ngerampas kalung gue."
Kala tertawa sinis. Ia mengisap kembali rokoknya namun meringis ketika mengangkat tangannya.
Galang melihat sebuah plester di lipatan siku cowok itu. Pasti bekas infus di ruangan tadi.
"Gak usah sok goblok juga. Lo tau siapa yang mulai ngerampas duluan." Ujarnya.
"Lo yang gak bisa jaga emosi. Main dorong sama ngehina nyokap gue. Udah sepantasnya gue banting tuh kamera. Lagian cuma kamera doang, tinggal beli lagi sih."
Kala menatap Galang makin nyalang.
"Ngelunjak ya lo!"
Galang berdecak kesal. Ia membuang nafas kasar lalu melanjutkan.
"Udah deh, gue lagi gak pengen berantem sama lo. Mending lo balikin kalung gue sekarang. Masalah kamera nanti gue transfer duitnya. Lo pilih sendiri kamera baru."
Kala mendengus. Kurang ajar ini anak, batinnya.
"Ya udah, lo juga tinggal beli kalung baru aja. Nanti duitnya gue transfer. Pilih kalung sendiri sesuka lo, impas kan?"
Galang yang langsung tersulut emosi mencengkram kerah hoodie Kala hingga mereka berdua berdiri.
"Bangsat! Kalung gue gak bisa diganti yang baru! Itu barang paling penting buat gue!"
Tawa sarkas Kala terdengar. Cowok itu menatap Galang tak kalah bengis.
"Kenapa? Kalung doang, bukan?" Katanya mengembalikan ucapan Galang sebelumnya.
"Anjing!"
Tangan Galang yang sudah siap meninju wajah Kala tiba-tiba ditahan Dira yang entah sejak kapan tiba disana.
"Tahan, Lang! Apaan sih, lo?! Ini rumah sakit!" Ujar Dira.
Gavin yang juga entah datang darimana menarik Kala dan menatap sahabatnya marah.
"Ada apaan sih?! Berantem mulu tiap ketemu ya lo berdua!"
"Temen lo, tuh! Bajingan banget!" Ujar Galang penuh emosi.
Gavin menoleh ke arah Kala meminta penjelasan.
"Gue gak bakal mulai kalo lo gak mulai duluan. Tinggal beli kalung doang, apa susahnya? Mau emas karat paling tinggi? Gue beliin!" Ujar Kala.
Gavin seketika mengerti akar permasalahan ini. Kalung dan Kamera.
"Udahlah, Kala. Lo balikin aja kalungnya. Lo juga, Lang. Minta maaf dulu. Lo kan tau juga kamera Kala sepenting kalung itu buat lo juga." Ceramah Gavin.
Untuk beberapa saat tidak ada dari mereka yang angkat bicara. Hanya terdengar suara nafas Galang yang masih menggebu karena emosi.
Dua menit kemudian Galang merasa sudah agak tenang dan bisa berpikir jernih. Ia mulai menyadari semua ini dia lah yang memulai.
Helaan nafas kasar dihembuskan Galang.
"Oke oke. Sorry, gue kebakar emosi pas itu. Gue sadar gue salah."
Kala menaikkan sebelas alisnya. Menunggu kelanjutan ucapan Galang.
"Gak seharusnya gue bawa-bawa ortu lo. Gue tau itu kelewatan. Gue minta maaf." Ujarnya.
Gavin dan Dira menghembuskan nafas lega. Akhirnya, ada salah satu dari mereka yang menurunkan ego.
Setelah itu, Gavin menatap Kala penuh harap.
"Tuh, Kal. Udah minta maaf tulus orangnya. Sekarang balikin gih kalungnya. Lo tau kan, seberapa sakit kehilangan barang kesayangan?" Ujar Gavin membujuk Kala.
Kala hanya diam menatap Galang tanpa arti.
"Udah gak ada di gue."
"Hah?!" Ujar Gavin, Galang dan Dira bersamaan.
Kala hanya memasang wajah datar. Tanpa tanda bersalah atau tanda akan minta maaf.
"Jangan bercanda lo!" Galang mulai menaikkan nada bicaranya kembali.
Kala mengisap rokoknya yang dimakan angin dan tersisa sedikit.
"Gue langsung buang ke tempat sampah depan apartemen paginya. Gak ada gunanya juga buat gue simpen." Ucapnya tanpa rasa bersalah.
"Kalaupun gue cari sekarang juga gak bakal ada disana lagi."
Galang bukannya tambah emosi tapi malah berujung ke lemas. Matanya menatap Kala dengan berkaca-kaca, menahan tangis kesal.
Gavin yang melihat itu, merasa kasihan. Ia menatap Kala yang membalasnya dengan datar.
"Kal, jangan gitulah. Lo masih simpen kalung dia, kan?"
Cowok itu melihat Galang yang menatapnya bagai anak kecil yang sudah kalah telak dan hanya bisa menangis.
"Lo tau kan gue gak pernah ngingkarin kata-kata gue, Vin? Lo juga tau bohong gak ada untungnya buat gue."
"Dan gue juga udah bilang ke lo malem itu." Ujarnya lalu kembali menancapkan netranya pada Galang.
"Mata dibayar mata, tangan dibayar tangan."
Galang memandangnya dengan tatapan putus asa, kesal dan marah. Ia tau betul apa yang selanjutnya diucapkan Kala.
"Hati juga dibayar hati." Selesai Kala.
Kala lalu beranjak meninggalkan mereka. Gavin lalu menatap Galang dan Dira yang membalasnya dengan padangan penuh harap.
Cowok jangkung itu menghela nafas kasar.
"Gue kejar Kala dulu. Nanti gue coba omongin baik-baik ke dia. Lo tenang dulu, Lang." Ujarnya dan melangkah cepat mengejar Kala.
---
"Caramel macchiato buat Bang Jey sama Bang Gavin dan satu americano buat Bang Kala tersayang."
Aurel meletakkan pesanan ketiga temannya. Mereka berempat berkumpul di coffee shop milik Aurel.
"Oouw, gratis ya, Bang?" Jey merayu sambil mengedipkan matanya genit.
"Iya, sayang akuh." Balas aurel sambil menggelitik dagu Jey.
Jay yang masih duduk memeluk pinggang Aurel yang sedang berdiri.
Tatapan jijik Gavin dan Kala seketika mengembara.
"Najis banget woy lo berdua! Udah napa." Ujar Gavin gemas.
Sedangkan Kala memutuskan untuk menyesap americano-nya untuk mengembalikan keseimbangan kesehatan jiwanya.
"Jadi jadi jadi, ada gosip gak nih?" Tanya Aurel.
Belakangan ini ia jarang kumpul dengan teman-temannya karena sibuk mengurusi coffee shop miliknya yang baru saya membuka cabang baru.
Gavin melirik Kala sekilas lalu menimpali.
"Si Kala punya fans baru. Spesial banget nih kayaknya."
Mata Kala memicing memperingatkan Gavin untuk berhenti. Sedangkan Aurel menatapnya antusias.
"Serius? Cewek? Cantik??"
Tawa Gavin menggema membuat Aurel merengut bingung. Jey yang hanya diam juga ikut tertawa, sudah tau siapa yang dimaksud Gavin.
"Lah kak Grizelle gimana, dong? Ya udah buat gue ajalah, Kal. Mau gue buat perbaikin keturunan." Imbuh Aurel yang lalu dihadiahi jitakan dari ketiga temannya.
"Woo! Sa ae lu kuda." Ujar Jey.
"Boro-boro cantik, Rel. Orang cowok fansnya." Info Gavin.
"HAH?! Gay dong?!" Kaget Aurel.
Kala kesal. Jengah dengan teman-temannya.
"Mendingan gue punya fans gay deh anjir. Lagian, gue gak ada masalah tuh sama gay."
"Tapi yang masalah kalo orangnya rebek, bikin barang gue ancur." Ucap Kala setengah curcol setengah kesal.
"Emang udah ngancurin apanya Bang Kala?" Kali ini Jey bertanya.
"Ya apalagi kalo gak kameranya yang udah kayak pacar, Jey." Jawab Gavin.
Aurel dan Jey seketika melebarkan matanya.
"Sumpah?!"
"Demi apa?!"
"Anjing, terus lo apain tuh fans? Gak lo masukin penjara atau lo bunuh, kan?" Tanya Aurel dengan nada ngegas.
Kala melemparkan pandangan aneh ke Aurel.
"Lo kira gue psikopat? Ya gak lah, ketonjok doang, dikit." Ujar Kala.
"Sorry?? Ketonjok? Apa? Dikit? Sampe bonyoknya berminggu-minggu gitu." Kata Gavin.
"Oh iya dan lo ngambil kalungnya juga jangan lupa. Pemberian satu-satunya dari bunda dia kalo kata Dira."
Jey dan Aurel kali ini menatap Kala horror.
"Gila, Bang. Jahat banget lo." Ujar Jey lalu diangguki Aurel.
Kala memutar matanya malas. Ketiga temannya ini memang masternya playing victim.
"Impas lah. Kamera gue rusaknya gak tanggung-tanggung dan inget, itu hadiah spesial dari bokap gue. Sama-sama, dong?"
Gavin berdecak. Ia mengusak rambutnya kasar, frustasi. Temannya satu ini memang kepala batu.
"Tapi, Kal, bokap lo masih ada di Itali. Masih sehat walafiat. Masih bisa ketemu sama ngasih lo banyak barang. Nah, si Galang? Nyokapnya udah gak ada, dan lo ambil gitu aja barang satu-satunya dari nyokap dia? Yang jahat siapa, dong?"
Gavin menarik nafas dengan cepat setelah menyelesaikan kalimat ceramahnya.
"Lagian, kamera lo kan udah dijamin bengkel bisa bener lagi." Tambahnya.
Kala, si korban ceramah, hanya terdiam menatap Gavin dengan tatapan yang tak dapat diartikan.
"Sekarang gue tanya sama lo, beneran lo buang kalungnya?"
Kala mendengus. Ia menatap Gavin sendu lalu mengangguk.
Alis Gavin mengerut. Antara ingin tidak percaya tapi temannya satu ini memang jarang berbohong.
"Serius lo?"
Ia memandang raut wajah Kala dengan teliti. Ia tau betul kebiasaan yang Kala lakukan jika cowok itu berbohong.
"Ck, kan gue udah bilang beneran gue buang, Vin! Gak percayaan deh lo."
Disitu. Kala berbohong. Mata temannya mengarah ke kiri lalu diikuti kegiatan menyapu rambutnya ke arah belakang dengan tangannya. Dan nada bicaranya yang meninggi. Sangat bukan Kala.
"Bohong, gue tau. Udah ngaku aja, gue hafal di luar kepala kebiasaan lo kalo lagi bohong." Tuduh Gavin yang dibalas tatapan heran dari Kala.
"Dimana lo simpen tuh kalung? Laci kamar lo kan pasti?" Katanya.
Kala lalu menghela nafas kasar. Temannya yang satu ini selalu tau segala hal tentang dirinya. Percuma membohongi Gavin.
"Iya, di laci kamar gue. Puas?" Kalahnya.
Gavin memandang Kala dengan tatapan kemenangan. Gavin dilawan.
"Tapi lo diem aja. Gue bakal balikin tuh kalung kok, tapi pas kamera gue udah bener. Adil, kan?"
Mendengar itu Gavin hanya bisa mengangguk patuh menyetujui.
"Awas lo ember ke Dira. Gue buang beneran tuh kalung." Ancamnya.
"Uwooo seremmmmm!" Ujar Aurel dan Jey bersamaan.
Mereka semua tertawa geli setelahnya. Lalu mereka melanjutkan obrolan dengan banyak topik. Mulai dari skripsi, kegiatan klub hingga cewek tingkat 1 yang sudah masuk akun @nadaocantik.
"Eh ngomong-ngomong tingkat 1, si Pandu apa kabar tuh sama Dira?" Tanya Aurel.
"Dira sih sama aja. Biang gosip dan makin banyak fansnya. Tipikal cewek-cewek fanatik sama dedek gemes gitu dah." Jawab Gavin.
"Iya sempet digodain mampus juga tuh sama Kyra pas ospek. Shock banget dia, macem abis diganggu tante-tante genit." Ujar Aurel.
Mereka semua lalu ikut tertawa geli.
"Yaelah. Masih mending dah si Dira ditaksir sama anak-anak kampus. Lah, ini si Pandu dari kemaren kegaet sama tante-tante bar anjir." Cerita Jey.
Aurel mengernyit bingung.
"Tante-tante yang ngasih dia kartu nama? Pandu nanggepin?" Tanya Aurel.
"Nanggepin, gila. Katanya penasaran aja gitu sama dunia itu tante. Pusing dah gue kalo kegaet beneran gimana gue cerita sama bonyok gue coba."
Kala tertawa kecil. Jey terlihat cukup frustrasi dengan aktivitas Pandu kali ini.
"Santai aja kali, Jey. Seumur dia lagi suka explore dunia. Kita tinggal percaya aja, apalagi ini Pandu. Tau lah dia mana yang bener mana yang enggak." Ujar Kala.
Jey menatap Kala ragu namun kemudian mengangguk membenarkan. Semoga Pandu yang sekarang masih Pandu yang logis dan rasional. Adiknya yang selalu bisa dipercaya dan diandalkan.
---
Dentuman musik akustik menyapa gendang telinga seluruh pengunjung bar malam itu.
Pada weekdays, bar ini akan mengadakan acoustic live music, lalu pada weekend baru pihak bar akan menyediakan DJ.
Galang menikmati acara nongkrong nya dengan Baron dan teman-temannya. Mereka bersulang dengan sebotol bir di tangan masing-masing.
"Gimana bulan pertama kuliah, Lang?" Tanya Baron.
"Hm, biasa sih. Belom kerasa ribetnya. Masih dasar-dasar gitu bang ilmunya kayak di SMA." Jawab Galang.
Baron hanya mengangguk sambil mengingat saat ia masih semester satu. Masih bahagia dan menikmati hidup sebelum praktikum menyerang.
"Ya nikmatin aja, Lang. Nanti baru bakal kerasa di semester 2 sampe 7 beratnya teknik mesin." Ucap Dalu yang juga berada disana.
Galang mengangguk setuju. Ini kali keduanya bertemu dengan Dalu.
"Bang Dalu dulu juga kuliah teknik mesin?" Tanyanya.
Dalu tersenyum lalu mengangguk.
"Di kampus lo juga kok. Ya kalo gue masih kuliah sekarang udah tinggal skripsi sih, udah tahun keempat kali."
Galang lalu menatapnya penuh tanya. Ia mengira Dalu ini umurnya agak jauh darinya. Minimal 5 tahun lebih tua.
"Lah, terus kenapa gak lanjutin kuliah?" Tanya Galang.
Dalu lalu tertawa agak miris. Semua orang di meja itu juga menatap Galang tak enak.
"Ada lah masalah sama satu adek tingkat rese. Harusnya lo tau dia sih. Bikin masalah ngaco terus akhirnya gue di DO." Katanya menceritakan sekilas.
Galang mengerutkan dahinya. Berpikir siapa gerangan yang dimaksud Dalu.
Baron yang tak menangkap sinyal positif dari Galang lalu menambahkan.
"Lo juga pernah punya masalah dengan orang yang sama."
"Hah?" Ucap Galang lalu makin berpikir.
Kalau Dalu bilang itu adik tingkatnya, berarti sekarang orang itu adalah kakak tingkat Galang. Dan kakak tingkat yang pernah memberinya masalah hanya ada satu.
"Kala?" Ujarnya ragu.
Dalu dan semua orang di meja mengangguk. Galang makin bingung.
"Anjir, beneran dia, bang?"
Dalu kembali mengangguk lebih yakin.
"Dia juga bikin masalah sama lo?" Tanya Dalu ingin tau.
Galang mengangguk lalu menceritakan pertengkarannya dengan Kala dan tentang kalungnya.
"Tuh, makin lama busuknya bukannya ilang malah nambah, Bang. Gak tahan gue. Kita juga harus kasih dia pelajaran." Ujar Baron sedikit emosi.
"Sabar, Ron. Bentar lagi, tunggu aja dia berulah dikit, sampe kita nemu alibi yang kuat buat bales itu anak." Ucap Dalu dengan tatapan picik dan senyum penuh arti.
Galang yang berada disana merasa geng ini agak berbahaya. Namun rasa bencinya pada Kala tiap hari kian bertambah membuatnya ingin tetap ada di antara mereka dan mendengar rencana mereka.
Tak lama mereka kembali ke obrolan ringan dan menyenangkan. Namun banyak nama yang disebut dan tidak Galang kenali. Tentu saja, ia masih mahasiswa baru.
Merasa bosan, pandangannya mengedar ke seluruh penjuru ruangan. Netranya terhenti pada sosok yang tak asing baginya. Sosok itu bersama seorang cewek yang tak ia kenali.
"Pandu? Sama cewek lagi." Gumamnya.
Baron di sebelahnya menoleh. Menatap arah pandang Galang.
"Siapa, Lang? Kenal?" Tanyanya.
Galang mengangguk lalu mengambil foto Pandu dengan cewek itu dari jauh dengan ponselnya.
"Temen gue, Bang. Jarang gitu dia main, tipe anak rumahan. Lah sekali ketemu disini, sama cewek pula." Ujarnya.
Baron menyipit memfokuskan pandangannya ketika merasa tak asing dengan sosok cewek yang tengah bersama teman Galang.
"Lah itu kan Kak Marissa?" Ujar Baron yang lalu mendapat atensi penuh Galang.
"Abang kenal ceweknya?"
Baron beralih menatap Galang. Ia mengangguk dan melihat Galang menatapnya antusias.
"Itu namanya kak Marissa. Kerja disini. Sebenernya bisa dipanggil tante juga sih, orang umurnya udah 45 tahun. Cuma ya, masih cantik dan awet muda gitu."
Galang seketika membelalak.
"45 tahun?! Serius lo, Bang?" Ucapnya terkejut.
Baron menghela nafas. Baru mendengar umur wanita itu saja sudah kaget, apalagi kalau tau wanita yang sedang bersama dengan temannya itu adalah seorang yang menyetok semua wanita penghibur di klub besar Jakarta?
---